Chapter 22 - Ketika Masa Lalu Menyapa
Menjalani masa kehamilan dengan pikiran yang tenang merupakan hal yang harus dimiliki calon ibu. Netta pun sebenarnya menginginkan hal itu terjadi padanya. Namun keraguan hatinya kembali menguar kala Aditya tak memberikan perhatian seperti sebelumnya.
Pria itu tetap menjadi suami yang baik baginya. Tapi Aditya seakan tak ingin ambil pusing dengan kehamilan yang dijalani Netta. Ia mencukupi segala kebutuhan yang diperlukan Netta sebagai ibu hamil. Aditya pun tak pernah absen untuk menemani Netta kala mengontrol kandungan. Hanya saja pria itu sekarang terlampau sibuk dengan pekerjaan. Sehingga sering kali Netta merasa dirinya tak mendapatkan dukungan sebagai calon ibu dari suaminya.
Ia tidak mengharapkan Aditya selalu berada di sisinya dan mengabulkan segala keinginannya. Cukup baginya jika sang suami bersedia menjadi suami dan calon ayah yang berbahagia bersamanya menunggu kelahiran buah hati mereka. Namun sepertinya Aditya justru semakin menjauh darinya.
Netta tak bisa berdiam diri. Ia ingin anaknya lahir dengan perhatian penuh kedua orang tua. Karenanya ia harus berusaha memperbaiki hubungan mereka. Mengembalikan Aditya yang dulu begitu perhatian padanya.
Netta mengambil ponselnya untuk menghubungi Aditya. Ia ingin menghabiskan waktu makan siang bersama. Namun sudah beberapa kali mencoba, Aditya tak menjawab panggilannya. Netta pun beralih menghubungi Sekretaris suaminya. Tetapi jawaban yang didapatkan Netta membuatnya kecewa. Sang Sekretaris mengabarkan jika sejak pagi Aditya meninjau perkembangan proyek pembangunan bersama klien. Dan mungkin tidak kembali lagi ke kantor.
Yang tak Netta tahu adalah saat ini Aditya justru sedang menghampiri tempat di mana Sena bekerja. Dengan bantuan Yulia, akhirnya Aditya berhasil menemukan keberadaan Sena. Beruntung Yulia tak merasa curiga saat Aditya mengatakan jika ia memiliki sedikit urusan dengan Sena. Padahal jika Yulia mau berpikir sedikit saja, wanita itu pasti curiga dengan permintaan Aditya. Mengingat sudah lama sekali sejak Sena mengundurkan diri dari kantor.
Keberuntungan mungkin sedang berpihak pada Aditya. Tepat saat waktu makan siang tiba, Sena bersama seorang rekan kerjanya tampak berjalan keluar dari toko. Tanpa menunggu waktu, Aditya langsung keluar dari mobilnya dan menghampiri Sena. Kemunculan pria itu yang tiba-tiba jelas mengejutkan Sena dan rekan kerjanya.
Sena mengerjap menatap Aditya yang ada di hadapannya. Perasaan wanita itu langsung kacau. Bukan karena Sena takut, namun lebih kepada ia tidak ingin menyebabkan keributan di depan umum. Terlebih di depan tempatnya bekerja.
"Bisa kita bicara?" ucap Aditya tanpa ragu.
Sena merasa keberatan. Namun jika ia menolak, bukan tidak mungkin Aditya akan kembali mendatanginya. Hal itu tentu saja akan membuat suasana tidak nyaman bagi Sena dan rekan-rekan kerjanya.
"Maaf ya, Ri. Janji makan siang kita harus batal dulu. Besok saya akan traktir kamu untuk menebus janji hari ini," ujar Sena dengan perasaan bersalah pada rekan kerjanya.
"Enggak masalah, Sen. Kamu selesaikan dulu urusan kamu. Aku duluan, ya."
Rekan kerja Sena meninggalkan keduanya menuju warung makan di mana ia dan Sena sudah bersepakat untuk makan siang bersama. Sena memerhatikan hingga rekan kerjanya menjauh kemudian beralih pada Aditya.
Tidak ada yang berubah dari pria itu. Sena tetap dapat melihat jika Aditya masihlah sosok pria yang egois dan berkepribadian dingin seperti yang pernah ia kenal dulu. Pria itu hanya akan menjadi pribadi hangat jika hanya sedang bermesraan dengannya.
Sena segera menggelengkan kepala menghalau pikiran tersebut. Ia tidak perlu mengingat semua itu. Aditya tidak lagi menjadi bagian penting dalam hidupnya. Semua hal yang berhubungan dengan pria itu harus ia kubur bersama masa lalunya.
Keterpakuan Sena sudah pasti tak luput dari perhatian Aditya. Berada sangat dekat dengan Sena seperti saat ini, kenangan masa lalu mereka seakan menyeruak keluar. Mungkin wanita di hadapannya tak ingin lagi mengingat hal tersebut. Namun Aditya justru tak merasakan keberatan. Bahkan bisa dikatakan jika sudut hatinya tiba-tiba merindukan kebersamaan mereka dulu.
Tanpa sadar Aditya menyentuh pergelangan tangan Sena membuat wanita itu terkejut. Dengan cepat Sena menarik pergelangannya dari cengkeraman Aditya. Hingga yang pria itu rasakan kini hanyalah kekosongan dalam genggamannya.
"Pak Aditya, tolong jangan bersikap kurang ajar pada saya," ucap Sena dengan nada tegas.
Aditya tak menjawab. Pria itu hanya menatap Sena sembari mengisyaratkan agar Sena segera masuk ke mobilnya. Walau dibayangi perasaan was-was pada akhirnya Sena tetap memberanikan diri untuk masuk ke kendaraan pria itu. Ia cukup yakin Aditya tidak akan berbuat sesuatu padanya. Karena jika sampai terjadi masalah pada Sena, ia yakin rekan kerjanya akan melaporkan hal tersebut pada Manajer mereka.
Tepat seperti yang diduga Sena, Aditya masih memiliki kesadarannya. Karena pria itu membawa Sena ke sebuah restoran Italia. Aditya memilih tempat yang agak jauh dari meja lainnya untuk kenyamanan pembicaraan mereka.
"Apa kabar, Senandung?"
Mendengar namanya keluar dari bibir Aditya, ada rasa tak nyaman dalam hati Sena. Dari semua orang yang mengenalnya, hanya Aditya yang sering memanggil namanya dengan Senandung.
"Saya baik. Sekarang bisa Pak Aditya katakan maksud Bapak menemui saya?" Sena tak ingin berbasa-basi.
Aditya tersenyum simpul. Matanya tak lepas menatap Sena. Makin membuat Sena merasa tak nyaman. Ia ingin sekali saja bersikap kasar dengan menyiramkan segelas air di atas meja ke wajah Aditya. Tapi ia tahu dirinya tak akan sanggup melakukan hal tersebut. Terlebih semenjak statusnya berubah menjadi seorang ibu. Sena benar-benar menjaga diri dan sikapnya agar menjadi contoh yang baik bagi Pelangi.
"Saya hanya ingin tahu kabar kamu saja," Aditya menjeda. "dan juga anak itu. Pelangi."
Mendengar nama Pelangi disebut, tangan Sena mengepal erat di pangkuannya. Ia tidak ingin pria di depannya ini memiliki selintas saja pikiran tentang Pelangi. Tidak akan Sena biarkan.
"Saya rasa Bapak tidak perlu tahu tentang ANAK SAYA!" Sena menekankan dua kata terakhir sebagai bentuk peringatan bahwa Aditya sama sekali tidak memiliki hak apapun untuk bertanya tentang Pelangi.
Bukannya takut, Aditya merasa reaksi Sena benar-benar menyegarkannya. Membuatnya cukup terhibur di tengah kepenatan pikirannya beberapa saat ini.
"Oh, ya? Kalau tidak salah, anak itu yang dulu kamu kandung, kan?"
Sena segera berdiri dari kursi yang didudukinya. Entah mengapa mendengar ucapan Aditya membuat darahnya mendidih. Seakan pria di depannya tengah menjadikan dirinya dan Pelangi sebuah lelucon. Mungkin memang benar, bahwa Sena dan Pelangi adalah sebuah lelucon dalam hidup pria itu.
Sena tak berharap Aditya sadar dengan sikap berengseknya. Namun paling tidak ia berharap Aditya tak perlu memunculkan dirinya di hadapan Sena dan putrinya. Tidak ada gunanya Sena meluangkan waktu bagi Aditya. Pria itu masih tetap tidak tahu diri dan arogan.
Sayangnya saat Sena akan meninggalkan restoran, Aditya dengan cepat mencekal pergelangan tangannya. Kali ini Sena tak berhasil melepaskan diri karena Aditya tak memberinya kesempatan.
"Saya belum izinkan kamu pergi."
"Saya tidak butuh izin Bapak. Lepaskan saya!"
"Kembali duduk, Sena. Habiskan makanan yang kamu pesan baru saya akan izinkan kamu pergi."
"Mau Pak Aditya apa?"
"Saya hanya ingin bicara."
Sena mendengkus. "Bicara? Memang apa yang harus dibicarakan antara kita? Tidak ada."
"Ada. Pelangi!"
Sekali lagi mendengar nama Pelangi disebut, Sena kembali meradang. Ia mungkin tak bisa melepaskan diri dari Aditya. Namun ia tak akan kalah dari pria itu.
Kesempatan datang saat Pramusaji membawakan pesanan mereka. Dengan sebelah tangannya Sena mendorong sang Pramusaji pada Aditya. Hingga nampan berisi makanan pesanan mereka mengotori Aditya. Pria itu dengan terpaksa melepaskan cekalannya pada Sena untuk menahan sang Pramusaji agar tak jatuh. Sena tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung berlari ke luar dari restoran di saat keadaan sedang ricuh. Dalam hati ia memohon maaf pada Pramusaji tersebut karena menjadikannya tumbal.
Di tengah kericuhan, berkali-kali Pramusaji restoran tersebut meminta maaf pada Aditya meski memang bukan kesalahannya. Aditya pun tak memperpanjang hal tersebut. Ia bahkan bersedia menanggung kompensasi atas ulah Sena.
Aditya melayangkan tatapannya pada pakaiannya yang kotor karena noda pasta. Ia tak habis pikir Sena bisa berbuat nekat seperti itu. Namun tidak ada rasa marah yang Aditya rasakan. Ia justru semakin ingin menemui wanita yang berhasil membangkitkan sesuatu dalam diri Aditya yang lama tak ia rasakan.
...
Seminggu berlalu Sena akhirnya dapat bernapas lega karena Aditya tak lagi menemuinya. Mungkin pria itu akhirnya sadar jika ia dan Sena tak memiliki hal apapun yang patut dibicarakan. Atau mungkin Aditya masih belum bisa melepaskan kemarahannya karena Sena berhasil mempermalukannya di depan umum. Yang manapun alasannya Sena patut berlega hati karena pria itu tak muncul di hadapannya.
Minggu ini Sena dan keluarganya akan menemui orang tua Arina. Sekala akhirnya memutuskan untuk segera meresmikan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Namun sebelumnya tentu saja mereka harus menemui keluarga Arina untuk meminta izin secara resmi. Meski Arina dan Sekala sudah sepakat untuk tak mengadakan pesta mewah. Namun tetap saja mereka harus mendengar pendapat dari kedua keluarga.
Sebelum menemui keluarga Arina, Sena tentu saja harus menyiapkan pakaian resmi agar mereka terlihat memiliki niat yang serius. Karena itu paginya Sena mengajak ibunya dan Sekala untuk berbelanja pakaian untuk mereka kenakan malam nanti. Hanya keluarga inti mereka saja yang akan berkunjung nanti malam ke rumah orang tua Arina. Meski adik lelaki ibu mereka bersedia menemani, namun Sekala menolak dengan halus. Ia tak ingin merepotkan mereka. Mungkin nanti saat acara pernikahan, Sekala akan menerima bantuan dari kerabat yang menawarkan.
Pukul sepuluh mereka berangkat menuju salah satu pusat perbelanjaan. Pergi bersama dengan keluarga lengkap menjadi satu hal yang disukai Pelangi. Sejak pagi anak itu tak sabar agar mereka segera berangkat ke tempat yang sudah direncanakan.
Toko pakaian yang menyediakan kebaya dan batik menjadi pilihan Sena. Sudah lama ia tak berbelanja kebaya dan pakaian tradisional lainnya. Karena itu saat memasuki toko, mata Sena berbinar senang menatap deretan kain batik dan kebaya. Tak hanya Sena, ibunya dan Pelangi pun menunjukkan minat yang sama. Hanya Sekala yang sama sekali tak tertarik. Namun demi memuaskan para wanita di keluarganya, ia tak keberatan mengikuti keduanya.
"Mas Kal, cobain yang ini, deh." Sena menyerahkan sebuah kemeja batik berwarna biru tua pada Sekala.
Sekala menuruti keinginan adiknya. Ia segera menuju ruang ganti untuk mencoba. Kemudian keluar untuk menunjukkannya pada Sena.
"Bagus. Om Kal ganteng sekali," puji Pelangi begitu melihat Sekala dengan kemeja batiknya.
"Tapi warnanya kelihatan cerah banget nggak sih, Mas?" gumam Sena sembari mengamati penampilan Sekala.
"Mama, Pelangi juga mau baju baru," sela Pelangi tiba-tiba.
"Sini sama Nenek, yuk. Biar kita carikan pakaian untuk Pelangi. Mau pakai kebaya nggak, seperti Mama." Neneknya mengajak Pelangi melihat-lihat pakaian untuk anak.
Sementara Sena membantu Sekala mencari pakaian untuknya, Pelangi dan neneknya bersenang-senang berdua melihat-lihat berbagai jenis kain dan pakaian yang tersedia di toko.
Pencarian mereka berakhir saat waktu menunjukkan pukul satu siang. Sebelum memutuskan makan siang, mereka mencari musala yang ada untuk melaksanakan salat zuhur. Lalu menuju salah satu restoran es krim favorit Pelangi.
"Kita langsung pulang atau ada yang mau dibeli lagi, Sen?" tanya Sekala setelah mereka selesai makan siang.
"Enggak ada, Mas. Langsung pulang saja. Istirahat biar nanti malam Mas Kal punya tenaga buat menghadapi orang tua Mbak Arina," canda Sena.
Sekala hanya menggeleng mendengar ucapan adiknya. Jika biasanya Pelangi masih memiliki tenaga ekstra untuk bermain mengelilingi pusat perbelanjaan, kali ini gadis kecil itu menuruti keinginan Sena untuk pulang.
Selepas magrib, Sena dan keluarganya sudah bersiap untuk mengunjungi kediaman orang tua Arina. Sekala terlihat tampan dengan kemeja batik cokelat yang akhirnya dipilih Sena. Sedang Pelangi tidak jadi mengenakan kebaya dan memilih untuk memakai gaun sebatas lutut dengan bahan yang nyaman. Mengingat anak itu yang mungkin belum terbiasa dengan kain kebaya. Sena takut anaknya akan tak nyaman dan berkeringat karena malam ini udaranya cukup kering.
Keluarga Sekala tiba di rumah orang tua Arina tepat saat adzan isya berkumandang. Mereka memutuskan untuk melaksanakan salat isya terlebih dahulu. Dengan Sekala yang menjadi imamnya. Tentu saja ini permintaan dari Ayah Arina. Meski ia tahu Sekala termasuk pria yang cukup taat dalam beribadah. Namun ia ingin tahu bagaimana sikap pria itu kala menjadi imam salat.
Acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Selama waktu makan malam. Suasana begitu hangat. Dengan Pelangi yang menjadi pusat perhatian. Baik Arina dan Sekala sama sekali tak berbincang sepatah kata pun. Keduanya sama-sama gugup. Terlebih Arina yang masih belum percaya jika dirinya dan Sekala akan berakhir bersama.
"Mbak, biar Sena bantu cuci piringnya, ya."
"Jangan, Sen. Kamu ikut duduk di depan saja. Sudah cantik begini masa harus cuci piring. Nanti pakaian kamu basah. Ini cuma sebentar, kok," tolak Arina halus.
Sena adalah tamu di rumah mereka. Mana mungkin ia membiarkan calon adik iparnya mengulurkan tangan untuk membantu di dapur.
"Cuma cuci piring nggak akan bikin aku basah kuyup, kok," balas Sena tak mau kalah.
Saat keduanya sedang berdebat, Ibu Arina dan Pelangi memasuki dapur. Keduanya tertawa mendengar Sena dan Arina yang saling berusaha mengambil tanggung jawab untuk mencuci piring.
"Sudah kalian. Tinggalkan piring-piringnya dulu. Itu bisa dikerjakan nanti. Semua sudah menunggu di depan," ucap Ibu Arina.
Binar bahagia tak bisa wanita paruh baya itu sembunyikan. Ia tak menyangka putri bungsunya akhirnya akan segera melepas status lajangnya. Mulai saat ini ia dan suaminya bisa merasa lega karena Arina sudah menemukan jodohnya.
Sena dan Arina pun akhirnya meninggalkan dapur. Keduanya bergegas ke ruang tamu di mana Sekala, Ibu Sena dan Ayah Arina sedang berbincang. Melihat kehadiran mereka, ketiga orang tersebut menghentikan perbincangannya. Ayah Arina bahkan langsung menatap anaknya yang kini menunduk mendekati mereka. Sama seperti sang istri, Ayah Arina tampak bahagia karena sang anak yang akan segera menikah.
Sena duduk di sofa tunggal dengan Pelangi yang berada di pangkuannya. Sedang Arina duduk berdampingan dengan ibunya. Sejenak tatapan Sekala terpaku pada Arina yang sejak tadi tak berani menatapnya. Wanita itu masih merasa malu jika berhadapan dengan Sekala. Padahal sebelum mereka memutuskan untuk mencoba, Arina sama sekali tak merasa canggung jika harus berbincang dengannya. Perempuan dan perasaannya kadang membuat Sekala tak mengerti.
Pria itu menetralkan jantung dengan menarik napas dalam-dalam. Rasa gugupnya perlahan menghilang. Terlebih apa yang akan Sekala katakan nanti akan menjadi penentu masa depannya. Ia sudah siap untuk memulai kehidupan baru bernama pernikahan bersama Arina.
"Bismillahirrohmanirrahim. Bapak, Ibu, saya tidak pandai merangkai kata terbaik bahkan untuk sekadar berbasa-basi. Tapi malam ini kedatangan saya beserta Ibu dan adik perempuan saya menemui Bapak dan Ibu adalah untuk meminta izin. Kiranya Bapak dan Ibu bersedia mempercayakan Arina untuk menjadi pendamping hidup saya. Saya tidak bisa menjanjikan kehidupan pernikahan yang tanpa masalah. Tapi saya akan berusaha menjadi Imam terbaik, kepala rumah tangga dan pelindung Arina selama sisa hidupnya. Saya akan berusaha memberikan rumah tangga di mana saya dan Arina memiliki hak dan kewajiban yang setara. Akan memperlakukan Arina dengan hormat sebagai istri yang akan mendampingi saya melewati semua hal yang akan terjadi dalam hidup berumah tangga."
Sekala menjeda. Ketegangan yang tadi ia rasakan perlahan menghilang seiring dengan ucapan yang ia sampaikan. Sementara para pendengarnya masih memasang wajah serius.
"Saya bukan manusia sempurna. Tapi saya akan berusaha menjadikan rumah tangga kami sempurna. Akan menjaga dan berusaha untuk tak membiarkan setitik kesedihan untuk Arina rasakan selama kebersamaan kami. Karena itu, saya ingin keikhlasan Bapak dan Ibu mempercayakan Arina pada saya."
Ayah Arina yang sejak tadi tampak tegang akhirnya mengembuskan napas lega. Selama mengenal Sekala, ia tahu Sekala adalah pria yang bisa diandalkan. Bisa atau tidaknya pria itu membahagiakan putrinya, biarkan waktu yang akan membuktikan pada mereka.
"Bismillahirrohmanirrahim. Terima kasih atas niat baik Sekala untuk putri kami, Arina. Kami sebagai orang tua, hanya menginginkan yang terbaik bagi kebahagiaan Arina. Tentu kami percaya kamu akan berusaha membahagiakan Arina. Kami dengan senang hati akan memberikan izin bagi siapapun yang siap meminang putri kami. Namun sebelumnya, masa depan Arina adalah miliknya. Jadi keputusan sepenuhnya akan kami serahkan pada putri kami. Apakah bersedia mengarungi bahtera rumah tangga bersama Sekala. Atau mungkin Arina memiliki pemikirannya sendiri," ucap Ayah Arina meski ia yakin putrinya tak akan menolak Sekala. Tapi apapun bisa terjadi jika Sang Pemobolak-balik hati manusia sudah berkehendak.
Sekala mengalihkan tatapannya pada Arina yang masih menunduk. Jantung Arina berdegup tak karuan saat mendengar ucapan Sekala tadi pada kedua orang tuanya. Keringat dingin langsung membasahi dahi dan punggungnya. Di saat seperti ini, mengapa ia tak bisa bersikap tenang seperti biasanya. Mungkin karena saat ini adalah satu langkah penentuan dalam masa depannya.
Tak hanya Arina yang sedang gugup. Sena yang sejak tadi hanya diam dan mendengarkan dengan khidmat pun tak kalah gugup. Hingga membuat Pelangi terus menatap ibunya karena detak jantung Sena yang terdengar jelas di telinga anak itu.
"Mama, kenapa suara jantung Mama keras sekali. Mama sakit, ya?" ujar Pelangi tiba-tiba mengalihkan perhatian semua orang. Arina pun bahkan mengangkat kepalanya menatap Pelangi yang berucap dengan polosnya.
"Mama nggak sakit kok, Nak. Pelangi tenang dulu, ya. Duduk diam dan patuh dipangkuan Mama."
Pelangi mengangguk. Meski ia tak sepenuhnya paham dengan acara lamaran yang mereka lakukan saat ini. Namun karena Sena sudah memberikan pengertian padanya sebelum pergi agar ia tak berisik, maka Pelangi akan menuruti perintah ibunya.
"Arina," panggilan Sekala membuat Arina terkesiap. "jangan menunduk terus," pinta Sekala kemudian hingga wanita itu pada akhirnya mempertahankan kepalanya tetap tegak dengan tatapan lurus pada Sekala.
"Kamu siap membangun rumah tangga bersama saya?" tanya Sekala tanpa basa-basi. Tidak seperti saat ia meminta izin pada kedua orang tua wanita itu tadi.
Ada banyak hal yang ingin Arina katakan. Namun saat tatapan Sekala mengunci matanya, Arina seakan kehilangan kemampuannya berkata-kata.
Bismillah, ucapnya dalam hati. Dengan mata yang menyala penuh keyakinan, Arina mengangguk pada Sekala.
"Aku siap, Kal."
Jawaban dari Arina memberikan kelegaan luar biasa pada kedua orang tua mereka. Sena pun tak dapat menahan perasaannya. Ia memeluk erat putrinya. menyembunyikan matanya yang mulai berair dengan mendekap Pelangi. Rasanya satu beban di hati Sena terangkat. Pada akhirnya ia dan ibunya dapat tersenyum lega karena Sekala tak lagi sendiri. Ada Arina yang akan menemani pria itu menghabiskan hari-harinya nanti.
Acara malam itu diakhiri dengan Sekala yang menyematkan cincin di jari manis kiri Arina sebagai simbol ikatan mereka. Satu sisi hati Arina merasa ringan. Namun saat menatap cincin yang melingkar di jemarinya, Arina tahu jika ke depannya banyak hal yang harus ia hadapi. Karena jalan panjang pernikahan akan menanti di depan mereka.
"Selamat Mbak Arina," ucap Sena sembari memeluk Arina.
"Terima kasih, Sen. Mbak berharap selanjutnya akan ada kejutan bahagia untuk kamu dan Pelangi."
Sena tak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil. Ia tak berharap banyak untuknya. Namun jika memang ada kejutan bahagia yang disiapkan Tuhan baginya dan Pelangi, maka Sena akan menerima apapun kejutan itu. Lebih lagi jika itu bisa membuat putrinya tersenyum lebar seperti yang saat ini Sena saksikan. Saat Pelangi bergantian berada dalam pelukan orang-orang yang menyayanginya.
...
Note : selamat malam. updatenya malam banget ya. tapi cukup panjang kan. Gimana nih yang kangen Pak Aditya. enaknya diapain ya dia? Hahaha. Om Kal dan Bu Arina bersauh. Ayo kita layarkan. Banyak yang penasaran gimana kisah Om Kal dan Bu Arina selanjutnya. Rasanya gak mungkin dibuat di lapak punya Sena dan Pelangi. Nanti kalau sempat aku bikin side story untuk mereka aja ya. Yang chapternya gak usah banyak-banyak tapi ya. Selamat malam dan selamat istirahat.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Restricted area, 29/07/21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top