Chapter 20 - Matahari Kecil

Hari ini anak-anak mengadakan kegiatan luar ruangan. Pelangi akan mengunjungi kebun sekolah di mana mereka akan bersama-sama memanen  dan menanam sayuran. Sekolah Pelangi memang memiliki beberapa fasilitas seperti kebun, kolam ikan bahkan kolam renang. Meski tidak seluas dan semewah sekolah bergengsi lainnya. Namun sarana pendidikan yang tersedia cukup untuk menunjang pembelajaran para murid.

Kali ini giliran kelas Pelangi yang akan melakukan pembelajaran di ruang terbuka. Untuk pembelajaran kali ini guru kelas akan dibantu oleh guru pendamping untuk mengawasi anak-anak.

Setiap anak diminta berpasangan dengan satu orang teman. Pelangi berpasangan dengan teman sebelah meja bernama Ririn. Setelah tiba di kebun, guru masing-masing kelas mengumpulkan anak-anak kelasnya untuk memberi penjelasan lebih lanjut akan kegiatan apa yang akan mereka lakukan hari ini.

“Anak-anak, hari ini kita akan memanen buah timun juga menanam bayam. Ibu akan bagikan masing-masing satu bibit untuk ditanam ya,” Lila, guru kelas Pelangi kali ini menjelaskan.

Lila pun mulai membagikan satu persatu benih untuk masing-masing anak. Setelah itu ia mengajak anak-anak ke lahan yang telah dipersiapkan. Mereka diminta untuk membersihkan rerumputan  yang sengaja disisakan untuk dicabut. Kemudian Lila menunjukkan cara menanam benih sayur ke dalam tanah. Anak-anak memerhatikan dengan seksama.

Anak laki-laki tampak senang bermain dengan tanah. Namun beberapa anak perempuan terlihat enggan untuk melakukannya. Namun hal itu tidak terjadi pada Pelangi. Ia yang terbiasa membantu neneknya merawat tanaman meski sekadar menyiram, tak ragu untuk memegang tanah.

Pekikan dan seruan mewarnai kebun hari ini. Bahkan beberapa anak lelaki yang menjaili anak perempuan dengan menunjukkan cacing tanah yang ditemukannya. Suasana benar-benar ramai. Hingga jeritan dan tangis anak perempuan terdengar. Membuat Lila dan guru pendampingnnya segera mengamankan anak-anak.

“Rio, tidak baik menakuti teman seperti itu,” tegur Lila sembari menenangkan anak yang ketakutan.

“Kan cuma main, Bu,” jawab Rio tanpa rasa bersalah.

“Yang namanya main, semua orang harus ikut senang. Kalau ada temannya yang tidak senang saat bermain bersama, itu bukan main namanya tapi mengusili. Mengerti?”

Rio akhirnya mengangguk kemudian meminta maaf pada teman-teman yang dijailinya. Setelah anak-anak mulai tenang, proses belajar dilanjutkan. Kali ini anak-anak diminta untuk menyiram tanaman bergantian. Sembari Lila menjelaskan tentang mengapa tanaman perlu disiram dan dirawat.

“Sekarang kegiatan terakhir, kita akan sama-sama memetik timun, ya. Nanti setelah selesai, anak-anak boleh dapat satu timun masing-masing untuk dibawa pulang, oke?”

Anak-anak diberi gunting untuk memotong buah dari batangnya. Selama proses tersebut Lila dan guru pendamping harus benar-benar siaga agar tidak terjadi kecelakaan pada anak-anak. Semua berlangsung aman sampai ketika sebuah teriakan terdengar. Lila dan yang lainnya begitu terkejut kala melihat Pelangi sudah terduduk di tanah sambil memegangi lututnya.

“Pelangi!” pekik Lila panik bergegas menghampiri anak itu.

Sekuat tenaga Pelangi berusaha menahan agar dirinya tak menangis. Namun rasa sakit dilututnya membuat anak itu akhirnya terisak pelan. Air mata pun tak dapat ia tahan lagi.

“Ada apa, Nak?” tanya Lila.

“Friska dorong Pelangi, Bu Lila. Lutut Pelangi terbentur batu jadi berdarah,” ucap Pelangi sambil terisak.

“Friska? Kenapa?”

Sang anak yang ditanya hanya diam tak menjawab. Bahkan memalingkan wajah dari gurunya.

“Bu Lila, nanti saja tanyanya. Sekarang bawa Pelangi dulu ke ruang kesehatan biar lukanya diobati,” ujar guru pendampingnya mengingatkan Lila.

“Baik. Saya titip anak-anak ya, Bu.”

Lila membawa Pelangi yang jalannya tampak kesulitan karena lututnya yang terluka. Lila pun akhirnya menggendong Pelangi karena kasihan melihat anak itu yang menahan sakit. Sesampai di ruang kesehatan luka Pelangi segera dibersihkan dan diobati.

Jejak tangis masih terlihat di wajah anak itu membuat Lila merasa kasihan. Ia pun mengelus lembut puncak kepala Pelangi sembari memberikan kata-kata penyemangat. Saat melihat anak itu sudah mulai tak lagi kesakitan, Lila tak langsung membawa Pelangi kembali ke kelas.

“Pelangi, bisa kasih tahu Ibu kenapa Friska dorong Pelangi?” tanya Lila akhirnya.

Pelangi menggeleng pelan. “Enggak tahu, Bu Lila. Tadi kita sama-sama potong buah timunnya. Terus tiba-tiba Friska dorong Pelangi.”

“Kalau di kelas, sikap Friska sama Pelangi bagaimana?”

“Friska nggak mau berteman dengan Pelangi.”

Lila mengernyit. Merasa ada yang salah dengan sikap Friska. Selama mengajar ia melihat anak-anak tampak berteman baik. Terutama Pelangi yang ia tahu adalah anak peramah dan sangat sopan. Mungkin Lila kurang memerhatikan interaksi Pelangi dan Friska hingga ia tak tahu bagaimana hubungan pertemanan kedua anak itu.

“Kalau Pelangi, mau berteman dengan Friska?”

Kali ini Pelangi mengangguk. “Pelangi mau berteman. Pelangi suka banyak teman.”

Lila mengangguk. Ia tak meragukan kepribadian anak didiknya ini. Semua guru yang bertugas mengajar di kelas Pelangi pun menyebutkan jika Pelangi adalah salah satu murid yang baik. Tak pernah membuat keributan di kelas. Nilai akademiknya pun bagus. Dan yang paling penting sikapnya di dalam kelas menunjukkan jika gadis kecil ini benar-benar menghargai setiap orang. Baik teman dan para guru.

“Friska hari ini dorong Pelangi. Pelangi marah tidak?”

“Tidak, Bu Lila. Tapi Pelangi bingung. Kenapa Friska selalu marah sama Pelangi? Kenapa ya, Bu?”

Lila ingin tertawa mendengar pertanyaan polos muridnya itu. Tapi ia belum tahu harus menjawab bagaimana. Ia harus mencari tahu dulu mengapa Friska begitu tak bersahabat pada Pelangi.

“Nanti Ibu tanyakan ke Friska, ya. Nanti kita sama-sama cari tahu kenapa Friska bersikap begitu sama Pelangi.” Pelangi mengangguk mengerti. “Sekarang bisa kembali ke kelas atau istirahat di sini sampai bel terakhir?”

“Mau kembali ke kelas.”

“Bisa jalannya?”

“Bisa, Bu.”

Melihat keinginan anak itu untuk dapat tetap belajar begitu tinggi, Lila akhirnya tak menghalangi. Bagaimana pun ia kembali dibuat terkesan akan sikap anak didiknya itu. Tidak ada rasa marah yang Pelangi tunjukkan karena sikap buruk Friska padanya. Walau tadi merasa kesakitan Pelangi bisa kembali menunjukkan senyumnya. Benar-benar sosok anak yang kuat.

Sesampai di kelas, teman-teman Pelangi memerhatikan dirinya yang berjalan begitu pelan. Mereka menunjukkan kekhawatiran atas apa yang terjadi pada Pelangi. Hanya Friska, sang pelaku pendorongan yang sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah. Bahkan gadis kecil itu tak ingin memandang pada Pelangi. Sikap yang membuat Lila sebagai guru menggeleng kecil.

Tak ada yang Lila bisa lakukan karena masih ada jam pelajaran yang harus diikuti anak-anak. Namun ia akan mencoba menyelesaikan masalah ini setelah sekolah usai. Ia akan meminta orang tua Pelangi dan Friska untuk datang dan duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahn yang terjadi antara dua anak tersebut.

Tak sulit meminta Pelangi untuk tinggal setelah jam sekolah usai. Karena memang Pelangi akan menunggu untuk dijemput oleh neneknya atau Sekala. Namun berbeda dengan Friska yang ternyata tidak dijemput oleh orang tua melainkan seorang sopir. Karena itu Lila pun tak bisa menyelesaikan masalah antara dua anak tersebut. Namun ia sudah menulis dibuku catatan siswa bahwa orang tua Friska harus datang menemuinya ke sekolah esok.

Arina yang mendengar cerita yang terjadi antara Pelangi dan teman sekelasnya dari Lila tak kalah cemas. Terlebih saat ia melihat perban yang menutupi lutut Pelangi. Ia takut anak itu merasa kesakitan. Namun saat Arina menemui Pelangi di kelas setelah bel berbunyi, Pelangi justru tak menunjukkan ketakutan atau kesakitan. Membuat Arina bisa bernapas lega.

“Kenapa bisa begini, Nak?” tanya Arina padanya.

“Didorong Friska, Ibu.”

“Masih sakit, tidak?”

“Tidak sakit lagi.”

“Ikut pulang ke rumah Ibu, mau? Biar Ibu telepon Nenek tidak usah jemput. Nanti minta Om Kal saja yang jemput Pelangi.”

Anak itu hanya mengangguk setuju. Arina pun segera menghubungi Ibu Sekala, memintanya untuk tak datang menjemput. Namun Arina tidak bercerita jika Pelangi terluka. Ia tak ingin membuat cemas orang tua tersebut.

Hubungan Sekala dan Arina memang sudah jauh lebih baik. Meski belum ada pembicaraan kapan pernikahan akan dilangsungkan. Namun sikap Sekala pada Arina sekarang jelas menunjukkan bahwa pria itu tidak bercanda. Ia memang belum memiliki waktu untuk menemui orang tua Arina. Karena memang pekerjaan Sekala saat ini sedang menggunung. Tapi pria itu berniat untuk menemui keluarga Arina secara resmi.

Arina dan Pelangi tiba di rumah orang tua wanita itu. Seperti biasa orang tua Arina begitu senang dengan kehadiran gadis kecil itu. Namun luka di lutut Pelangi mengejutkan Ibu Arina. Apalagi saat mendengar penyebab luka tersebut karena Pelangi di dorong oleh teman sekelasnya.

“Nenek buatkan puding mau?” tanya Ibu Arina.

“Mau, Nek.”

“Pelangi duduk temani Kakek dulu, ya. Nanti kalau pudingnya sudah siap, Nenek antarkan.”

Mendapatkan limpahan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya membuat Pelangi tak pernah merasakan sedih berkepanjangan. Begitu juga kasih sayang yang ditunjukkan orang tua Arina padanya. Arina sendiri bersyukur karena orang tuanya begitu mudah menerima Pelangi. Lagi pula siapa yang tidak akan jatuh sayang pada anak sebaik Pelangi. Yang mampu membuat hati menghangat karena sikapnya.

Keasyikan Pelangi bermain bersama orang tua Arina harus diakhiri karena Sekala sudah datang menjemput keponakannya. Pria itu menyalami kedua orang tua Arina lalu duduk sejenak untuk menyapa mereka. Pria itu meringis saat melihat luka yang didapatkan keponakannya. Arina sudah bercerita saat meneleponnya tadi. Namun saat melihat langsung tetap saja ia kasihan pada si kecil.

“Om Kal.” Pelangi langsung memeluk Sekala.

“Sakit tidak lututnya?” tanya Sekala lembut. Pelangi menggeleng.

Kedekatan Sekala dan keponakannya bukan rahasia lagi bagi orang-orang. Namun saat melihat keduanya berpelukan, tetap saja membuat orang-orang iri. Orang tua Arina bahkan berangan bagaimana nanti jika Sekala dan Arina memiliki anak. Pria itu pasti akan menjaga dan menyayangi darah dagingnya sama besarnya seperti Sekala menjaga Pelangi. 

“Terima kasih sudah menjaga Pelangi. Saya dan Pelangi pamit dulu, Bapak, Ibu,” ucap Sekala kemudian.

“Sama-sama, Kal. Kita juga senang ada Pelangi di sini, ya. Rumah jadi ramai.” Ibu Arina menimpali.

“Pelangi juga suka main di rumah Nenek. Suka dibuatkan camilan.”

Semua tertawa mendengar ucapan Pelangi.

“Jadi karena camilan, ya?” ledek Sekala.

“Bukan. Pelangi senang, kok.”

Setelah berpamitan, Arina mengantarkan Sekala dan Pelangi ke luar. Dengan Sekala yang menggendong keponakannya dan Arina yang membawakan tas Pelangi. Pelangi berpamitan dengan Arina sebelum Sekala mendudukkan keponakannya di dalam mobil. Kemudian berhadapan dengan Arina untuk menerima tas milik Pelangi.

“Besok kalau bisa Sena datang ke sekolah untuk membicarakan masalah ini dengan orang tua Friska. Atau kalau memang Sena nggak bisa, kamu bisa gantikan posisinya,” ujar Arina mengingatkan.

Sekala mengangguk. “Baik. Nanti saya sampaikan ke Sena.”

Keduanya berpamitan. Namun sebelum Sekala memasuki mobilnya, tiba-tiba ia berbalik hingga berhadapan dengan Arina yang masih berdiri di tempatnya.

“Ada apa, Kal?”

“Mungkin bulan depan saya akan datang untuk bicara dengan orang tua kamu.”

Setelahnya Sekala langsung masuk ke mobilnya tanpa menunggu tanggapan dari Arina. Ia seperti tak peduli jika wanita yang baru saja diberi kejutan olehnya masih berdiri terpaku dengan hati yang berantakan. Jelas saja Arina terkejut mendengar penuturan Sekala. Pria itu memang kadang tak bisa diduga segala tindak tanduknya. Meski begitu Arina tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya.

Luka yang dialami Pelangi menyebabkan keributan kecil begitu gadis kecil itu tiba di rumah. Sang nenek yang tak diberi tahu sama sekali tampak sedih melihat cucunya yang kesulitan berjalan. Meski Pelangi mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Namun neneknya tak habis pikir mengapa ada anak kecil yang bisa bersikap kasar pada temannya sendiri. Untuk menyenangkan Pelangi, neneknya memasakkan makan malam dengan menu kesukaan anak itu. Sayangnya mereka hanya menikmati makan malam bertiga karena Sena yang ternyata harus pulang terlambat.

Ketika Sena tiba di rumah, ia pun dibuat terkejut melihat lutut Pelangi. Namun sebagai seorang ibu, Sena tidak ingin menunjukkan kepanikan pada putrinya. Justru Pelangi yang tiba-tiba menangis dalam pelukannya ketika sang ibu pulang. Padahal di depan yang lainnya anak itu terlihat begitu kuat.

“Mama …” isaknya.

“Sayang Mama. Masih sakit, tidak?” tanya Sena berusaha menenangkan putrinya. Pelangi menggeleng. “Mama mandi dulu, ya. Pelangi tunggu Mama di kamar, yuk.”

Sena menggendong putrinya yang seakan tak ingin lepas dari ibunya. Sekala dan ibunya menjadi penonton dari kehangatan ibu dan anak tersebut. Mereka cukup terkejut karena Pelangi yang langsung menangis di hadapan ibunya tapi tidak pada mereka. Mungkin karena bagi anak itu, Sena lah tempat berlindungnya. Meski ia tahu Sekala dan semua orang menyayangi dan menjaganya. Tapi bagi Pelangi, ibunyalah satu-satunya.

“Besok ada PR, tidak?” tanya Sena saat dirinya menghampiri Pelangi di ranjang setelah membersihkan diri.

“Tidak. Tapi kata Ibu Lila besok Mama harus datang ke sekolah.”

Sena mengerti. Arina sudah menjelaskan padanya lewat pesan. Perselisihan kecil antar teman mungkin terjadi di sekolah. Sena mengerti hal itu. Hanya saja ia tidak habis pikir mengapa anak sekecil Friska bisa memiliki rasa tidak suka berlebihan terhadap putrinya. Diantara semua teman Pelangi, hanya gadis itu yang kelihatannya tidak ingin berteman dengan Pelangi. Tanpa mau menjelaskan apa alasannya.

Tidak menyukai seseorang tanpa alasan bukan hal aneh. Tapi jika anak seusia Friska sudah memiliki perasaan itu, bukankah akan buruk untuk perkembangan anak tersebut. Mungkin dengan pertemuan besok, mereka bisa mengetahui alasan sikap Friska selama ini terhadap Pelangi.

“Mau baca cerita dulu sebelum tidur?”

“Mau dengar Mama nyanyi lullaby.”

“Oke, sini peluk Mama.”

Pelangi merapatkan tubuhnya pada sang ibu. Dekapan hangat Sena langsung membuatnya nyaman. Sena menundukkan wajah hingga dapat bertatapan dengan Pelangi. Jemarinya kemudian bergerak mengelus kepala sang putri. Setelahnya terdengar alunan lagu yang Sena dendangkan. Membuat Pelangi langsung merasakan ketenangan karena suara ibunya.

🎶You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You’ll never know dear, how much I love you
Please don’t take my sunshine away🎶

Sena terus bernyanyi hingga ia bisa mendengar napas teratur Pelangi menandakan putrinya sudah terlelap. Iapun berhenti bernyanyi. Mengusap lembut wajah sang anak yang begitu damai dalam tidurnya.

Sena tahu tidak mudah menjadi anak dengan orang tua tunggal seperti Pelangi. Anaknya tahu hanya Sena yang ia miliki sebagai orang tua. Namun begitu anak itu tumbuh menjadi anak yang peka dan penurut. Tak pernah Pelangi membuat Sena kesulitan selama membesarkannya. Pelangi adalah anak yang begitu pengertian. Melihat putrinya diperlakukan tidak baik oleh teman seusia tentu saja Sena merasa sedih. Padahal Pelangi adalah anak yang baik.

Hanya saja Sena tidak bisa berbuat kasar dan langsung menghakimi anak tersebut tanpa mengetahui alasan sikapnya. Sebagai orang dewasa mereka harus menunjukkan hal yang benar pada anak-anak. Ia tak bisa selalu mengawasi Pelangi. Dan tak bisa selalu mencegah hal yang terjadi seperti hari ini pada putrinya. Ia hanya bisa menjaga dan membuat Pelangi merasa aman dengan perlindungannya.

Sena hanya bisa berharap meski mendapatkan perlakuan tidak adil dari orang lain, Pelangi tidak akan menjadi pribadi yang berkecil hati. Pelangi tidak boleh menjadi anak yang membalas perlakuan orang lain dengan sikap yang buruk juga. Sena ingin Pelanginya menjadi pribadi yang hangat dan bersinar. Itu sebabnya ia berusaha sebaik mungkin dalam mendidik Pelangi. Karena bagi Sena dan keluarga, Pelangi tak hanya memberi warna bagi hidup mereka. Lebih dari itu, Pelangi adalah matahari kecil yang menghangatkan hati siapapun yang mengenal gadis kecilnya.

Note : selamat malam. makasih masih menunggu cerita ini. chapter kali ini kisah Pelangi dulu ya. Jangan cuma orang gede doang dapat jatah cerita, hahaha. part kali ini aku tulis berdasarkan pengalaman Aifa. Jadi Aifa itu di sekolah lama pernah punya teman yang semodelan Friska ini. Itu temannya Aifa kayak nggak suka banget sama Aifa. Gak mau temanan sama Ai. Bahkan dia kayak ketua geng cewek gitu di kelas yang maunya diturutin dan mendominasi. Uh, masih kecil jiwa bully-nya udah kelihatan ya. Bahaya emang anak kecil begitu. Untung Ai ini orangnya woles aja gak mau mikirin dan gak mau ribut sama temannya si ketua geng ini. Oh ya, part kali ini mau didedikasikan juga untuk yunitalestari858 karena kemarin ngetag di story ig pakai lagu yang mengingatkanku kalau ada lagu ini yang lumayan cocok buat anak-anak, hahaha. Makasih ya, Yun. Jadi ceritanya part ini memang terinspirasi dari lagu itu juga. Selamat membaca dan selamat istirahat.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Restricted area, 23/07/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top