Chapter 2 - Siap Dengan Konsekuensi

Menghadapi kenyataan tak terduga membuat Ibu Sena tak hanya lelah secara fisik tapi juga emosional. Putri satu-satunya yang selalu ia banggakan ternyata telah bertindak bodoh dengan mencoreng nama baik keluarga. Berkali-kali ia memikirkan di mana kesalahannya dalam mendidik Sena hingga gadis itu bisa lepas dari pantauannya. Tapi tidak ada satu pun jawaban yang didapatkan dari proses berpikir kerasnya.

Sekala yang baru keluar dari kamar adiknya segera menghampiri sang ibu yang masih terduduk di sofa. Tubuh wanita paruh  baya tersebut tampak semakin renta karena diguncang kenyataan yang menghantamnya. Sejujurnya Kala pun sama kecewanya. Ia masih belum ingin percaya adik kecilnya ternyata tak sepolos yang ia sangka selama ini. Baginya Sena adalah adik manis dan selalu patuh padanya. Jika ternyata Sena-nya tak semanis yang selama ini ia tahu, mungkin memang Kala telah lalai menjalankan tugasnya sebagai seorang kakak.

“Bu, istirahat ya di kamar,” bujuk Kala ketika sudah berada di sisi ibunya.

“Ibu masih nggak percaya, Mas. Kalau ini mimpi tolong bangunkan Ibu.”

Sekala tak bisa berkata apapun yang mampu menenangkan ibunya. Ia pun ingin sekali berharap bahwa apa yang mereka alami hari ini adalah mimpi. Ia pun ingin bangun dengan senyuman seperti biasa menyaksikan ibu dan adiknya dalam keadaan sehat. Tapi Kala sadar apa yang mereka alami bukanlah mimpi. Dan kenyataan pahit itu harus tetap mereka hadapi.

“Sekarang Ibu harus apa, Kal? Ibu masih marah sama Adikmu. Tapi Ibu juga menyayangi dia.”

“Kita hanya perlu terus berada di samping Sena, Bu. Jangan biarkan dia sendiri dan terpuruk. Sudah cukup dia berbuat bodoh dengan hamil di luar nikah. Orang lain boleh membencinya, boleh mencacinya. Tapi tidak dengan kita, Bu. Sena butuh kita. Hanya kita yang dia miliki. Ibu dan aku sayang sama dia. Karena itu kita harus terus ada di sisinya.”

Ibunya menatap Sekala dengan matanya yang tak bercahaya. Di tengah cobaan berat seperti saat ini pun anak lelakinya bisa bersikap begitu dewasa. Kehilangan sosok ayah di usia remaja menempa Sekala menjadi sosok yang bisa diandalkan. Walau putrinya memberi luka tak terhapus di hatinya, namun anak lelakinya mampu menyejukkannya. Tak terkira betapa ibunya bersyukur memiliki anak seperti Sekala.

“Ibu bersyukur punya kamu di saat-saat seperti ini. Kalau tidak, Ibu nggak yakin bisa bertahan.”

Sekala menarik tubuh ibunya ke dalam dekapan. Berusaha menyalurkan kekuatan yang masih ia miliki demi sang ibu. Mereka tak boleh terpuruk. Cukup Sena saja. Jika ia dan ibunya menyerah, maka Sena pasti akan semakin hancur. Dan Kala tidak menginginkan hal itu sampai terjadi. Adik dan ibunya adalah prioritas Kala saat ini untuk dijaga.

Ibunya kemudian menegakkan tubuh. Dengan langkah lemah sang ibu memasuki kamar Sena. Ingin menemui putrinya. Sebesar apapun kesalahan Sena, seorang ibu tetap tak punya hati untuk membenci darah dagingnya.
Saat tiba di kamar yang ia saksikan adalah tubuh Sena yang berbaring membelakangi pintu. Langkah sang ibu tampak berat ketika mendekati ranjang. Dengan hati-hati beliau duduk di tepian ranjang. Memandangi putri yang memunggunginya dengan mata yang kembali basah.

“Kamu tahu kalau kamu sudah mengecawakan Ibu dan Mas-mu. Tapi bukan itu yang paling membuat Ibu sedih. Bukan karena rasa kecewa yang Ibu rasakan. Yang paling Ibu nggak sanggup adalah bagaimana nanti kelak Ibu saat ketemuu Ayahmu. Apa yang akan Ibu sampaikan. Karena sudah gagal menjadikan putrinya seseorang yang bisa menjaga diri dan kehormatannya.”

Pundak Sena bergetar menandakan bahwa perempuan itu mendengar apa yang ibunya katakan. Namun Sena tak kuasa berbalik untuk menghadapi ibunya. jadilah ia hanya bisa berusaha menahan isak tangisnya.

“Belum lagi dengan gunjingan tetangga dan kerabat nantinya jika tahu kamu hamil di luar nikah. Ibu sanggup menghadapi semua omongan buruk mereka. Tapi Ibu nggak yakin akan sanggup menerima saat semua jemari mulai menunjuk ke arah kamu dan Mas-mu.”

Sekala, memikirkan sang kakak membuat rasa bersalah Sena makin menjadi. Rasanya ia ingin menghilang dari pandangan ibu dan kakaknya. Tapi ia juga tahu hal tersebut justru akan menambah beban bagi keluarganya. Sena bersalah, tapi ia juga tak ingin memutar waktu. Tak ada yang dapat ia lakukan. Penyesalan tak akan pernah mengembalikan waktu yang telah terlewati. Cukuplah ia menjalani hidupnya penuh rasa bersalah dengan membesarkan anak yang ada di kandungannya saat ini.

“Kecewa Ibu masih ada. Amarah pun belum bisa reda. Tapi Ibu cuma akan katakan ke kamu, mulai saat ini, tulikan telinga, tutup mata dari apapun perkataan dan perlakuan buruk yang akan orang-orang tujukan ke kamu. Apa yang kamu tanam, itu yang kamu tuai. Mulai sekarang siapkan hati dan pikiran kamu untuk menjadi lebih kuat. Lakukan demi anak yang akan menjadi tanggung jawabmu nanti.”

Lepas mengatakan apa yang perlu disampaikan, sang ibu beranjak keluar kamar. Meninggalkan Sena yang masih terisak mendengar nasihat sang ibu. Betapapun kecewanya sang ibu, beliau tetap tak bisa meninggalkan sang anak.
Sena memang sudah mencoreng arang di wajah sang ibu. Ia sudah melakukan dosa besar yang akan selalu membayangi hidupnya. Tapi dengan adanya dua orang tercinta di sisinya, Sena yakin ia bisa melanjutkan hidupnya. Ia tak butuh yang lain. Sena akan meninggalkan semua kenangan dan kebodohannya akan cinta pada Aditya. Saatnya ia membuka lembaran baru. Prioritasnya saat ini adalah menjadi ibu bagi anaknya demi membalas kekecawaan yang diraskan ibunya dan Sekala.

Keadaan di rumah masih terasa canggung. Memang ibunya dan Sekala telah menerima kondisi Sena. Tapi tak serta merta hubungan mereka kembali dekat seperti sebelum bencana yang Sena sebabkan. Meski suasana pasca konflik belum mencair sepenuhnya, paling tidak sikap dan perhatian yang ibunya dan Sekala tunjukkan membuat Sena tak merasa sendiri.

Tak hanya itu, ibunya dan Sekala pun mulai memerhatikan setiap hal yang dilakukan Sena. Mulai dari pergerakan juga asupan yang Sena butuhkan selama masa kehamilannya. Ibunya memang belum mau banyak berbicara seperti biasa, tapi beliau selalu memastikan Sena tak kekurangan apapun saat ini.

Usia kehamilan Sena yang terus bertambah membuat Sena tak lagi bebas untuk beraktifitas di luar rumah. Mereka masih bisa menyembunyikan kehamilannya. Meski begitu jarangnya Sena muncul di muka umum membuat para tetangga dan kerabat mulai berspekulasi. Kabar simpang siur pun mulai berembus. Namun baik Sena, ibunya dan Sekala tak mau ambil pusing. Mereka tetap berusaha menebalkan telinga dari segala berita miring yang memang nyata adanya.

Setiap paginya selepas subuh, Sekala akan membawa Sena untuk berjalan pagi. Namun tentu saja bukan di sekitar tempat tinggal mereka. Sekala membawa adiknya menuju taman kota yang jauh dari rumah mereka. Agar Sena dapat berjalan pagi dengan tenang tanpa harus khawatir bertemu dengan orang-orang yang mereka kenal di lingkungan tempat tinggal.

“Hari ini jadi mau cek kandungan?” Sekala bertanya sembari menemani Sena yang sedang berjalan santai mengelilingi track lari.

“Iya.”

“Ganti jadwal jadi malam ya. Biar Mas bisa temani kamu pulang kerja nanti.”

Sena menggigit bibirnya. “Enggak usah, Mas. Aku bisa sendiri.”

“Sen, Mas nggak mau bahayain kamu dengan naik taksi. Biar Mas yang antar malam nanti. Atau sore nanti akan Mas usahakan pulang lebih awal.”

Sekala tak ingin adiknya harus keluar dengan taksi. Harus berhadapan dengan orang-orang yang pasti akan memasang mata dan telinga untuk mencari tahu apa yang terjadi pada adiknya. Sekala hanya ingin melindungi sang adik dari segala kemungkinan buruk yang mungkin bisa terjadi saat berhadapan dengan para tetangga.

“Kamu lapar?” tanya Sekala ketika melihat adiknya sudah mulai bermandikan peluh.

“Makan di rumah saja. Mas kan harus ke kantor.”

Keduanya kemudian berkendara kembali ke rumah. Namun di tengah jalan, Sekala menghentikan mobilnya di depan sebuah penjual bubur ayam. Sejak tadi ia memerhatikan mata Sena tak lepas dari pedagang bubur ayam yang ada di taman kota tadi. Karena itu pria itu berniat membelikan makanan yang diinginkan adiknya.

“Makan di rumah saja ya,” ucap Sekala ketika menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam yang baru dibelinya pada Sena.

Bibir Sena mengembang membentuk senyuman saat menerima bungkusan tersebut. Semua itu tak lepas dari pengamatan Sekala. Setelah badai yang menerpa keluarga mereka, ini kali pertama lagi Kala dapat melihat adiknya tersenyum. Pria itu lantas mengelus lembut puncak kepala adiknya. Membuat Sena menatapnya penuh tanya.

Sore seperti yang dijanjikan, Sekala bergegas pulang ke rumah. Ia tak ingin membuat adiknya khawatir dan berakhir dengan pergi seorang diri menemui Dokter kandungan. Namun ternyata dugaannya tak terbukti. Nyatanya Sena sudah duduk manis di sofa ruang tamu menanti kedatanganya. Begitu mobil sang kakak memasuki pekarangan, Sena segera bergegas menemuinya.

“Sudah pamit sama Ibu?” tanya Sekala ketika Sena dengan wajah berseri memasuki mobil.

“Sudah.”

“Kalau gitu kamu tunggu di sini. Mas mau pamit sebentar sama Ibu.”

Beberapa saat kemudian Sekala kembali. Di tengah perjalanan, mereka berhenti sejenak untuk menunaikan kewajiban ketika adzan magrib berkumandang. Sena bukanlah orang yang menjalankan kewajiban imannya secara patuh seperti Sekala. Namun sejak hamil, ia pelan-pelan ingin mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Terutama hubungannya dengan Sang Pencipta. Karena ia sadar, ketika semua lepas dari genggamannya, hanya Sang Pencipta yang tak akan pernah melepaskannya.

“Mau makan malam dulu atau langsung ke Dokternya?” lagi, Sekala bertanya.

“Tadi sore sempat makan ringan, Mas. Jadi kita langsung ke Dokter aja ya. Tapi kalau Mas Kala lapar, kita bisa mampir dulu.”

“Kita periksa dulu. Nanti pulangnya kita bisa mampir ke tempat yang kamu mau.”

Sekala sangat mengerti selama masa kehamilannya Sena tak lagi memiliki kesempatan untuk bepergian bebas. Adiknya itu harus rela terkurung di rumah. Itulah salah satu konsekuensi yang harus Sena tanggung. Jenuh dan bosan mungkin menjadi bagian dari keseharian sang adik. Karena itu memilki kesempatan keluar seperti saat ini, Sekala ingin membuat adiknya merasakan sedikit kebebasan.

Setengah jam kemudian keduanya tiba di klinik. Seorang Dokter wanita paruh baya menyambut keduanya dengan wajah ramah. Sebelum Sena melakukan proses USG pada kandungannya, sang Dokter terlebih dahulu mengecek kondisi kesehatan Sena.

Pertama kali menyaksikan anak di dalam perutnya membuat mata Sena berkaca-kaca. Sebuah gambaran abstrak yang terlihat di layar benar-benar mampu membungkam Sena. Selama ini ia memang merasakan kedekatan dengan calon buah hatinya. Tapi ketika melihat dengan matanya sendiri janin yang sedang bertumbuh di rahimnya, benar-benar membuat Sena makin merasakan ikatan ibu dan anak. Bahkan Sena tak mampu membendung air mata harunya membuat sang Dokter tersenyum menyaksikan sang calon ibu.

“Calon bayinya sehat ya, Ibu. Meski belum terlihat jelas tapi saya yakin perkembangan si Adek nanti pasti akan lebih baik. Yang penting dijaga ya Ibu kandungannya. Jangan terlalu lelah, jangan berpikir yang berat-berat. Dinikmati saja masa kehamilannya. Bapak juga harus turut membantu ya,” pesan sang Dokter pada Sena dan Sekala.  Dalam pandangan sang Dokter mungkin Sena dan Sekala adalah pasangan suami istri.

Sang Dokter kemudian terus memberikan beberapa wejangan yang harus diperhatikan Sena. Tak lupa jadwal pemeriksaan selanjutnya. Juga menuliskan resep beberapa suplemen dan vitamin yang bisa Sena konsumsi demi membantu perkembangan janinnya.

“Untuk proses persalinan nanti, apa bisa Dokter juga mendampingi?” Sekala kemudian bertanya setelah sang Dokter selesai dengan wejangannya.

“Boleh. Kebetulan saya juga bekerja di salah satu Rumah Sakit. Bapak dan Ibu bsia datang untuk konsultasi ke sana,” balas sang Dokter sembari memberikan kartu namanya pada Sekala.

“Kalau begitu kami pamit ya, Dok. Terima kasih atas nasihat dan konsultasinya.”

Setelah berpamitan, Sekala menuntun adiknya keluar dari ruang praktik Dokter. Sena masih terpaku pada lembaran USG di tangannya. Senyuman tak lepas dari wajahnya kala memandangi gambar hitam putih yang ada pada lembaran tersebut. Bahkan ia tampak tak peduli dengan sekelilingnya. Beruntung Sekala tak melepaskan rangkulannya pada sang adik. Jika tidak mungkin Sena sudah akan terjatuh karena tak fokus pada sekitarnya. Perlakuan manis yang Sekala berikan membuat para calon ibu yang mengantri tampak iri. Berharap suami mereka pun memberikan perhatian yang sama seperti yang Sena dapatkan.

“Sen, fotonya disimpan dulu.” Sekala mengingatkan adiknya ketika keduanya sudah berkendara.

Seolah tak mendengar teguran sang kakak, Sena masih sibuk memandangi foto di tangannya. Ia masih saja takjub. Masih belum bisa percaya sepenuhnya bahwa saat ini ia sedang mengandung. Bahwa saat ini di dalam perutnya aka nada satu malaikat yang akan menemani hari-harinya nanti. Ia mengelus lembut perutnya yang sudah membesar.
Tahu jika adiknya tak akan mendengar ucapannya, Sekala hanya bisa menghela napas pelan. Sebelah tangannya kemudian mengelus puncak kepala Sena membuat adiknya langsung melayangkan tatapan bingung padanya.

“Kenapa?” tanya Sena dengan wajah bingung.

Sekala tersenyum. “Enggak apa-apa. Mas cuma senang lihat kamu bisa senyum lagi. Terus sehat dan bahagia sampai calon keponakan Mas lahir ya.”

Senyum Sena lantas semakin merekah. Ia mengangguk sebagai pertanda mengerti. Tak perlu lagi dirinya terus bergumul dalam rasa bersalah dan kesedihan. Ibunya dan Sekala sudah mampu menerimanya. Waktunya Sena bangkit untuk menjadi lebih kuat. Ia bersyukur Tuhan menganugerahkannya kakak lelaki terbaik seperti Sekala. Terlebih lagi nanti ia akan kembali memiliki satu malaikat yang akan menjadi alasannya untuk menjadi semakin lebih kuat. Sena makin tak sabar menunggu saat itu tiba.

Note : Halo semua. Selamat Tahun Baru ya, biarpun telat. Semoga Tahun ini menjadi lebih baik bagi kita semua.  Aamiin. Dan selamat membaca tulisan ini. Semoga ke depannya aku bisa lebih rajin lagi update-nya. Aamiin 😄

P.S : Makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 02/01/21











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top