Chapter 19 - Bersama Mencoba

Tangan kecil itu menggores kertas dengan sangat teliti. Akhirnya setelah hampir satu jam lamanya tugas Pelangi selesai juga. Gadis kecil itu seperti biasa merapikan peralatan sekolahnya. Memeriksa hingga tak ada satu benda pun yang tertinggal. Lalu menyimpan tas sekolahnya ke meja belajarnya.

Suasana rumah tampak sepi karena Sena bersama ibunya sedang berbelanja ke pasar. Akhir pekan ini tidak ada kegiatan apapun yang Sena janjikan padanya. Karena itu Pelangi memilih untuk mencari keberadaan Sekala.

Pelangi mengetuk pintu kamar Sekala namun tak ada jawaban darinya. Perlahan ia membuka pintu kamar, tetapi tak menemukan sosok pamannya di sana. Pelangi kemudian melangkah menuju ruang tv. Lagi-lagi tetap tak menemukan Sekala di sana.

“Om Kal di mana?” panggil Pelangi dengan suara yang cukup keras.

“Di beranda samping, sayang.”

Mendapat jawaban Pelangi bergegas menuju beranda samping. Di mana biasa mereka bersantai saat hari sedang sejuk. Sekala duduk di sofa dengan laptop di pangkuan. Tampaknya pria itu sedang mengerjakan sesuatu.

“Om Kal sedang apa?” tanya Pelangi ketika dirinya sudah duduk di sofa yang sama dengan Sekala.

“Sedang membaca berita, Nak. Pelangi sudah selesai mengerjakan PR-nya?”

Pelangi mengangguk. “Om Kal?”

Sekala menatap keponakannya dengan senyum yang tak lepas dari wajah. Setiap kali melihat gadis kecil itu, perasaan Sekala memang selalu melembut.

“Ada apa?”

“Pelangi mau jajan, boleh?”

“Tanya Mama dulu, ya.”

Pelangi mengangguk. Sekala lalu menghubungi Sena dengan ponselnya. Saat sudah tersambung, ia segera memberikan benda tersebut pada Pelangi. Sementara Pelangi sedang berbicara dengan ibunya, Sekala melanjutkan melihat-lihat berita online di laptopnya. Beberapa saat kemudian Pelangi menutup sambungan dan memberikan ponsel pada Sekala.

“Mama bilang apa?”

“Mama kasih izin. Pelangi boleh jajan tapi tidak boleh berlebihan.”

“Oke. Pelangi mau jajan apa?”

Anak itu tampak berpikir. “Siomay boleh, Om Kal?”

“Boleh. Ayo jajan siomay.”

Keduanya meninggalkan rumah dengan berkendara. Sekala sudah meninggalkan pesan pada Sena akan membawa Pelangi untuk berwisata kuliner berdua. Meski rumah terkunci ia tak khawatir karena Sena selalu memegang kunci cadangan.

Berkendara berdua bersama Pelangi tak pernah membosankan bagi Sekala. Keponakannya yang selalu ingin tahu dan banyak bertanya membuat perjalanan mereka tak pernah sepi. Sekala akui kadang meladeni pertanyaan gadis kecil itu butuh kesabaran besar. Pelangi adalah tipikal anak aktif yang selalu ingin tahu dan tidak bisa diam. Hanya saat diberi kegiatan seperti membaca dan menggambar baru anak itu akan duduk diam.

“Itu warung siomay-nya, Om Kal,” tunjuk Pelangi pada warung jajanan yang sering mereka singgahi.

“Sebentar kita parkir kendaraan dulu, ya.”

Sekala membantu Pelangi saat akan keluar dari mobil. Keduanya berjalan bergandengan memasuki warung. Sang pemilik yang cukup mengenal wajah keduanya menyapa ramah Sekala dan Pelangi.

“Mau pesan apa?” tanya sang pemilik warung.

“Siomay, Pak. Tidak pedas, ya.” pinta Pelangi membuat sang pemilik tersenyum pada anak itu.

“Saya juga pesan siomay yang pedasnya sedang saja ya, Pak.”

“Baik, Mas. Minumnya mau apa?”

“Air putih saja.”

Pelangi terlihat cemberut saat Sekala langsung meminta diberikan air putih.

“Pelangi mau teh botol, Om Kal,” pintanya.

“Air putih lebih bagus, sayang.”

“Sekali ini saja. Boleh, ya? Pelangi mau teh botol.”

Baik Sekala dan pemilik warung gemas melihat permintaan Pelangi. Pada akhirnya Sekala mengabulkan keinginan Pelangi. Membuat anak itu tersenyum lebar.

“Terima kasih, Om Kal.”

Sekala hanya bisa mengelus lembut kepala keponakannya. Anak itu selalu bisa membuat orang-orang luluh dengan sikap manisnya.

Di saat yang sama Aditya dan Netta sedang berkendara. Wanita itu tiba-tiba saja merasakan ngidam seperti ibu hamil pada umumnya. Namun Netta belum memutuskan apa yang ingin ia makan. Sampai ketika matanya terpaku pada warung siomay yang kelihatan ramai. Netta pun meminta Aditya untuk berhenti di warung tersebut.

Saat memasuki warung, nafsu makan Netta tiba-tiba saja semakin tak tertahan. Terlebih saat matanya menangkap satu-satunya anak kecil yang terlihat begitu menikmati sepiring siomay. Wajah anak perempuan tersebut seperti tak asing bagi Netta. Ia merasa pernah melihatnya namun ia lupa kapan dan di mana.

Ternyata tak hanya Netta yang tengah memerhatikan Pelangi. Tatapan Aditya pun jatuh pada gadis kecil itu. Tanpa sadar sudut bibirnya membentuk senyuman. Tampaknya takdir benar-benar sedang bermain dengan mereka.

“Ayo duduk,” ajak Aditya membawa Netta ke meja yang hanya berjarak beberapa meja dari Sekala dan Pelangi.

Netta langsung memesan siomay dan batagor yang menggugah seleranya. Sementara Aditya hanya memesan minuman saja. Selagi menunggu pesanan mereka diantarkan, Netta mencuri pandang pada meja Pelangi.

“Anak kecil itu seperti nggak asing ya, Mas?” bisik Netta.

Aditya hanya menjawab berupa gumaman seraya melirik sekilas ke meja Pelangi. Andai Netta tahu jika sang suami dan anak perempuan itu terhubung ikatan darah, entah bagaimana wanita itu akan bereaksi.

Di meja mereka, Pelangi dan Sekala sudah menghabiskan makanannya. Keduanya kini hanya menunggu sesaat untuk makanan yang baru masuk ke perut mereka untuk dapat dicerna dengan baik

“Om Kal?”

“Ya, Pelangi?”

“Om Kal dan Ibu Arina mau menikah, ya?”

Sekala terkejut mendengar ucapan keponakannya. “Pelangi dengar darimana?”

“Mama.” Pelangi menyeruput minumannya. Kemudian melanjutkan. “Waktu Pelangi, Mama dan Bu Arina makan donat di gerai kopi. Mama sebut Om Kal dan Bu Arina. Terus Mama sebut soal menikah juga.”

Sekala merapikan anak rambut Pelangi yang berantakan. Sekala sering kali dibuat tidak bisa berkata-kata ketika menghadapi rasa ingin tahu anak itu.

“Om Kal mau menikah?”

“Bukan,” jawab Sekala sambil tertawa kecil.

“Tapi Mama mau Om Kal menikah dengan Bu Arina.”

“Jangan dipikirkan, ya. Itu masalah orang dewasa.”

“Kenapa? Pelangi suka kalau Om Kal menikah. Nanti Om Kal ada temannya. Kata Nenek Om Kal sendiri terus nggak ada temannya.”

Suara Pelangi yang cukup keras ternyata di dengar orang-orang yang mejanya berdekatan dengan mereka. Bahkan Aditya dan Netta pun mendengar ucapan anak itu. Membuat Netta menahan tawanya agar tak terdengar. Ia benar-benar salut pada keberanian dan kepolosan Pelangi.

“Pelangi, Om Kal akan menikah. Tapi nanti.”

“Sama Ibu Arina?”

Mata polos penuh keingintahuan itu benar-benar membuat Sekala tak berkutik. Jika sudah begini, Pelangi sangat mirip dengan ibunya. Mata Sena akan berbinar penasaran jika ia sudah tertarik pada satu hal. Dan Sekala tahu dirinya tak akan pernah bisa menang melawan tatapan itu.

“Sudah dihabiskan minumannya? Kita pulang, ya?” Sekala sengaja mengalihkan pembicaraan agar anak itu tak lagi bertanya tentang pernikahan.

Pelangi menjawab dengan anggukan. Sekala pun segera meminta tagihan pada sang pemilik. Setelah membayar makanan, ia menggandeng Pelangi keluar dari warung makan tersebut. Kepergian kedua orang yang tampak tidak asing tersebut membuat Netta tak lepas menatap keduanya.

“Pelangi itu nama anak yang pernah kita temui di taman saat olah raga dulu kan, Mas?” gumam Netta tiba-tiba.

Aditya tiba-tiba terkesiap. Ia mencoba memutar ingatannya akan pertemuan mereka.

“Mungkin,” jawabnya kemudian.

“Anak itu pintar banget, ya. Bikin gemas. Orang tuanya hebat sekali bisa mendidik dia jadi seperti itu. Aku juga mau punya anak seperti Pelangi. Semoga nanti saat anak kita lahir, aku bisa mendidik dia biar pintar seperti Pelangi, ya.” Netta mengelus perutnya sambil tersenyum bahagia.

Aditya tentu saja terperanjat mendengar ucapan Netta. Menginginkan anak seperti Pelangi. Sebuah ironi yang membuat siapapun pasti tertawa jika mengetahui kebenaran dibalik asal usul gadis kecil itu. 

Netta yang tak merasakan perubahan sikap Aditya terus membicarakan hal tentang anak mereka nanti. Meski tak mendapat balasan antusias dari Aditya, ia tetap tak menyerah. Baginya sikap Aditya memang memberi tanda tanya. Namun Netta yakin seiring waktu nanti pria itu akan menunjukkan sikap yang lebih baik lagi sebagai seorang ayah.

Sekala melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul dua siang. Saat ini Sekala sedang menunggu pelayan toko mengemas hadiah yang dibelinya. Sebuah perlengkapan untuk bayi. Seorang teman SMA mengundangnya untuk perayaan kelahiran anaknya. Sekala ingin menolak. Namun ibunya dan Sena memaksa Sekala untuk pergi. Pria itu harus sering berkumpul bersama teman-temannya agar tak terus menyendiri. Alasan lain tentu Sena dan ibunya berharap Sekala akan bertemu dengan Arina di sana. Agar hubungan keduanya semakin dekat.

Setelah berkendara hampir satu jam, akhirnya Sekala tiba di kediaman Ridwan, teman yang mengundangnya. Beberapa kendaraan sudah terparkir di halaman dan bahu jalan depan rumah Ridwan. Namun diantara kendaraan tersebut, Sekala tak melihat motor milik Arina. Mungkin wanita itu belum datang, pikirnya.

Kehadiran Sekala membuat teman-temannya tampak terkejut. Mereka tahu jika pria itu sangat jarang mau menghadiri acara seperti ini. Bahkan acara reuni tahunan pun Sekala sering absen menghadirinya. Karena itu melihat Sekala datang, beberapa dari mereka langsung bersorak girang.

Setelah memberikan hadiah pada Ridwan dan istrinya, Sekala bertukar sapa dengan teman-temannya yang lain. Saat tengah berbincang itulah, Sekala menyadari jika Arina ternyata sudah berada di sana. Wanita itu tampak larut dalam perbincangan dengan teman-teman wanitanya.

“Rin, kapan dong giliran kamu? Masa belum nikah juga? Umur kamu sudah banyak, loh. Yang lain sudah pada punya anak. Bahkan ada yang sudah remaja anaknya. Masa kamu mau sendiri terus.” Salah satu teman Arina bersuara.

Arina menanggapi dengan tersenyum saja. “Mungkin belum jodohnya.”

“Ya makanya usaha, Rin. Kamu kan nggak mau disebut perawan tua. Padahal kamu cantik loh, Rin. Masa nggak ada yang tertarik?” sahut temannya yang lain yang memang terkenal bermulut tajam sejak SMA.

“Atau mau aku bantu carikan, Rin? Tapi ya jangan banyak maunya ya. Secara umur kamu kan nggak muda lagi.”

Lagi-lagi Arina hanya bisa tersenyum mendengar ucapan teman-temannya. “Enggak usah. Biar tangan Tuhan saja yang bekerja. Kalau sudah waktunya nanti pasti ketemu.”

Mendengar jawaban Arina, teman-temannya pun memutuskan berhenti untuk membicarakan perihal pernikahan. Meski beberapa dari mereka masih terus berusaha mempengaruhinya. Bahkan terang-terangan memberi tatapan miris padanya karena belum juga menikah. Arina hanya bisa menampilkan wajah tenangnya. Berusaha untuk sabar dengan tidak memasukkan ucapan menyakitkan mereka ke dalam hati.

Pembicaraan itu ternyata menarik perhatian Sekala. Meski di tengah suasana yang cukup riuh karena saling berbincang. Suara para wanita tersebut dapat terdengar jelas dari tempatnya duduk. Diam-diam ia mencuri pandang pada wajah Arina yang sejak tadi terus mengulas senyum.

“Kal, kapan kita dengar kabar baik dari kamu?” tanya seorang teman mengalihkan perhatian Sekala.

Alhamdulillah. Saya masih sehat dan baik setiap harinya.”

Teman-teman Sekala terperangah mendengar jawaban darinya. Tak pelak mereka tertawa karena sikap santai Sekala yang sengaja tak peduli dengan maksud pertanyaan mereka.

“Nikahnya kapan, Kal?”

“Nanti kalau sudah waktunya.”

Setelah menghabiskan waktu selama satu jam, Sekala berpamitan pada sang  pemilik acara. Ridwan mengucapkan terima kasih atas kesediaan pria itu untuk datang. Namun saat Ridwan berniat mengantarkan Sekala ke depan pintu, pria itu malah berjalan menghampiri Arina dan teman-teman wanitanya.

“Kamu pulang naik apa?” tanya Sekala tanpa tedeng aling.

Serentak orang-orang yang mendengar ucapan Sekala menunjukkan keterkejutan. Jangankan teman-temannya, Arina pun dibuat terkejut dengan kehadiran Sekala yang tiba-tiba di hadapan mereka.

“Aku naik taksi, Kal.”

“Pulang sekarang mau? Sekalian sama saya daripada harus naik taksi.”

Arina mengerjap seraya menatap Sekala. Tidak ada raut tak sabar yang ditunjukkan pria itu karena Arina yang tak juga menjawab pertanyaannya. Sampai ketika beberapa temannya memanggil namanya, Arina baru tersadar dari keterkejutannya.

“Oh. Aku pamit duluan, ya,” ucapnya pada teman-teman yang lain.

Sekala hanya mengangguk kecil pada mereka kemudian berjalan menuju pintu. Arina segera berdiri dan mengikuti Sekala yang langkahnya cukup lebar hingga wanita itu kesulitan mengimbangi. Kepergian mereka tentu saja membuat teman-teman yang masih tinggal bertanya-tanya. Apa gerangan hubungan Sekala dan Arina. Mereka tidak terlihat dekat tapi juga tidak terlihat asing satu sama lain.

Berada berduaan dengan Sekala di dalam mobil membuat Arina tak tenang. Wanita itu mengeratkan genggaman tangannya demi menetralkan jantungnya yang menggila. Beberapa kali ia melirik Sekala dari ujung mata namun pria itu tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia tetap tenang mengendalikan kemudinya.

“Kenapa nggak membalas ucapan kasar mereka tadi?”

Sekala yang tiba-tiba bersuara mengejutkan Arina. Ia segera menoleh menatap pria itu yang tetap menatap lurus jalanan.

“Hah?”

“Tadi mereka bicara kasar sama kamu tentang pernikahan. Kenapa tidak membalas?” Sekala bertanya kembali.

Arina mengalihkan pandangan menatap lurus jalanan seperti Sekala. Bukan ia tak ingin membalas. Tapi Arina merasa percuma jika harus berdebat dengan orang-orang berpikiran sempit seperti mereka. Orang-orang yang hanya bisa berbicara tanpa memilah apakah ucapannya akan menyakiti orang lain atau tidak.

“Buat apa? Sebagian besar yang mereka katakan benar adanya. Kalau aku ini perawan tua yang sampai sekarang belum juga menikah. Memangnya mereka tahu apa? Apa mereka pikir aku nggak kepikiran untuk menikah? Apa mereka pikir orang tuaku nggak berharap anak perempuannya bisa segera menikah? Mereka hanya bisa bicara tanpa tahu perasaan orang lain.”

Arina merasa dirinya sedang berkeluh kesah. Ia sendiri bingung mengapa berani berucap seperti itu pada Sekala. Ucapan teman-temannya yang berusaha tidak ia ambil hati ternyata berdampak juga pada perasaannya. Dan lebih gilanya ia justru melampiaskannya pada Sekala.

“Mereka memang nggak akan pernah tahu perasaan orang lain. Tapi apa nggak bisa mereka bersimpati dan nggak menyinggung perasaan orang lain?” mata Arina tiba-tiba memerah. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangan. “Maaf, Kal. Aku malah ngeluh ke kamu.”

Bukan Arina tak memikirkannya. Orang tuanya pun bukan tak pernah bertanya. Namun Arina tahu orang tuanya tak ingin mendesaknya untuk segera menikah. Mereka tak ingin membebani Arina dan berakhir dengan menyakiti perasaan anaknya.

Sekala menghentikan kendaraannya di tepi jalan dengan tiba-tiba. Membuat Arina akhirnya menaikkan pandangan.

“Kenapa berhenti?” tanyanya.

Sekala tak menjawab. Hanya memberikan selembar tisu pada wanita itu. Arina yang merasa malu pada Sekala kembali menundukkan pandangan. Mengambil tisu yang diberikan Sekala seraya menggumamkan terima kasih.
Menit berlalu namun tak satu pun dari mereka bersuara. Arina masih terus menunduk menyembunyikan wajahnya. Sedang Sekala kini hanya menatap wanita itu dengan kernyitan di dahi.

“Kamu mau menikah?” ucap Sekala tiba-tiba. Arina seketika menoleh padanya.

Pertanyaan Sekala menyebabkan gelombang dahsyat dalam hati Arina. Perempuan mana yang tidak ingin menikah. Tentu saja dirinya pun menginginkan hal itu.

“Menikah bukan perkara mudah, Kal,” ucap Arina kemudian.

“Saya tahu. Tapi bukan perkara sulit juga jika dijalani dengan benar.”

“Menikah bukan perkara benar atau salah, Kal. Untuk menikah dua orang harus saling mengerti. Juga, pernikahan harus didasari atas cinta.”

“Saya tahu. Tapi cinta bukan segalanya dalam pernikahan.”

“Sekala?”

Sekala mengetukkan jemarinya di kemudi menghasilkan bunyi konstan yang mengisi keheningan dalam mobil.

“Beberapa waktu ini Ibu dan Sena terus bertanya perihal pernikahan pada saya. Kamu juga pasti mengerti maksud saya, kan?”

Tatapan lurus Sekala padanya membuat Arina gugup. Wanita itu seketika menundukkan kepalanya.

“Kamu bilang pernikahan butuh cinta. Tapi buat saya, cinta bukan dasar dalam pernikahan. Seperti yang kamu katakan tadi, dua orang yang menikah harus memiliki pengertian satu sama lain. Selain saling mengerti, dua orang yang akan menikah harus saling menerima satu sama lain. Menurut saya itu yang paling utama. Cinta bisa dibangun seiring waktu dengan kebersamaan sebagai pasangan. Tapi penerimaan akan menjadi dasar yang kuat bagi mereka yang ingin sama-sama mengarungi bahtera rumah tangga.”

Pikiran Arina berkecamuk. Berusaha mengerti maksud ucapan Sekala. Meski ia tahu secara harfiah. Namun ia tak dapat menebak arah tujuan ucapan Sekala.

“Sekala, aku nggak ngerti …” ucap Arina dengan tatapan bingung.

Sekala balik menatap Arina dengan serius. “Kamu dan saya, kita bisa mencobanya, kan?”

“Mencoba?”

“Menikah.”

Arina terkesiap. Jantungnya makin menggila. Apa ini sebuah lamaran? Namun seketika Arina tersadar akan sesuatu. Ia menggeleng kecil masih tetap memberanikan diri menatap Sekala.

“Pernikahan bukan hal yang harus dicoba. Pernikahan adalah ikatan sakral,” balas Arina dengan nada serius.

Sekala mengulum senyumnya. Tangan pria itu terulur untuk mengelus lembut puncak kepala Arina. Membuat wanita itu hampir menahan napasnya.

“Bukan pernikahannya, Arina. Tapi mencoba untuk saling mencintai.”

Tak bisa dikatakan bagaimana perasaan Arina saat ini. Ia merasa telinganya sedang bermasalah. Apa benar yang diucapkan Sekala? Mereka mencoba untuk saling mencintai. Apa bisa?

“Bagaimana kalau nggak berhasil? Apa dengan begitu kita harus berpisah?” Arina menyuarakan kekhawatirannya.

“Karena itu kita harus sama-sama membuatnya berhasil. Kamu mau mencoba?”

Arina tahu Sekala adalah pria yang bertanggung jawab. Ia tahu pria itu tidak akan menyakitinya. Seperti yang Sena katakan, Sekala adalah pribadi yang akan menghormati orang lain khususnya wanita. Karena ia tak ingin apa yang menimpa adiknya terjadi pada perempuan lainnya.

Tanpa sadar Arina mengangguk. Meski ada kekhawatiran di sudut kecil hatinya, namun Arina ingin mencoba. Ia ingin membuktikan apa yang Sekala katakan bahwa mereka harus bersama-sama membuatnya berhasil. Mencintai Sekala sudah sejak lama wanita itu lakukan. Mungkin ini saatnya ia membuat pria itu berbalik dan menatapnya. Membalas cintanya. Kesempatan tak akan datang dua kali. Arina tak akan tahu hasilnya jika ia tak memberanikan diri untuk mencoba.

Note : selamat malam. maaf updatenya terlalu lama. Kali ini part khusus Om Kal semua nih. Gimana buibu? Sudah puas sama kisah Om Kal dan Bu Arina gak?

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Restricted area, 21/07/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top