Chapter 17 - Mulai Bergerak

Rian tak bisa menunggu. Jika ia tidak segera mengambil tindakan, maka tak akan ada kemajuan dalam usahanya. Dalam cinta, harusnya Rian tak banyak berpikir. Cukup bergerak dan menunjukkan kesungguhan perasaannya pada Sena. Maka wanita itu akan melihat perasaannya.

Sayangnya semua rencana yang sudah Rian pikirkan untuk hari ini harus gagal. Pasalnya sang ibu meminta Rian untuk menjemput Meisya. Padahal ia sudah merencanakan untuk mengajak Sena makan malam. Namun mamanya memberikan perintah yang tak bisa dibantah. Jadilah Rian harus membatalkan niatnya menemui Sena.

“Maaf ya, Kak Rian kalau merepotkan,” ucap Meisya saat memasuki mobil Rian.

Rian tak menjawab. Hanya mengangguk kecil seraya menjalankan kendaraannya. Bukan rumah yang menjadi tujuan mereka, tapi restoran milik keluarga Rian. Mamanya memang sengaja ingin mengadakan makan malam bersama. Meski Rian tahu ada maksud lain dibalik acara tersebut.

Kedatangan keduanya sudah dinantikan oleh Mama Rian. Beliau langsung tersenyum senang ketika melihat Rian dan Meisya berjalan bersisian. Tanpa menunggu waktu lagi, mereka langsung menyantap hidangan yang disajikan.

“Yan, kamu kan sudah cukup umur ya. Mama sudah nggak sabar mau lihat kamu nikah.”

Ucapan mamanya tanpa tedeng aling membuat Rian hampir tersedak makanannya. Kedua orang tua mereka tertawa melihat Rian. Sementara Meisya tersenyum malu karena godaan dari Aruna yang menyenggolnya pundaknya.

“Ma …”

“Mama nggak usah pakai kode-kodean ya, Yan. Mama rasa kamu sama Meisya itu cocok.”

Semua orang tak sabar menanti jawaban Rian. Sementara pria itu kini sedang berusaha merangkai kata untuk dapat menolak dengan baik-baik keinginan mamanya.

“Yan?”

“Ma, maaf. Tapi saat ini Rian sedang mendekati seseorang.”

Suasana seketika hening. Semua orang kini menatap Rian ingin tahu. Terutama Meisya yang seketika hatinya seperti dicabik saat mendengar ucapan Rian. Wanita itu berusaha sekuat hati untuk menahan agar dirinya tak menangis.

“Rian? Kamu nggak bohong, kan? Ini bukan alasan kamu untuk menolak rencana perjodohan yang Mama dan Tante Leni sepakati, kan?”

Rian menatap serius sang mama. “Rian nggak bohong, Ma. Sekali lagi Rian mohon maaf tidak bisa mengabulkan keinginan Mama dan Tante Leni.”

Semua orang kehilangan selera makan. Mereka mengakhiri acara tersebut dengan cepat. Meisya dan orang tuanya yang kecewa segera berpamitan pada keluarga Rian. Meski tampak baik-baik saja, namun siapapun bisa melihat bahwa hubungan kedua keluarga seketika mendadak tidak nyaman.

Dalam perjalanan pulang, Meisya berusaha menahan tangisnya. Ia yang duduk di kursi belakang menutup mulut dengan kedua tangan agar isakan yang berusaha ia tahan tidak terdengar oleh orang tuanya. Begitu tiba di rumah, Meisya langsung berlari menuju kamarnya. Mama dan papanya hanya bisa menatap sang putri dengan pandangan sendu.

Keadaan Rian sendiri pun tak jauh berbeda. Ia kini berhadapan dengan keluarganya yang terlihat kecewa karena kenyataan yang disampaikan Rian. Terutama mamanya yang merasa bersalah pada Meisya karena memberi harapan pada wanita itu.

“Yan, Mama masih nggak percaya.”

“Ma, Rian nggak bohong. Saat ini ada satu perempuan yang Rian sukai. Dan Rian berniat untuk menjalin hubungan serius dengan dia.”

“Tapi kalau nggak berhasil bagaimana? Terus seperti apa perempuan itu? Bagaimana dengan keluarganya?”

“Ma, saat ini Rian sedang berusaha. Kalau nanti sudah pasti, Rian akan kenalkan ke Mama dan Papa.”

Mamanya masih tampak belum terima. “Mama sudah cocok sama Meisya loh, Yan.”

“Ma, menikah itu perkara besar. Untuk yang satu ini, tolong percayakan dulu sama Rian. Kalau memang nanti Rian tidak berjodoh …”

“Kamu setuju sama pilihan Mama?” sambar mamanya penuh semangat.

Rian mengembuskan napas pelan. “Ma, Rian nggak punya perasaan apapun ke Meisya. Karena kita sudah terlalu lama kenal, Rian anggap Meisya nggak berbeda dengan Aruna. Seperti adik yang Rian jaga. Karena itu Rian rasa akan sulit kalau Mama minta Rian mencoba dengan Meisya.”

Aruna yang sejak tadi hanya menjadi pendengar merasa kasihan pada sang sahabat. Ia tahu perasaan tak akan bisa dipaksakan. Namun tetap saja mendengar penolakan langsung dari kakaknya membuat ia turut bersedih untuk Meisya.

“Kak Rian, Meisya sudah suka sama Kakak dari dulu, loh,” ujar Aruna.

“Kak Rian tahu, Runa. Tapi maaf untuk Meisya dan perasaannya. Kakak benar-benar tidak bisa mencoba kalau akhirnya hanya akan bikin Meisya tambah sakit hati.”

“Rian, untuk sekarang Mama hanya akan menunggu kamu. Tapi kalau ternayata calon yang kamu hadirkan tidak membuat Mama puas, kamu tahu kan konsekuensinya? Mama tidak akan bisa terima dia begitu saja.”

Ultimatum dari mamanya benar-benar menyudutkan Rian. Saat ia sendiri masih belum pasti akan perasaan Sena dan status wanita itu. Mamanya malah memberikan syarat yang tak mudah bagi Rian.

“Ma, Rian yakin perempuan ini adalah yang terbaik dari yang ada.”

Rian tak memperpanjang lagi. Ia memilih berpamitan pada kedua orang tuanya untuk kembali ke kediamannya sendiri. Meski tahu masih ada raut tak puas yang terpancar di wajah keluarganya. Rian tidak ingin ambil pusing. Keputusannya untuk jujur adalah pilihan tepat saat ini. Ia tak ingin Meisya dan kedua orang tuanya terlalu berharap. Rian punya keinginannya sendiri. Meski menyakitkan bagi mereka, namun Rian tidak mungkin memberi mereka harapan palsu.

Rian tahu keputusannya akan menimbulkan masalah bagi kedua keluarga. Namun Rian juga tak ingin menyerah dengan perasaannya. Ia hanya akan memilah semua satu persatu. Setelah itu Rian akan menyelesaikannya. Ia yakin tidak ada masalah yang tak bisa diselesaikan. Asalkan ada kemauan, maka pasti ada jalan.

Prinsip aksi dan reaksi tak hanya terjadi dalam hukum fisika. Namun dalam dunia percintaan, hal itu pun tak akan pernah lepas. Setelah kemarin malam Rian sudah memberikan pernyataan pada orang tuanya. Kini waktunya Rian menunjukkan kesungguhan pada Sena.

Ia sengaja menunggu hingga waktu bekerja Sena usai. Saat melihat wanita itu bersiap untuk pulang dengan motornya, Rian langsung menghampiri. Kehadiran pria itu yang tiba-tiba tentu membuat Sena terkejut. Beberapa rekan kerja yang kebetulan berada di parkiran pun tampak ingin tahu melihat Sena dan salah satu klien tetap mereka berduaan.

“Pak Rian?”

“Sekarang bukan jam kerjanya Mbak Sena, jadi tolong jangan panggil saya pakai ‘Pak’,” pinta Rian.

Sena hanya tersenyum menanggapi. “Oke, Rian. Jadi, ada gerangan apa kamu tiba-tiba muncul di sini?”

“Boleh saya minta waktunya Mbak Sena?”

Sena tak memiliki kegiatan lain. Ia juga tak harus menjemput putrinya. Saat ini ia hanya ingin langsung pulang ke rumah. Lalu bermain dengan Pelangi. Namun melihat wajah Rian yang tampak serius, Sena pikir ada hal penting yang ingin pria itu sampaikan padanya. Meski ia tak dapat menebak apa gerangan hal tersebut.

“Boleh. Tapi kita mau bicara di mana?”

“Mbak Sena bisa tinggalkan motornya di toko dan ikut dengan mobil saya?”

Sena tahu meninggalkan kendaraannya di toko bukan hal yang sulit. Keamanan toko mereka cukup terjamin. Karena itu Sena setuju dengan permintaan Rian. Entah mengapa ia bisa begitu bertoleransi terhadap pria yang lebih muda darinya ini. Mungkin karena mereka sudah cukup sering berinteraksi dalam bekerja. Hingga Sena tak merasa keberatan dengan permintaan Rian yang menurutnya sedikit aneh.

Sena memerhatikan sekelilingnya. Bukan restoran atau kafe tempat yang dipilih Rian untuk berbicara dengannya. Melainkan taman kota. Padahal saat ini suasana taman sedang ramai dengan orang-orang yang bersantai dan berolah raga sore. Namun Sena tak ingin bertanya. Mungkin memang hal yang ingin bicarakan terkait dengan pekerjaan. Jadi tak masalah jika mereka membicarakannya di ruang publik seperti taman.

“Mbak Sena, haus?”

Pertanyaan yang dilontarkan Rian menurut Sena sangat aneh. Wanita itu menjawab dengan gelengan. Kemudian keduanya kembali diam sambil duduk berdampingan di sebuah bangku taman.

“Rian, apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Sena setelah hampir sepuluh menit pria itu tidak juga bersuara.

Andai Sena tahu jika saat ini jantung Rian berdegup kencang. Mungkin wanita itu akan mengira jika Rian sedang mengalami penyakit jantung.

“Mbak …”

“Ya?”

Rian mengembuskan napas panjang. Ia tidak ingin berbasa-basi. Rian tiba-tiba beranjak dari bangku kemudian berdiri di hadapan Sena. Membuat Sena mengerjapkan mata seraya menatap bingung pada Rian.

“Rian?”

Rian menatap intens Sena. “Saya cinta sama Mbak Sena.”

“Apa?”

“Sejak dulu. Saat kita masih SMA. Tapi saat itu saya nggak punya keberanian. Sampai bertahun saya pikir saya bisa melupakan rasa cinta itu. Saya pikir itu hanya cinta monyet yang akan menghilang seiring waktu. Tapi saat akhirnya kita ketemu lagi, saya tahu perasaaan itu masih mengakar di hati saya.”

Sena terperangah dengan bibir yang separuh membuka. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang baru didengarnya dari Rian. Semua begitu cepat seperti mimpi. Tapi ketika Sena mengerjap, Rian masih ada di hadapannya.

“Kamu bercanda, ya?” balas Sena berusaha mencairkan suasana.

Mungkin Rian memang hanya bercanda. Namun tatapan pria itu sama sekali tak berubah. Mata itu masih memancarkan keseriusan. Membuat Sena tiba-tiba merasa gugup.

“Saya tidak bercanda. Mbak Sena boleh tidak percaya. Tapi perasaan saya benar-benar dari hati. Saya juga pernah berusaha menemukan cinta yang lain. Tapi semua tidak bertahan. Sampai saya ketemu Mbak lagi. Saya merasa ini jalan yang diberikan Tuhan untuk saya. Ini waktunya saya membuktikan perasaan saya pada Mbak.”

Sena ingin bicara, namun ia seperti kehilangan kemampuannya. Pengakuan Rian benar-benar mengejutkannya.

“Mbak, saya lakukan ini bukan semata hanya untuk pengakuan cinta. Tapi saya berharap Mbak Sena adalah pelabuhan terakhir untuk saya. Di umur kita saat ini, saya tidak mencari kekasih. Tapi pendamping yang siap menemani saya sampai akhir hayat. Dan saya berharap kalau itu adalah Mbak Sena.”

Ini pertama kalinya bagi Sena mendapatkan pengakuan dari pria. Tak hanya itu, tapi ini pertama kalinya seorang pria terlihat bersungguh-sungguh untuknya. Pengalaman cinta masa lalu yang Sena miliki tidak pernah berjalan lancar. Hingga saat dirinya terjerat cinta terlarang bersama Aditya dan menghadirkan Pelangi.

Hati Sena cukup tersentuh. Namun ketika memikirkan kehidupannya selama ini, Sena merasa ia tak pantas mendapatkan pria sebaik Rian. Ia bisa melihat Rian bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Pria itu adalah pria dewasa yang siap berkomitmen. Namun Sena bukan ingin menutup jalan pria itu. Sebagai seorang wanita, Sena pun tentu menginginkan hal indah seperti yang didambakan perempuan lainnya. Tapi Sena tahu, baginya tidak akan semudah itu mendapatkannya.

Memiliki seseorang yang akan mendampinginya. Mencintainya juga Pelangi. Semua itu seakan impian yang sulit Sena gapai dalam hidupnya. Karena itu ia tak pernah berharap yang muluk bahwa dirinya akan mendapatkan kehidupan seperti itu.

“Rian, terima kasih untuk perasaan kamu. Tapi sayangnya saya tidak bisa.”

“Kenapa? Apa karena Mbak sudah berkeluarga?”

Sena sempat terperanjat mendengar ucapan Rian. Namun akhirnya ia menggeleng.

“Bukan. Saya belum berkeluarga.”

Rian terkesiap. Ternyata informasi yang diberikan Ardi benar adanya. Sena belum berkeluarga. Lantas bagaimana dengan Pelangi?

“Saya sudah memiliki anak. Pelangi. Anak yang beberapa waktu lalu kamu temui.”

Meski ada tanya di kepalanya, namun Rian menjawab, “Saya nggak masalah dengan Pelangi, Mbak. Saya akan mencintai Pelangi seperti anak saya sendiri. Saya akan memberikan cinta yang sama besar seperti rasa cinta saya ke Mbak Sena.”

Sena kembali menggeleng. “Bukan itu. Saya yakin kamu bisa mencintai Pelangi seperti anak sendiri. Tapi …”

“Saya nggak akan menggantikan posisi Ayah Pelangi, kalau itu yang Mbak Sena takutkan.”

“Bukan, Rian.”

“Lantas?”

“Pelangi adalah anak saya. Anak yang saya lahirkan di luar pernikahan.”

Raut wajah Rian seketika berubah. Seolah dirinya baru saja dikejutkan dengan siraman air es yang langsung membekukan kepalanya. Ia seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pelangi adalah putri Sena. Tapi statusnya adalah anak yang lahir di luar hubungan pernikahan. Itu artinya … Rian mencoba menghilangkan kecamuk pikirannya dengan gelengan.

Sena melihat dengan jelas perubahan di wajah Rian. Ia tahu tidak akan mudah bagi orang-orang menerima kenyataan hidup yang dialami Sena. Karena itulah dirinya tak pernah berharap banyak pada sebuah hubungan antara pria dan wanita.

“Mbak Sena …”

“Saya tahu kamu terkejut. Mungkin kecewa karena ternyata saya tidak sebaik yang kamu pikirkan.”

Rian ingin menjawab namun Sena kembali bersuara.

“Sekali lagi terima kasih untuk perasaan kamu, Rian. Saya berharap kamu bisa menghilangkan cinta yang kamu rasakan terhadap saya. Menggantikannya dengan cinta untuk perempuan yang jauh lebih baik dari saya.”

Tanpa menunggu Rian menjawab, Sena melangkah meninggalkan pria itu yang masih berdiri termangu. Cinta? Sena percaya rasa itu ada. Tapi ia tidak berharap rasa itu akan menghampirinya.

Ia benar-benar berterima kasih sekaligus merasakan simpati pada Rian. Karena rasa cinta yang pria itu rasakan tertuju pada wanita yang salah. Sena hanya berharap bahwa pria itu akan menemukan seseorang yang akan memberikan cinta tulus padanya. Menjadi penerang bagi pria tersebut di masa depan.

Note : selamat malam? sedikit? Segini dulu, ya. Besok-besok Insya Allah diupdate lebih banyak. Nah loh, Mas Rian sudah menyatakan tapi ternyata … TERTOLAK kenyataan, hahahah. Bagaimana dengan Pak Aditya yang sikapnya masih misterius? Om Kal dan Bu Arina juga? tungguin selanjutnya ya.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Restricted area, 18/07/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top