Chapter 16 - Kecurigaan

Berita kehamilan Netta menjadi kabar mengejutkan juga menggembirakan bagi kedua keluarga. Pada akhirnya tidak ada lagi keluhan yang dilayangkan pada Netta akan ketidak mampuannya memiliki keturunan. Baik ibu dan ibu mertuanya, kini mulai memberikan perhatian yang besar padanya.

Tapi bukan itu yang Netta inginkan sepenuhnya. Netta ingin Aditya lah orang yang harusnya paling memberikan perhatian padanya. Bukan berarti sang suami tak memberikannya perhatian seperti sebelumnya. Hanya saja Netta benar-benar tak bisa merasakan antusiasme Aditya saat dirinya akan menjadi seorang ayah.

Rasa penasaran kian menggerogoti Netta. Ia ingin tahu apa yang membuat Aditya memberikan respon yang biasa saja akan kehamilannya. Mengapa suaminya seolah tak benar-benar menginginkan kehadiran seorang anak dalam rumah tangga mereka. Semakin Netta memikirkannya, ia merasa semakin tak mengenal sosok Aditya.

Saat Netta belum diberikan kehamilan, Aditya begitu perhatian padanya. Pria itu selalu menenangkan dan memberi dukungan. Kala semua orang mempertanyakan kapan mereka akan memiliki anak. Aditya akan selalu ada di sisinya untuk menenangkannya. Namun saat sekarang hal itu akan menjadi kenyataan, mengapa Aditya justru berbalik sikap seperti ini.

“Apa yang salah?” gumam Netta di tengah kecamuk pikirannya.

“Netta, itu masakan kamu gosong.”

Seruan dari mamanya menyadarkan Netta dari lamunan. Ia memerhatikan ayam yang tengah ia goreng kini berubah warna menjadi kehitaman. Netta segera mematikan kompor agar tak menyebabkan kecelakaan.

“Kamu ini lagi masak kok malah melamun?” tegur mamanya. “Ibu hamil itu jangan banyak berpikir. Kamu harus bisa santai menjalani kehamilan. Biar anakmu itu juga bisa tumbuh dengan baik.”

“Maaf, Ma.”

“Lagi apa sih yang kamu pikirkan sampai nggak sadar begitu?”

“Enggak ada, Ma. Aku lagi mikir nggak sabar untuk cek kandungan berikutnya. Pengin cepat-cepat bisa lihat bayinya.”

“Ya nanti juga kamu akan ketemu bayimu. Yang penting sekarang kamu jaga diri baik-baik biar kandunganmu itu sehat.”

“Iya, Ma. Netta bantu masak lagi, ya.”

Mama Netta menggeleng. “Enggak usah biar Bibi saja. Kamu sana istirahat saja atau nonton. Terus jam berapa Aditya mau datang?”

Mendengar nama Aditya disebut, Netta menggigit bibirnya. “Mas Aditya bilang akan datang setelah urusan kantor selesai.”

“Akhir pekan begini juga dia masih sibuk? Apa sih yang harus diurusin. Dia kan atasan di kantornya,” ujar Mama Netta dengan nada heran.

Tak ingin menambah panjang durasi omelan mamanya, Netta memilih untuk menjauh dari area dapur. Ia menuju kamarnya dulu untuk beristirahat. Tiba di kamar, Netta langsung menghubungi Aditya. Namun sayang panggilannya tak dijawab. Perasaan tak nyaman langsung menderanya. Ia pun segera bergegas menuju kantor Aditya tanpa mengatakan apapun pada mamanya.

Setiba di kantor ternyata Aditya sudah tak berada di sana. Kantor dalam keadaan sepi. Hanya ada beberapa pegawai dan petugas kebersihan. Dengan langkah gontai, Netta pun meninggalkan gedung tersebut untuk kembali ke rumah orang tuanya.

Netta dibuat terkejut saat tiba di kediaman orang tuanya saat melihat mobil Aditya sudah terparkir rapi di sana. Perasaan was-wasnya seketika hilang. Dengan wajah gembira ia memasuki rumah.

“Kamu darimana saja, sih? Suami datang kamunya malah pergi?” tegur mamanya saat melihat Netta baru kembali.

“Maaf, Ma. Tadi aku ke supermarket sebentar. Tiba-tiba pengin es krim,” ucap Netta beralasan.

Ia segera menghampiri Aditya dan menggenggam tangannya. Keduanya kemudian mengikuti langkah sang mama menuju ruang makan. Karena memang sudah masuk waktu makan siang.

Selesai makan siang, Aditya dan Netta langsung berpamitan. Mereka menolak halus saat Mama Netta meminta mereka untuk menginap. Beralasan untuk menghabiskan waktu berdua. Mama Netta pun akhirnya menyerah untuk memaksa mereka tinggal di sana.

Selama perjalanan kembali ke rumah, Aditya tak banyak bicara. Membuat suasana di dalam mobil terasa canggung. Netta yang bingung untuk memulai pembicaraan darimana, pun memilih diam sepanjang perjalanan. Hingga ketika mereka melewati pusat perbelanjaan, Netta meminta Aditya untuk mampir ke sana.

“Mau ngapain? Kita kan baru makan siang?” tanya pria itu heran.

“Bukan makan, Mas. Aku baru ingat kalau bahan-bahan di kulkas kayaknya belum ditambah. Kita belanja sebentar, ya?”

Aditya pun akhirnya setuju. Keduanya langsung memasuki bagian supermarket. Saat Netta tengah sibuk memilih, Aditya menjauh darinya karena harus menerima panggilan. Netta yang tahu jika Aditya sudah berbicara urusan pekerjaan di telepon akan memakan waktu lama memilih tak ambil pusing. Ia melanjutkan kegiatan belanjanya sendiri.

Aditya yang selesai menerima telepon tadinya akan menyusul Netta. Namun langkahnya terhenti saat matanya menangkap seseorang yang tak asing. Tanpa sadar kaki Aditya melangkah menghampiri.

“Mau yang ini atau ini?” tanya Sena menunjukkan dua bungkusan snack pada Pelangi.

“Itu!” Pelangi menunjuk tangan kanan Sena yang memegang bungkusan berwarna biru.

“Oke!”

Sena memasukkan tiga bungkus camilan yang dipilih Pelangi ke dalam keranjang belanja mereka. Keduanya akan melanjutkan berbelanja saat seseorang sudah berdiri menghalangi jalan keduanya.

Mata Sena mengerjap saat menyadari Aditya sudah berdiri di hadapannya dan Pelangi. Mata pria itu menatap lurus padanya. Kemudian melirik pada sosok kecil di samping Sena.

“Mama?” panggil Pelangi bingung karena mamanya tiba-tiba berhenti. Tatapan anak itu pun mengarah pada Aditya yang menghalangi mereka.

Aditya dan Pelangi saling berpandangan. Ada emosi yang tak dapat Aditya jelaskan kala ia menatap ke dalam mata jernih anak kecil di depannya tersebut.

“Sena, apa dia anak itu?”

Insting Sena langsung bekerja. Ia berdiri di depan Pelangi. Berusaha menghalangi pandangan Aditya pada putrinya.

“Apa kabar, Pak Aditya?”

Bibir Aditya terangkat membentuk senyuman kecil. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa mendengar wanita itu menyapanya kembali.

“Mama, kita sudah selesai belanjanya?” tanya Pelangi karena merasa bingung tiba-tiba suasana berubah aneh.

Aditya dan Sena bertatapan satu sama lain. Tidak ada yang mau melepaskan pandangan. Tidak Aditya, tidak juga Sena yang kini tak lagi takut berhadapan dengan pria di depannya ini. Tatapan Sena anehnya justru membuat jantung Aditya berdebar. Desiran halus yang dulu pernah dirasakan pria itu terhadap Sena seolah kembali muncul.

Tanpa peduli pada sikap waspada Sena, Aditya justru berjalan menghampiri mereka. Tepatnya menghampiri Pelangi yang berada di belakang tubuh Sena. Pria itu kemudian berjongkok hingga wajahnya sejajar dengan Pelangi.

“Halo, cantik. Nama kamu siapa?” tanya Aditya dengan sikap tenang.

“Pelangi, Om.”

Om? Aditya menaikkan sebelah alisnya. Ia tersenyum menatap Pelangi yang juga balas menatapnya. Tak ada rasa asing dalam tatapan keduanya. Seolah ikatan batin antara ayah dan anak langsung terjalin begitu saja ketika mereka bertemu.

Sena tak ingin anaknya berlama-lama bertatapan dengan Aditya. Ia segera menarik Pelangi. Membawa putrinya ke dalam pelukan sebagai upaya menyembunyikan anak itu dari tatapan Aditya.

“Maaf, Pak Aditya. Tapi saya dan anak saya harus segera pergi. Selamat tinggal.”

Tanpa perlu mendengar jawaban Aditya dan kebingungan Pelangi, Sena membawa anaknya menjauh dari pria itu. Ia sudah tak ingin melanjutkan berbelanja lagi. Yang ia inginkan hanya pergi dari tempat itu.

Aditya sendiri memilih tak menghentikan langkah Sena. Ia hanya memandangi kepergian Sena dan putrinya hingga menghilang dari pandangan. Namun yang pasti, pertemuan mereka kali ini tidak akan menjadi yang terakhir. Karena Aditya yakin, mereka akan segera bertemu kembali.

Dalam perjalanan pulang, Pelangi mengamati wajah Sena yang terlihat tidak tenang. Sejak pertemuan dengan pria yang tak ia kenal di supermarket tadi. Pelangi dapat merasakan ada yang berbeda dari ibunya. Namun yang lebih aneh lagi gadis kecil itu memiliki perasaan yang tak asing dengan pria tadi.

Hingga mereka tiba di rumah, Sena belum juga berbicara. Ia hanya memerintahkan putrinya untuk mencuci tangan dan kaki juga berganti pakaian. Saat Pelangi sudah melaksanakan tugasnya, ia melihat Sena duduk termenung di ranjang. Pelangi pun segera menghampiri ibunya.

“Mama?” panggil Pelangi yang membuyarkan lamunan Sena.

“Iya, sayang?”

“Mama kenapa? Sakit, ya?”

Sena tersenyum seraya menggelengkan kepala. “Mama enggak sakit, kok. Mama lagi kepikiran sesuatu.”

“Kepikiran apa?”

“Anak Mama satu ini penasaran saja,” goda Sena.

“Mama?” Sena menjawab berupa gumaman. “Om yang tadi ketemu kita itu teman Mama, ya?”

Sena terkesiap. Ia menatap putrinya yang matanya kini dipenuhi rasa ingin tahu. Pertanyaan Pelangi membuat pikiran Sena melayang lagi pada pertemuan mereka dengan Aditya tadi.

Sena terkejut, tapi ia tidak merasakan ketakutan seperti sebelumnya. Hanya saja sikap tenang Aditya juga pertanyaan pria tadi mengenai siapa Pelangi menjadi tanda tanya sendiri bagi Sena. Ia merasa bingung, seolah ada hal tersembunyi yang pria itu rencanakan. Semoga saja itu hanya firasat aneh yang Sena rasakan. Kalau pun benar, Sena yakin pria itu tak akan bisa melakukan apapun pada mereka. Karena Pelangi adalah putrinya.

“Bukan teman.” Mata Pelangi menatap penuh selidik. Hingga membuat Sena tertawa. “Dulu Mama pernah bekerja sama Om tadi.”

“Oh,” ucap Pelangi sambil menggoyangkan kepalanya. Bersikap seperti orang dewasa yang mengerti akan suatu hal.

Sena tak bisa menahan rasa gemas melihat reaksi putrinya. Ia langsung memeluk Pelangi dan menjatuhkan diri mereka ke ranjang.

“Maaf karena rencana belanja kita berhenti, ya. Pelangi jadi nggak bisa beli camilan yang banyak.”

“Enggak apa-apa. Nanti kita pergi lagi sama Om Kal, ya?”

“Um,” angguk Sena. “Kita tidur siang dulu, ya. Mama kok rasanya ngantuk, ya?”

“Mama ganti baju dulu,” Pelangi mengingatkan ibunya.

“Oke.”

Satu kecupan Sena layangkan pada putrinya kemudian bergegas menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Setelahnya ia menyusul Pelangi di ranjang. Keduanya sama-sama berbaring hingga terlelap. Namun Sena tak benar-benar tertidur. Saat melihat putrinya yang sudah nyenyak. Ia mengelus lembut kepala putrinya sebelum akhirnya keluar dari kamar dengan hati-hati agar tak membangunkan Pelangi.

Sena mencari keberadaan Sekala yang sedang mengerjakan tugas kantor di kamarnya. Melihat adiknya mendatangi kamarnya, Sekala segera menghentikan pekerjaannya. Ia menatap Sena yang kini duduk di ujung ranjangnya.

“Ada apa?” Sekala tahu pasti ada yang ingin adiknya bagi dengannya.

“Tadi Sena dan Pelangi ketemu sama laki-laki itu, Mas.”

“Siapa?”

“Aditya. Ayah kandung Pelangi.”

Raut wajah Sekala berubah tak tenang. “Lalu apa yang dia lakukan?”

“Dia nggak melakukan apapun, Mas. Dia cuma menyapa Sena.”

Sekala mengembuskan napas lega. “Kamu lari atau menghadapinya?”

Sena meringis, “Awalnya Sena menghadapinya. Tapi pada akhirnya, Sena kabur.”

Sekala tak membalas. Ia hanya memerhatikan adiknya yang kini menunduk sembari memainkan jemari di pangkuan. Sampai ketika lelaki itu beranjak dari kursi dan berdiri di hadapan Sena. Sekala mengelus puncak kepala adiknya.

“Jangan cemas. Kamu berani menghadapinya itu adalah hal yang benar. Tidak ada yang harus kamu takutkan saat bertemu lagi dengannya nanti.”

“Um. Sena nggak merasakan ketakutan lagi saat berhadapan dengannya, Mas. Hanya saja, perasaan Sena tetap nggak tenang. Terlebih tadi dia sudah bertemu langsung dengan Pelangi.”

“Kamu, Ibunya. Kamu yang berhak atas Pelangi. Mas nggak akan tinggal diam kalau laki-laki itu mencoba mengacaukan hidup kamu dan Pelangi lagi. Kamu percaya sama Mas, kan?”

Sena mengangguk. “Sena tahu, Mas. Sena juga nggak akan semudah itu menyerah kalah. Apapun yang coba Aditya lakukan, Sena akan mempertahankan Pelangi.”

“Bagus.” Sekala merasa puas dengan tekad dan keyakinan adiknya. “lalu, Pelangi mana?”

“Tidur siang. Rencana belanjanya kacau. Untung Pelangi itu anak yang pengertian banget. Dia nggak tanya macam-macam mengapa Mamanya tiba-tiba kabur dan mengajak pulang.”

“Kamu juga istirahat sana,” ucap Sekala saat merasa adiknya sudah lebih tenang.

“Mas Kal …”

Sekala bisa menebak apa lagi yang Sena ingin katakan dari nada bicaranya. Namun saat ini ia sedang tak ingin membahas hal yang berkaitan dengan dirinya dan Arina. Karena itu ia menarik tubuh Sena dan mengeluarkan adiknya dari dalam kamarnya.

“Mas …” protes Sena saat Sekala akan menutup pintu kamarnya.

“Nanti ya, Sen. Saat ini Mas ada pekerjaan.”

“Kapan?”

“Nanti. Mas janji.”

Sekala kemudian menutup pintu kamarnya di hadapannya Sena. Wanita itu hanya bisa cemberut karena pengusiran kakaknya. Padahal Sena ingin sekali membahas perkara Sekala dan Arina. Karena hingga kini  ia benar-benar tidak melihat adanya kelanjutan hubungan mereka. Ia tak ingin Arina menyerah dan memilih mundur.

Karena itu Sena memilih menghampiri kamar ibunya. Namun ternyata sang ibu sedang tak berada di kamar. Sena menyusul ibunya yang kemungkinan berada di taman samping. Dugaan Sena benar, karena sang ibu sedang asyik merawat tanaman.

Melihat Sena menghampiri, ibunya segera menanyakan keberadaan Pelangi. Sena pun menjawab jika putrinya sedang tidur siang. Ibu Sena hanya menggumam mendengar jawaban Sena lalu kembali lagi merawat tanaman-tanamannya.

“Ibu?”

“Hum?”

“Setuju nggak kalau Mas Kal dan Mbak Arina nikah?”

Gerakan tangan ibunya terhenti. Beliau kemudian menatap Sena dengan raut bingung.

“Maksudnya? Masmu mau nikah sama Bu Arina?”

“Belum. Tapi mungkin saja, kan. Setuju tidak?”

Ibu Sena meletakkan gunting yang dipegang ke rak peralatan. Kemudian menghampiri Sena yang duduk di lantai beranda.

“Siapapun pilihan Masmu, Ibu akan mendukung. Asal perempuan itu baik, sopan dan sayang sama Masmu. Ibu cuma mau lihat Masmu menikah.”

“Kalau kriteria itu semua, Mbak Arina pasti punya. Tapi Mas Kal …”

“Bu Arina suka sama Masmu?”

Sena tertawa. “Masa Ibu nggak sadar.”

“Ya mana Ibu tahu. Selama ini Ibu lihat ya Ibu Arina sebagai temannya Kal juga gurunya Pelangi.”

“Buat Sena, Mbak Arina itu pilihan terbaik untuk Mas Kal. Keluarganya juga kelihatan menerima. Mereka juga pasti ingin lihat Mbak Arina cepat-cepat nikah. Mbak arina juga ingin. Tapi Mas Kal …”

“Masmu itu memang agak keras kepala kalau sudah urusan begini.”

“Pasti karena Sena.”

“Bukan.”

“Sena tahu, Bu. Karena itu, Ibu bantu persuasi Mas Kal, ya. Jangan sampai Mbak Arina mundur. Dan akhirnya ketemu jodoh lain.”

Ibunya menghela napas. “Kamu sendiri gimana?”

Sena mengernyit. “Sena nggak gimana-gimana. Ibu nggak usah khawatir. Kalau ada jodohnya pasti nanti juga ketemu. Kalau memang nggak ada, ya bagus. Artinya Sena bisa terus jaga Ibu dan Pelangi.”

“Tapi Ibu juga mau lihat kamu nikah. Pelangi juga pasti perlu sosok ayah.”

Sena berdecak. “Ibu nggak usah pikirin itu dulu. Sekarang ini kita bantu Mas Kal dan Mbak Arina. Masa sama permintaan Ibu, Mas Kal nggak mau berusaha. Ya? Ibu mau bantu, kan?”

Ibunya hanya mengangguk. Tentu saja sang ibu akan membantu. Orang tua mana yang tak ingin melihat anak-anaknya menikah. membentuk keluarga yang bahagia. Tidak hanya untuk Sekala, andai diizinkan ibunya pun akan berbuat semampunya untuk memberikan kebahagiaan bagi putri satu-satunya.

Note : maaf update molor. selamat membaca

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Restricted area, 17/07/21


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top