Chapter 15 - Mencari Kebenaran
Kenyataan bahwa Sena memiliki seorang anak benar-benar mengganggu pikiran Rian. Logikanya meminta Rian untuk berhenti. Namun hatinya seakan belum rela. Setelah akhirnya sekian tahun dipertemukan kembali dengan perempuan pujaannya. Langkah Rian dipaksa berhenti oleh keadaan.
Semalam ia tak bisa tidur dengan nyenyak. Wajah Sena dan Pelangi terus hadir dalam benaknya. Bahkan saat bangun pagi ini, Rian benar-benar tidak dalam keadaan bersemangat. Beruntung Rian tinggal seorang diri. Jika tidak tentu mamanya akan terus bertanya padanya hingga mendapatkan jawaban. Sementara Rian sangat tidak ingin berbohong pada orang tuanya.
Suara tv yang menyala pun tak mampu membuat Rian fokus. Rasanya ia tak ingin melakukan apapun hari ini. Yang Rian inginkan hanya menyendiri bergelung dengan rasa kalahnya.
Di tengah keputus asaannya, Rian tiba-tiba teringat akan sesuatu. Kemarin Sena datang bersama seorang lelaki yang ia perkenalkan sebagai kakak lelakinya. Rian memang ingat jika dulu semasa sekolah ia mengetahui jika Sena memiliki seorang kakak lelaki yang sering mengantar jemputnya. Jika memang Sena sudah berkeluarga, lalu di mana suaminya?
"Bodoh!" pekik Rian memaki dirinya. "Kemungkinan itu selalu ada. Yang harusnya kulakukan sekarang itu mencari tahu. Jika memang Mbak Sena sudah menikah, lalu status pernikahannya seperti apa? Kalau memang pernikahannya baik-baik saja, mana mungkin Mbak Sena datang tanpa suami."
Seketika Rian seperti mendapat suntikan semangat. Bukan langsung menyerah pada keadaan, harusnya ia mencari tahu lebih dalam. Jika Rian ingin akhir yang bahagia bersama Sena, maka ia harus berjuang lebih keras untuk mendapatkannya.
Dan Pelangi, tak masalah. Rian mencintai Sena maka Rian akan mencintai anak itu seperti putrinya sendiri. Tak akan sulit mendapatkan cinta dari seorang anak jika kita bisa menunjukkan pada mereka rasa cinta yang sama.
Lalu, satu hal lagi yang akan menjadi hambatan bagi Rian. Apalagi jika bukan keluarganya. Terutama sang mama. Tapi, bukan itu yang harus Rian pikirkan saat ini. Kesampingkan masalah keluarganya. Jalan panjang itu akan ia tempuh ketika berhasil mendapatkan kepercayaan Sena untuk membina masa depan dengannya.
Maka satu hal yang harus Rian lakukan saat ini adalah mencari kebenaran tentang kehidupan Sena. Kejutan apapun nanti yang akan ia dapatkan dalam pencariannya, Rian berharap bahwa Sena adalah pilihan terakhirnya. Ia tak ingin mencari lagi. Karena ia sudah menambatkan hatinya pada wanita itu.
Pencarian pertama mungkin bisa Rian dapatkan dari rekan kerja Sena. Namun ia yakin tidak akan mudah jika mencoba mendekati rekan kerjanya. Sampai akhirnya Rian terpikir sebuah cara, mengapa tidak langsung menemui atasan Sena saja untuk mendapatkan informasi pribadi wanita itu.
"Selamat siang, Pak Rian?" sapa Ardi, Manajer Sena menyambut kedatangan Rian di kantornya.
"Siang, Pak Ardi. Maaf kalau tiba-tiba kedatangan saya mengganggu waktunya."
"Sama sekali tidak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Sebenarnya kedatangan saya ke sini selain terkait dengan pekerjaan, saya juga ingin minta bantuan dari Pak Ardi untuk urusan personal."
Ardi mengernyitkan dahinya. "Urusan personal? Maksudnya?"
Tanpa malu sedikitpun Rian mengutarakan keinginannya untuk mengetahui informasi pribadi Sena. Dengan jujur Rian pun mengatakan jika sejak dulu ia menyukai Sena. Dan saat kali ini dipertemukan kembali dengannya, Rian ingin mengejar wanita itu dengan sungguh-sungguh.
Ardi jelas saja terperangah mendengar penuturan Rian. Ia menggeleng tak percaya dengan apa yang Rian inginkan. Meski begitu ia bisa mengerti perasaan pria itu. Memendam perasaan sekian lama hingga akhirnya bertemu kembali. Jelas bukan perkara yang mudah. Karena selama masa perpisahan jelas banyak yang akan berubah.
"Pak Rian, bukan saya tidak ingin membantu, tapi ..."
"Saya berani bersumpah bahwa saya tidak akan menyalah gunakan informasi Mbak Sena. Pak Ardi bisa memegang ucapan saya. Saya hanya ingin tahu, karena itu bisakah Pak Ardi menolong saya kali ini saja. Cukup informasi tentang status Mbak Sena yang ingin saya pastikan. Setelahnya saya akan berusaha sendiri untuk mendekati Mbak Sena dengan cara saya."
Ardi tampak berpikir. Namun Rian dengan cepat kembali mempersuasinya.
"Saya benar-benar tidak punya niatan lain selain mendekati Mbak Sena. Saya ingin menjadikan Mbak Sena pendamping hidup saya. Karena itu saya butuh informasi status maritalnya."
"Status marital?" tanya Ardi bingung.
"Iya. Apa Mbak Sena menikah atau sudah bercerai. Hanya itu yang saya ingin tahu."
"Tapi Sena sama sekali belum menikah," ujar Ardi. "Di data pegawai, Sena tertulis masih single dan belum menikah."
"Hah?"
Baik Ardi dan Rian sama-sama saling menatap dengan wajah bingung.
"Pak Ardi yakin?" tanya Rian sekali lagi.
"Tentu. Saya yakin Sena tidak mungkin memalsukan data pribadinya. Saya bisa lihat dia perempuan yang jujur."
Ucapan Ardi makin membuat Rian bingung. Jika Sena belum menikah, lantas Pelangi itu anak siapa? Beberapa kemungkinan berputar di kepala Rian. Mungkin saja Pelangi adalah putri dari kakak lelaki Sena. Atau mungkin Pelangi adalah anak yang diadopsi oleh Sena. Namun, Rian menggeleng kecil. Rasanya terlalu jauh jika ia berpikir Pelangi adalah anak yang diadopsi Sena. Melihat bagaimana intimnya interaksi mereka. Juga kemiripan diantara keduanya.
Atau ....
"Pak Rian?" Ardi membuyarkan pikiran Rian yang sedang berkelana. "Ada masalah?"
Rian akhirnya menggeleng. "Tidak. Terima kasih atas informasinya. Pak Ardi tidak perlu khawatir karena saya tidak akan melakukan hal yang tidak baik terhadap Mbak Sena."
Meski bingung dengan apa yang diinginkan Rian, namun Ardi memilih untuk mengangguk. Dan ia memilih untuk percaya bahwa Rian adalah orang yang akan menepati janjinya. Ia yakin Rian tidak akan melakukan perbuatan tidak menyenangkan pada Sena jika memang pria itu menyukainya.
Setelah mendapatkan secuil informasi, Rian berpamitan pada Ardi. Ia ingin menenangkan isi kepalanya yang sedang berkecamuk mencari jawaban dari situasi yang masih abu-abu akan hidup Sena.
...
Netta baru saja selesai menata makan siang yang ia siapkan untuk Aditya. Hari ini ia sudah berjanji mengantarkan makan siang ke kantor. Namun baru saja ia akan berangkat menuju kantor, ia merasa kepalanya pusing. Juga perutnya yang terasa mual. Cepat-cepat wanita itu menuju toilet untuk memuntahkan apa yang membuat perutnya tidak nyaman.
Setelah menuntaskan rasa mualnya, Netta mulai memikirkan sesuatu yang sepertinya ia lupakan. Sampai ketika ia melihat ponselnya, mata Netta seketika berbinar. Dengan tergesa ia mengambil sesuatu dari lemari kecil yang menyediakan obat-obatan di kamar mandi. Benda kecil yang setiap bulan selalu berhasil membuatnya kehilangan semangat. Namun kali ini ia yakin benda kecil tersebut tak akan membuatnya kecewa.
Beberapa saat kemudian, benar saja apa yang Netta duga. Dua garis meski agak samar terpampang di benda yang ia pegang. Seketika air mata Netta mengalir. Rasa sesak yang biasa menghimpit dadanya selama ini seketika menghilang. Tak henti bibirnya berucap syukur meski tanpa suara.
Netta tak ingin buang waktu. Ia ingin semua benar-benar pasti agar kebahagiannya bukan hanya ilusi semu. Ia memilih untuk segera menuju rumah sakit untuk memastikan kebenaran. Selama perjalanan jantung Netta berdegup tak karuan. Ia benar-benar tak dapat menahan perasaannya. Bahkan ketika taksi yang ia tumpangi tiba di rumah sakit, rasanya kaki Netta ingin berlari secepatnya menuju ruang dokter kandungan. Namun saat memikirkan bahwa ada satu nyawa kecil bersemayam di perutnya, Netta menahan diri untuk tak bertindak gegabah.
"Selamat, Ibu. Seperti yang Ibu duga, saat ini memang sedang ada calon bayi di rahim, Ibu. Usia kandungan sekitar enam minggu."
Wajah Netta benar-benar menampakkan raut bahagia yang tak terkira. Setelah sekian lama ia menunggu, akhirnya hari ini tiba juga. Ia yang tak pernah berhenti berharap akhirnya bisa merasakan manisnya buah kesabaran. Tuhan benar-benar menyayanginya. Memberikan hadiah termanis yang Netta dapatkan karena kesabarannya menunggu waktu yang tepat.
"Terima kasih, Dokter."
"Sama-sama, Ibu. Sekali lagi selamat menjadi orang tua. Untuk kontrol rutin selanjutnya mungkin Ibu bisa datang dengan suami, ya. Biar sama-sama bisa tahu perkembangan bayinya. Juga apa saja yang harus calon ayah dan ibu lakukan selama masa kehamilan."
"Baik, Dok. Terima kasih."
Netta keluar dari ruangan Dokter dengan wajah berseri. Tak sabar ingin membagikan berita bahagia tersebut pada Aditya. Karena terlalu bahagia, ia sampai tak sadar sudah meninggalkan bekal makan siang yang sudah ia siapkan. Tawanya tak bisa ia sembunyikan karena telah melupakan hal tersebut. Ia berharap Aditya tak kelaparan karena menunggunya dengan bekal makan siang.
Saat tiba di kantor, Aditya sedang menemui klien di ruang rapat. Karena semua tahu jika Netta adalah istri Aditya, ia diizinkan menunggu kedatangan sang atasan di ruangannya. Selama menunggu, Netta memilih untuk membaca beberapa informasi seputar kehamilan di ponselnya.
Satu jam kemudian pintu ruangan terbuka, membuat Netta mengalihkan pandangannya. Aditya yang tak menyangka ada sang istri di ruangannya tampak terkejut. Namun senyum lebar Netta membuat ekspresinya kemudian berubah santai.
"Berapa lama kamu menunggu?" tanya Aditya setelah menutup pintu.
"Hampir satu jam lebih. Maaf, ya Mas. Aku lupa bawa bekal makan siangnya. Kamu sudah makan, kan?"
Aditya menggeleng. "Belum. Kamu sendiri?"
"Kenapa belum? Mas Aditya kan bisa minta pesankan makan siang?"
"Kebetulan tadi ada klien mendadak jadi waktu makan siang harus ditunda," jelas Aditya. "kamu sendiri kenapa bisa ke sini?"
Netta kembali tersenyum. "Tadi aku sudah siapkan makan siang. Tapi ada hal yang lebih mendesak dari sekadar makan siang."
Netta mendekati Aditya yang masih berdiri di tengah ruangan. Wanita itu mengeluarkan amplop bertuliskan nama sebuah rumah sakit. Aditya tampak bingung dengan apa yang ingin istrinya sampaikan.
"Sebagai ganti makan siang, aku mau kasih ini buat kamu, Mas."
Pikiran Aditya bergerak cepat. Ada dua kemungkinan jika seseorang membawa sebuah amplop dengan tulisan instansi kesehatan. Kabar buruk dan kabar baik. Namun melihat wajah cerah yang ditampilkan Netta, ia langsung menebak bahwa yang diberikan Netta adalah sebuah kabar baik.
Aditya kemudian membuka amplop tersebut untuk mengetahui isinya. Seperti yang ia duga, kertas di dalamnya menuliskan tentang kehamilan Netta. Berita itu merupakan kabar baik yang sudah mereka tunggu. Namun Aditya tak merasakan kebahagiaan yang sama besarnya seperti yang ditunjukkan sang istri. Bukan ia tidak ikut senang. Hanya saja selama ini Aditya tak pernah mempermasalahkan adanya anak atau tidak dalam pernikahan mereka. Netta lah yang selalu menunjukkan keinginan kuat untuk memiliki anak.
"Mas ..." ucap Netta cemas karena tak merasakan aura bahagia terpancar di wajah Aditya.
"Um?"
"Kamu, senang kan kita akan punya anak?" tanya Netta hati-hati. Ia berusaha membaca ekspresi sang suami.
"Tentu. Bukankah ini yang selama ini kamu tunggu. Dengan begini, kamu nggak perlu cemas lagi akan desakan dari keluarga kita."
Netta terperangah. Ia benar-benar bingung dengan reaksi yang Aditya berikan. Terlebih dengan kalimatnya yang menyebutkan jika selama ini kehamilan ini adalah apa yang Netta tunggu. Bukan mereka. Seolah Aditya sama sekali tak peduli jika ia hamil atau tidak. Netta merasa ada yang salah dengan sang suami.
"Mas, kamu senang kan dengan adanya anak ini?" Netta bertanya kembali. Entah mengapa ia butuh memastikan perasaan aneh yang bercokol di hatinya atas respon Aditya atas kehamilannya.
Aditya menatap Netta. Senyum simpul pria itu berikan. "Tentu."
Aditya mengecup dahi Netta kemudian membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Netta tak menolak. Namun ia tak merasakan antusias Aditya pada anak yang akan mereka miliki. Hal itu membuat perasaan Netta tak tenang. Harusnya berita kehamilan ini membuat mereka bergembira. Tapi nyatanya hanya Netta yang merasakannya. Tidak dengan Aditya yang perasaannya tak bisa Netta baca.
Ada apa dengan Aditya? Sikap pria itu hari ini membuat Netta bertanya-tanya. Selama ini ia merasa mengenal sang suami. Namun hari ini Aditya seperti sosok yang benar-benar berbeda. Ia merasa asing. Apa mungkin selama menikah, Aditya menyembunyikan sesuatu darinya. Pernikahan mereka baik-baik saja, paling tidak itu yang Netta rasakan. Ataukah memang hanya Netta yang beranggapan pernikahan mereka baik-baik saja.
...
Hari ini pekerjaan Sena berakhir lebih cepat. Setelah menyelesaikan tugasnya menangani pengiriman barang pada klien, Sena tak perlu lagi kembali ke toko. Ia pun menghubungi ibunya memberitahukan bahwa dirinya yang akan menjemput Pelangi. Rasanya sudah lama ia tak menjadi penjemput bagi putrinya. Meski tiba setengah jam setelah jam sekolah berakhir, tapi seperti biasa Sena tak perlu khawatir pada putrinya.
Setelah memarkir kendaraannya, Sena bergegas menemui putrinya. Memasuki halaman sekolah, Sena bisa melihat seorang anak perempuan yang sedang bermain dengan gundukan pasir. Melihat keasyikan putrinya, senyum Sena perlahan mengembang.
"Pelangi," panggilnya.
Sang anak langsung mengalihkan pandangan padanya. Pelangi langsung berlari menghampiri Sena.
"Mama!" pekiknya kegirangan yang langung menjatuhkan diri di pelukan Sena. "Mama yang jemput?"
"Iya. Hari ini Mama selesai kerjanya lebih cepat. Jadi bisa jemput Pelangi. Pulang, yuk."
"Pelangi cuci tangan dulu."
Selagi menunggu putrinya mencuci tangan, Sena dihampiri oleh Arina yang kebetulan akan pulang juga. Keduanya bertukar sapa kemudian berjalan bersama ke parkiran setelah Pelangi menghampiri.
"Mbak Arina, mau ngobrol-ngobol dulu, nggak?" ajak Sena tiba-tiba.
"Um? Boleh saja. Tapi nggak apa-apa di kamunya dan Pelangi? Ibu juga kan sendiri di rumah."
"Enggak apa-apa. Mas Kal sebentar lagi juga pulang," jawab Sena. "Pelangi ada PR-nya nggak besok, Nak?" tanya Sena memastikan. Pelangi menggeleng. "Mau jajan sebelum pulang sama Ibu Arina, nggak? Kita makan donat?"
"Mau!" Pelangi menjawab cepat.
Sena dan Arina sama-sama tertawa mendengar respon cepat anak itu. Ketiganya kemudian bersama mengendarai kendaraaan masing-masing menuju salah satu gerai kopi di salah satu mal. Setelah memesan kopi dan makanan pendamping, ketiganya mencari meja kosong untuk menikmati pesanan.
"Mama mau donat yang vanila," pinta Pelangi yang langsung diberikan Sena.
Selagi sang anak menikmati donatnya, Sena pun mulai mencari topik pembicaraan bersama Arina. Seperti biasa pembicaraan mereka tak jauh dari seputar kegiatan belajar Pelangi. Sampai Sena memulai topik yang membuat Arina malu-malu.
"Mbak sudah berapa lama suka sama Mas Kal?"
"Sen? Serius kamu tanyain ini?" wajah Arina memerah.
"Serius. Aku tahu Mbak suka sama Mas Kal. Dan Mbak juga pasti sadar kalau aku berusaha untuk mendekatkan hubungan kalian, kan?"
Arina mengangguk. "Sejak SMA. Tapi kamu tahu sendiri Mas Kal-mu itu seperti apa, kan?" Arina menyeruput kopinya seraya tersenyum kecil.
"Aku tahu," jawab Sena, matanya memandangi gelas kopi. "Mbak, kalau aku minta Mbak terus untuk mendekati Mas Kal, apa Mbak bersedia?"
Arina tak menjawab. Justru malah balik bertanya. "Kenapa?"
Sena menarik napas panjang sebelum bicara. "Sejak apa yang menimpaku, Mas Kal terlalu konsen sama aku dan Pelangi. Sampai kadang dia lupa dengan dirinya sendiri. Aku mau lihat Mas Kal bahagia. Menikah, punya kelurganya sendiri. Ibu juga pasti berharap begitu. Apalagi saat satu anaknya seakan kehilangan kesempatan menikah. Ibu pasti ingin melihat Mas Kal menikah. Tapi nggak ingin memaksanya."
"Kenapa harus saya, Sen? Apa karena hanya ada saya seorang, perempuan yang berada di sekitar Sekala?"
"Iya dan tidak. Karena aku juga nggak tahu siapa saja orang-orang yang ada di sekitar Mas Kal di lingkungan kerjanya. Tapi kalau harus memilih, Mbak Arina adalah pilihan terbaik. Mbak cinta sama Mas Kal. Mbak juga pasti akan menyayangi Ibu dari laki-laki yang Mbak cintai. Dan tentunya aku juga berharap, keluarga Mbak akan menerima keluarga kami yang tidak sempurna karena kesalahanku di masa lalu."
"Sen, jangan menganggap rendah diri kamu."
"Aku nggak menganggap rendah diriku, Mbak. Tapi apa yang terjadi padaku nggak akan mungkin bisa dihapus. Dan itu pasti akan jadi satu pertimbangan bagi keluarga perempuan yang sekiranya berjodoh dengan Mas Kal."
Arina menggenggam tangan Sena yang berada di atas meja.
"Kamu adalah pribadi kuat yang mengagumkan. Lepas dari kesalahan itu, Pelangi adalah satu bukti bahwa kamu telah berhasil melalui masa kelam itu. Mbak yakin siapa pun perempuan yang bersanding dengan Sekala akan dengan mudah menerima kamu dan Pelangi sebagai bagian dari keluarga."
"Dan aku berharap itu adalah Mbak Arina."
"Sena, Mbak cinta sama Sekala. Tapi perasaan Sekala sendiri, Mbak nggak tahu."
"Kalau Mas Kal bersedia menikah meski masih dengan perasaan abu-abu, Mbak mau menerima?"
"Cinta sepihak itu berat ya, Sen," gumam Arina.
Sena mengangguk setuju. "Tapi aku yakin Mas Kal nggak akan menyakiti perasaan Mbak. Aku bisa jamin, Mas Kal adalah pria yang akan menghargai perempuan."
"Menghargai tanpa dicintai itu cukup berat bagi seorang istri, Sen."
"Mbak akan menyerah?" tanya Sena akhirnya.
Arina menatap lurus Sena. "Berikan Mbak waktu untuk berjuang, ya. Kalau memang nggak ada harapan, Mbak akan berhenti. Mbak harap kamu nggak akan kecewa."
Sena tersenyum lega. "Terima kasih, Mbak."
Arina membalas dengan senyuman. Mungkin ini adalah satu kejadian langka di dunia. Di mana bukan si pria yang berjuang. Namun adik perempuannya hanya demi mencarikan pendamping untuk sang kakak.
Di saat keduanya selesai berbincang, Pelangi yang sudah menghabiskan dua potong donat memandangi Sena dan Arina bergantian.
"Mama dan Bu Arina bicara apa?"
"Pembicaraan orang dewasa. Nanti kalau sudah dewasa, Pelangi juga akan punya pembicaraan dewasa sendiri."
Pelangi mengerucutkan bibirnya, ingin mencoba mengerti tapi ia juga tidak terlalu tertarik pada apa yang dibicarakan dua wanita dewasa di depannya. Ia hanya mendengar mereka berdua menyebut nama Sekala dan pernikahan. Sesuatu yang Pelangi tahu tapi tak cukup ia mengerti.
Tidak ingin pusing dengan hal itu, ia memilih untuk menghabiskan minuman cokelat yang dipesankan untuknya. Rasa penasaran memang membuatnya ingin tahu. Mungkin nanti ia bisa bertanya pada Sekala. Karena pria itu selalu punya jawaban untuk setiap keingintahuannya.
...
Note : selamat malam. Maaf kemarin gak update ya. Gak bisa nulis karena ada sesuatu. Selamat membaca ☺️
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Restricted area, 14/07/21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top