Chapter 12 - Satu Langkah

Azan subuh masih berkumandang di masjid saat Sena membuka matanya. Jika dulu ia begitu sulit untuk bangun dan menjalankan ibadah, sekarang tidak lagi. Sejak mengandung Pelangi, Sena memang mencoba mengubah dirinya. Lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Ia ingin menjadi contoh baik bagi anaknya kelak. Ingin mengenalkan Pelangi pada Sang Pencipta sejak kecil. Agar putrinya itu menjadi anak yang mengenal lebih dekat dengan Penciptanya saat dewasa nanti. Agar Pelangi dapat berhati-hati dalam bersikap.

Setelah membasuh wajah dan menyikat gigi, Sena membangunkan Pelangi yang masih terlelap di ranjang. Padahal Sena sudah bertekad untuk membiasakan Pelangi tidur di kamarnya sendiri. Saat Pelangi sendiri merasa siap untuk mandiri justru Sena lah yang merasa belum siap untuk terpisah kamar dengan putrinya. Hingga akhirnya Sena memutuskan untuk tetap tidur sekamar dengan Pelangi sampai ia siap melepas Pelangi tidur di kamarnya sendiri.

“Pelangi, bangun, yuk. Sudah subuh.” Sena berucap lembut di telinga sang anak.

“Eum …” Pelangi hanya bergumam. Anak itu menggeliat namun tidak membuka matanya.

Sena berusaha lebih keras lagi. Meski tak pernah melewatkan solat subuh, namun Pelangi masih cukup sulit untuk dibangunkan. Mungkin karena anak itu masih merasa mengantuk.

“Mama kasih waktu sepuluh menit lagi, ya?” ucap Sena kemudian.

Walau belum membuka matanya, Pelangi justru mengangguk sebagai respon dari ucapan Sena. Yang membuat tawa Sena tak dapat ditahan. Selama menunggu waktu sepuluh menit yang diberikan, Sena hanya memeluk Pelangi sembari membisikkan menu sarapan yang akan dibuatkan Sena untuk Pelangi nanti. Gadis kecil itu menggumam menanggapi. Sampai ketika waktu berlalu, Sena pun bersiap untuk membangunkan Pelangi kembali. Kali ini tanpa kendala. Karena dalam pelukannya, Pelangi sudah membuka matanya meski dengan wajah yang masih mengantuk.

“Yuk, wudhu dulu. Om Kal sama Nenek pasti sudah tungguin kita.”

“Eum …”

Putrinya masih berusaha keras melawan kantuk. Sena pun membantu dengan menuntun Pelangi menuju kamar mandi. Setelah selesai berwudhu, keduanya menuju musala kecil di mana Sekala dan ibunya telah menunggu.

“Masih susah dibangunin?” tanya Ibu Sena melihat cucunya yang berjalan dengan mata separuh terpejam.

“Enggak dong, Nek. Pelangi gampang dibanguninnya, kan, sayang?” Sena menjawab sembari membantu Pelangi merapikan mukenanya.

Selepas subuh, Sena mulai bersiap di dapur untuk membuatkan sarapan. Pelangi pun tak ingin ketinggalan membantu ibunya. Hari ini ia ingin dibuatkan sandwich untuk menu sarapannya. Dan untuk itu mencoba membuat sandwich-nya sendiri.

“Yakin bisa bikin sendiri sarapannya?” tanya Sekala yang kebetulan sedang mengambil minuman di dapur. Ia tampak terkejut saat melihat keponakannya sudah duduk di depan meja yang sudah tersedia bahan-bahan untuk membuat sandwich.

“Pelangi bisa kan, Mama? Buat sandwich sendiri,” ucapnyapenuh percaya diri namun tetap meminta dukungan dari ibunya.

“Bisa, dong. Pelangi kan sudah belajar. Nanti minta Om Kal untuk cobain sandwich buatan Pelangi, ya.” Sena berucap penuh keyakinan.

Sekala dapat melihat lirikan dari adiknya pertanda bahwa mereka harus memberikan keyakinan pada si kecil agar memiliki rasa percaya diri dalam melakukan segala hal.

“Kalau gitu Om Kal mau lihat Pelangi bikin sandwich-nya.”

Sekala menarik kursi makan di samping keponakannya. Pelangi pun tambah bersemangat setelah mendengar penuturan Sekala. Berhati-hati ia mulai membuatkan sandwich. Meski terkesan lamban, namun Pelangi sangat telaten dalam mengerjakannya. Ia berusaha sebisa mungkin untuk tak menyebabkan berantakan. Usaha Pelangi patut diacungi jempol karena anak itu dengan rapi berhasil membuat sandwich tanpa noda saos dan remahan roti.

“Pintar banget sih, keponakan Om Kal ini?” puji Sekala, tak lupa melayangkan kecupan di puncak kepala Pelangi.

Pelangi selalu senang dengan pujian yang diberikan padanya. Ia hanya tersenyum malu kala mendapatkan ciuman dari Sekala. Namun rasa senang atas kerja kerasnya tak bisa gadis kecil itu sembunyikan.

Di saat Pelangi sudah menyelesaikan membuat lima buah sandwich, saat itu juga Sena sudah menyelesaikan tugasnya membuat sarapan. Ia pun kemudian memerintahkan putrinya untuk segera mandi.

Pukul setengah tujuh pagi, mereka semua berkumpul di meja makan untuk sarapan. Pelangi memberikan masing-masing satu buah sandwich untuk Sena, Sekala dan neneknya. Tentu saja para orang dewasa tersebut senang menerima sarapan yang dibuatkannya.

“Sisa satu sandwich untuk siapa?” tanya Sena melihat masih ada satu buah yang tersisa.

“Untuk Ibu Arina. Ibu guru kan selalu bantu Pelangi. Suka temani Pelangi kalau sedang menunggu Nenek jemput. Jadi Pelangi mau kasih satu sandwich untuk Ibu Arina.”

Sena tersenyum bangga pada putrinya. Ia mengusap puncak kepala Pelangi lembut. Tak sia-sia semua didikan baik yang mereka berikan pada Pelangi. Anak itu benar-benar tumbuh menjadi pribadi yang menakjubkan walau usianya masih kecil.  

“Kalau sama teman-teman di sekolah, baik tidak?” tanya Sena kemudian.

“Baik. Tapi Mama, ada teman yang nggak mau berteman sama Pelangi?” adu sang anak tiba-tiba.

Sena tampak terkejut, “kenapa?”

Pelangi menggeleng. “Enggak tahu. Friska bilang nggak mau temanan sama Pelangi.”

“Kalau gitu, coba Pelangi nanti tanya baik-baik sama Friska kenapa nggak mau berteman sama Pelangi.”

“Iya. Tapi kalau Friska tetap nggak mau temanan, Pelangi harus apa?”

“Bicara sama Ibu guru. Nanti Ibu guru pasti bantu Pelangi untuk bisa berteman dengan Friska.”

Selama perbincangan Sena dan Pelangi, Sekala dan ibunya hanya mendengarkan. Sampai ketika waktunya berangkat ke sekolah, Pelangi pun akhirnya menyudahi perbincangannya dengan Sena. Ia bersiap untuk memakai sepatu dan pergi ke sekolah. Kali ini Sekala yang bertugas mengantarkannya.

Sebelum pergi, Pelangi berpamitan pada Sena dan neneknya. Sena memberikan ciuman seperti biasa di pipi sang anak. Kemudian sekali lagi mengingatkan Pelangi untuk belajar dengan baik di sekolah.

Perjalanan menuju sekolah Pelangi hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Mereka tak terjebak kemacetan karena Sekala memilih rute jalan yang tak banyak dilalui kendaraan dan lampu lalu lintas. Setelah memarkirkan kendaraannya, Sekala mengantarkan Pelangi menuju kelasnya.
Saat sedang berjalan bersama Sekala, mata Pelangi menangkap keberadaan Arina yang sedang berjalan di koridor menuju ruang guru. Pelangi langsung melepaskan pegangan tangannya dari Sekala demi berlari menghampiri Pelangi.

“Pelangi …” panggil Sekala karena tiba-tiba saja keponakannya melepaskan pegangan.

Mendengar suara seseorang menyebutkan nama salah satu muridnya, Arina langsung menolah. Ia mendapati gadis kecil itu berlari menghampirinya.

“Hati-hati, nanti kamu jatuh,” ucap Arina saat Pelangi sudah berada di hadapannya. “Pelangi, lain kali tidak boleh lari-larian begitu ya. Bahaya.” Arina memperingatkan.

“Iya, Ibu Arina.”

“Kenapa lari-larian begitu?” tanya Arina kemudian.

Pelangi membuka ranselnya, mengeluarkan sebuah kotak bekal lalu memberikannya pada Arina.

“Untuk Ibu Arina. Sandwich buatan Pelangi.”

Arina tampak terkejut namun belum menerima pemberian Pelangi. Sampai ketika Sekala menghampiri keduanya.

“Pelangi bilang dia buatkan sandwich untuk kamu sebagai ucapan terima kasih.” Sekala menjelaskan.

Arina tersenyum kemudian dengan senang hati menerima kotak bekal berisi sandwich tersebut. “Terima kasih.”

Bel berdering menandakan kegiatan sekolah akan segera dimulai. Pelangi berpamitan pada Sekala dan Arina untuk segera masuk ke kelasnya. Setelah gadis kecil itu tak lagi dipandangan, giliran Sekala yang berpamitan pada Arina. Namun sebelum benar-benar pergi, sekali lagi ia mengucapkan terima kasih karena Arina sudah menjaga Pelangi selama di sekolah.

Setelah berpamitan, pria itu melangkah menuju parkiran. Arina menatap sesaat punggung Sekala yang perlahan menjauh. Namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. Terlebih dengan adanya kotak bekal yang diberikan Pelangi di tangannya. Ia berharap semoga keadaan akan terus berlangsung seperti ini. Hingga ia dan Sekala dapat semakin dekat.

Pertemuannya dengan Sena membuat Rian mulai memikirkan berbagai cara untuk mendekati wanita itu. Terlebih dahulu tentunya dia ingin berusaha lebih dekat dengan Sena. Mungkin memulai langkah awal sebagai teman Sena. Selain karena ia belum memiliki informasi apapun tentang Sena. Menjadi teman dan klien bisnis merupakan cara yang bisa ia lakukan saat ini.

Beruntung ia sudah memiliki jalannya. Salah satu cabang restoran milik keluarganya membutuhkan perangkat kursi dan meja. Dan kali ini Rian ingin menggunakan produk dari toko furnitur di mana Sena bekerja. Sebelum menemui Sena, terlebih dahulu Rian menghubungi toko agar Sena dapat bersiap untuk pertemuan mereka.

Baru saja Rian akan keluar dari kediamannya, ponselnya berdering. Setelah melihat nama penelpon, Rian pun menjawab panggilan tersebut.

“Halo, Ma? Ada apa?”

Yan, akhir pekan nanti pulang kan, Nak. Kebetulan Meisya baru pulang. Mereka ngundang kita untuk acara menyambut kepulangan Meisya.”

Meisya yang merupakan tetangga sekaligus teman bermain masa kecilnya memang dekat dengan keluarga Rian. Meisya juga sahabat adiknya sejak SD hingga kuliah. Mereka terpisah karena Meisya melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Dan setelah hampir empat tahun berada di luar negeri, akhirnya gadis itu memutuskan untuk pulang.

“Rian usahakan ya, Ma. Sekarang kan Rian agak sibuk karena mau ngurusin cabang resto kita yang baru.”

Pokoknya kamu usahakan datang ya, Yan. Enggak enak dong masa kita nggak hadir diundangannya Tante Leni.”

“Iya, Insya Allah Rian usahakan. Rian tutup dulu ya, Ma. Mau ketemu sama pihak furnitur ini.”

Setelah menyampaikan beberapa pesan, Rian dan mama mengakhiri pembicaraan mereka. Rian pun bergegas menuju toko untuk menemui Sena. Meski alasan umumnya adalah untuk melakukan bisnis dengan perusahaan furnitur tersebut. Namun alasan khusus Rian memilih toko tersebut adalah agar dapat bertemu Sena.

Rian sengaja memilih waktu pertemuan mendekati jam makan siang. Agar ia bisa sekalian mengajak wanita itu untuk makan siang bersama. Tentu saja jika Sena menolak, Rian tidak akan memaksa. Namun ia berharap agar Sena tak menolak tawarannya nanti.

“Selamat datang, Pak Rian. Silakan duduk,” sapa Sena ketika menyambut Rian.

“Apa kabar, Mbak Sena?”

Alhamdulillah, Baik,” jawab Sena ramah. “Bisa kita mulai pembicaraannya? Apa saja kebutuhan yang Pak Rian butuhkan?”

Manajer Sena memang menugaskan pelayanan untuk Rian kepada wanita itu. Selain karena ia tahu jika calon klien mereka kali ini adalah kenalan Sena. Sehingga ia berpikir akan memudahkan proses dealing jika Sena yang menanganinya.

“Salah satu cabang restoran baru yang akan dibuka membutuhkan kursi dan meja. Karena itu saya ingin mencari mungkin ada produk yang tepat sesuai keinginan saya. Bisa Mbak Sena tunjukkan beberapa contohnya. Juga kelebihan dan kekurangan produk tersebut.”

Setelah mendengarkan kebutuhan Rian, Sena pun mulai menawarkan beberapa pilihan. Disertai penjelasan tentang keunggulan dan kelemahan produk. Cara Sena menjelaskan seperti biasa, rinci dan mudah dipahami. Namun lebih dari itu, Rian tak melepaskan pandangan dari Sena justru karena wanita itu begitu menarik di matanya.

“Pak Rian?” panggil Sena karena pria itu terpaku menatap Sena meski wanita itu sudah berhenti menjelaskan.

“Eh, ya, Mbak Sen?” ucapnya terbata.

Sena mengulum senyumnya. Baru kali ini ia mendapatkan klien yang tidak fokus pada penjelasannya. Namun entah mengapa Sena merasa sedikit santai saat berhadapan dengan Rian. Mungkin karena Rian juga tidak menunjukkan aura sebagai klien yang harus diprioritaskan seperti beberapa klien yang Sena hadapi sebelumnya. Atau karena seperti yang Rian katakan, hubungan senior-junior mereka di masa lalu membuat mereka bisa berbincang dengan lebih nyaman dan santai.

“Sudah menentukan kira-kira produk mana yang akan dipilih?”

“Sudah. Ini saja, Mbak. Seperti yang Mbak bilang bahan ini lebih tahan lama. Desainnya juga lebih terasa familiar untuk restoran keluarga.”

“Baik. kira-kira, butuh berapa banyak untuk produk ini?”

“Kalau itu, Nanti setelah saya cek sekali lagi lokasi. Setelah itu saya kabari ke Mbak Sena.”

“Baik. Kalau begitu saya catat saja dulu, ya.”

Rian hanya mengangguk selagi menunggu Sena mulai menuliskan beberapa detail untuk pesanan Rian di buku catatannya.

“Mbak, sudah masuk jam makan siang, nih. Boleh saya traktir Mbak Sena?” tanya Rian memberanikan diri.

Sena tertegun, “Tapi …”

“Bukan sebagai klien, Mbak. Saya mau traktir Mbak Sena sebagai mantan junior Mbak dulu. Boleh, kan?”

Sena tampak ragu. Namun melihat mata Rian yang penuh pengharapan, wanita itu merasa tak tega. Akhirnya Sena mengangguk mengiakan. Dalam hati Rian sudah bersorak kegirangan karena Sena menerima tawarannya. Satu langkahnya sudah berhasil ia raih. Selanjutnya adalah mengakrabkan diri dengan Sena agar wanita itu tak merasa canggung lagi padanya.

Note : halo selamat malam. Segini dulu ya, Insya Allah besok update lagi, hehe. Oh ya, jangan lupa mampir ke KBM, My Sugar Bunny juga baru update satu part. Selamat membaca :)

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Restricted area, 10/07/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top