Chapter 11 - Orang-Orang Dari Masa Lalu
Keadaan rumah sedang sepi. Ibu Sena sedang beristirahat di kamar. Sekala sendiri sudah dua hari ini tidak berada di rumah. Pria itu sedang ke luar kota demi menghadiri pernikahan sahabat lamanya. Andai bukan karena paksaan sang sahabat, Sekala memilih untuk menghabiskan waktu akhir pekan di rumah bersama keluarga.
Sena sendiri sedang menyelesaikan tugas yang diberikan Manajer toko padanya. Minggu depan perusahaan mereka akan mengadakan pameran di salah satu pusat perbelanjaan. Karena itu Sena diminta untuk memastikan beberapa hal terkait acara pameran tersebut. Mulai dari ketersediaan barang yang akan dipamerkan. Juga tempat yang disepakati dengan penyelenggara.
Di tengah kesibukannya terdengar senandung dari sosok kecil yang sedang asyik mengerjakan tugasnya. Sena mengalihkan pandangannya pada sang anak. Pelangi tampak bersemangat mengerjakan tugas akhir pekannya. Sambil bersenandung dan menggoyangkan kepala. Hingga membuat sudut bibir Sena tertarik membentuk senyuman.
“Pelangi, selesai tugas kita, jalan-jalan, yuk?” ajak Sena membuat Pelangi mendongakkan kepalanya menatap Sena.
“Ayo. Pelangi mau jalan-jalan sama Mama.”
“Oke, kalau begitu kita selesaikan dulu tugasnya, ya.”
Dua jam kemudian keduanya sudah sama-sama menyelesaikan tugas. Setelah berpamitan pada ibunya, Sena dan Pelangi bergerak menuju pusat perbelanjaan di mana perusahaan Sena akan melakukan pameran. Selain membawa Pelangi bermain, ia juga ingin memastikan pekerjaannya.
“Sebelum kita main, Mama mau melakukan sedikit pekerjaan, boleh?”
“Pekerjaan? Ini kan hari libur. Kenapa Mama bekerja?”
“Sedikiiit, saja. Enggak lama, kok. Mama cuma mau memastikan tempat untuk acara perusahaan Mama minggu depan. Pelangi mau tunggu sebentar bisa, kan?”
“Oke.”
Sena mengelus puncak kepala putrinya. Membawa Pelangi bersamanya menuju tempat pameran. Setelah bertanya beberapa hal pada petugas yang bertanggung jawab, Sena kemudian membawa Pelangi ke sebuah tempat makan favorit anaknya.
“Kita makan es krim, mau?”
“Mau sekali. Pelangi mau es krim durian.”
Sena tertawa mendengar permintaan anaknya. Minggu lalu Sekala membawakan durian setelah pulang dari kantor. Awalnya Pelangi menolak karena melihat buah durian yang kelihatan berbahaya karena durinya. Namun ketika Sena memintanya mencoba merasakan sedikit saja, anak itu malah menyukai rasa buah durian. Biasanya anak-anak akan menolak karena rasa dan bau durian yang begitu menyengat.
“Silakan, Ibu. Untuk berapa orang?” tanya Pramusaji di depan pintu masuk restoran.
“Dua orang, Mbak.”
Sena dan Pelangi pun dituntun Pramusaji tersebut menuju meja pesanan. Setelah duduk nyaman, keduanya mulai membuka buku menu. Meski hampir menghapal isi dari buku menu tersebut karena cukup sering mampir, tetap saja Sena dan Pelangi senang membuka-buka buku tersebut. Kebiasaan yang sama antara ibu dan anak perempuannya yang sering membuat Sekala menggeleng heran.
“Mama, Pelangi boleh pesan wafel juga?” tanya Pelangi setelah menutup buku menunya.
“Boleh. Mama juga mau pesan wafel. Terus minumnya mau lemon soda.”
“Es krim durian,” Pelangi menyebutkan pesanannya dengan bersemangat membuat Sena dan sang Pramusaji tertawa.
“Anaknya pintar, ya, Bu,” puji Pramusaji tersebut gemas melihat Pelangi.
“Terima kasih,” serempak Sena dan Pelangi berucap.
Selagi menunggu pesanan, Sena mengizinkan Pelangi bermain dengan ponselnya. Gadis kecil itu tidak terlalu candu dengan perangkat elektronik. Karena Sena yang selalu membatasi waktu bagi Pelangi untuk dapat bermain dengan gawai atau pun menonton tv. Meski harus dibatasi waktu, namun Pelangi tidak protes sama sekali. Gadis kecil itu tahu jika apa yang Sena lakukan adalah demi kebaikannya. Pelangi tahu jika terlalu lama bermain dengan perangkat elektronik tidak baik bagi kesehatan matanya. Ia bisa mengisi kesenggangan waktunya dengan bermain hal lainnya seperti membaca atau menggambar dan mewarnai. Ia tidak akan pernah merasa bosan karena baik Sena dan Sekala menyediakan banyak permainan yang mendidik untuknya.
Sesaat kemudian pesanan keduanya tiba. Mata Pelangi berbinar kala es krim dan wafel yang menggugah selera disajikan. Ia tak sabar untuk dapat segera menikmatinya. Namun keinginan Pelangi harus ditunda karena tiba-tiba saja ponsel Sena berbunyi. Panggilan masuk dari Sekala yang sudah dua hari tidak berada di rumah.
“Mama, Om Kal telepon.”
“Pelangi mau jawab teleponnya, Om Kal?”
“Mau.”
Sena memberikan ponselnya pada Pelangi. Anak itu dengan sigap langsung menggeser layar untuk menjawab panggilan.
“Assalamualaikum, Om Kal?”
Sekala tertegun, tak menyangka jika yang akan menjawab panggilannya adalah Pelangi. Namun begitu rasa senangnya tak bisa ia sembunyikan.
“Waalaikumsalam, Pelangi. Sedang apa?”
“Pelangi sedang makan es krim sama Mama. Om Kal kapan pulang? Pelangi kangen.”
Perasaan Sekala menghangat mendengar penuturan keponakannya. Tak ayal senyumnya tersungging. Membuat beberapa teman-temannya yang duduk di satu meja tampak terkejut.
“Sekala ngomong sama siapa?” bisik salah satu teman Sekala pada teman yang duduk di sebelahnya.
“Pacarnya kali, soalnya nadanya lembut banget,” canda temannya yang lain.
Sekala tak memedulikan bisikan teman-temannya. Ia tetap fokus pada perbincangannya dengan Pelangi.
“Nanti sore Om Kal pulang. Pelangi mau dibawakan oleh-oleh?” tanya Sekala kemudian.
“Mau.”
Selama hampir lima belas menit Sekala mendengarkan celoteh keponakannya. Sampai Pelangi meminta maaf harus menutup telepon dulu karena jika tidak es krimnya akan meleleh. Sekala tertawa mendengar permintaan Pelangi. Setelah mengucapkan salam, keduanya pun memutus sambungan.
“Siapa, Kal?” tanya teman Sekala akhirnya karena penasaran.
“Keponakan,” jawab Sekala jujur tanpa ingin memberikan informasi lebih lanjut.
Selesai berbicara dengan Pelangi, rasanya Sekala ingin segera pulang. Ia melirik jam di pergelangan. Meski ada beberapa jam lagi sebelum penerbangannya, namun karena Sekala berjanji untuk membelikan buah tangan untuk Pelangi, ia pun terpaksa berpamitan pada pasangan pengantin yang sedang berbahagia.
…
Sabtu pagi Sena sudah berangkat menuju lokasi pameran. Ia menjadi salah satu kru yang bertugas untuk berjaga di pameran. Kali ini ia tidak mengendarai motornya. Melainkan diantar oleh Sekala. Karena sore nanti mereka akan membawa Pelangi untuk menemui Sena sebelum waktu kerjanya selesai.
Saat tiba di lokasi, beberapa rekan yang bertugas bersamanya sudah tiba. Mereka pun mulai bekerja sama mengatur berbagai persiapan pameran. Terlebih kali ini seorang dari kantor pusat akan datang untuk memantau kegiatan hari ini.
Tak hanya perusahaan furnitur tempat Sena bekerja saja yang mengadakan pameran. Banyak perusahaan sejenis dan berbagai perusahaan elektronik pun ikut serta dalam pameran ini. Pihak penyelengara juga mengundang beberapa band nasional dan lokal untuk memberikan hiburan bagi para pengunjung yang akan datang nanti.
Pukul sepuluh tempat tersebut mulai ramai didatangi pengunjung. Sena dan rekan-rekannya pun mulai bersiaga untuk menerima pengunjung yang datang ke stan mereka. Beberapa hanya sekadar ingin melihat-lihat. Namun tak sedikit juga yang tertarik dengan produk furnitur yang ditawarkan.
Di tengah pekerjaannya tiba-tiba Sena dikejutkan dengan kehadiran orang-orang yang lama tak ditemuinya. Andai Sena masih dirinya setahun lalu, ia mungkin akan panik dan melarikan diri. Namun sekarang tidak lagi. Ia siap menghadapi apapun.
“Sena, kan?” seorang wanita yang tak lain adalah mantan rekan kerjanya dulu.
“Halo, Yulia dan Ema,” sapa Sena setenang mungkin.
“Ya ampun, Sen. Apa kabar?” wanita bernama Yulia langsung memasang wajah cerah karena tak salah mengenali Sena.
“Apa kabar, Sena? Ke mana aja, sih? Sejak kamu resign, nggak kedengaran lagi kabarnya?” Ema ikut menimpali.
“Alhamdulillah, baik. Kemarin-kemarin memang sempat menghilang dulu,” jawab Sena setengah bercanda.
“Sekarang kerja di mana?” Yulia bertanya lagi.
Sena memberikan selebaran yang dipegangnya. “Di sini. Kalau berminat kalian bisa lihat-lihat dulu. Siapa tahu ada produk yang diminati.”
Ema dan Yulia membaca selebaran yang diberikan Sena. Agak terkejut karena pekerjaan Sena yang sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Namun apapun itu, mereka tidak berhak merendahkan pekerjaan yang Sena geluti saat ini. Setiap pekerjaan memiliki dunianya masing-masing.
“Kebetulan, siapa tahu ada yang nyantol, nih buat Yulia. Calon pengantin,” Ema tiba-tiba berujar.
“Nah, iya. Sen, minta nomor kontak kamu yang baru, deh. Biar kita bisa komunikasi lagi. Dua minggu lagi aku nikah, nih. Kamu datang, ya. Biar kita bisa reunian sama anak kantor.”
Mendengar kabar pernikahan Yulia, Sena jelas turut berbahagia untuk rekannya itu. Akan tetapi ketika Yulia meminta nomor kontaknya, Sena sempat ragu memberikan. Namun Yulia dan Ema benar-benar ingin bisa berkomunikasi dengan Sena seperti dulu. Akhirnya Sena pun memberikan pada keduanya.
“Nanti aku kirim undangan ke kamu. Janji datang loh, ya, Sen.”
“Insya Allah, ya.”
“Usahakan dong, ya. Pasti seru kita bisa kumpul-kumpul lagi. Momen pernikahan sekali seumur hidup ini, Sen.”
Tak tega melihat permohonan yang dilakukan dua mantan rekan kerjanya, akhirnya Sena pun menyanggupi untuk datang. Meski besar kemungkinan dirinya akan bertemu dengan Aditya. Tapi Sena sudah bertekad ia tidak ingin takut lagi. Meski sekarang atau nanti, jika memang takdirnya bertemua Aditya, maka Sena tak akan bisa menghindarinya.
Sena tak bisa berlama-lama menanggapi obrolan dari Yulia dan Ema. Keduanya pun tahu jika saat ini Sena sedang bekerja. Karena itu setelah memastikan kehadiran Sena, kedua wanita itu memutuskan untuk melihat-lihat produk dari perusahaan di mana Sena bekerja. Sena pun kembali melanjutkan pekerjaannya menyapa para pengunjung lainnya.
Saat waktu makan siang, para pegawai yang berjaga pun bergantian untuk dapat mengisi perut. Kebetulan Sena mendapat giliran istirahat pertama. Sena tak perlu bingung memilih karena pusat perbelanjaan jelas menyediakan banyak gerai makanan. Setelah menyantap makan siang, ia memilih melaksanakan solat zuhur lebih dahulu. Baru kembali ke stan menggantikan rekannya yang lain.
“Permisi, Mbak. Boleh saya lihat katalog untuk produk ini?”
Seorang pria memanggil membuat Sena mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Ia pun segera menghampiri calon pembeli tersebut. Seorang pria muda yang tampak gagah yang Sena taksir usianya tak jauh berbeda dari dirinya.
“Bapak, ada yang bisa saya bantu?” sapa Sena saat berhadapan dengan pria itu.
Pria tersebut menaikkan pandangannya. Tampak tertegun kala bertatapan dengan Sena. Membuat wanita itu sedikit canggung karena ditatap cukup intens.
“Pak, ada yang …”
“Mbak Sena?”
Kali ini Sena yang tertegun. “Iya?” tanyanya dengan nada bingung.
Pria di hadapannya tersenyum. Membuat Sena makin dilanda kebingungan. Ia tak merasa pernah bertemu dengan pria ini sebelumnya.
“Mbak mungkin sudah lupa sama saya,” ucap pria itu setengah geli.
“Iya, kamu?”
Sena berusaha menggali ingatannya. Namun sekeras apapun ia berusaha Sena tak dapat mengingatnya. Ia benar-benar merasa tak mengenal pria di depannya ini.
“Ankarian, Mbak. Salah satu junior Mbak Sena di SMA.”
Dahi Sena mengernyit makin dalam. Ia benar-benar tidak mengingat sosok pria yang mengaku sebagai juniornya di SMA ini. Sena tak merasa cukup populer untuk diingat oleh para juniornya. Prestasi akademiknya biasa saja. Begitu juga dengan pribadinya yang masuk ke dalam kalangan tidak menonjol.
“Saya sama sekali nggak ingat. Maaf.”
“Saya maklum kalau Mbak Sena nggak ingat saya. Soalnya saya bukan sosok populer juga. Tapi kita pernah terlibat sebagai panitia festival sekolah.”
Sena mengerjap, ia tak percaya dengan wajah rupawan seperti Ankarian ini mengaku sebagai sosok yang tak populer di sekolah dulu. Tapi mungkin bisa saja, setiap orang pasti mengalami perubahan dalam masa pubertasnya. Begitu pun Sena.
“Sekali lagi maaf kalau saya nggak ingat kamu. Jadi, ada yang bisa saya bantu?” tanya Sena kembali dalam mode kerjanya.
“Saya boleh minta katalog untuk produk meja dan kursi ini?”
“Oke, tunggu sebentar ya, Pak Ankarian.”
“Cukup panggil Rian saja, Mbak,” pinta Rian kembali.
“Kalau itu nggak bisa. Saat ini saya sedang bekerja. Jadi saya harus profesional pada calon pelanggan. Mohon ditunggu sebentar Pak Rian. Saya akan ambilkan katalog produknya.”
Sena menjauh sejenak menuju konter katalog untuk mencari apa yang dibutuhkan Rian. Sementara pria itu tak melepaskan pandangannya dari sosok Sena. Belasan tahun mereka tak pernah bertemu. Tiba-tiba saja takdir mempertemukan mereka di tempat itu.
Senandung, satu senior yang mencuri perhatian Rian kala masa putih abu-abunya. Sena yang berada dua tingkat darinya berhasil membuat Rian jatuh cinta pada pandangan pertama. Cinta masa muda yang Rian pikir akan menghilang seiring waktu. Namun satu tahun yang mereka habiskan sebagai senior dan junior nyatanya begitu membekas dalam hati Rian.
Sayang ia tak memiliki kesempatan untuk menyatakan perasaan pada Sena. Ia yang masih muda belum punya keberanian untuk mendekati seniornya tersebut. Cukup menjadi pengagum dari jauh. Hingga hari kelulusan Sena tiba pun, Rian tetap tak memiliki kesempatan untuk mengungkap perasaannya.
“Maaf menunggu lama. Ini katalognya. Silakan dilihat dan mungkin ada yang ingin ditanyakan mengenai produknya.”
“Makasih, Mbak,” balas Rian sembari menerima katalog yang diberikan Sena.
Sena begitu cakap dalam bekerja. Beberapa pertanyaan yang diajukan Rian seputar produk furniturnya dijawab Sena dengan cukup jelas. Membuat Rian lebih mudah untuk menentukan barang yang ingin dibelinya.
“Saya butuh dalam jumlah yang cukup banyak, Mbak. Kalau Mbak Sena punya waktu, boleh saya tanya lebih lanjut di toko Mbak Sena bekerja nanti. Dengan waktu yang lebih leluasa.”
“Tentu, silakan. Pak Rian bisa hubungi kontak yang tertera untuk membuat janji. Jadi kita bisa sesuaikan waktu dan kebutuhan produknya.”
“Oke, kalau begitu terima kasih atas penjelasannya, Mbak.”
“Sama-sama.”
Rian menjauh dari stan pameran setelah menemukan apa yang dicarinya. Namun pria itu tidak pergi. Ia hanya berdiri dan menatap Sena dari kejauhan. Tak banyak yang berubah dari sosok Sena yang ia ingat dulu. Wanita itu tetap menawan. Dan tetap berhasil menarik perhatian Rian.
Lama Rian berdiri di sana hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi tatapannya. Pertemuannya dengan Sena kembali menimbulkan percikan rasa yang belasan tahun lalu ada. Kali ini, Rian bertekad untuk tak akan kalah lagi. Ia akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Mencoba mendekati Sena yang dulu tak bisa ia lakukan. Membuat wanita itu jatuh cinta. Dan Menjadikan Sena pendamping hidupnya. Kali ini Rian harus berhasil.
…
Note : Malam semua. Update lancar? Alhamdulilah. Doakan dan kasih semangat biar aku tetap rajin nulis tiap hari biar bisa rutin update ya. Kali ini, satu karakter baru hadir. Apakah akan jadi sesuatu buat Sena dan Pelangi? Nantikan saja, seperti kita menantikan perkembangan Om Kal dan calon pasangannya, hahaha.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.
Restricted Area, 07/07/21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top