Chapter 10 - Sekolah Baru
Sekolah dasar sangat berbeda dengan taman kanak-kanak. Pelangi sangat menyadari hal itu. Lebih banyak murid dan lebih banyak pelajaran yang akan Pelangi pelajari di sana. Namun Pelangi tak takut menghadapi lingkungan baru tersebut. Sejak awal ia sudah diberi pengertian oleh Sena dan Sekala. Bahwa sekolahnya yang baru nanti tidak akan sama dengan sekolah TK-nya dahulu. Pelangi akan bertemu dengan banyak orang dengan sifat yang berbeda-beda. Hanya Pelangi tak perlu khawatir. Selama ia tetap jadi anak yang patuh, ramah dan sopan, maka Pelangi akan mudah mendapatkan teman baru.
Hari pertamanya di sekolah, Pelangi tak ditemani oleh Sena seperti saat TK dulu. Bukan karena Sena tak ingin, tetapi anaknya sendiri yang meminta Sena untuk tak menemaninya. Pelangi tahu jika ibunya saat ini bukan lagi hanya ibu rumah tangga. Karena itu Pelangi meminta Sena untuk percaya bahwa gadis kecil itu akan baik-baik saja di hari pertamanya sekolah.
Selama waktu liburan sebelum memasuki sekolah dasar, Sena memang sudah mendapatkan pekerjaan baru. Meski hanya bekerja sebagai pegawai sebuah toko furnitur. Namun itu bukan hal memalukan. Sena sadar tak boleh selamanya terus bergantung pada Sekala. Ia harus memiliki penghasilannya sendiri untuk masa depan pendidikan Pelangi.
“Nanti sebelum Pelangi pulang, Nenek akan jemput Pelangi, ya. Kalau Nenek belum datang saat sekolah selesai, Pelangi minta tolong Ibu guru untuk menghubungi Nenek atau Mama, oke?” pesan Sena sebelum melepas putrinya.
“Iya. Mama kerja yang semangat, ya.”
Sena memerhatikan wajah cerah putrinya. Hatinya menghangat melihat putrinya yang begitu mengerti. Sejak kecil memang Pelangi bukan anak yang menyulitkan. Apapun yang diperintahkan dan diajarkan oleh mereka, Pelangi selalu dapat menerapkannya dengan baik.
“Oke, sayang. Anak Mama juga yang baik di sekolah, ya. Selamat belajar, sayang.” Sena memberikan kecupan pada Pelangi sebelum gadis kecil itu memasuki ruang kelas.
“Assalamualaikum, Mama,” ucap Pelangi seraya melambaikan tangan pada Sena.
“Waalaikumsalam, Nak.”
Setelah tak lagi melihat sosok Pelangi, Sena melangkah menuju lapangan parkir. Meski langkahnya terasa agak berat meninggalkan Pelangi, namun Sena harus percaya anaknya akan baik-baik saja. Terlebih di sekolah Pelangi saat ini ada seorang kenalan yang bisa Sena mintai tolong untuk memantau putrinya. Seorang guru yang merupakan teman sekolah Sekala dulu.
“Sena?” panggilan seseorang membuat Sena menghentikan langkahnya sejenak.
Seorang guru perempuan berwajah ramah menghampiri Sena. Arina, guru yang juga merupakan teman Sekala tersebut memang sudah mendapatkan informasi bahwa Pelangi akan bersekolah di tempatnya mengajar. Ia sudah bertemu Pelangi saat waktu pendaftaran. Begitu pun dengan status Pelangi dan Sena yang merupakan orang tua tunggal. Beruntung segala regulasi dipermudah oleh pihak sekolah untuk anak seperti Pelangi. Semua itu tak lepas dari bantuan Arina.
“Mbak Arina,” sapa Sena.
“Enggak nungguin Pelangi?”
“Sebenarnya mau, tapi pekerjaan juga nggak bisa ditinggal. Pelangi juga minta saya untuk bekerja saja. Dia bilang dia nggak takut ditinggal sendiri.”
Arina tertawa. “Mandiri sejak dini, ya. Tapi jangan khawatir, saya usahakan untuk tetap memantau Pelangi, kok.”
“Terima kasih ya, Mbak.”
“Nanti Pelangi siapa yang jemput? Kamu?” tanya Arina lagi.
“Nanti Ibu yang jemput. Kalau ada apa-apa tolong segera kasih tahu saya, Ibu atau Mas Kal ya, Mbak.”
“Pasti.”
“Kalau gitu saya pamit dulu, Mbak.”
Setelah mengucap salam, Sena bersiap melajukan kendaraannya meninggalkan pelataran sekolah. Arina memerhatikan hingga Sena menghilang di kejauhan. Saat pertama mengetahui apa yang menimpa Sena, ia cukup bersimpati. Namun melihat betapa tangguhnya Sena dalam membesarkan putrinya, ia makin kagum dengan wanita itu. Banyak perempuan yang akan putus harapan ketika diberi cobaan berat. Namun Sena beruntung ia mampu bertahan. Terutama karena adanya dukungan keluarga yang siap membantu Sena.
Hampir pukul sembilan ketika Sena tiba di tempatnya bekerja. Sudah ada beberapa pegawai yang tiba. Toko mereka memulai jam operasional memang pukul sepuluh pagi hingga enam sore. Namun sebelum itu para pegawai diminta untuk melakukan sedikit kegiatan bersih-bersih dan mengecek semua ketersediaan barang. Karena itu mereka harus datang sebelum pukul sembilan pagi.
Setelah memutuskan untuk kembali bekerja, banyak hal yang mulai berubah dalam hidup Sena. Ia mulai kembali terbuka dan menerima orang lain. Ia tak lagi takut membuka diri untuk berteman. Ia mencoba menjadi Sena yang berbeda dari dirinya yang dulu. Ia ingin menikmati hidupnya bersama Pelangi tanpa dibayangi oleh masa lalu.
Perubahan Sena tentu saja membuat Sekala dan sang ibu turut senang. Akhirnya mereka bisa melihat Sena yang berani lagi menghadapi dunia. Tak peduli apa kata orang-orang di sekitar tempat tinggal mereka kala melihat Sena mulai sering terlihat di luar rumah. Karena bagi mereka, Sena yang sekarang adalah cerminan dirinya yang lebih baik lagi.
“Pagi …”
Sapaan saling bersahutan sesama pegawai. Sena bergegas menuju ruang loker untuk mengganti pakaian kerjanya. Toko tempatnya bekerja merupakan salah satu cabang milik sebuah perusahaan furnitur terbaik di Indonesia. Barang-barang yang mereka jual memiliki kualitas yang tak kalah dengan barang milik perusahaan luar.
“Sen, pesanan untuk hotel Dharma sudah diproses belum?” Ardi, Manajer toko mereka bertanya padanya saat Sena tengah mengecek ketersediaan barang.
“Sudah, Pak. Ada yang ingin dicek lagi?”
“Sepertinya iya. Mereka minta tambahan sofa. Coba kamu periksa sekali lagi sebelum pengiriman, ya.”
“Baik, Pak.”
Sena bergegas menuju meja komputer untuk mengecek pekerjaan yang baru saja ditanyakan Manajernya. Meski masih berstatus sebagai pegawai baru, Sena memang sering sekali mendapat tugas dari sang Manajer. Karena hasil kerjanya yang efisien dan cekatan. Beruntung tidak ada rasa iri diantara para pegawai. Mereka semua sangat bersahabat pada Sena. Mereka juga paham mengapa Ardi sering kali mempercayakan pekerjaan pada Sena karena memang kemampuan Sena yang baik.
Setelah memastikan pesanan klien, Sena kembali melaporkan pada Ardi untuk diproses lebih lanjut. Setelah semua yang diperintahkan berhasil ia kerjakan, Sena kembali membantu rekan-rekannya yang lain di toko untuk melayani pelanggan yang datang. Kembali bekerja membuat Sena tak lagi memikirkan masa lalunya. Yang ada dipikirannya saat ini adalah bagaimana ia bisa menjadi ibu yang bisa diandalkan bagi Pelangi.
…
Seperti biasa, setiap jam pulang sekolah, Pelangi akan menunggu kedatangan neneknya di taman sekolah. Selama menunggu biasanya Pelangi akan membaca buku atau bermain dengan beberapa anak yang juga menunggu jemputan. Namun hari ini sepertinya neneknya terlambat menjemput. Hingga hampir setengah jam berlalu, keberadaan sang nenek tak juga terlihat.
Tak mengapa memang karena lingkungan sekolah mereka cukup aman. Ada petugas keamanan yang selalu memantau. Juga para guru yang tak akan meninggalkan sekolah sampai semua anak benar-benar dijemput oleh orang tua. Karena itu Pelangi memilih untuk menggambar di permukaan tanah demi mengusir rasa bosannya.
Dari kejauhan, Arina memerhatikan Pelangi yang sedang asyik dengan kegiatannya. Ia melirik arloji di tangan, sudah lewat setengah jam dari waktu biasa neneknya menjemput Pelangi. Karena itu ia berinisiatif untuk menghubungi kontak yang diberikan Sena padanya. Beberapa saat kemudian sambungan Arina pun langsung diterima.
“Halo, Assalamualaikum, dengan Neneknya Pelangi? Saya Arina, gurunya Pelangi, Ibu.”
“Waalaikumsalam, Maaf Bu Arina, saya lupa menghubungi pihak sekolah. Begini, saya nggak bisa jemput Pelangi karena tiba-tiba harus ke rumah sakit. Bisa minta tolong Ibu Arina untuk hubungi Sena atau Sekala untuk jemput Pelangi? Saya benar-benar lupa, Bu.”
“Baik, Ibu. Saya akan coba hubungi. Kalau memang Sena dan Sekala tidak bisa menjemput, boleh saya bawa Pelangi ke rumah. Nanti setelah Mama atau Omnya selesai bekerja, bisa dijemput di rumah saya,” Arina menyarankan.
“Begitu juga boleh. Sekali lagi terima kasih, Ibu.”
“Sama-sama. Assalamualaikum, Bu.”
Setelah menutup panggilan, selanjutnya Arina berusaha menghubungi Sena. Namun sayangnya Sena tak bisa menjemput Pelangi karena sedang banyak pekerjaan. Arina pun kembali menawarkan hal yang seperti ia sebutkan saat menghubungi Ibu Sena. Tentu saja Sena dengan senang hati menerima kebaikan Arina. Saat selesai menghubungi Sena, Arina kembali mencoba menghubungi Sekala. Kali ini Arina tak dapat menjangkau Sekala. Mungkin pria itu sangat sibuk atau ponselnya sedang tidak dalam keadaan bisa menerima panggilan.
Setelah mencoba beberapa kali tapi tak juga tersambung, Arina pun mengambil keputusan untuk membawa Pelangi pulang bersamanya. Setelah ia mengemasi meja kerjanya, wanita itu bersiap untuk pulang seraya menghampiri Pelangi yang masih asyik bermain.
“Pelangi,” sapanya mengejutkan gadis kecil itu.
“Iya, Bu Arina?”
“Tadi Ibu sudah hubungi Nenek, Mama dan Om Kal. Tapi Semua nggak bisa bisa menjemput Pelangi karena ada kesibukan. Ibu sudah minta izin Mama dan Nenek untuk bawa Pelangi pulang. Pelangi mau pulang ke rumah Ibu dulu, tidak? Nanti kalau Mama atau Om Kal sudah tidak sibuk bisa jemput Pelangi di rumah Ibu.”
“Sudah izin Mama?” Pelangi sekali lagi memastikan.
Arina mengangguk. “Iya. Mau ikut Ibu, kan?”
“Iya. Tapi Pelangi cuci tangan dulu, ya.”
“Iya. Ibu tunggu di sini, oke?”
Tatapan Arina mengikuti tubuh Pelangi yang sedang berlari menuju tempat mencuci tangan yang tersedia. Melihat bagaimana anak itu dengan mandiri mencuci tangannya dengan teliti. Setelah mengeringkan tangannya yang basah, Pelangi berlari menghampiri Arina kembali. Mengambil tas yang ia letakkan di pendopo yang tersedia untuk tempat anak bermain. Lalu mengikuti langkah Arina menuju motor sang guru terparkir.
“Ibu nggak punya helm cadangan. Pelangi nggak apa kan tidak pakai helm? Rumah Ibu nggak terlalu jauh kok dari sekolah.”
“Iya, Pelangi pakai topi sekolah saja.”
Berkendara dari sekolah menuju rumah Arina hanya butuh waktu dua puluh menit. Mereka pun tidak harus melalui jalan raya yang dipenuhi dengan rambu lalu lintas. Jadi cukup aman dengan Pelangi yang berkendara tanpa helm. Lain kali, Arina akan menyiapkan helm cadangan jika sewaktu-waktu Pelangi harus ikut bersamanya lagi.
Arina tinggal bersama ayah dan ibunya. Sebagai anak bungsu dan belum berkeluarga, Arina memang masih tinggal di kediaman orang tuanya. Kedua kakaknya sudah berkeluarga. Bahkan kakak keduanya tinggal di kota yang berbeda dengan mereka. Ayahnya seorang pensiunan, sedang ibunya adalah ibu rumah tangga. Beruntung kedua orang tuanya masih dianugerahi dengan kesehatan sehingga Arina masih bisa bekerja.
“Loh, siapa ini? Cantik sekali?” tanya Ibu Arina saat melihat kedatangan putrinya dengan seorang anak perempuan berseragam sekolah.
“Assalamualaikum, Bu.” Arina menyalami ibunya. “ini Pelangi, muridku. Keluaganya nggak bisa jemput. Jadi aku tawarkan untuk jaga Pelangi sampai keluarganya bisa jemput nanti.”
Pelangi yang sejak kecil diajarkan untuk bersopan santun mengikuti apa yang dilakukan Arina. Gadis kecil itu mengucap salam sembari mencium tangan Ibunda Arina. Arina dan ibunya saling pandang, kemudian tersenyum karena sikap sopan si kecil.
“Ayo masuk, di dalam ada Kakek. Pelangi kenalan dulu, yuk.”
Ketiganya bersama memasuki rumah. Di ruang tv, Ayah Arina sedang menyaksikan acara berita. Mendengar bunyi pintu depan membuat Ayah Arina memalingkan pandangan. Dahinya mengernyit saat melihat seorang anak datang bersama istri dan putrinya.
“Siapa ini?”
Arina menyalami ayahnya. “Muridku, Yah. Titip dulu di sini karena penjemputnya sedang ada urusan.”
“Oh,” balas Ayah Arina mengerti.
“Pelangi, ayo salam dulu sama Kakek,” ajak Ibu Arina.
Patuh, Pelangi pun menghampiri Ayah Arina kemudian mencium punggung tangannya. Ayah Arina sempat terkejut. Namun seperti halnya reaksi sang istri, ia pun tersenyum melihat perilaku Pelangi.
“Ibu ke kamar dulu ganti pakaian. Pelangi di sini temani Kakek nonton tv, ya.”
“Iya, Bu Arina.” Lalu Pelangi menatap ayah gurunya. “Pelangi boleh ikut nonton?”
“Boleh. Mau nonton kartun?” tanya Ayah Arina sambil menepuk bagian sofa di sebelahnya.
“Terima kasih, Kakek.”
Melihat Pelangi yang mudah akrab dengan ayah dan ibunya, Arina pun meninggalkan ketiganya untuk membersihkan diri. Sementara ibunya menyiapkan minuman dan camilan untuk Pelangi nikmati selama waktu menontonnya.
Hanya butuh lima belas menit bagi Arina untuk mandi dan berganti pakaian. Saat sedang mengeringkan rambut, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Tanpa melihat nama penelpon, Arina langsung mengangkat teleponnya.
“Assalamualaikum, halo?”
“Waalaikumsalam, Arina. Maaf saya baru pegang ponsel. Ada perlu apa tadi kamu telepon?”
Jantung Arina berdegup kala mendengar suara Sekala di ujung sambungan. Gadis itu menarik napas pelan sebelum mulai bicara. Selalu seperti ini, sejak dulu setiap kali ia berhadapan dengan Sekala. Baik secara langsung atau tidak, jantung Arina pasti menggila. Bukan tanpa sebab, karena sejak SMA, gadis itu memang menaruh perhatian pada Sekala. Hanya saja ia tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Hanya menjadi teman Sekala saja rasanya cukup bagi Arina.
“Ya, Kal. Tadi aku cuma mau tanya kamu bisa jemput Pelangi atau enggak.”
“Memangnya Ibu nggak bisa jemput?”
“Ibu kamu bilang tadi ada urusan. Jadi aku hubungi kamu dan Sena. Tapi telepon kamu nggak diangkat. Sena juga sedang sibuk. Jadi tadi aku izin sama Sena untuk bawa Pelangi ke rumah. Sekarang Pelangi ada di rumahku. Kamu bisa jemput dia?”
“Oke, setengah jam lagi kantor bubar. Titip Pelangi dulu, ya.”
Setelah bertukar salam, Sekala memutus sambungan. Beberapa saat kemudian, Arina memegangi dadanya. Entah mengapa perasaan terhadap Sekala tak pernah pudar dari hatinya. Bukan Arina tak mencoba. Saat kuliah pun ia pernah menjalin hubungan dengan lelaki lain. Hanya saja semua tak berjalan lancar. Bukan karena para pria itu tidak baik. Hanya saja hati Arina masih terpaut pada Sekala.
Ketika takdir mempertemukan mereka kembali melalui Pelangi. Perasaan yang Arina miliki pada pria itu justru semakin kuat. Akan tetapi keberaniannya untuk mengungkapkan pada Sekala masih tetap sama. Ia takut ditolak. Karena ia tak pernah tahu seperti apa perasaan Sekala. Karena selama mereka bersekolah pun, Sekala tak terlihat ingin menjalin hubungan dengan lawan jenis. Tapi kali ini, bolehkah Arina berharap Tuhan sedang berbaik hati padanya dengan mendekatkan mereka berdua?
…
Note : Lumayan cepat ya updatenya? Heheh. Entah kenapa hari ini lancar banget nulisnya. Satu hari kelar ini dari siang nulis, hahaha. Semoga ke depannya juga makin cepat update ya biar cepat kelar juga. Yang kemarin penasaran sama Om Kal, nih part kali ini ada sedikit cerita Om Kal dan Ibu guru. Apakah mereka berjodoh? Entahlah, kita lihat nanti. Oh iya, masalah jam sekolah Pelangi, aku nggak tahu jelas sekolah lain gimana, tapi jam sekolah Pelangi aku ambil referensi dari sekolah Aifa dulu. Yang jamnya dari pagi sampai jam 3 sore. Pengennya sih bikin jam sekolah kayak aku waktu SD dulu tapi zaman kan udah berubah ya. jadi anak sekolah sekarang itu berat mana lagi pandemi juga ya, hahah. Semoga Pandemi cepat berakhir ya. Biar anak-anak bisa sekolah. Biar kita bisa bebas keluar dan menghirup udara tanpa masker. Aamiin!
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Restricted area, 05/07/21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top