Chapter 1 - Pengakuan
Terjebak dalam hubungan terlarang dengan atasan membuat Sena harus merasakan konsekuensinya. Dua garis di alat kehamilan menjadi penanda adanya kehidupan di perut wanita itu. Sena tahu hal itu tak mungkin bisa ia hindarkan saat dengan bodohnya terlena oleh rayuan sang atasan. Sena yang tahu jika atasannya adalah pria beristri, tapi masih juga memilih bermain api. Maka resiko yang harus perempuan itu tanggung saat ini adalah kehamilan yang terjadi di luar pernikahan.
Sena sadar tak mungkin meminta pertanggung jawaban pada Aditya. Pria yang baru menikah beberapa bulan itu sudah pasti tak ingin aib hubungannya dengan sang Sekretaris menjadi konsumsi publik. Mereka sama-sama sadar saat melakukan hubungan terlarang tersebut. Sena pun tahu jika dirinya tak akan pernah mendapat status apapun dalam hubungan mereka selain sebagai perempuan simpanan. Maka ketika satu janin yang tak direncanakan bersemayam di perutnya, Sena memilih untuk menjauh dari Adiya. Karena ia tahu ia tak akan mendapat apapun.
“Apa alasan kamu mengundurkan diri?” tanya Aditya saat peremupuan itu menyerahkan surat pengunduran dirinya.
“Saya, berencana pindah ke luar kota, Pak.”
Jawaban Sena tak memuaskan Aditya. “Kamu berbohong kan?”
Sena menghela napas pelan. Tangannya perlahan mengeluarkan sesuatu dari saku blazernya. Meletakkan benda berbentuk seperti stik di atas meja kerja Aditya.
Mendapatkan hadiah tak terduga jelas membuat Aditya terkejut. Sekilas tadi bahkan jantungnya serasa berhenti berdetak. Tak perlu IQ tinggi untuk mengetahui apa maksud dari benda yang diserahkan Sena.
“Saya hamil. Dan saya yakin akan menjadi masalah besar kalau sampai berita kehamilan saya yang tanpa suami sampai tersebar nanti.”
“Kenapa kamu bisa sampai hamil?”
Pertanyaan bodoh Aditya membuat Sena menganga tak percaya. Mereka berhubungan seks. Dan sekarang pria itu mempertanyakan mengapa ia bisa hamil?
“Bapak sadar dengan apa yang Bapak tanyakan, kan?” Sena balik bertanya.
“Saya selalu menggunakan pengaman. Dan kamu juga selalu bilang kalau kamu mengkonsumsi pil kontrasepsi.”
“Itu tidak menjadi jaminan kalau semuanya akan aman. Kalau Tuhan sudah berkehendak, memangnya apa yang tidak bisa terjadi?”
Aditya mengamati perempuan muda di hadapannya dengan raut yang sulit diartikan. Dua tahun lalu perempuan ini mulai bekerja di kantornya sebagai Sekretarisnya. Senandung memiliki penampilan yang menarik. Tak hanya wajahnya yang mampu menarik perhatian para pria. Kemampuan wanita itu dalam bekerja juga patut diacungi jempol. Dan Aditya adalah satu dari sekian pria yang jatuh pada pesona gadis itu.
Sebagai pria yang sudah memiliki calon istri, Aditya harusnya tahu dirinya tak boleh bermain api. Tapi godaan tak bisa pria itu abaikan. Terlebih saat Sena pun memiliki ketertarikan yang sama dengan pria itu. Bahkan Sena yang tahu pria itu sudah bertunangan, rela mengambil resiko sebagai orang ketiga. Posisi yang dipandang buruk bagi perempuan lainnya.
Mencintai seseorang bukanlah kesalahan. Tapi menjadi salah ketika orang yang dicintai sudah memiliki ikatan dengan orang lain. Dan Sena memilih melangkah di jalan berapi tersebut. Kebodohan yang bisa membawanya pada kehancuran. Jika sampai hubungan gelapnya dan Aditya diketahui, tak hanya namanya yang tercoreng. Tapi juga keluarganya. Namun Sena yang sedang dimabuk cinta, tak memikirkan resiko tersebut. Sampai satu nyawa kecil hadir di dalam perutnya. Barulah Sena mulai memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya.
Ia mencintai Aditya, tapi ia tahu pria itu tak bisa memilihnya. Mungkin bisa, tapi sejak awal pria itu menegaskan tak akan memilihnya. Dan Sena terima kenyataan itu. Sebagai orang bodoh yang mengambil langkah salah tersebut, Sena bersiap menanggung resiko apapun. Termasuk jika harus mendapat hinaan dan cercaan atas statusnya saat ini.
“Lalu keputusan kamu tetap sama. Kamu memilih untuk resign?” Aditya kembali mempertanyakan kembali keputusan Sena.
“Memangnya ada jalan lain yang bisa saya pilih?”
Misalnya, Bapak bersedia menikahi saya – Sena tahu itu hanya bisa ia utarakan dalam hati saja.
“Kalau memanng itu keputusan kamu, saya kabulkan. Kamu tahu saya tidak bisa menjanjikan apapun untuk kamu.”
Keputusan sudah dibuat. Tak ada setitik pun rasa iba atau bersalah yang Aditya tunjukkan. Harusnya Sena tahu memang begitulah pria itu. Selama dua tahun ia mengenal Aditya, tak pernah sekali pun pria itu menunjukkan sikap yang menunjukkan ia akan bertanggung jawab andaikan sesuatu seperti ini terjadi dalam hubungan mereka. Hubungan mereka didasarkan perasaan sama-sama bersedia. Aditya yang meminta namun Sena pun tak menolak.
Sena tak bisa menyalahkan Aditya. Pria itu bahkan baru melangsungkan pernikahan enam bulan lalu. Dengan wanita yang yang dijodohkan keluarganya. Hubungan yang berlandaskan atas kerja sama namun tak ada penolakan dari Aditya. Sebagai perempuan, ia mengakui dirinya yang terlampau bodoh. Bersedia berhubungan dengan pria yang jelas-jelas tak akan memberikan masa depan untuknya.
“Kalau begitu saya permisi,” ucap Sena berpamitan untuk terakhir kali pada pria itu.
Hati Aditya tak tergerak sedikit pun untuk menahan gadis itu. Meski kini ada janin yang merupakan darah dagingnya bersemayan di tubuh Sena. Pria itu tak memiliki niat untuk menghentikan langkah Sena. Ia hanya menatap kepergian perempuan itu hingga menghilang di balik pintu ruang kerjanya. Lagipula sejak awal ia sudah menegaskan pada wanita itu. Aditya tak merasa harus bertanggung jawab atas anak di dalam perut Sena.
Sebelum kembali ke meja kerjanya, Sena memilih untuk masuk ke toilet wanita. Di salah satu bilik, ia menumpahkan tangisnya. Meski tahu akhirnya akan seperti ini, namun dalam hati terdalamnya Sena memiliki sedikit harapan Aditya akan bersedia menerimanya juga darah daging mereka. Tapi kenyataan memang tak selalu seindah harapan. Yang bisa Sena lakukan saat ini hanya menangis dan menangis. Menumpahkan perasannya yang bercampur aduk.
Kamu kuat. Kamu harus kuat. Ini semua hasil dari kebodohanmu. Ini pilihanmu dan hanya kamu yang bisa mempertanggung jawabkannya. Kamu kuat!
Entah sudah berapa lama Sena menangis sembari menguatkan dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa Sena sesali. Satu langkah baru saja ia lewati. Kini Sena hanya perlu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi tantangan selanjutnya. Apalagi jika bukan keluarganya.
…
Ketakutan terbesar seorang anak adalah ketika mengecewakan kedua orang tuanya. Mereka memang tak pernah meminta seorang anak selalu menjadi yang membanggakan. Tapi ketika sang anak mencoreng arang di wajah kedua orang tua. Maka saat itulah kedua orang tua merasa telah gagal membesarkan seorang anak.
Begitu pula yang saat ini dirasakan Ibu Sena. Mendapati kenyataan putrinya telah berbadan dua tanpa seorang suami. Dunianya seakan runtuh kala mendengar pengakuan dari putri satu-satunya. Sena yang kini berlutut di lantai masih terus menundukkan pandangan.
Satu jam sebelumnya Sena hanya mengutarakan kepada Ibu dan Sekala –kakak lelakinya– bahwa ia telah mengundurkan diri dari pekerjaannya. Tentu saja ibunya dan Kala begitu terkejut. Selama ini mereka tahu jika Sena sangat menikmati pekerjaannya. Tak pernah sekali pun Sena mengeluhkan pekerjaannya. Tiba-tiba gadis itu mengundurkan diri, tentu menjadi tanda tanya bagi kakak dan ibunya.
“Alasannnya apa kamu resign? Bukannya kamu suka pekerjaanmu?” tanya Kala begitu penasaran.
“Eum, mau cari suasana baru. Kerja di sana akhir-akhir ini bikin bosan.” Sena menjawab sekenanya.
Kala tampak curiga. Ia tak percaya pada apa yang dikatakan adiknya. “Jangan bohong, Sen. Mas tahu kamu suka bekerja di sana? Apa ada masalah dengan rekan kerja atau atasan kamu?”
“Lagipula kenapa harus mundur, Sen. Kamu kan tahu sekarang ini gimana susahnya cari kerja. Sudah dapat kerja yang nyaman dan mapan, kenapa kamu tiba-tiba keluar?” ibunya ikut mencecar Sena.
“Aku cuma lagi nggak nyaman aja sekarang ini. Mau ganti suasana.”
“Memang kamu sudah dapat pekerjaan baru?” Kala kembali mempertanyakan keputusan adiknya.
Sena menggeleng. “Belum. Tapi gampang lah. Sekarang ini aku mau istrirahat dulu. Mungkin mau traveling dulu keliling Indonesia.”
Alasan yang diutarakan Sena makin membuat Kala dan ibunya curiga. Tak pernah gadis itu berkeinginan untuk menjelajah. Mereka tahu Sena bukan gadis yang senang menghabiskan waktunya dengan menjelajah tempat-tempat asing. Gadis itu memang sejak dulu senang bepergian, tapi favorit Sena adalah mal dan tempat-tempat hiburan indoor lainnya. Bukan yang menantang adrenalin seperti gunung dan lautan.
Mata Sekala menatap intens adik perempuannya. “Sen, jujur sama Mas. Apa alasan kamu sebenarnya sampai keluar dari pekerjaan?”
Ditatap setajam itu oleh kakaknya membuat nyali Sena menciut. Sejak ayah mereka meninggal saat Sena berusia 11 tahun, Kala lah yang menjadi pelindung bagi gadis itu. Kakak lelakinya benar-benar menggantikan posisi sang ayah sebagai sosok penjaganya. Pernah sekali waktu saat SMP, Sena bertengkar dengan seorang temannya hanya karena seorang laki-laki. Kala langsung menjadi tameng pelindung bagi adiknya saat itu. Tak membiarkan siapa pun menyakiti adik kesayangannya. Mereka yang hanya dua bersaudara tentu saja begitu dekat satu sama lain.
“Sena, cerita sama Mas.”
Suara lembut Sekala membuat Sena tak dapat menahan perasaan bersalahnya. Ia yang tak terbiasa berbohong pada keduanya pada akhirnya tak mampu lagi menahan diri. Kejujuran pun mengalir lancar dari bibirnya.
“Aku hamil.”
Baik ibunya dan Kala merasa bahwa pendengaran mereka sedang bermasalah. Keduanya lantas menatap gadis yang kini menundukkan kepalanya tersebut.
“Kamu bilang apa? Ucapkan dengan jelas, Sen.” Ibunya memerintah.
Sena menarik napas panjang sebelum menaikkan pandangannya. Ia sudah siap menerima apapun yang akan dilontarkan ibu dan kakaknya.
“Aku hamil, Bu.”
“Hah? Kok bisa? Sen, jangan bercanda kamu.” Ibu Sena mulai menaikkan nada suaranya.
“Aku nggak bercanda, Bu. Saat ini aku sedang hamil. Itulah alasan sebenarnya kenapa aku harus resign?”
Jantung Ibu Sena seakan berhenti berdetak sejenak. Tubuhnya melemas mendengar pengakuan putrinya. Bagaimana tidak, jika Sena yang tak pernah mengenalkan pria mana pun padanya tiba-tiba saja hamil. Saat ini rasanya ia ingin mengubur diri karena masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Sena.
Tak kalah kecewa dari ibunya, Kala pun hanya mampu terduduk lemah di sofa. Kepalanya tiba-tiba berdenyut sakit. Adik perempuan yang selalu ia jaga ternyata telah melakukan hal terlarang yang tak pernah ia bayangkan.
“Siapa? Siapa yang menghamili kamu?” teriak ibunya tak dapat lagi membendung perasaan kecewanya.
“Bu …” Kala berusaha menenangkan sang ibu.
Tapi perempuan paruh baya itu sudah terlanjur murka. Ia langsung memukuli Sena dengan kedua tangannya. sebagai seorang anak, Sena tak melakukan perlawanan apapun. Karena Sena tahu jelas dirinya memang bersalah. Ia terima semua kemurkaan dari sang ibu.
Kala yang meski kecewa tapi tak tega melihat adiknya harus mendapat murka sang ibu, berusaha untuk menenangkan ibunya. Pria itu berusaha keras menarik tubuh ibunya menjauh dari Sena. Sampai akhirnya sang ibu merasa tak sanggup lagi melampiaskan amarahnya. Ia menangis di pelukan putranya.
“Apa dosa Ayah dan Ibu sama kamu, Sen. Kenapa kamu bisa berbuat begini pada kami. Kurang baik apa kami dalam membesarkan kamu? Di mana salahnya kami dalam mendidik anak perempuan kami satu-satunya?”
Sang ibu menangis menumpahkan kekecewaannya. Sena yang saat dipukuli tadi sama sekali tak menangis, justru meneteskan air mata demi mendengarkan ucapan ibunya. Perempuan itu langsung bersimpuh di kaki ibunya. Memohon ampun.
“Maafin aku, Bu. Aku yang salah, Bu. Ampuni Sena!” isak gadis itu membuat baik ibunya dan Kala langsung terenyuh.
Anak perempuan yang begitu mereka sayangi dan jaga, kini justru menorah noda pada kehormatan keluarga.
“Pergi. Pergi jauh-jauh dari sini. Ibu nggak sanggup, Sen. Ibu nggak sanggup lihat wajah kamu.”
Pengusiran yang dilakukan ibunya karena dikuasai emosi membuat Sena tak sanggup menahan kesedihannya. Kala pun yang mendengar hal tersebut dibuat terkejut.
“Bu, istighfar. Jangan bertindak saat emosi,” ucap Kala mengingatkan.
“Lalu kamu mau Ibu gimana, Kal? Adikmu itu …” ibunya menunjuk kea rah Sena yang kini berlutut di lantai sambil menundukkan wajah menyembunyikan tangisnya.
“Adikmu itu …. di mana salahnya Ibu mendidik dia, Kal? Salahnya di mana?”
“Ibu nggak salah. Sena yang salah karena nggak berpikir panjang saat bertindak. Tapi jangan usir Sena, Bu. Mau ke mana dia? Siapa yang bisa dia andalkan di keadaan sulit begini kalau bukan kita. Sena cuma punya kita, Bu. Ibu dan aku juga hanya punya satu anak dan adik perempuan.”
Tubuh Ibu kembali berguncang karena tangis. Entah untuk berapa lama Kala membairkan ibunya menangis sembari mendudukkan tubuh renta tersebut kembali ke sofa. Kebungkaman mengisi jeda waktu yang terlewat. Sampai akhirnya sang ibu berhenti menangis dan hanya menatap hampa pada putrinya yang masih berlutut di lantai.
“Siapa Ayah bayi itu, Sen?” ibunya akhirnya kembali bicara. Kini tak lagi dikuasai amarah.
Sena bungkam. Tak mungkin ia membeberkan bahwa ayah bayinya adalah mantan atasan Sena.
“Aku yang salah, Bu. Aku yang jatuh cinta dan jadi bodoh karena cinta itu sampai akhirnya tanpa pikir panjang menyerahkan diri. Sejak awal laki-laki itu sudah menegaskan, Bu. Laki-laki itu sudah berkeluarga.”
Makin lah hancur rasanya hati Ibu Sena mendengar hal itu. Hamil di luar nikah dan menjadi perempuan ketiga dalam rumah tangga orang lain. Entah Tuhan sedang memberikannya ujian atau sedang menghukum atas dosa yang tidak pernah ia sadari. Ibu Sena hanya bsia sesenggukan sembari memegangi dadanya yang sesak.
“Kenapa sih, Nak? Kurang apa Ibu dan Mas-mu menyayangimu sampai kamu bisa begini, Sen? Mas-mu itu, tidak pernah ibu lihat dia macam-macam. Dia selalu hormat pada perempuan yang dekat dengannya. Karena dia takut sedikit saja dia menyakiti perempuan, karma Tuhan akan berimbas pada adik perempuannya. Kenapa Sena?”
Sena menggeleng sambil berurai air mata. Hatinya makin sakit kala mengingat betapa kakak lelakinya selalu bersikap baik pada perempuan demi dirinya. Kala adalah orang yang selalu ada baginya ketika sosok ayah tak lagi Sena dapatkan.
“Maafin aku …”
Kala dan ibunya kembali hanya bisa menatap hampa pada Sena yang masih terus menangis sesenggukan. Tak tahan melihat adiknya yang terus menangis, Sekala menghampiri Sena. Menggendong adiknya untuk ia bawa kembali ke kamar. Sang ibu hanya bisa menyaksikan dalam diam tindakan anak lelakinya.
“Maafin aku, Mas,” isak Sena. Tangannya mengerat kaus bagian depan Kala yang kini basah karena air matanya.
Kala tak menjawab apapun. Ia hanya meletakkan tubuh lelah adiknya yang sejak tadi menangis di atas ranjang.
“Maafin aku, Mas.”
Sekala menatap adik kesayangannya yang wajahnya sembab karena terus menangis. Ia mengusap lembut puncak kepala Sena.
“Istirahat ya. Tenangkan diri kamu dulu. Mas mau bantu tenangkan Ibu dulu.”
Sena mengangguk. Sekala kemudian merapikan selimut di tubuh adiknya. Sebelum meninggalkan Sena, ia memberikan kecupan panjang di dahi adiknya. Meski kecewa, tapi Sekala tetap tak bisa membenci adiknya.
Sena menatap kepergian kakak lelakinya yang menghilang di balik pintu kamarnya. Tangisnya kembali pecah. Saat menghadapi Aditya, ia bisa bersikap begitu kuat. Tapi tidak di depan keluarganya. Meski lelah, tapi ada kelegaan yang dirasakannya setelah mengatakan hal yang sejujurnya. Ibu dan kakaknya boleh marah. Tapi mereka tetap menerimanya. Ia bersyukur memiliki keluarga seperti ibunya. Terlebih kakak lelaki seperti Sekala. Betapa pun kecewanya mereka, Sena tetap memiliki tempat untuk bersandar. Karena Sena tahu hanya keluarga yang akan mencintaimu tanpa syarat.
…
Note : yow … yow … kembali lagi dengan Sena yang lainnya, hahaha. Ini work judul awalnya Pelangi. Itu pun bukan tentang perempuan hamil di luar nikah. Entah kenapa pas bongkar-bongkar filenya langsung kepikiran, eh jadiin aja senandung yang lain deh. Ya udah deh jadi aku rombak jadilah Senandung Pelangi. Tema masih tetap sama, tapi dengan permasalahan yang beda dari Sena-nya Melody. Kayaknya aku lagi mood garap ini, jadi selamat membaca ya. Dan tetap sabar ya kalau update-nya molor. Makasih 😊🤗
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Pss : pengen punya abang kayak Sekala dong, soalnya aku cuma punya kakak perempuan, 😭😭
Psss : ada korban baru nih buat dikutuk 😂😂😂
Rumah, 03/20/11
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top