Senandung Lara, Part 9
Respon masih dikit ya, hihi.
Cuma pen tahu, kira kira bagusnya ini cerita dilanjutkan apa nggak yaa? 😅
Kalau vote masih dikit ini akan jadi part terakhir.
Happy reading guys ....
🌼🌼
Lara memetik gitarnya, bibir mungil itu menyanyikan sebuah lagu. Sore itu hujan rintik.
"Mbak Lara, mau minum apa? Saya bikinin," tawar Bik Endah.
"Nggak usah, Bik. Saya sedang tak ingin apa-apa," jawabnya tersenyum.
"Kalau gitu, saya kerjakan yang lain ya, Mbak," pamit perempuan setengah baya tersebut.
"Iya, Bik."
Lagu more than words terdengar merdu dari bibirnya. Tanpa disadari Lara, lelaki berambut sebahu berhidung mancung sudah berada di depannya. Hingga bait terakhir saat dia menghentikan petikan gitarnya, terdengar suara "I love you, Bening!"
Sontak Lara mencari asal suara.
"Bian?"
Bian diam tak merespon panggilan Lara. Pelan gadis itu meletakkan gitar dan berdiri.
"Bian? Itu kamu kan?"
"Hatimu akan menuntun langkahmu untuk menemukanku, Bening," batinnya. Bian masih diam mengamati langkah Lara. Sementara gadis itu perlahan mendekatinya.
Jemari lentik Lara menyentuh wajahnya, Bian memejamkan mata seolah menikmati setiap sentuhan Lara. Mereka berhadapan sangat dekat.
"Ini kamu, Bian?"
Lelaki itu menelan saliva pelan.
"Kamu cantik, Bening!" bisiknya.
"Mbak Lara, eh maaf, saya kira mbak Lara sendiri saja." Bik Endah muncul dari dalam.
Sontak mereka berdua membuat jarak.
"Ada apa, Bik?"
"Eh, barusan mama telepon, nanti selepas maghrib konsultasi ke dokter mata,"
Lara mengangguk mengucap terima kasih.
"Mas Bian, mau minum apa?"
"Eum, saya kopi aja, Bik."
"Baik,saya ke dalam dulu."
"Apa kabar, Bening?" Bian berkata setelah Bik Endah masuk.
"Baik, kamu kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?" Lara kembali duduk.
"Mau kasi surprise, kamu tahu apa yang aku bawa?"
"Bunga?"
"Kok kamu tahu?" Bian mengernyit.
"Aku mencium aromanya," ujar Lara tersenyum.
Bian memberikan serangkai bunga ke tangan Lara.
"Terima kasih, Bian."
"Terima kasih aja?"
"Lalu apalagi?"
"Eum ..., nggak apa-apa deh."
Lara tersenyum manis. Tak lama Bik Endah datang membawa secangkir kopi dan cemilan.
"Silahkan, Mas Bian."
"Iya, terima kasih, Bik."
"Bian, kamu perokok ya?" pertanyaan Lara membuat Bian mengurungkan menikmati kopi. Dia terdiam sesaat.
"Kalau iya, kamu nggak mau dekat aku?"
"Bukan begitu, aku cuma ingin tanya, apa yang kamu dapat dari menghisap benda itu?"
"Entah, yang jelas ada rasa beda setelah aku menghisapnya."
"Kamu tahu akibatnya kan?"
"Iya, sangat tahu."
"Lalu kenapa tak segera berhenti? Kamu tidak menyayangi dirimu?"
Bian menatap lekat gadis di depannya. Selama ini dia akan marah dan tersinggung jika ada orang mengingatkan bahaya merokok, tapi, tidak kali ini. Dia bahkan merasa bersalah mendengar pertanyaan Lara.
"Kamu marah, Bian? Kamu marah aku ikut campur di hidupmu?" Lara merasa bersalah.
Bian menyingkirkan rambut Lara yang berserak di kening gadis itu.
"Aku tidak marah, aku senang kamu ingatkan hal ini, itu artinya kamu perhatian, meski kamu belum bisa menerima cintaku."
Pelan Lara menepis tangan lelaki itu.
"Bian, kamu yakin dengan perasaanmu padaku?"
"Kenapa kamu menanyakan itu? Tentu saja aku yakin, bahkan lebih dari yakin."
Lara tersenyum tipis.
"Terima kasih untuk semua keyakinan dan rasa itu. Tapi ...."
"Aku tahu, keyakinan kita beda, iya kan? Aku mengerti, Bening."
Hening sesaat.
"Tapi apa itu artinya kamu juga mencintaiku?" Bian menatap lembut gadis didepannya.
"Kamu bisa tanya pada hatimu, seperti apa perasaanku."
"Lalu bagaimana jika hatiku mengatakan bahwa perasaan kita sama?" Bian mendekatkan wajah ke arah Lara sehingga tak berjarak.
"Bisa jadi hatimu benar," gumam Lara pelan namun jelas di telinganya.
"Bening, jujur aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, rasa ini ada ketika aku melihatmu dan melihat hatimu, sejak itu aku tahu bahwa kamu memang diciptakan Tuhan untukku."
Deru mobil terdengar.
"Mama datang, Bian."
"Lalu kenapa? Nggak apa-apa, kan? Biar beliau tahu bahwa aku mencintai putrinya."
"Ish, malu ah! Jangan dekat-dekat!"
Bian terkekeh geli.
"Aku akan menjauh, tapi bilang padaku jika kamu mencintaiku," bisiknya.
"Bian! Mama sudah datang,"
"Oke, kita sambung nanti."
****
Setelah salat maghrib, atas permintaan Bian mereka bertiga bersama ke dokter mata.
"Kamu kenal dengan dokter Ammar, Bian?" tanya Mama Lara.
Bian dibelakang kemudi menggeleng.
"Nggak, Tante, saya cuma tahu saja, teman pernah cerita," jawabnya.
"Kamu yakin dia bisa menangani Lara dengan baik?"
"Yakin Tante, yakin banget malah."
"Oke,tante percaya padamu."
Mobil terus meluncur menuju kediaman dokter Ammar.
***
Kediaman dokter Ammar sangat asri. Banyaknya koleksi anggrek dan beberapa adenium di halaman rumah pertanda dia penyuka tanaman hias.
Sengaja Mama Lara membuat janji dengan dokter Ammar di rumahnya, supaya suasana lebih santai.
Bian memencet bel pintu, tak lama muncul sosok jangkung berhidung mancung dengan senyuman ramah menyambut mereka.
"Selamat malam, silahkan masuk," sapanya.
Ruang tamu sangat rapi, tatanan build in dengan tema minimalis mendominasi rumahnya.
"Mau minum apa, nih?" tanyanya.
"Tidak perlu repot, dokter. Kami hanya konsultasi sebentar saja, nanti malah merepotkan," sahut Mama Lara.
Lelaki itu tersenyum.
"Dalam agama saya, tamu adalah raja, datang membawa berkah, jadi apapun keperluan tamu, tetap harus dijamu. Baiklah berhubung saya tinggal sendiri, saya buatkan yang cepat saja, ya." Dia beranjak menuju dapur.
Tak menunggu lama, senyumnya kembali muncul membawa orange juice buat ketiga tamunya.
"Baik, silahkan dinikmati. Jadi ini Lara?"
Lara tersenyum ragu.
"Iya, dokter."
"Jadi bagaimana, dokter?"
"Begini, Bu, kita harus observasi dulu kondisi Lara, sebab penderita low vision jika telah terlalu lama di biarkan, kemungkinan sangat kecil untuk pulih. Tapi ada solusi yaitu mencari pendonor."
"Lalu apa saran dokter untuk kasus anak saya?"
"Tetap, Bu, kita harus lakukan observasi dulu. Ibu besok datang bersama Lara, ke klinik mata milik saya. Saya tunggu jam sembilan di sana."
"Baik, dokter," sahut Amira.
Bian memegang erat jemari Lara, seolah ingin memberi kekuatan untuk gadis yang dia cintai itu.
Pemandangan itu menarik perhatian dokter Ammar.
"Jangan khawatir, Lara, kita harus optimis menghadapi apapun. Lagipula kasus seperti yang kamu alami ini juga pernah dialami pada pasien saya, dan dia sekarang sudah bisa melihat," ujarnya tersenyum.
"Iya, dokter, terima kasih supportnya."
Setelah berbincang seputar penanganan mata Lara, mereka bertiga berpamitan.
"Jangan lupa, besok jam sembilan saya tunggu," ujar dokter Ammar mengingatkan.
"Baik, dokter. Kami permisi, assalamualaikum," ujar Mama Lara.
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarokaatuh, hati-hati," pesannya.
Bian masih menggenggam tangan Lara menuntunnya menuju mobil. Amira menangkap ada sesuatu yang dirasakan pada Bian pada putrinya. Wanita berjilbab itu tersenyum datar. Dia tahu Bian adalah putra dari atasannya, dan mereka berbeda keyakinan.
"Kita mampir makan malam dulu, yuk" ajak Amira ketika mereka semua di dalam mobil.
"Boleh, kita mampir ke kafe saya aja, Tante," usul Bian semangat.
"Oke, kita ke kafe kamu aja. Menu unggulannya apa, Bi?"
"Banyak, Tante. Kita cobain menu baru ya, semoga Bening suka!"
"Bening?" tanya Amira.
"Eum, bolehkan saya memanggil putri Tante beda dengan yang lain?" tanya Bian sedikit salah tingkah.
"Boleh, tentu saja. Tapi kenapa tiba-tiba kamu ingin memanggilnya beda?" Amira mencoba mendesak Bian.
"Eum, saya lebih suka saja, Tante. Dia lebih pantas dipanggil seperti itu, ya kan Bening?" Dia melirik Bening yang duduk di sampingnya.
Gadis itu tersenyum manis, sangat manis di mata Bian. Melihat reaksi Bian dan putrinya, Amira menyadari gejolak hati keduanya. Namun, dia tak lagi mendesak lelaki itu mengaku.
***
"Potato with beef & Original Coffee, Tiramisu & Chicken Wings Barbeque, Orange Crush & Nasi Goreng Kambing, Tomyam & Mojito Squash, serta Fettucine Carbonara dengan rasa yang yummy banget sesuai selera Anda." Bian tersenyum setelah memberi penjelasan tentang menu baru di kafenya.
"Wah, tante bingung pilih yang mana, Lara, kamu mau yang mana sayang?" tanya mamanya.
Lara menggeleng tersenyum.
"Semua terdengar asing, Ma. Lara belum pernah mencoba semua makanan itu," sahutnya.
"Kalau begitu, kamu harus coba semuanya, oke?" ucap Bian menatap lembut gadis di depannya.
"Terserah kamu aja, Bian." Lara merapikan rambutnya.
"Baik, Tante, tunggu sebentar di sini, biar saya siapkan sendiri dengan tangan saya, sebelumnya Tante sama Bening bisa menikmati wellcome drink dulu," ucapnya semangat.
"Lara, ada yang mau mama tanyakan," ujar Amira pada putrinya ketika Bian meninggalkan mereka.
"Apa, Ma?"
"Apa yang kamu rasakan saat Bian bersamamu?"
Wajah Lara merona seketika mendengar pertanyaan itu.
"Eum, maksud Mama?"
"Mama tahu, Bian memberi perhatian lebih padamu, Nak."
Lara terdiam, sayup suara dari d'cinnamons menyanyikan lagu Selamanya Cinta.
"Apa dia pernah bilang bahwa mencintaimu?"
Lara mengangguk pelan.
"Dan kamu juga mencintainya?"
Lara diam tak merespon ucapan mamanya. Dia tahu hal ini berat dan kecil kemungkinan untuk diwujudkan.
"Lara? Katakan sayang, apa kamu punya perasaan yang sama padanya?"
"Ma, jika Lara menjawab iya, apakah itu artinya kami bisa bersama? Lara tahu, Dia tidak satu keyakinan dengan kita, dan itu mustahil bagi Lara membalas perasaannya." Suara Lara bergetar.
Wajah Amira sendu menatap Lara. Dia seolah merasakan keresahan hati putri cantiknya itu.
"Lara, jangan mengambil kesimpulan lebih awal, kita tidak tahu siapa yang Allah kirim untuk mendampingimu kelak, siapa tahu Bian dikirim memang untukmu, kita tidak tahu jika kelak dia diberi hidayah," ujarnya memberi semangat Lara.
Gadis itu mengangguk kembali tersenyum. Tak lama Bian dan beberapa pelayan datang dengan nampan penuh aneka hidangan.
"Selamat menikmati, Bening, Tante, semoga suka,"
"Bian, ini banyak banget, mana bisa kami menghabiskan semuanya," ujar Amira kaget.
Bian terkekeh geli.
"Tante bisa bawa pulang,"
Bian duduk disamping Lara menatapnya lekat.
"Kamu coba yang ini, potato with beef, aku suka banget." Bian mengambilkan menu yang dia maksud.
"Mau aku suapin?" bisiknya di telinga Lara.
"Ish, aku bisa sendiri,"
Bian tersenyum.
Amira, Lara dan Bian asik berbincang, ketika tiba-tiba seseorang datang dan memeluk Bian dari belakang.
"Halo, Beib kamu dari mana aja, sih? Seharian aku telepon nggak diangkat,"
"Ck! Karin, kamu bisa sopan nggak sih? Nggak lihat apa aku ada tamu?" Bian melepaskan pelukan Karin dan menghindar. Wajahnya berubah kesal.
"Eh, iya, maaf, Tante. Kenalin saya Karin," gadis itu mengenalkan diri. Ramah Amira membalas uluran tangannya.
"Saya Amira, dan ini putri saya,"
"Dia Bening, sudah kamu bisa tinggalkan kami sekarang?" Bian menatap tajam Karin.
"Kok kamu gitu sih?" protesnya.
"Emang ada perlu apa kamu mencariku?"
"Bian! Aku kan kangen, aku pingin jalan-jalan sama kamu," ujar Karin manja.
"Karin!" suara lelaki itu meninggi.
Melihat situasi yang tak lagi kondusif, Amira memutuskan untuk segera pergi. Dia tak ingin Lara bersedih.
"Eum, Bian, tante sama Lara balik dulu ya, maaf kami berdua mengganggu acara kalian," sela Amira beranjak dari kursi diikuti Lara.
"Tapi Tante, saya antar ya, saya tidak ada urusan apapun, kok."
Amira menggeleng.
"Nggak usah, selesaikan urusanmu dengan Karin, kami bisa naik taksi online, kami pulang dulu ya, terima kasih, Bian."
Amira menggandeng Lara pergi meninggalkan kafe Bian.
"Minggir lu! Lagian sejak kapan gue punya janji sama elu, dan sejak kapan gue pernah jalan-jalan sama elu!" Bian berlari mengikuti Lara dan Amira.
"Bening! Bening tunggu, Tante!"
Teriakan Bian tak lagi terdengar oleh mereka. Lara dan mamanya telah di dalam mobil yang mengantar mereka pulang.
"Shit!" ingat lelaki itu, rahangnya nampak menegang dengan tangan mengepal.
Saya tunggu vote yang banyak baru akan saya lanjutkan. Hehe...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top