Senandung Lara, Bag 5


Hai, respon masih sikit Yes, hihi...
VoMen tetep di tunggu ...

Kolaborasi ke dua saya dengan Mba @faeeza_suwito

"O iya, kenalkan, ini anak bungsuku, Bian. Bian, kenalkan ini Amira, kepala divisi perencanaan." Amira mengangguk tersenyum, begitu pula Bian. Bian masih penasaran, ada pertanyaan dalam benaknya. Siapa sesungguhnya Amira ini. Ada hubungan apa dia dengan Lara?

Sepanjang makan siang, sesekali Bian mencuri pandang pada Amira. Sekilas nampak ada kesamaan di wajah perempuan itu dengan Lara. Jika benar Lara adalah putrinya, kenapa wanita itu meninggalkannya di panti asuhan? Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya.

***

Malam itu di rumah Bian, Teddy dan beberapa teman lainnya sedang nongkrong seperti biasa, di temani minuman keras.

"Bi, gue curiga sama lu." Teddy membuka suara.

"Curiga kenapa?" Bian menenggak minuman di depannya.

"Kenapa elu jadi terobsesi bikin base camp di kampung itu, jangan-jangan ada sesuatu nih!"

Bian tersenyum miring.

"Apa urusannya, Ted. Gue cuma suka sama suasananya aja!"

"Bukan karena cewek berlesung pipit itu 'kan?"

Bian menggeleng kuat, kembali menenggak minuman.

"Nggak lah! Gue cuma penasaran aja sama hidup tuh cewek!"

Teddy menghentikan Bian kembali minum.

"Cukup, Bi! Jangan sampe lu mabok! Eh penasaran kenapa emang si cewek itu?"

Bian menyalakan rokoknya, kemudian menggeleng.

"Entah, makanya gue mau selidiki."

Teddy terbahak. "Sok jadi detektif lu! Sejak kapan Bian jadi seorang yang kepo, hah?!"

Bian diam.

"Udah hampir sebulan gue nggak ke sana, kabar si Denis gimana ya?" gumamnya.

"Denis? Siapa Denis, Bi?"

"Anak kecil yang tinggal di panti asuhan."

Bian menyandarkan tubuhnya ke sofa, beberapa temannya mulai mabuk.

"Ted, lu urus mereka ya, gue mau cabut!" Dia mengambil kunci mobil di meja.

"Mau kemana lu? Ini udah hampir dini hari." Teddy melongo.

Bian bergeming, dia mengemas kamera dan semua perlengkapan yang biasa dia bawa.

"Gue mau pergi, nanti gue kabari kalau udah sampe."

"Lu mau ke kampung itu?"

Bian mengangguk tersenyum.

"Gue sudah deal sama yang punya tanah itu, rencana mau ketemuan besok. Setelah itu kita bangun impian dari sana! Gue cabut ya, oh iya jangan lu bawa si Karin atau siapapun ke sana ya!" Lelaki itu melangkah keluar.

"Eh, Bi. Tunggu!"

"Apaan?"

"Elu yakin nggak mau terima cinta si Karin?"

Bian mendengus kesal. Membuat Teddy meringis.

"Bilang ke dia, aku nggak punya perasaan seperti yang dia punya. Aku nggak bisa, Ted! Jadi jangan paksa aku," ucap Bian tegas.

"Eh, Bi, apa ini karena gadis berlesung pipit itu?" Teddy ingin tahu.

"Teddy, jangan punya pikiran aneh deh! Gue cuma sebatas simpati dan ingin tahu aja, nggak lebih. Jadi berhenti membuat skenario tentang nasib cinta gue, ngerti lu?"

"Oke, Bi. Gue ngerti." Teddy menggaruk kepalanya.

"Ya udah, gue pergi!"

"Lu yakin bisa bawa? Nggak mabuk kan lu?"

Bian tertawa kecil mengerti kekhawatiran sahabatnya.

"Gue bukan anak yang baru kenal minuman itu, gue paham, Bro!"

Tak lama Fortuner putih meluncur menembus jalanan dini hari.

***

Cuaca sore yang basah oleh gerimis, membuat Lara mengurungkan niat ke mesjid.
Gadis itu duduk di serambi depan bersama Bu Hani, nampak wajah ibu itu serius.

"Lara, kami semua ingin yang terbaik untukmu, ikut lah dengan mamamu, Nak. Beliau kemarin cerita ingin mengobati matamu di luar negeri, supaya bisa melihat."

"Apa itu artinya pengurus panti mengusir Lara, Bu?" lirihnya.

Bu Hani menarik napas panjang, mengusap wajah Lara.

"Sayang, kami tidak pernah mengusir. Hanya saja, alangkah bahagianya kami bisa melihatmu tersenyum menatap dunia. Kamu bisa ke sini kapan saja kami mau, bahkan jika keputusanmu untuk tetap di sini pun kami selalu terima."

Lara terdiam. Ada rasa enggan untuk menerima tawaran mamanya. Namun keinginan untuk menatap dunia sama kuatnya.

"Lara akan pikirkan, Bu."

"Iya, pikirkanlah. Oh iya, besok orang tua yang akan mengasuh Lia datang," ujar Bu Hani.

"Lia? Jadi dia akan di bawa besok?"

"Iya, Nak."

Air mata Lara jatuh pelan. Lia, gadis yang selama ini menemani langkahnya harus pergi. Itu berarti dia akan sendiri.

"Lara, demikian hidup, Nak. Ada yang pergi ada yang datang. Jika kau bersedih mendengar hal ini, kamu akan mendapatkan kebahagiaan dari hal yang lain, percayalah." Bu Hani kembali mengusap pipi halus anak asuhnya itu.

"Permisi ....." Terdengar suara yang tak lagi asing di telinga Lara.

"Nak Bian, silahkan masuk." Sambut Bu Hani ramah. Mengangguk lelaki itu masuk dan duduk di seberang Lara. Sekilas matanya menatap gadis itu.

"Kapan datang, Nak Bian?"

"Pagi tadi, Bu," sahutnya sopan.

"Eum ...."

"Mau ketemu Denis?" sela perempuan paruh baya itu.

Cepat Bian mengangguk.

"Tunggu, biar ibu panggilkan."

Bu Hani melangkah meninggalkan Lara dan Bian.

"Hai, Lara, apa kabar?"

Senyum cantik menghias wajah bersih itu.

"Alhamdulillah, baik. Terima kasih sudah memenuhi janji untuk Denis,"

"Iya, kebetulan ada proyek yang harus aku selesaikan di sini, jadi aku bisa sering datang menemuinya."

"Oh ya? Proyek apa?"

Bian antusias menceritakan rencananya pada Lara, seolah telah kenal lama dengan gadis itu. Padahal sehari-hari lelaki itu 'hemat' bicara terlebih dengan lawan jenis.

"Kamu hebat! Semoga rencananya lancar," ucap Lara.

"Terima kasih,"

"Aku masuk dulu, silahkan menunggu, biasanya kalau lama begini, Denis masih mandi."

Lara beringsut dari duduknya melangkah perlahan namun kakinya terantuk meja membuatnya hampir jatuh, beruntung Bian menangkap tubuh rampingnya.

Indra penciuman Bian menangkap aroma wangi strawberry dari tubuh Lara.

"Maaf," lirihnya membantu Lara.

Gadis itu tersenyum malu, ada rona merah di pipinya.

"Terima kasih, saya permisi."

Bian mengangguk menatap Lara pergi.

"Kak Bian!" Denis berlari menghambur ke pelukan lelaki berhidung mancung itu

"Hei, apa kabar?"

"Baik, Kak. Denis nggak nyangka kakak datang ke sini lagi."

"Jadi ceritanya Denis sangsi dengan janji kakak?" Bian mengacak rambut lelaki kecil itu.

"Bukan begitu, Kak Bian kan orang sibuk, pasti banyak kegiatan."

"Oh ya? Siapa yang bilang Kakak orang sibuk?"

"Kak Lara."

Bian tersenyum tipis. Tangannya mengambil sesuatu dari dalam tas.

"Ini, bagikan ke teman-teman Denis, Kakak bawa banyak kan?" ujar lelaki itu mengeluarkan beberapa pack permen ke Denis. Wajah anak itu berbinar mengerjakan matanya.

"Sebanyak ini, Kak?"

"Iya, bagikan ke teman-teman ya, jangan pelit! Nanti Kakak belikan lagi."

Denis mengangguk semangat.

"Sekarang Kakak mau kemana?" Denis bertanya seolah takut ditinggal.
Terkekeh Bian menatapnya.

"Kakak mau balik ke guest house. Tapi mau pamit dulu ke Bu Hani, Denis bisa panggilkan?"

"Bisa, Kak. Tunggu ya,"

***

Hari masih pagi ketika pintu rumah tinggal dia selama di desa di ketuk.

"Kak Bian!" seorang gadis kecil di depannya tersenyum.

"Kamu ...."

"Lia, Kak. Lia yang selalu menemani Kak Lara, kakak masih ingat kan?"

Lelaki tu tersenyum.

"Ada apa, Lia? Ayo duduk dulu."

Mereka berdua duduk di teras. Nampak gadis kecil itu terus menatap Bian.

"Kamu kenapa?" Tanya Bian heran.

"Kak Bian, nanti sore mungkin Lia udah ngga usah menemani Kak Lara lagi," ucapnya pelan.

Matanya menyipit menatap Lia.

"Emang Lia mau kemana?"

"Ada keluarga yang mengangkat Lia anak. Dan sore nanti mereka akan menjemput Lia."

"Lalu?" Bian tak mengerti.

"Kasihan Kak Lara, belakangan sering menangis, apalagi setelah tahu Lia akan pergi," jelas gadis kecil itu.

Bian masih tidak mengerti kenapa anak ini mengungkapkan semua itu padanya.

"Lia, kan banyak teman yang lain yang bisa menghibur Kak Lara. Lalu kenapa Kak Bian harus tahu semuanya?"

"Karena Kak Bian cocok dengan Kak Lara!" ujarnya polos.

Bian menahan senyum mendengar ucapan Lia.

"Dari mana, Lia tahu kalau cocok?"

"Dari kemarin." Lia mengerjap polos.

"Kemarin?"

Lia mengangguk cepat.

"Iya Kak, kemarin sore waktu Kak Lara hampir jatuh terus ditolong Kak Bian!" jelasnya.

Lelaki berambut sebahu itu menggaruk kepalanya sambil tersenyum. Dia berpikir anak kecil sekarang terlampau cepat dewasa. Sehingga cepat menyimpulkan apa yang dia lihat.

"Kakak mau, 'kan bantu Lia?"

"Eum, tapi Kak Bian nggak selamanya tinggal di sini jadi ...."

"Bukan itu, Kak. Tapi bantu Lia supaya Kak Lara mau ikut mamanya untuk operasi mata."

Mendengar itu Bian terhenyak tak menyangka sedemikian kuatnya ikatan hati gadis kecil ini dengan Lara. Takdir mempertemukan mereka, dan takdir pula yang mengajarkan arti sebuah ketulusan dalam kasih sayang.

"Kak Bian!"

"Eh, iya?"

"Ih, Kakak! Mau kan bantu Lia?" ujarnya memohon.

"Oke, maksud Kakak, oke akan kakak coba."

"Terima kasih, Kak! Kak Lara pasti senang mempunyai teman seperti Kakak! Janji ya Kak?"

Bian mengangguk mengerti.

Wajah gadis itu tersenyum cerah dan segera pamit kembali ke panti asuhan.

Sepeninggal Lia, Bian duduk termangu di teras. Ingatannya berkelana pada sore kemarin, saat Lara dalam rengkuhannya. Tak pernah sedekat itu dia mengamati wajah Lara. Kecantikan alami sangat memikat. Rambut yang dibiarkan tergerai menjadi daya tarik lain baginya. Lelaki itu tersenyum kemudian menggeleng masuk rumah.

***

Lara dan Lia menangis berpelukan, sore itu mereka harus berpisah.

"Jaga dirimu baik-baik, Lia. Kak Lara yakin mereka keluarga baik. Jangan lupa kirim kabar untuk Kakak, ya."

Lia mengangguk mengusap pipi yang basah.

"Kak Lara, mama Kakak kan kasi ponsel untuk Kakak, pakai untuk menelepon Lia ya,"

Lara tersenyum haru.

"Kakak bisa minta diajarin sama Kak Bian! Lia sudah minta tolong Kak Bian kok."

Lara mengernyit mendengar penjelasan Lia.

"Kenapa harus Kak Bian? Kakak bisa minta ajari sama pengurus di sini."

"Lia senang jika Kak Bian dan kak Lara berteman, Lia yakin Kak Bian orang baik Kak."

Lara tersenyum.

"Kalau gitu, cepatlah berkemas! Mereka sudah menunggumu dari tadi," ujar Lara.

"Kak, janji ya, Kakak mau ikut mama Kak Lara, supaya Kakak bisa melihat Kak!" Tangan Lia menggenggam erat jemari Lara.

"Insya Allah, Lia."

"Yes!sekarang Lia pamit ya, Kak. Assalamualaikum, jangan sedih Kak, ada Kak Bian yang mau berteman dengan Kakak!"

Terdengar langkah Lia menjauh. Sementara Lara menggenggam ponsel hadiah dari Mamanya tempo hari. Ada air mata kembali menetes di pipinya.

***

Seminggu sudah sejak kepergian Lia dari panti asuhan. Sejak itu Lara jarang terlihat berjalan menikmati pagi seperti biasanya.

Siang itu setelah meninjau lokasi base campnya, Bian bertemu Denis di lapangan. Anak lelaki itu tengah asik bermain bola.

"Kak, sini!" Denis menambahkan tangannya. Lelaki itu menggeleng memberi isyarat matahari sangat terik.

Denis berlari mendekat.

"Sudah makan siang?"

"Sudah dong, Kak! Tadi selepas solat dzuhur."

Bian mengangguk, menyalakan rokoknya.

"Kak! Kata Kak Lara merokok itu ...."

"Merugikan kesehatan diri sendiri dan orang lain, karena asapnya," potong Bian menatap Denis. Anak kecil itu meringis geli.

"Tuh Kakak udah tahu, kenapa masih terus sih?"

"Sstt, ini ada permen buatmu!"

"Makasih, Kak!"

Cepat Denis membuka bungkus dan memasukkan ke mulutnya.

"Kak!"

"Hmm?" Sahut Bian melihat ponselnya.

"Denis perhatikan Kak Bian nggak pernah salat? Padahal itu kan wajib bagi setiap orang Islam, Kak!"

Bian menoleh sejenak kemudian kembali ke ponselnya.

"Kak!"

"Apa Denis?"

"Kenapa Kakak nggak salat?"

Bian tersenyum menatap lelaki kecil di sampingnya.

"Itu karena agama Kakak dengan agama Denis beda, agama Kak Bian tidak mewajibkan salat seperti agama Denis," jelas Bian mengusap kepala Denis.

Mata anak lelaki itu membulat menatap Bian.

Bersambung teman teman.

Hahay, surprise yak, wkwkkw

Gimana, lanjutkan enggak nih?

Ditunggu vote dan komentar yang banyak dukungan deh, hihi

Bye ... Love you all readers.

Colek jika typo yaa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top