Senandung Lara, Bag 3


Bian melangkah menuju area persawahan, tanaman padi yang menghijau menjadi lukisan cantik menakala sang surya mulai menampakkan wujudnya.

Sesekali sapaan dari warga yang menuju ke sawah membuatnya menarik bibir. Bian mulai mengambil gambar yang dia rasa pas. Setelah puas mengeksploitasi kameranya, dia melangkah pulang. Sengaja lelaki itu tak menggunakan motor, karena ingin keliling kampung ini.

Ada keinginan membuat galeri seni untuk base campnya. Lokasi yang tidak terlalu jauh dari kota, membuat Bian merasa nyaman tinggal di sini.

"Kak! Kakak ngapain sih dari tadi aku lihat cekrek sini cekrek sini? Anak lelaki yang kemarin mengenalkan namanya Denis tiba-tiba sudah ada di sampingnya.

Bian tersenyum sambil menyalakan rokok, kemudian menghentikan langkahnya.

"Kakak lagi merekam alam."

"Merekam alam?" Denis tak mengerti.

"Kamu nggak sekolah?" tanya Bian menyandarkan tubuhnya ke pohon. Anak lelaki itu menggeleng,  "masuk siang, Kak."

"Kakak suka merokok ya? Padahal itu kan ngga baik buat kesehatan, Kak?" tanyanya polos. Lelaki itu  tersenyum miring menatap Denis sekilas kemudian kembali menatap hamparan sawah yang menghijau.

"Sok tahu kamu, siapa bilang begitu?"

"Kak Lara yang bilang," sahutnya.

Mendengar nama gadis itu disebut Bian menoleh lagi. Seperti ada sesuatu di pikirannya.

"Duduk sini, kalau. Kakak punya permen, mau?" tawar Bian.

Danis mengangguk setuju.

"Siapa sih Kak Lara itu?" tanyanya memberikan Danis permen.

"Kan kemarin sudah Denis kasi tahu, Kak. Kenapa masih tanya?"

Bian mengacak rambut anak itu, sambil terkekeh.

"Iya, kamu benar! Dia tinggal di mana?"

"Dia tinggal bareng sama Denis!" jawab anak itu sambil terus mengunyah permen.

"Kamu adeknya?" Bian penasaran.

"Iya, adek Kak Lara banyak, kami sama-sama tinggal di panti asuhan, Kak." Mata polos itu menatap Bian.

Nampak wajah lelaki itu membeku tak percaya dengan apa yang dia dengar.

"Jadi, kalian ...."

"Iya, Kak. Kak Lara itu buat kami adalah kakak yang paling baik, kami semua menyayanginya."

Bian mengangguk pelan. Lara, gadis yang dia anggap pembawa sial itu seorang yatim piatu?

"Kakak, aku pulang duluan ya," pamit anak laki-laki kecil itu.

"Tunggu, kalian nanti latihan lagi?"

"Iya, Kak. Kalau mau lihat ke tempat kemarin aja lagi, assalamualaikum, Kak Bian."

Denis berlari menjauh, sementara Bian kembali melanjutkan langkahnya menyusuri desa. Mungkin bagi sebagian warga sini agak asing melihat lelaki dengan rambut dikuncir, itu sebabnya sedari tadi para gadis menatapnya malu-malu. Sementara Bian sesekali mengangguk tersenyum pada mereka.

Setelah agak jauh berjalan, dia sampai di sebuah sungai yang mengalir jernih. Matanya menangkap seorang tengah berjalan berlawanan arah, seorang gadis berjalan di temani anak kecil perempuan berkuncir kuda. Nampak mereka saling bercanda. Semakin dekat semakin jelas siapa gadis itu. Sesekali nampak senyum mengembang sehingga nampak cekungan di pipinya.

"Lara." gumam Bian, mencoba menangkap wajah itu melalui kamera yang dia pegang. Dia berhasil menangkap objek yang menurut dia menarik.

"Kak, Kakak yang tinggal di guest house itu kan?" anak kecil yang bersamanya menghentikan langkah bertanya.

Bian tersenyum mengangguk. Lara nampak mencoba menarik bibirnya.
Jelas terpeta lesung pipit itu.

"Lia, ayo kita jalan lagi, nanti ibu nunggu," suara Lara terdengar ragu.

"Kak, kita permisi ya,"

"Assalamualaikum." Lara mengucap  salam.

***

Bian asik mengamati hasil jepretannya di teras, sesekali dia tersenyum.

"Kak Bian!" panggil Denis sudah di depannya.

"Hai boy! Sini duduk,"

Lelaki kecil itu menggeleng. Kening Bian mengerut.

"Kenapa?"

"Bau rokok! Asapnya juga kemana-mana, kata Kak Lara itu racun,"

Bian menggeleng tersenyum.

"Ya sudah, kamu mau kemana?"

"Ada latihan sore ini, Kak. Eum ...." Denis menggaruk kepalanya tersenyum.

"Permen?" agaknya Bian paham.

"Kakak masih punya?"

"Ada dong! Kakak punya banyak, mau?"

Denis mengangguk semangat. Bian terkekeh memberi permen ke tangan anak kecil di depannya.

"Terima kasih, Kak. Kakak baik, deh.  Aku  latihan dulu, Kak!"

Denis berlari menuju balai RT. Bian kembali dengan kameranya. Aktifitas lelaki itu terhenti ketika mendengar petikan gitar di sertai suara lembut. Seketika otaknya bereaksi untuk mendekati asal suara. Dia melangkah mendekat, balai RT  tempat anak-anak berlatih hanya tiga meter dari tempat tinggalnya.

Lagu indah menjadi sangat syahdu ketika diiringi gitar dan dinyanyikan gadis itu. Matanya tak berkedip menatap Lara menyanyi dengan hati.
Saat dia tengah terpaku, ada anak kecil menarik tangannya.

"Kak Bian, ayo duduk!"

"Emang kakak boleh gabung?"

"Boleh lah, ayo kak!"

Bian mengikuti langkah Denis kemudian duduk di sampingnya.

"Anak-anak, kalian sudah latihan selama hampir satu bulan, acara tinggal satu minggu lagi, kak Lara harap kalian sudah siap semua ya,"

"Iya, Kak ...." sahut murid-murid kecilnya.

"Untuk kostum, kalian bisa ke rumah Mas Angga, ya."

"Iya, Kak ...."

"Ya sudah,  sebelum latihan ini selesai, kita ulang sekali lagi ya,"

"Ayo, kita langsung membentuk barisan seperti kita di panggung," perintahnya.

Kembali Lara memetik gitar dan bersama bernyanyi dengan yang lain.

Bian tak menyia-nyiakan momen itu, berkali-kali dia merekam dengan kameranya. Hingga senja menjelang, anak-anak kecil berlari pulang ke rumah masing-masing.

Mata Bian terus menatap gerak gerik Lara. Meski mata itu tak sempurna, namun gadis itu nampak sigap.

"Lia, kita langsung ke mesjid ya, kakak udah bawa mukena,"

"Iya, Kak, tapi Lia mau ke kamar mandi dulu, ya. Kakak tunggu sebentar."

Lara mengangguk tersenyum, dia duduk kembali.

Pelan Bian mendekat, Lara nampak menyadari ada seseorang berjalan ke arahnya.

"Kamu siapa?" tanya Lara waspada.

"Bukan siapa-siapa, cuma mau bilang suara kamu bagus!" Bian memelankan suaranya seolah tak ingin dikenali.

Gadis di depannya tersenyum.

"Terima kasih, maaf, sepertinya ...."

"Saya orang baru di sini, tinggal di guest house,"

"Oh, yang ngasi permen ke Denis?"

Mata Bian menyipit, ternyata Denis telah bercerita tentang dirinya. Lelaki itu tersenyum.

"Kalau gitu, kamu yang jatuh karena kecerobohan saya waktu itu?" Lara menerka.

Bian terdiam, matanya terus menatap gadis berwajah pualam di depannya.

"Maafkan saya, saya memang ceroboh, tapi kakinya sekarang sudah sembuh, kan? Apa obat yang tempo hari di oleskan juga?" Lara terus bicara.

"Aku baik-baik saja,"

"Maafkan saya,"

"Tidak perlu, semua sudah lewat."

Suara azan menggema ke seluruh desa, gadis kecil bernama Lia menghampiri mereka.

"Kak Lara, ayo! Kak Bian nggak ikut kami sekalian? Salat di mesjid?" tanyanya menatap Bian.

Lelaki itu mengangguk ragu kemudian menggeleng.

"Oke, Kak. Kami pergi ya,"

Lagi-lagi Bian mengangguk.

****

Pagi-pagi sekali Bian bersiap kembali ke kota.
Lelaki itu menghadap ke arah matahari yang perlahan naik, nyayian suara pagi riuh di sela-sela dedauan yang tertiup manja oleh embun sepoi angin. Sesekali nampak kepulan asap keluar dari mulutnya. Secangkir kopi hangat terhidang hangat di samping.

"Udah sampe mana, lu?" Bian menelepon.

"___"

"Oke, buruan! "

"___"

Kembali dia meletakkan gawainya.

"Kak Bian!" panggil Denis. Anak kecil itu sudah berdiri di pelataran guest house.

"Hai, Boy,  ada apa? Permen udah habis,"

Denis menggeleng, matanya nampak berair. Sambil mengernyit kening Bian bangkit mendekat.

"Ada apa?" tanyanya seraya membungkuk.

"Kakak mau balik ke kota ya?"

"Iya, kenapa?"

Denis menggeleng berlari meninggalkan Bian yang keheranan.

Tak lama Fortuner putih nampak mendekat. Muncul Teddy dengan senyuman sudah di tebak.

"Ngapain lu senyum-senyum? Ayo kita cabut!"

Senyum Teddy mendadak hilang, mendengar ucapan Bian.

"Gue bawa dia sama dia ...."

Muncul dari dalam mobil dua wanita cantik, Karin dan Erika. Bian mengusap wajahnya kasar, nampak kesal.

"Yang nyuruh elu bawa mereka siapa? Itu mobil gue, kenapa lu sok bawa mereka?" Bian menggerutu mendekati Teddy.

"Bi, mereka yang maksa."

"Beib, di sini sejuk banget ya, boleh nggak kita stay di sini satu malam aja?" Erika menempelkan kepalanya ke bahu Teddy. Sementara Karin menghampiri Bian.

"Honey, jadi beberapa minggu ini kamu di sini? Menyenangkan, aku mau nemenin kamu lama-lama di tempat ini," bisiknya manja di telinga Bian. Perlahan dia menepis tangan Karin yang terus menggayut ke lengannya.

"Ngomong apa, lu?" tukas Bian. Dia melangkah ke dalam rumah, diikuti yang lainnya.

"Please, Beib, kita stay di sini malam ini ya, balik besok aja," Kiran kembali menggayut lengan Bian.

"Kita balik hari ini, aku ada urusan! Teddy ayo," Bian mengangkat tasnya menuju ke mobil.

"Yaa, Bian! Kita baru aja sampe, istirahat bentar aja lah," Erika memohon.

"Ya udah, kalian istirahat aja di sini, gue mau pergi bentar."

"Eh, Bi, mau kemana lu?" Teddy memanggil.

"Lu temenin aja mereka! Gue ada perlu."

Bian melangkah pergi.

***

"Kak, Denis dari tadi nangis melulu," Sarah mengadu ke Lara. Gadis yang baru saja selesai mengaji itu meletakkan Qur'annya.

"Antar Kakak ke Denis,"

Di sudut kamar, Denis duduk memeluk lutut dengan berlinang air mata.

"Denis, kamu kenapa, Sayang?" Lara mengusap pelan kepala anak kecil itu. Tangis Denis semakin keras.

"Kak, Kak Lara tahu Kakak yang tinggal di guest house itu, kan?" ujarnya mengusap air mata.

"Iya, kenapa, Denis?"

"Dia mau pergi dari desa ini,"

Lara mengernyit.

"Jika dia pergi, lalu kenapa?"

"Denis nggak mau dia pergi! Kak Lara bisa menahan Kak Bian pergi, 'kan?"

Lara memeluk tubuh kecil di sampingnya, mengusap kepala Denis lembut.

"Denis, kita semua punya kesibukan, kakak itu juga punya kesibukan  di kotanya, kita tidak mungkin menahannya, Sayang,"

"Dia baik banget sama Denis, Kak," isaknya didalam pelukan Lara.

Gadis itu terdiam seolah bisa merasakan apa yang dirasa lelaki kecil itu.

"Apa karena Kakak itu sering kasi Denis permen?" Tanyanya. Anak itu menggeleng pelan.

"Denis pingin punya kakak seperti Kak Bian ..., boleh kan Kak?"

Hati Lara mencelos haru, mata itu nampak berkaca-kaca.

"Boleh, Sayang ..., boleh," sahut Lara berbisik. Sepi, ruangan itu hanya terdengar isak Denis.

"Kak Lara, kata Bu Hani ada tamu untuk Kakak." Lia tiba-tiba ada di tengah-tengah mereka.

"Siapa, Lia?"

"Katanya ..., ibu Kakak!"

Nampak wajah Lara muram. Denis yang berada di pelukannya mendongak.

"Kak Lara punya ibu?" Tanyanya.

Lara diam.

"Denis, kamu juga ada yang cari!" ujar Lia lagi.

"Siapa, Lia?"

"Kak Bian!"

Anak kecil itu melonjak gembira, wajahnya berseri seketika.

"Kak, ayo kita keluar ketemu Kak Bian, Kakak bilang ya sama Kak Bian, dia nggak boleh pergi," cicit Denis bahagia.

Lara bangkit dan melangkah menuju ke ruang tamu.

"Lara!" panggil seorang wanita paruh baya seraya mencoba memeluk Lara. Pelan dia mundur.

"Denis mana, Lia?" tanya Lara pada Lia yang selalu di sampingnya.

"Denis bersamaku, Lara," suara Bian terdengar.

Lara tersenyum berkata, "Dia rupanya jatuh hati padamu, dari tadi dia menangisi, dia bilang kamu akan kembali ke kota?"

Bian tersenyum mengacak rambut Denis.

"Nanti kakak ke sini lagi, kakak janji."

"Kak  Bian pasti bohong, sama seperti yang lainnya, bicara seperti itu cuma ingin hati kami tenang, ya kan?" sanggah Denis kembali menangis.

"Hei, Boy! Kakak jamin kakak tidak seperti yang lain, Kak Bian ke kota beli permen yang banyak buatmu juga yang lainnya." Lelaki jangkung itu berlutut.

"Lara, ikut mama ya, mama mohon, mengertilah," wanita yang dari tadi menatap Lara bersuara.
Sementara Bian nampak tertarik dengan pemandangan itu.

Bersambung.

Masih penasaran? Masih ingin kisah ini lanjut?

VoMen yang banyak yaaa ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top