Senandung Lara Bag 20
Senandung Lara
Part 20
Lara tersenyum menatap wajah Bian yang terbaring pulas di sisinya. Perlahan ia memiringkan tubuhnya dan memandang lekat pria yang matanya masih terpejam rapat itu. Mata Lara menjelajah wajah pria tampan yang kini sudah menjadi suaminya. Jemarinya mengusap-usap dagu Bian, menyentuh hidung mancungnya dan terhenti ketika jemari Bian menangkap jemari Lara. Dengan sekali gerakan, Bian yang masih terpejam itu memeluk tubuh Lara erat.
"Aku masih capek, Sweet," ucap Bian masih memeluk Lara.
"Katanya mau beres-beres rumah," kata Lara sambil berusaha melepas pelukan Bian. Namun usahanya sia-sia karena Bian makin erat memeluk Lara.
"Mas,..." pekik Lara.
"Apa sih?" tanya Bian yang mulai membuka matanya.
"Bangun," kata Lara mencebik.
"Sudah bangun dari tadi," ucap Bian sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Ngeselin deh," kata Lara.
"Kok ngeselin? Bukannya ngangenin?" ledek Bian sambil tertawa.
"Apaan sih," kata Lara.
"Ngapain coba, mainin wajahku dari tadi?" tanya Bian. Pipi Lara merona mendengar pertanyaan Bian.
"Nggak kok," elak Lara, tapi tak mampu menyembunyikan malunya.
"Ngaku aja, aku ini memang tampan. Kamu terpesona padaku, kan, Sweet?" Bian menangkup wajah Lara. Lara makin merona, merasakan debaran tak teratur menghentak dadanya.
"Mas belum shalat ashar. Katanya mau beres-beres ruangan juga, kan? Mau ngajakin jalan-jalan, mau masakin. Banyak janjinya, nih," Lara mencebik. Bian hanya tersenyum sambil menyugar rambutnya.
"Iya, semua akan aku kabulkan. Tenang aja, asal ..." ucap Bian.
"Nggak mau pake syarat!" ujar Lara.
"Bukan syarat, hanya ..."
"Hanya apa?" tanya Lara menatap Bian.
"Hanya ingin dengar kamu bilang sesuatu," kata Bian menatap lekat mata Lara.
"Apa?" tanya Lara masih tak mengerti.
"I love you," ucap Bian. Wajah mereka hampir tak berjarak, membuat jantung Lara makin berdegup kencang. Pipinya makin merona hingga Bian semakin gemas dibuatnya.
"Penting, ya?" tanya Lara gemetar. Berdekatan dengan pria yang selama ini didambakannya, yang bahkan sudah halal untuk disentuh itu selalu mampu membuat jantungnya berdebar dan melemahkan seluruh pertahanan dirinya.
"Banget," bisik Bian, "kenapa? Malu?" tanya Bian dijawab anggukan Lara.
"Kenapa malu? Aku ini suamimu," ucap Bian tersenyum.
"Ya malu, Mas," bisik Lara. Bian menarik napas dalam lalu diam dan memejamkan matanya.
"Mas,"
"Hmm...." Bian menggumam. Cup. Dirasakannya sebuah kecupan di dahinya.
"Love you," bisik Lara malu. Bian membuka matanya. Senyumnya melebar menatap wajah ayu yang selalu membuat hatinya hangat itu.
Lara membenamkan kepalanya di dada bidang Bian.
"Coba dengar debaran dadaku, Sweet," ucap Bian lembut.
"Aku hanya ingin memastikan apakah rasa ini sama dengan yang kamu rasakan. Kau tahu, ini kali pertama aku merasakan hal seperti ini. Apakah dadamu berdebar kencang bila bertemu denganku? Apa kau sering tak mampu memejamkan mata saat malam tiba?" Bian kembali merengkuh tubuh Lara.
"Jadi seperti itu ya?" tanya Lara, "tapi bukannya dulu Mas Bian ngata-ngatain aku?"
"Ssttt, ... please deh. Aku sudah minta maaf kan, Sweet. Iya, aku salah waktu itu, tapi jangan diungkit lagi, ya," ucap Bian. Lembut dikecupnya Lara. Beberapa waktu mereka berdua larut dalam keindahan dunia baru yang menjadi candu.
"Sekarang aku tak perlu bertanya-tanya lagi. Terima kasih untuk menyambut dan menjawab rasa ini," kata Bian tersenyum. Lara mengerjapkan matanya dan tersenyum. Melepas pelukan Bian, Lara duduk dan meraih tangan Bian.
"Iya, terima kasih mencintai aku, Mas. Sekarang bangun yuk, mandi dan shalat ashar. Sudah hampir jam empat ini," kata Lara.
"Iya, Sweet, bawelku," ucap Bian. Lara mencebik, membuat Bian tertawa gemas.
Sudah dua hari ini Bian mengajak Lara tinggal di apartemen. Mereka sebenarnya belum memutuskan untuk menetap dan tinggal dimana. Sebagai seorang istri, Lara akan menurut dan mengikuti dimanapun Bian tinggal.
Namun sebagai suami, Bian paham betul dan tidak mau egois menuntut Lara untuk tinggal berdua saja dengannya di rumah Bian. Dia mengerti kalau mama Amira dan Lara belum lama tinggal bersama. Bian tak ingin melihat mama Amira bersedih dan merasa tersisih karena Bian mengambil satu-satunya hal yang berharga dalam hidup perempuan yang sudah terpisah sekian lama dengan putrinya itu. Untuk sementara mereka akan sering bolak balik ke apartemen dan rumah mama Amira.
Selesai membersihkan diri dan shalat ashar, Bian menghampiri Lara yang terlihat bingung di dapur.
"Hari ini kamu nggak perlu masak,"ucap Bian.
"Dari kemarin kemarin nggak masak juga, Mas," ucap Lara.
"Aku nggak nyuruh kamu masak, kan?"
"Iya,... Mas janji mau ngajarin aku masak?"
"Iya, gampang itu, kapan-kapan aja ya. Aku suka bikin yang simpel aja kok. Mudah bikinnya dan nggak ribet. Kita jalan-jalan aja, ntar makan di luar. Apa kita ngajakin mama Amira sekalian?" tanya Bian.
"Tadi aku ditelpon mama katanya hari ini mama ada meeting sampai malam di kantor," kata Lara.
"Oh, ya udah nggak papa. Besok-besok kita ajak mama makan. Sekarang kita keluar aja ya," ajak Bian. Lara mengangguk.
Jalan raya di sore itu cukup padat, tapi tak seperti dulu dalam menanggapi sesuatu, sekarang Bian mampu mengendalikan emosinya dengan baik. Apalagi ada kekasih hati di sampingnya. Sesekali melirik Lara, menggenggam jemarinya saat lampu merah. Hal sederhana tapi mampu membuat ruangan sempit di mobil itu menjadi serupa taman yang dikelilingi aneka bunga warna warni nan semerbak harumnya.
"Besok kita honeymoon ya," ucap Bian tiba-tiba.
"Apa? Kenapa mendadak?" tanya Lara.
"Sebentar lagi kan puasa. Jadi, kita honeymoon saja."
"Terserah," ucap Lara tersipu.
"Kok terserah sih, kek terpaksa bilangnya," kata Bian kesal.
"Kan, salah sangka," kata Lara.
"Kamu nggak mau?" tanya Bian.
"Mau, Mas Bian," jawab Lara sambil menutup wajahnya dengan kerudung. Bian tersenyum lega.
"Kamu pilih honeymoon dimana? Bali, Jogja, Lombok, Korea, Jepang, atau ...,"
"Di Indonesia aja Mas, nggak usah jauh-jauh ke luar negeri," kata Lara. Waktu maghrib hampir tiba, dan Bian memilih membelokkan mobilnya ke pelataran sebuah masjid.
"Kita nunggu maghrib dulu, ya," ajak Bian.
"He emh," ucap Lara singkat.
Selepas shalat maghrib berjamaah di masjid, mereka jalan-jalan di salah satu mall sekadar untuk cuci mata.
"Kita makan di kafe aja ya. Kamu bisa pilih mau dimasakin apa," ajak Bian.
"Iya, mau banget, Mas" ucap Lara senang. Senyum merekah menghiasi bibirnya.
🌼🌼🌼🌼🌼
"Gimana, kamu pilih Lombok, Bali, Jogja, atau kamu punya keinginan di tempat lain?" tanya Bian. Setelah jalan-jalan dan makan di kafe Bian, kini mereka sudah kembali berada di apartemen. Lara duduk bersandar di bahu Bian, sementara Bian asyik dengan ponselnya.
"Harus besok ya? Kan Kita belum beres-beres rumah, belum packing segala macem," kata Lara.
"Beres-beresnya bisa setelah honeymoon aja. Lagipula kita kan masih bolak balik ke rumah mama Amira," ucap Bian. Tangannya berhenti memegang ponsel dan menaruhnya begitu saja. Bian mulai membelai rambut Lara kemudian dihirupnya wangi rambut panjang istrinya itu.
"Aku pingin ke Jogja saja, Mas,"
"Ya udah, kita ke sana."
"Tapi kita belum bilang sama mama Amira, mama Mirna dan papa juga," kata Lara.
"Ya sudah, besok kita izin sama mereka. Besok kita packing. Kita booking tiket dan hotel lewat online saja . Lusa kita berangkat."
"Hu emh,"
"Udah ngantuk?" tanya Bian.
"Belum,"
"Udah malam ini, Sweet,"
"Ya, tapi belum ngantuk, Mas Bian,"
"Besok kita bakal sibuk lhoh,"
"Terus?" tanya Lara tak mengerti.
"Ke nirwana yuk?" Bian mengedipkan sebelah matanya.
"Maksudnya?"
"Maksudnya, kita ke nirwana dulu, setelah itu tidur," kata Bian gemas.
"Nirwana?"
"Iya, segala keindahan ada di sana."
"Dih, bilang aja mau itu...." Pipi Lara merona.
🌼🌼🌼🌼🌼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top