Senandung Lara Bag 18


Haii, ada yg g sabar nunggu mereka? Cuss langsung baca aja yeee, Happy reading guys, VoMen jangan lupa.

"Selamat datang, Bening," ucap Bian tersenyum mempersilakan Lara masuk.

"Assalamu'alaikum," sapa Lara malu.

"Waalaikum salam warahmatullaah," jawab Bian, "yuk, masuk aja," kata Bian sambil berjalan masuk ke dalam rumah diikuti Lara di belakangnya.

"Ma ...," ucap Bian begitu melihat mamanya berjalan dari lantai atas menuruni tangga.

"Selamat datang kembali di rumah, Sayang ... apa kabar?" Mirna memeluk dan mengecup dahi Bian.

"Baik, Mama?" tanya Bian.

"Baik, Bi. Khusus hari ini mama pulang kantor lebih awal. Ini ...?" tanya Mirna menatap Lara. Lara tersenyum lalu mengulurkan tangannya.

"Ini, Bening, yang pernah aku ceritain," kata Bian.

"Sore, Tante ... saya Lara," ucap Lara agak nervous.

"Lara?" tanya Mirna bingung.

"Bening Larasati, Ma," kata Bian.

"Oh ya ... saya mamanya Bian," ucap Mirna.

"Duduk yuk," ajak Bian, "Papa mana, Ma?" tanya Bian.

"Papa baru aja pulang dari kantor, masih mandi. Tunggu aja. Lara mau minum apa?" tanya Mirna.

"Nggak usah repot, Tante," ucap Lara.

"Biar Bian yang bikinin, Ma," kata Bian sambil melirik Lara. Segera Bian bangkit dan berjalan masuk ke suatu ruang.

"Jadi, sudah berapa lama kenal Bian?" tanya Mirna.

"Emh, sudah beberapa bulan ini, Tante," ucap Lara lirih.

"Kamu, cantik," puji Mirna tanpa basa basi.

"Terima kasih, Tante."

"Jadi, Amira itu mama kamu?" tanya Mirna lagi.

"Iya, Tante. Tante juga cantik," ucap Lara. Mirna hanya tersenyum.

"Kamu, kuliah?" tanya Mirna.

"Nggak, Tante," jawab Lara lirih. Ada sedikit rasa sedih ketika Mirna menanyakan itu.

"Maaf. Lalu apa kegiatanmu saat ini?"

"Saya belajar membuat pernak pernik, dan sekarang juga baru belajar menggambar desain baju, Tante," kata Lara senang.

"0h ... bagus itu," ucap Mirna. Bian datang membawa empat cangkir teh.

"Terima kasih," kata Lara.

"Sama-sama," balas Bian senang.

Seorang pria tinggi besar tengah baya menghampiri mereka dan langsung duduk di sebelah mama Bian. Sekilas dia menatap Lara, tatapannya dingin membuat Lara berdebar dan sedikit tak nyaman. Namun Lara tersenyum menyapa berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang tiba-tiba melanda hatinya.

"Pa, kenalkan ... ini Bening Larasati," ucap Bian memecah kekakuan di antara mereka. Hermawan Prasetya, papa Bian, tersenyum tipis memandang Lara. Lara tersenyum, mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Apa kabar?" tanya papa Bian.

"Baik, Om," jawab Lara. Mereka kemudian terlibat perbincangan ringan satu sama lain.

"Papa, Mama, seperti yang sudah Bian sampaikan kemarin, Bian serius ingin membina keluarga dengan Bening dan ingin secepatnya menikahi Bening. Jadi, ... Bian ke sini ingin memperkenalkan calon istri Bian sekaligus mohon restu untuk menikah," ucap Bian sungguh-sungguh. Lara terpaku dan merasakan jantungnya yang makin kencang berdetak. Mirna dan Hermawan saling berpandangan.

"Kamu yakin?" tanya Hermawan.

"Insha Allah, aku sudah yakin, Pa," jawab Bian.

"Apa kamu juga mencintai Bian, Lara?" tanya Mirna.

"Iya, Tante," jawab Lara lirih tersipu. Bian tersenyum, hatinya diliputi kebahagiaan demi mendengar jawaban gadis pujaannya itu. Matanya sekilas mencuri tatap pada Lara yang juga sedang melihat dirinya. Keduanya tersenyum, membuat orang tua di depan mereka tak urung ikut tersenyum seakan turut merasakan debaran dewi asmara yang sedang melanda dua manusia yang tak mampu menyembunyikan binar-binar cinta di antara mereka.

"Ya sudah, kalian sudah dewasa dan saling cinta. Kalian bisa menentukan dan memutuskan sendiri dengan siapa dan bagaimana akan menjalani hidup ini. Kalau mama silakan saja. Tak masalah," kata Mirna.

"Papa?" tanya Bian.

"Terserah kamu. Yang paling penting ketika kamu memutuskan sesuatu, kamu harus konsisten dan bertanggung jawab. Tak boleh mempermainkan komitmen," ucap Hermawan.

"Iya, Pa," kata Bian, "besok kita mau urus surat-suratnya biar cepet selesai."

"Eh, jadi mama papa nggak perlu datang ngelamar Lara, gitu?" tanya Mirna.

"Oh iya ...," Bian tersenyum sambil menggaruk kepalanya.

"Dasar bocah!" Mirna mengacak rambut Bian.

"Ya udah besok aja kita ke rumah Bening ya, Ma, Pa," kata Bian.

"Kamu ini maunya serba kilat aja," ucap Mirna.

"Biar cepat syah, Ma," kata Bian.

"Ya sudah nanti kita bicarakan lagi," ujar Mirna lalu berdiri dari duduknya. Mirna sesungguhnya memahami apa yang dirasakan Bian. Selama ini Bian tak pernah menjalin hubungan dengan seorang gadispun, meski di luar sana banyak gadis yang mengejar Bian untuk mendapatkan perhatian dan cintanya. Ketika Bian mengatakan ingin memperkenalkan seorang gadis padanya beberapa waktu lalu, Mirna berpikir bahwa gadis itu pastilah istimewa. Kalau bukan gadis yang istimewa, tak mungkin Bian senekat itu ingin memiliki dan menikahinya. Mirna tahu benar bagaimana selera anaknya.

"Yuk, sekarang kita makan. Jarang-jarang kita bisa kumpul buat makan," ajak Mirna. Lalu mereka menuju ruang makan.

"Memang Mama masak?" tanya Bian.

"Nggaklah," mama Bian tertawa.

*****

Setelah singgah di sebuah masjid yang berada di tepi jalan raya untuk shalat maghrib, Bian dan Lara melanjutkan perjalanan pulang ke rumah Lara.

"Thanks sudah menerimaku," ucap Bian, Lara hanya tersenyum sambil memainkan ujung pasminanya.

"Tadi aku sudah khawatir mereka akan menolakku," kata Lara.

"Papa mamaku?" tanya Bian.

"Ya," jawab Lara.

"Kalau mereka menolakmu apa kamu akan mundur?" tanya Bian ingin tahu.

"Bukankah restu orang tua itu sangat penting?" Lara balik tanya.

"Iya, tapi misalkan papa mamaku tak merestui aku tetap akan menikahimu. Sudah kewajibanku meminta izin dan memohon restu, tapi jika mereka menolak, aku tetap tak akan mundur."

"Ya, tapi restu itu sangat penting, Bi," ucap Lara.

"Iya, Sweet heart," kata Bian lembut.

"Apaan sih?"

"Kamu nggak suka aku panggil sweet heart?" tanya Bian menggoda.

"Nggak usah lebay deh," kata Lara.

"Astaghfirullah, ... iya deh. Makanya aku pingin kita cepet urus semuanya dan kita segera menikah, biar aku ... ah sudahlah," ujar Bian sambil mengusap tengkuknya. Lara tersenyum samar.

"Bening ...," panggil Bian.

"Ya,"

"Benar yang kamu katakan ke mama tadi?"

"Yang mana?"

"Yang tadi,"

"Apa sih?" tanya Lara bingung.

"Kalau kamu juga cinta aku," ucap Bian sambil menggaruk kepalanya.

"Ish,"

"Benar, kan?" tanya Bian lagi.

"Hmm,"

"Bening ...,"

"Apa sih, Bi?"

"Bisa bilang sekali lagi? Aku mau denger,"

"Nggak mau," ucap lirih Lara. Bian menghela napasnya. Dia menyadari tak sepantasnya menuntut lebih pada Lara untuk mengungkapkan cintanya. Toh gadis itu tadi sudah mengatakan ya, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya terbang ke awang-awang dan bahkan semakin meyakinkan niatnya untuk segera memiliki gadis itu secara utuh. Rasanya tak sabar menunggu saat itu tiba, agar tiada sekat lagi di antara mereka untuk mencurahkan rasa yang ada dalam dada.

*****

Sehari setelah Lara dikenalkan pada kedua orang tua Bian, mereka berkunjung secara resmi untuk melamar Lara. Di acara lamaran itu, kedua belah pihak setuju dan memutuskan untuk menyegerakan pernikahan Lara dan Bian, dua minggu setelah acara lamaran. Mereka juga sepakat tak akan mengadakan pesta, Bian dan Lara ingin pernikahan yang sederhana di rumah Lara dengan mengundang anak-anak panti.

"Bening, kamu minta mahar apa?" tanya Bian yang duduk di teras rumah Lara setelah mereka berdua pulang dari menghadiri bimbingan pranikah di KUA setempat. Mereka mendapat bimbingan pranikah dari Kepala KUA sebagai BP-4 (Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan).

"Terserah kamu aja, Bi," jawab Lara.

"Lhoh, kok terserah sih?" Bian mengambil almond crispy yang disediakan Lara lalu memakannya.

"Ya semampu kamu aja. Mahar itu hanya sebuah media, Bi, bukan sebuah tujuan utama. Tadi pas bimbingan di KUA kan disampaikan tujuan menikah dalam Islam bukanlah sarana untuk mencari mahar yang mahal ataupun mahar yang besar," kata Lara.

"Iya, tapi kan mahar itu bertujuan untuk memuliakan mempelai wanita, Bening," ucap Bian.

"Perlu diingat juga, bahwa seorang wanita yang baik itu tidak akan memberatkan/menyusahkan calon suaminya dalam urusan mahar, Bi, seperti kata Rasulullah

''Sebaik-baik wanita ialah yang paling murah maharnya.'' (HR. Ahmad, ibnu Hibban, Hakim & Baihaqi).

Lara tersenyum. Bian menarik napas dalam.

"Iya, Bening, ... tapi kemarin aku juga baca kalau hikmah disyariatkannya mahar itu menjadi pertanda tersendiri bahwa seorang wanita memang harus dihormati dan dimuliakan," ujar Bian.

"Bi, nggak usah pusing mikirin mahar deh, yang penting kamu memberikannya dengan ketulusan, baca nih di Surat An Nisa ayat 4 yang artinya,

Berikanlah mahar (mas kawin) pada wanita yang kamu nikahi sebagai sebuah pemberian dengan penuh kerelaan.

Ya, kan? Itu aja, yang penting keikhlasan," ucap Lara.

"Tentu saja aku akan memberikannya dengan tulus ikhlas, Bening. Bilang aja kamu mau mahar apa, please," kata Bian.

"Yang simple dan tidak memberatkanmu, Bi," ujar Lara lagi.

"Iya deh, insya Allah aku beri yang terbaik semampu yang aku bisa, untuk kamu, calon Nyonya Biantara," ucap Bian tersenyum melihat Lara yang tersipu malu.

*****

"Ted, dateng ya di pernikahanku," kata Bian ketika Teddy, sahabat kentalnya itu datang ke kafe Bian.

"Serius lu, Bi?" tanya Teddy tak percaya.

"Wallahi, Ted. Aku mau ngelepas status kejombloan ini," ucap Bian bahagia. Teddy yang selama ini pindah ke kota lain untuk melanjutkan bisnis orang tuanya memang sudah tahu tentang Bian yang kini menjadi seorang muallaf.

"Gue turut bahagia buat elu, Bi. Ajari gue untuk tobat, biar bisa kek elu," ucap Teddy.

"Bener nih, mau tobat?" tanya Bian.

"Swear! Gue udah capek hidup nggak bener. Sementara sohib nakal gue udah tobat duluan," kata Teddy sambil tertawa, Bian hanya tersenyum.

"Sumpah, gue serius, Bi," ujar Teddy.

"Insya Allah aku dukung, semua tergantung niat dan keinginan kamu," ucap Bian.

"Siap, bantu gue, ya,"

"Insya Allah."

*****

Hari yang dinanti-nanti itupun tiba. Seperti yang telah direncanakan dari awal, pernikahan Bian dan Lara dilakukan di rumah Amira yang hanya dihadiri tetangga di lingkungan tempat tinggalnya, beberapa pengasuh dan anak-anak panti yang sengaja dijemput untuk hadir pada acara sakral itu.

Lara menatap wajahnya di cermin setelah selesai dirias. Hatinya berdebar menghadapi moment terpenting dalam hidupnya. Amira tersenyum bahagia menatap putri satu-satunya itu. Lara, terlihat begitu cantik dan anggun dengan gamis pengantin berwarna putih tulang senada dengan khimarnya yang berhias mahkota. Gadis itu menampakkan senyum manisnya yang jelas memperlihatkan binar-binar bahagia.

"Kamu cantik sekali, Sayang," kata Amira mendekat Lara.

"Mama," ucap Lara tersenyum menatap mamanya.

"Ayo, pengantin prianya sudah datang, begitupun penghulu. Sebentar lagi akan diucapkan ijab qabul." Amira meraih tangan Lara.

Calon pengantin perempuan dan calon pengantin pria duduk terpisah. Bian nampak gagah dan tampan mengenakan setelan jas putih tulang senada dengan warna gamis pengantin perempuan. Wali hakim yang ditunjuk mengucap ijab. Bian memberikan mahar seperangkat alat shalat, sejumlah uang dan juga perhiasan untuk Lara. Oleh karena tidak ada lagi saudara atau kerabat dari almarhum papa Lara yang bisa dijadikan wali nikah Lara, maka mereka menunjuk wali hakim. Setelah itu tiba saat yang sangat dinantikan Lara dan Bian. Mantap dalam satu tarikan napas, Bian mengucapkan qabul dengan lancar.

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."

(Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan, dan saya rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah).

Syah sudah mereka menjadi sepasang suami istri. Bian tersenyum lega, rasa syukur diucapkannya setelah berhasil menahan gugup dan debaran selama prosesi sakral itu. Di tempat terpisah Lara tersenyum bahagia. Tangannya masih dingin dalam genggaman Amira, yang meneteskan air mata keharuan melepaskan anak perempuannya kepada Bian yang kini resmi menjadi suaminya.

Setelah ijab qabul, pengantin dipertemukan. Lara yang berjalan tertunduk itu tak pernah lepas dari tatapan Bian. Senyum tersungging dari bibir Bian. Entah kenapa Bian merasa dadanya berdetak kencang sekali demi melihat Lara yang kini sudah syah menjadi istrinya itu berdiri di depannya. Tangan Bian terulur dan disambut Lara lalu diciumnya takzim. Bian mengecup dahi Lara. Keharuan menyelimuti kedua insan itu. Tangan Bian kemudian menyentuh ubun-ubun Lara lalu diucapkannya doa.

Setelah prosesi sungkeman yang penuh keharuan itu, mereka melakukan sesi foto.

"I love you," bisik Bian, tangannya tak lepas menggenggam jemari Lara. Lara yang mendengar kalimat itu merona.

"Kamu cantik sekali, Bening," bisik Bian lagi.

"Bian ...," ucap Lara lirih.

"Iya, Sayang, ... ingat kamu punya hutang satu kata padaku," kata Bian.

"Apa sih?"

"Kata cinta," ucap Bian sambil mengerlingkan matanya.

"Waktu itu kamu nggak mau mengatakannya padaku, kan? Pokoknya kamu harus mengatakannya sekarang, atau nanti di malam pertama kita," ucap Bian berbisik.

"Bian ...," ucap Lara terdengar kesal. Tiba-tiba Bian mengecup pipi Lara tanpa malu, bahkan dihadapan para tamu yang tersenyum menyaksikan adegan itu, mereka turut berbahagia menyaksikan kebahagiaan Bian dan Lara.

"Kau tahu, aku bahkan ingin memelukmu dan tak pernah akan aku lepaskan," ucap Bian lirih. Pipi Lara semakin merona.

"Bisa nggak kamu nggak ngegombal sekarang, Bi," kata Lara.

"Siapa bilang aku ngegombal? Aku sungguh-sungguh, Bening," kata Bian, apa perlu bukti? Mau aku peluk sekarang?" tanya Bian.

"Bian, please deh," ucap Lara salah tingkah.

"Aku sabar kok, sampai nanti tinggal kita berdua di ..., aaddduhhh!" Bian mengaduh merasakan cubitan di pinggangnya.

*****

Bersambung yee

Mau baper nggak jadi Mak, orang Lara malah melakukan KDRT hahaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top