Senandung Lara Bag 17

Sebelumnya kasi vote dulu Yes, spy kami, saya dan Mbak @faeeza_suwito cemunguudh 😁

Yuk ah komen yang asik, hihi

Cuss, Happy reading guys

"Bening, menikahlah denganku," ucap Bian. Matanya menatap wajah Lara yang basah air mata. Lara tersentak. Lidahnya tiba-tiba kelu.

"Bian ...."

"Kumohon ... menikahlah denganku, Bening," ucap Bian lagi. Lara menutup mulutnya. Ribuan kupu-kupu seakan terbang mengelilingi dirinya.

Ragu Bian mendekat.

"Bersediakah kamu menjadi pendamping hidupku selamanya Bening Larasati?"

Degup jantung Lara tak lagi senada, tak pernah dia merasakan sebahagia ini. Bibirnya seolah terkunci. Matanya menatap malu-malu pada lelaki di depannya.

Kumandang adzan menjeda rasa di antara keduanya. Bian tersenyum hangat karena sesungguhnya dia telah mengetahui bahwa hati wanita itu sudah lama dia miliki. Jika kini dia berkata seperti itu, Bian hanya ingin memastikan bahwa kesendiriannya akan segera berakhir.

"Oke, kita salat dulu, aku tunggu jawabannya selepas maghrib, di tempat ini." Bian melangkah menuju mesjid dekat panti, meninggalkan Lara yang diliputi bahagia.

***

Selepas salat, Lara berbincang sejenak dengan Bu RT, manik matanya menangkap Bian tengah menanti dirinya di tempat yang tadi. Setelah selesai berbincang, gadis itu melangkah mendekat. Senyum Bian membuat hatinya kembali berdegup kencang.

"Hai," sapa Bian menatapnya lembut.

Lara tersenyum membuat lesung pipinya terlihat jelas. Sejenak mereka saling diam. Memasuki musim penghujung membuat malam itu langit sedikit berpetir, nampak sebentar lagi hujan akan turun.

"Kamu sudah punya jawabannya?"

Lara mengangguk malu, tangannya tak henti memilin jilbab.

"Jadi?" Bian mendesak.

"Iya," jawabnya singkat tak menatap.

"Iya? Iya apa?" godanya menahan senyum.

"Iya, aku ...."

"Apa?"

"Iya, aku mau ...." sahutnya dengan suara bergetar.

Bian tersenyum mendengar jawaban dari gadis pujaannya. Setelah sekian lama dia memendam rasa, malam ini dia telah temukan jawabannya.

"Terima kasih, Bening, terima kasih sudah memilihku untuk hatimu," ucap Bian bahagia. Ditatapnya gadis yang tengah menunduk malu di depannya.

"Aku mencintaimu, Bening! Sangat mencintaimu. Aku pastikan kita akan segera menikah!"

Mendengar ucapan Bian, Lara mengangkat wajahnya terkejut.

"Menikah?"

Bian mengangguk tersenyum.

"Kenapa? Kamu keberatan?"

"Bukan, eh maksud aku nggak."

"Nggak? Nggak mau?"goda Bian menatap Lara.

"Nggak gitu, Bi. Aku ....

"Aku ingin bisa sesering mungkin memelukmu! Kalau sekarang kamu pasti menolak, ya kan?"

Merasa Bian tengah menggodanya, sontak wajah Lara merona.

"Ish! Genit!"

Bian tak sanggup menahan tawanya melihat Lara tersipu malu.

"Kita pulang besok ya, aku mau bicara langsung mamamu," ujar Bian serius.

Lara mengangguk mengerti.

"Kalau gitu, sekarang aku antar ke panti, bersiaplah. Besok pagi kita kembali ke kota."

Lara kembali mengangguk.

***

Seperti yang telah direncanakan, Lara dan Bian bersiap ke kota. Namun, sebelummya mereka berpamitan.

"Lara, Bian, jangan lupa kabari kami jika kalian menikah, kami semua pasti datang," pesan Bu Hani pengurus panti.

Lara nampak tersipu mendengar ucapan itu. Sementara Bian mengangguk yakin.

"Pasti, Bu. Kami pasti memberi kabar bahagia itu, tunggu saja, ngga akan lama."

"Betul! Lebih cepat lebih baik, kalian sudah sama-sama dewasa," timpal Bu Hani tersenyum menatap Lara.

"Bening, ayo," ajak Bian.

"Kak Lara akan menikah dengan Kak Bian?" Denis tiba-tiba menyeruak,wajahnya cerah menatap Lara dan Bian bergantian.

"Iya, Denis, kenapa?" tanya Bian terkekeh.

"Denis ikut senang, Kak! Kak Lara, tahu nggak, Kak Bian dulu sering banget nanyain tentang Kak Lara, loh!" ujar Denis tertawa menatap Bian yang salah tingkah. Melihat hal itu semua orang di ruangan ikut tertawa.

"Ayo, Bening, kita berangkat sekarang," ajak, Bian lagi. Setelah bersalaman, mereka berdua berangkat ke kota.

Sambil mengemudi, Bian bersenandung mengikuti suara Callum Scott dari tape mobil, sambil sesekali melirik gadis cantik di sampingnya.

"Bi, kamu nanya apa tentang aku ke Denis?" tanya Lara ingin tahu.

Bian tersenyum.

"Mau tahu aja, sih!"

"Ih, nggak boleh ya?"

"Boleh."

"Jadi kamu sering nanyain apa tentang aku?"

"Banyak, salah satunya ...." Bian menggantung ucapannya,matanya melirik nakal pada Lara.

"Salah satunya apa, Bi? "

" Salah satunya, siapa yang lebih kamu cintai, aku atau dokter itu," jawab Bian terkekeh.
Mata Lara membulat menahan tawa.

"Bian!"

Bian masih terkekeh.

"Boleh kan aku minta pendapat sahabatku? Apalagi waktu itu aku hampir putus asa," lirihnya.

Laras menatap lelaki yang kemarin baru saja mengajaknya menikah.

"Putus asa? Kenapa, Bi?"

"Aku putus asa, karena dia lebih dekat denganmu, dan bisa lebih leluasa mendapatkan hatimu. Sedang aku ..., kamu tahu lah," Bian menatap sekilas Lara, "tapi itu dulu, sebelum semua seperti ini."

Lara tertawa kecil.

"Kenapa? Kok ketawa?" Bian menatap ke depan fokus mengemudi.

"Jadi ini jawabannya?"

"Maksudnya?"

"Jadi kemarin kamu susah aku hubungi itu karena ini?"

Bian tersenyum mengangguk.

"Aku cemburu, Bening. Aku cemburu padanya saat itu, hingga aku kecelakaan dan ..., ah sudahlah, yang penting saat ini untuk selamanya aku akan bahagia," ungkap Bian.

Sejenak mereka saling diam, menikmati lagu yang mengalun dari tape mobil Bian.

There goes my heart beating
'Cause you are the reason
I'm losing my sleep
Please come back now

There goes my mind racing
And you are the reason
That I'm still breathing
I'm hopeless now

I'd climb every mountain
And swim every ocean
Just to be with you
And fix what I've broken
Oh, 'cause I need you to see
That you are the reason

There goes my hand shaking
And you are the reason
My heart keeps bleeding
I need you now

If I could turn back the clock
I'd make sure the light defeated the dark
I'd spend every hour, of every day
Keeping you safe

And I'd climb every mountain
And swim every ocean
Just to be with you
And fix what I've broken
Oh, 'cause I need you to see
That you are the reason,

"Bening, kamu ngantuk?" tanya Bian lembut.

Gadis itu menggeleng tersenyum.

"Bian, apa mama dan papa udah tahu tentang ...."

"Kita?"

Lara mengangguk.

"Mereka akan tahu besok! Aku akan membawamu menemui mereka."

"Apa mereka akan setuju?" tanya Lara ragu.

"Kenapa nggak?" Bian menatap Lara sekilas, dia tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu.

"Sudahlah, Bening, apapun yang akan terjadi nanti, kita kan tetap selalu bersama! Percayalah," ujar Bian meyakinkan.

Lara nampak tersenyum lega.

"Nah, senyum kamu itu ...."

"Senyum? Kenapa dengan senyumku Bian?"

"Senyummu itu yang mampu mengalihkan duniaku!"

Wajah Lara sontak merona, membuat Bian semakin gemas.

***

Sore itu Lara bersiap menunggu kedatangan Bian. Dia akan dipertemukan pada kedua orang tua Bian.

Berkali-kali gadis itu mematut diri di depan cermin, meski penampilannya sudah sempurna, namun Lara masih merasa serba salah. Tingkah gadis itu tak luput dari perhatian Amira, mamanya.

"Lara, kamu nervous?"

Lara tergagap menanggapi.
Amira tersenyum kecil, mendekat kemudian membelai kepala putrinya.

"Mama mengerti kegelisahanmu, tapi ketahuilah mereka orang baik, papa dan mama Bian, mereka sangat wellcome."

Lara mengangguk pelan. Tak lama terdengar deru mobil berhenti.

"Tuh, pangeranmu sudah tiba, Lara."

"Mama," ucap Lara malu.

Amira tertawa kecil melihat rona merah di wajah Lara. Bian mengucap salam dari depan pintu. Amira dan Lara menjawab bersamaan, seraya melangkah keluar.

Lara nampak cantik dengan tunik berwarna soft pink dan pashmina maroon. Bian menatap terpesona.

"Eh, kok malah bengong? Katanya mau ngajak Lara ketemu orang tua kamu?" Amira menyudahi tatapan Bian.

"Eh, iya, Tante." Lelaki itu menyugar rambutnya seraya tersenyum. Sementara Lara tertunduk malu.

"Oke, ayo Bening, kita berangkat sekarang," ajak Bian.

"Ma, Lara berangkat dulu."

Amira mengangguk.

"Hati-hati," pesannya.

Ketika Bian membukakan pintu untuk Lara, ada mobil berhenti tepat di belakang mobil Bian. Lara menoleh menatap lelaki yang keluar dari mobil tadi. Kemudian beralih menatap Bian.

"Lara, Bian? Kalian mau kemana?" dokter Ammar bertanya heran menatap keduanya.

"Eum, kami ...."

"Aku akan mengajak Bening ke rumah bertemu kedua orang tuaku," tegas Bian memotong ucapan Lara. Merasa tak enak hati, Lara meminta pada Bian untuk mengizinkannya bicara pada Ammar.

"Ammar, aku mau bicara sebentar denganmu, kita duduk di sana?" Lara menunjuk ke teras.

"Oke." Ammar mengekor Lara, sementara Bian menghela napas tak suka.

"Duduklah, Ammar."

"Thanks, Lara."

"Aku minta maaf sebelumnya jika mungkin ini akan membuatmu marah atau ...."

"Lara,aku sudah pernah bilang kan? Aku tidak akan marah denganmu," sela Ammar.

Lara diam menatap lantai putih.

"Katakan apa yang hendak kamu katakan."

"Eum, Bian ..., Bian ...."

"Aku melamar Bening, Ammar, dan hari ini aku akan mengajak dia bertemu orang tuaku." Tiba-tiba Bian ada di tengah-tengah mereka.

Mendengar hal itu Ammar tidak menampakkan rasa terkejut, karena sebenarnya dia sudah tahu seperti apa perasaan Lara ke Bian dan sebaliknya. Lelaki itu tersenyum hangat menghampiri Bian.

"Selamat, Bian! Aku ikut bahagia, semoga semua yang akan kalian rencanakan berjalan sebagaimana mestinya. Pesanku, jaga Lara dengan baik!" ucap Ammar menyalami Bian seraya menepuk bahu lelaki itu.

"Thanks, Ammar, pasti! Pasti akan akan menjaga dia seumur hidupku, kamu jangan khawatir," ujar Bian tak henti menatap Lara.

"Oke, aku rasa sudah tidak ada yang perlu dibicarakan, aku balik ya, kalian hati-hati, assalamualaikum." Ammar pamit meninggalkan mereka berdua.

Sepeninggal Ammar, Bian menoleh ke Lara. Lelaki itu tersenyum.

"Kita berangkat sekarang, Sweety,"

Mata Lara membulat mendengar panggilan baru untuknya. Sementara Bian melangkah santai menuju mobilnya.

***

Rumah berarsitektur klasik itu nampak berdiri megah. Tanaman indah terhias di halaman besar, nampak kolam ikan dengan gemericik airnya membuat suasana nyaman. Lara menatap sekeliling tersenyum.

"Rumah kamu nyaman, Bian, kamu pasti betah tinggal di sini."

Bian menggeleng cepat.

"Justru aku jarang di sini, aku lebih suka di apartemen atau di base camp, Bening."

"Kenapa?"

"Rumah ini selalu sepi."

"Sepi?"

"Orang tuaku jarang di rumah, Bening. Aku sering kesepian," lirihnya.

"Bening, boleh aku minta sesuatu?"

"Apa itu, Bian? Katakan,"

"Aku ingin anak-anak kita kelak tidak kesepian sepertiku, aku ingin mereka merasakan kehadiran ibunya setiap hari," ucap Bian sungguh-sungguh.

Lara merona kemudian mengangguk malu.

"Syukurlah, ayo kita masuk," ajak Bian menatap hangat Lara.

Bersambung

Eaaa yang mau ketemu camer uhuyyy, wkwkwkw

Stay tune terus yess
Mamachihh sudah setia .... Luv you all readers 💚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top