Senandung Lara Bag 16
Vote dan komentar teman-teman sangat membuat kami happy, jadi tinggalkan jejak kalian yaa.
Happy reading guys ...
Senandung Lara
Bag 16
Kolab_olivia_faeeza
Setelah beberapa hari sejak malam itu dan masih tak ada kabar dari Bian, Lara merasa bingung, sedih sekaligus takut. Bingung dengan sikap Bian yang seolah sengaja menjauhinya, sedih karena telponnya yang tak dijawab Bian dan tak satupun pesannya untuk Bian dibaca pun dibalas. Ada rasa khawatir sesuatu terjadi pada Bian, seperti yang pernah terjadi waktu itu, ketika Bian mengalami kecelakaan sementara Lara tidak tahu.
"Ya Allah, lindungi dan jaga Bian ... mudah-mudahan dia selalu baik-baik di mana pun dia berada," ucap Lara dalam hati, berulang Lara menenangkan hatinya yang gundah.
"Lara, mama perhatikan akhir-akhir ini kamu gelisah. Apa yang terjadi, Sayang ... katakan pada mama. Jangan simpan sedihmu sendiri," kata Amira mendekat Lara yang sedang duduk di tepi ranjang.
"Apa karena dokter Ammar?" tanya Amira. Lara menggeleng lemah.
"Lara belum menjawab permintaan Ammar, Ma. Salahkah Lara bila menolaknya? Apakah Lara jahat?" tanya Lara.
"Lara, semua mama serahkan pada kamu. Tanya pada hatimu, atau adukan pada-Nya. Mintalah pada-Nya yang terbaik," kata Amira sambil membelai rambut Lara.
"Lara takut mengecewakannya, Ma ... tapi Lara juga tak ingin terpaksa menerima cintanya. Ammar laki-laki yang sangat baik dan relijius."
"Apa karena Bian?" tanya Amira. Mata Amira melihat ada kaca-kaca di mata Lara yang hampir jatuh.
"Bian nggak pernah menjawab dan membaca pesan Lara. Apa dia marah? Apa dia baik-baik saja?" tanya Lara terisak. Amira memeluk putrinya itu, dia memahami perasaan Lara. Rupanya hati Lara benar untuk Bian.
"Kau mencintainya, Sayang?" Lara makin terisak.
"Apa Lara salah?" tanya Lara masih terisak, Amira menyentuh wajah Lara dan menghapus air mata Lara.
"Tidak, Sayang... cinta tak pernah salah, kitalah yang kadang membuat cinta menjadi salah."
"Maksud Mama?"
"Iya, karena cinta kita dibutakan. Kita kadang tak bisa menerima kebenaran ataupun kesalahan karena cinta. Kau tahu, cinta yang sebenar-benarnya cinta itu hanya pada-Nya?" Lara mengangguk.
"Cinta membuat kebaikan apapun nampak buruk, dan sebaliknya keburukan apapun nampak baik karena tertutup cinta."
"Bian baik," ucap Lara lirih. Amira tersenyum.
"Mama tahu,"
"Lara nggak mau bandingin Bian dengan Ammar. Ini tak adil untuk Bian, juga untuk Ammar," kata Lara lagi.
"Mama akan selalu dukung apapun, Lara. Semua kamu yang memutuskan. Mintalah sama Allah, Dia akan berikan yang terbaik untukmu," ucap Amira lembut.
"Iya. Mama, makasih selalu ada untuk aku. Mama, aku baru memahami, karena cinta Mamalah aku ada. Cinta Mama adalah cinta paling tulus tanpa syarat. Lara beruntung punya Mama," kata Lara sambil memeluk Amira, "Lara sayang Mama,"
"Sama-sama, Sayang. Kamu tahu, mama hanya punya kamu. Sekian lama, setiap waktu mama minta pada-Nya untuk bisa membawamu kembali ke pelukan mama. Ternyata Allah jawab doa dan harapan itu dengan menghadirkanmu lagi di sisi mama. Maka nikmat Allah manakah yang akan mama dustakan? Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan mama, kesedihan kamu juga kesedihan mama, Sayang."
"Ma, boleh ya Lara ke panti untuk beberapa waktu? Lara kangen sama anak-anak."
"Boleh, kapanpun kamu mau kesana Mama izinkan. Besok kan Sabtu, mama antar. Kalo gitu mama hubungi Pak Asep buat nganter kita."
*****
Seperti biasa setelah shalat berjamaah di masjid, Bian berbincang dengan Ustadz Umar, takmir masjid yang sering mengisi kajian. Dari beliau Bian banyak mendapat ilmu dan pencerahan juga belajar membaca iqra'. Beberapa minggu setelah keislamannya dulu memang Bian langsung tergerak hati untuk belajar iqra'. Saat ini Bian lebih banyak belajar pada Ustadz Umar, dan berkat bimbingan beliau Bian hampir menamatkan iqra'nya. Bian merasa hatinya makin damai dan tenang menjalani hidupnya sekarang. Dia merasa lebih sabar dalam mengendalikan emosinya, tidak meledak-ledak seperti sebelumnya.
"Nak Bian sudah mapan, usia juga sudah matang. Bukankah lebih baik menyegerakan untuk berumah tangga?" tanya Ustadz Umar. Bian agak terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu.
"Begitukah, Ustadz? Saya masih belum memiliki keberanian cukup untuk menjadi imam dalam keluarga. Apakah saya sudah pantas?" tanya Bian.
"Menjadi imam dan pemimpin keluarga memang tak mudah. Semua perlu proses. Memilih pasangan juga tidak boleh asal. Dalam berumah tangga nanti akan ada banyak hal tak terduga terjadi, makanya kita perlu ilmu agar tidak kaget."
"Itulah Ustadz yang masih menjadi ganjalan. Saya ini masih baru menjalani keyakinan ini, apakah saya pantas meminta pada Allah jodoh yang sholihah, sementara saya masih seperti ini?" tanya Bian.
"Nak Bian, kita boleh meminta apapun itu asal yang baik pada-Nya dalam setiap doa kita. Termasuk meminta jodoh terbaik, karena bersama pasangan kitalah kita akan membentuk generasi berikutnya yang lebih baik dari kita. Bukankah ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya? Jadi, berdoa minta jodoh yang sholihah itu tidak ada larangan," jelas Ustadz Umar panjang. Bian mengangguk.
"Terima kasih, Ustadz,... mohon doanya juga. Semoga saya bisa mendapatkan jodoh terbaik," ucap Bian.
"Insha Allah, Nak. Yang penting, mintalah pada-Nya di sepertiga malammu," kata Ustadz Umar. Bian mengangguk dan tersenyum.
"Kalau begitu saya mohon pamit, Ustadz, sekali lagi terima kasih," ucap Bian.
"Sama-sama, Nak."
"Assalamu'alaikum, Ustadz,"
"Wa'alaikum salam warahmatullaah...."
*****
Sudah tiga hari Lara berada di panti. Kehadirannya di sana membuat anak-anak yang memang sudah merindukan Lara senang. Begitupun Lara, selama di panti dia merasa lebih tenang, sedikit melupakan kegundahannya.
Pagi itu setelah mandi Lara izin ibu panti untuk jalan-jalan menghirup udara pagi. Sudah lama Lara merindukan udara segar di perkampungan. Seperti biasa Denis yang kebetulan sedang libur sekolah, selalu setia mengantar kemanapun Lara pergi. Denis berlarian senang di pinggir pematang sawah sambil mencoba menangkap capung juga belalang yang hinggap pada tumbuhan yang tumbuh liar di pinggir sawah. Sementara Lara tersenyum memandangi hamparan hijau sepanjang mata memandang.
"Denis, kak Lara ke bukit kecil di sana ya,"
"Iya, Kak, nanti Denis susul."
Lara berjalan ke arah bukit kecil di ujung timur sawah. Di timur sana matahari mulai menampakkan sinarnya. Mata Lara terpejam, bibirnya tersenyum. Dibentangkannya dua tangannya, Lara memutar-mutar tubuhnya bak penari yang sedang menari gembira. Tanpa dia sadari ada seseorang yang tanpa sengaja menangkap sosoknya di kamera.
"Kak Biaaan...," teriak Denis mengagetkan Lara. Tampak Denis berlari dari kejauhan.
"Bian," lirih Lara menyebut nama Bian. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Bian berjalan mendekatinya.
"Kak Bian kenapa nggak main ke panti?" tanya Denis yang datang bersamaan di depan Lara yang masih berdiri terpaku.
"Maaf, kakak kemarin sibuk belajar, Boy, biar nggak kalah sama kamu," kata Bian sambil mengusap kepala Denis.
"Emang Kakak belajar apa sih?" tanya Denis.
"Sini kakak bisikin," kata Bian, mulutnya mendekat ke telinga Denis dan membisikkan sesuatu. Denis tertawa senang.
"Asyiik, nanti kita bisa belajar bareng, ya Kak,"
"Iya, dong," ucap Bian tersenyum dan mengacak-acak rambut Denis.
"Assalamu'alaikum, Bening,... apa kabar?"
"Wa'alaikum salam, Bian. Alhamdulillah baik. Kamu, apa kabar juga?" tanya Lara. Matanya menatap Bian yang tersenyum padanya sekilas lalu tiba-tiba memandang ke arah lain.
"Alhamdulillah, baik," jawab Bian.
"Kak Lara, Kak Bian, aku mau menangkap capung di sana, ya," kata Denis lalu segera berlari ke arah capung-capung itu terbang.
"Jangan jauh-jauh, Denis!" teriak Lara.
"Sejak kapan di panti?" tanya Bian.
"Sudah beberapa hari ini," jawab Lara.
"Oh,"
"Kamu, sejak kapan?"
"Aku,... sudah hampir dua minggu," kata Bian.
"Kenapa tidak jawab telponku?" tanya Lara, "apa kamu marah sama aku?"
"Oh ... bukan. Aku tak bawa ponsel. Maksudku, aku lupa bawa. Ponselku tertinggal di rumah."
"Oh ya, tapi saat itu kamu kan masih di kota. Kenapa tak baca pesanku?"
"Maaf, Bening. Setelah menelponmu, aku tak pegang ponsel lagi."
"Tapi kenapa?"
"Ngga papa,"
"Kamu marah?"
"Enggak, Bening," ucap Bian. Matanya menatap ke depan.
"Lalu kenapa saat itu kamu pulang? Apa kamu menghindariku?" Diberondong pertanyaan itu Bian hanya diam.
"Apa aku ada salah?" tanya Lara, tetes bening jatuh dari matanya. Bian melirik sekilas dan hatinya mencelos melihat air mata Bening.
"Maaf, Bening. Bukan begitu. Please, jangan menangis. Kamu nggak ada salah kok. Justru aku yang salah. Maaf," ucap Bian.
"Lalu kenapa tidak ke panti?"
"Aku, ..."
"Belajar apa?" tanya Lara.
"Belajar lebih baik,"
"Alhamdulillah,"
"Jangan ketawain ya, aku, baru belajar iqra' dan hafalan surat pendek," ucap Bian.
"Oh ya? Aku senang mendengarnya, Bian," kata Lara. Senyum merekah dari bibirnya.
"Masih belum lancar. Harus lebih banyak belajar lagi," ucap Bian.
"Iya, harus rutin. Kamu pasti bisa, Bian,"
"Aamiin. Mudah-mudahan,"
"Aamiin."
"Bagaimana kabar mama kamu?" tanya Bian.
"Alhamdulillah, sehat."
"Dokter Ammar?" tanya Bian, entah kenapa pertanyaan itu justru membuat hatinya perih.
"Baik, kenapa kau tanyakan dokter Ammar?"
"Bukankah kamu pergi bersamanya waktu itu?" tanya Bian.
"Iya,... apa itu membuatmu marah?" tanya balik Lara.
"Apa aku berhak marah?" tanya Bian lirih. Keduanya lantas diam. Sama-sama terpekur dengan pikiran masing-masing.
"Sebaiknya kita balik. Hari sudah semakin siang. Mau sarapan bersamaku?" tanya Bian.
"Boleh,"
Mereka lalu beranjak pergi. Denis dengan senang memamerkan capung yang dia tangkap. Namun kemudian dilepaskannya capung itu untuk kembali terbang.
Mereka mampir untuk sarapan di sebuah warung makan sederhana di pinggir kampung. Semangkuk soto ayam dan segelas teh manis panas terasa nikmat bagi Lara dan Bian yang tanpa mereka sadari ada bunga-bunga bermekaran di hati keduanya.
"Tak usah mengantar aku dan Denis ke panti. Nanti kamu kejauhan jalannya ke base camp," kata Lara.
"Are you sure?"
"Ya. Aku sudah tahu jalannya ... nggak akan tersesat," kata Lara tersenyum.
"Baiklah kalo begitu," ujar Bian.
"Kamu belum akan balik ke kota, kan?" tanya Lara.
"Entahlah, aku masih ingin di sini," jawab Bian, "kamu?" tanyanya.
"Aku masih akan di sini sampai mama jemput aku," jawab Lara.
"OK. Sampai ketemu. Nanti aku ke panti," janji Bian.
"Anak-anak pasti senang."
"Iyakah?" Lara tersenyum mengangguk.
"Baiklah."
"Aku duluan ya, Bi, assalamualaikum,"
"Wa'alaikum salam warahmatullaah," ucap Bian menjawab salam Lara. Lara dan Denis bergegas pergi. Sambil melangkahkan kakinya senyum Lara tak lepas dari bibirnya.
Mata Bian menatap langkah Lara dan Denis yang makin menjauh.
*****
Seperti janji Bian tadi pagi, sore ini Bian datang di panti. Bian membawa banyak oleh-oleh untuk anak-anak. Bian bergabung dengan anak-anak yang sedang mengaji dan menghafal surat-surat pendek. Lara merasakan kebahagiaan mengaliri hatinya melihat Bian ikut mengaji dengan mereka. Sesekali mata Lara mencuri pandang ke arah Bian.
Lara membuat teh hangat dan memberiaknnya pada Bian setelah Bian dan anak-anak selesai mengaji. Anak-anak itu kembali bermain sambil menunggu maghrib tiba.
"Jadi, kesibukanmu apa sekarang?" tanya Lara membuka percakapan.
"Sama saja seperti kemarin-kemarin. Bedanya, sekarang aku fokus buat belajar dulu."
"Pekerjaanmu? Kafemu?"
"Kafe ada yang handle."
"Oh."
"Kamu sendiri?"
"Aku juga sedang belajar desain baju muslim sama bikin pernik-pernik."
"Oh ya, bagus dong,"
"Paling susah desain baju muslimnya. Aku baru belajar gambarnya sih. Tahu sendiri ini baru banget buat aku."
"Tak ada yang sulit kalau kamu mau belajar," kata Bian.
"Iya," ucap Lara.
"Apalagi aku, Bening. Kamu tahu kan, aku juga baru belajar. Seandainya ada yang mau mengajariku setiap hari dan belajar bareng, ..." ucap Bian. Tiba-tiba ponsel Lara berbunyi.
"Wa'alaikum salam,"
"___"
"Alhamdulillah baik,"
"___"
"Anak-anak baik,"
"___"
"Aku masih ingin di sini."
"___"
"Nggak perlu, ntar Mama yang mau jemput sama Pak Asep,"
"___"
"Iya, bener. Nggak papa."
"___"
"Ok, nanti aku sampaikan."
"___"
"Iya, udah makan kok."
"___"
"Iya,"
"___"
"Wa'alaikum salam,"
Lara kemudian menaruh ponselnya di meja. Dada Bian bergemuruh. Dia menarik napas berusaha menenangkan dirinya. Berulang mengucap istighfar dalam hati, membuang jauh pikiran negatifnya. Kenapa rasa tak rela menghinggapi dirinya setiap Lara bicara dengannya? Bukankah Lara masih mengenakan cincin pemberiannya?
"Bi, kenapa diam saja? Kamu sakit?" tanya Lara.
"Apa dia ... dokter Ammar?"
"Iya,"
"Apa kamu bahagia bersamanya?" tanya Bian menahan pilu.
"Maksud kamu apa, Bi?"
"Kamu bahagia, kan?"
"Bi, aku nggak tahu kamu bicara apa,"
"Kalau kamu bahagia dengannya, aku juga bahagia untukmu,"
"Bi ...,"
"Berbahagialah,"
"Bi, kamu salah sangka. Aku nggak ada perasaan apapun padanya," ucap Lara.
"Dia mencintaimu, kan?" tanya Bian.
"Tapi aku tidak," kata Lara.
"Dia sholih, dan sangat relijius,"
"Maksud kamu apa Bi?"
"Bening, apa aku pantas bersamamu?"
"Bi, ... jangan bilang seperti itu," kata Lara, matanya mulai berkaca.
"Aku tak pantas, Bening,"
"Sudahlah Bi, lebih baik kamu pulang, aku nggak mau dengar apapun," ucap Lara.
"Maaf, Bening,"
"Kamu nggak perlu minta maaf. Pulanglah," kata Lara tak mampu menyembunyikan sedihnya, bulir air matanya jatuh.
"Bening, jangan menangis, please," ucap Bian. Air mata Lara jatuh tak terbendung.
"Pulanglah," kata Lara.
"Bening, menikahlah denganku," ucap Bian. Matanya menatap wajah Lara yang basah air mata. Lara tersentak. Lidahnya tiba-tiba kelu.
"Bian ...."
"Kumohon ... menikahlah denganku, Bening," ucap Bian lagi. Lara menutup mulutnya. Ribuan kupu-kupu seakan terbang mengelilingi dirinya.
*****
Bersambung ...
Yuhuuu, yang baper yang baper hahaha.
VoMen jangan lupa yaa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top