Senandung Lara Bag 14
Hai hai haiiiii, Babang Bi hadir lagi, senipsirin? Cuss langsung baca aja yeee😘
Btw, ini dah pada follow belom, kl belom jangan baca ah, wkwkwkw😅, syadis guweh😁
Jangan lupa vote dan komentar yang keren, biar rameee. Meski saya g balas semua komen, tapi saya baca loh. Yuk ah happy reading guys ....
@faeeza_suwito, Anda luar biasa 😁😘
🌼🌼🌼
Senandung Lara
Bag 14
#Kolab_olivia_faeeza
Semua bertepuk tangan gembira, termasuk seorang lelaki yang berdiri di bawah pohon depan balai RT yang sejak tadi menatap gadis itu tanpa berkedip.
Mata Lara tak sengaja menangkap sosok lelaki yang berdiri itu, entah mengapa hatinya berdesir. Segera Lara membuang pandangan ke arah lain.
Anak-anak yang sudah menyelesaikan latihannya itupun akhirnya bermain di sekitar balai. Bian menarik napas panjang kemudian menghampiri Lara yang duduk sendirian.
"Assalamu'alaikum, Bening,"
"Wa'alaikum salam, " jawab Lara. Matanya mengerjap, dia mengenali suara itu.
"Apa kabar?" tanya lelaki itu.
"Bi ... Bian, kamu Bian kan? Kamu kemana saja?" tanya Lara, bulir bening jatuh di pipinya. Inikah wajah sosok yang dirindukannya selama ini? Wajah yang begitu ingin dia lihat setelah operasi.
Seseorang yang menghiasi mimpinya itu kini berdiri di depan matanya. Spontan Bian menghapus air mata Lara.
"Maaf," ucap Bian, tangannya segera dijauhkan dari wajah Lara.
"Kamu marah sama aku? Apa kamu membenciku?" tanya Lara, diusapnya air mata di pipi.
"Bukan, ... bukan begitu, Bening. Please, jangan salah sangka. Aku hanya ingin, ..."
"Pergi menjauhi aku?" Lara memotong kalimat Bian.
"Please,..." ucap Bian lirih.
"Kamu tak pernah menjawab telponku. Bahkan tak satupun pesan kau balas," kata Lara sedih.
"Maaf," ucap Bian lirih.
"Operasinya berhasil, Bi. Sekarang aku bisa melihat," kata Lara, senyum mengembang di bibirnya.
"Alhamdulillah, aku turut bahagia. Selamat, ya," ucap Bian. Mata Bian melirik cincin berlian pemberiannya itu masih melingkar manis di jari Lara. Bian tersenyum samar.
"Kak Bian, katanya mau ngajak aku ke base camp?" tanya Denis menghampiri mereka. Bian mengacak rambut Denis.
"Iya, kita ke sana. Sebentar ya, Boy, kakak mau bicara dulu dengan Kak Bening," kata Bian.
"Aku, .. boleh ikut? Aku ingin ke sana lagi. Boleh ya?" tanya Lara.
"Nggak papa?" tanya Bian.
"Kenapa?" tanya balik Lara.
"Nggak ada yang marah?"
"Maksud kamu apa, Bi?"
"Bener, kamu mau ikut?" tanya Bian.
"Iya. Dulu aku tahu keadaan di sana dari ceritamu, sekarang aku ingin melihat suasana dan keadaannya secara nyata. Boleh, kan?
"Boleh,..." jawab Bian.
Akhirnya mereka bertiga pergi ke base camp. Sesampai di sana, Lara takjub dengan keadaan base camp Bian. Matanya menatap gambar dirinya yang di pajang di dinding. Tak hanya satu, ada beberapa gambar dirinya di sana.
"Maaf, aku tak bilang sebelumnya. Foto dan lukisan itu sudah lama aku pajang. Kalau kamu tak berkenan akan aku ambil dari sana," kata Bian salah tingkah.
Lara tersenyum.
"Aku hanya merasa tak pantas berada di sana, Bi," ucap Lara.
"Maaf, tapi ... aku suka gambar-gambar itu," kata Bian lirih. Pipi Lara merona. Debar di dadanya membuat Lara merasa sedikit gelisah.
"Ruangannya bersih dan rapi. Semua tertata dengan baik," kata Lara berusaha menyembunyikan gelisahnya.
"Oh, biasa saja. Aku biasa tinggal sendiri dan menata ruanganku sendiri. Ada temenku juga sih, Vano, yang bantuin. Bahkan aku punya asisten setia, ya kan Boy?" Bian menepuk pundak Denis. Denis tertawa senang.
"Denis memang rajin dan sangat mandiri," puji Lara, "jadi kamu masih sering ke sini?" tanya Lara.
"Aku sudah cukup lama berada di sini setelah sekian lama pergi. Aku merasa lebih damai berada di tempat ini," ucap Bian.
"Pergi?"
"Membantu bisnis papaku," kata Bian.
"Oh," ucap Lara singkat.
"Aku ikut senang melihatmu berhijab sekarang," kata Bian.
"Alhamdulillah. Iya, semua karena ...,"
"Dokter Ammar?" tanya Bian, ada sakit di hatinya saat dia menanyakan itu.
"Memang dia yang banyak kasih masukan, tapi memang ini sudah jadi kewajibanku sebagai seorang muslimah untuk menutup aurat. Semua karena keinginanku sendiri."
"Ya, syukurlah," kata Bian.
"Kapan balik ke kota?" tanya Lara.
"Entah, mungkin besok atau lusa. Kamu sendiri?"
"Insyaallah besok,"
"Oh," kata Bian singkat, "ini sudah menjelang maghrib. Aku antar ke panti, nanti kamu dicari," ucap Bian.
"Baiklah," ucap Lara tersenyum.
"Ayo, Boy," kata Bian sambil meraih tangan Denis.
"Kak Bian nanti shalat maghrib di masjid ya," ajak Denis.
"Iya," ucap Bian sambil melajukan mobilnya perlahan.
"Bian, kamu ...?" tanya Lara penasaran.
"Iya, alhamdulillah," ucap Bian, "banyak hal yang telah aku lewati selama ini. Aku beruntung dipertemukan dengan seseorang yang membawaku pada keadaanku sekarang ini. Semua sudah melalui pemikiran yang matang, bukan karena siapa, lebih karena logika dan pemikiran yang mendalam. Ini jalan hidup yang aku pilih sendiri. Aku memilih keyakinan ini semata-mata karena Allah. Mohon doanya agar aku bisa istiqomah," kata Bian.
"Aamiin, insyaallah akan dimudahkan segalanya, Bian. Alhamdulillah, ya Allah," ucap Lara. Ada buliran bening menetes di pipi Lara, air mata bahagia.
"Aamiin," ucap Bian.
Mereka sudah sampai di panti. Bian masuk lebih dulu sambil membawa beberapa bingkisan yang sudah dia siapkan untuk anak-anak panti. Bian disambut gembira anak-anak yang rupanya sangat merindukan kehadirannya setelah sekian lama tak berkunjung.
"Lara, maaf tadi aku istirahat di kamar, jadi tidak menemanimu ke balai RT," kata dokter Ammar.
"Nggak papa, kan dokter capek harus nyetir sendiri. Saya pingin lihat anak-anak latihan di sana," kata Lara.
"Kamu pasti kangen sama mereka, ya? Kapan kamu mau ke sini, bilang aja, insyaallah aku antar," kata dokter Ammar, tangannya bergerak mengambil sesuatu dari jilbab Lara.
"Ada semut, nanti dia gigit kamu," ucapnya sambil tersenyum. Lara tersenyum kikuk. Mereka tak menyadari ada seseorang yang menatap sendu dari jarak yang tak begitu jauh. Bian mendekati dokter Ammar untuk menyapa.
"Dokter Ammar, apa kabar?"
"Bian, alhamdulillah baik, gimana kabarmu?" tanya dokter Ammar.
"Alhamdulillah baik," jawab Bian.
"Kemana aja nggak pernah nongol? Kok bisa di sini juga?"
"Ada kerjaan yang harus saya selesaikan. Kalau di sini memang sudah beberapa waktu karena ada base camp juga."
"Wah, sibuk ya?"
"Biasa aja. Oiya, sudah maghrib. Saya ke masjid dulu."
"Ya sudah, kita bareng aja," kata dokter Ammar.
*****
Malam itu Lara berbaring di kamarnya di panti. Debaran itu kian terasa. Lara tersenyum samar. Ada bahagia tergambar jelas di wajahnya. Seseorang yang dia rindukan itu sudah dia jumpai. Namun masih ada ganjalan dalam hati Lara, Bian tak mengatakan apapun. Masihkah ada rasa itu untuknya? Apakah Bian melupakan ungkapan cintanya pada Lara?
"Bian, kamu seorang muallaf sekarang ... semoga Allah selalu memberkahimu." Bibir Lara tersenyum. Lara merasa ada harapan indah menyapanya.
Di tempat yang berbeda, Bian juga berusaha memejamkan matanya. Berkali dia menghela napasnya. Gadis yang tak pernah sanggup dia hapus dari ingatannya itu kini semakin anggun dengan hijabnya. Pantaskah dirinya yang seorang muallaf itu berharap berada di sisinya untuk mengarungi hidup bersama? Jika dia mengikuti keinginannya yang begitu kuat, sejak awal mereka bertemu tadi Bian akan meminta gadis itu hidup bersamanya. Namun, keinginan itu dipendamnya. Bian tak ingin gegabah menyatakan cintanya. Bian akan mengatakan keinginannya di saat yang tepat. Bian tahu ada sosok lelaki lain selain dirinya yang menyukai Lara, nampak jelas dari tatapan mata dan perhatiannya pada Lara, tak lain dokter Ammar. Bian tak menepis bahwa dirinya cemburu melihat Ammar berada di sisi Lara. Membayangkan lelaki itu mengantar Lara ke panti dan hanya mereka berdua berada di mobil dalam perjalanan yang cukup jauh membuat dada Bian sesak. Bian menyugar rambutnya. Apa haknya marah? Apakah dia berhak cemburu, sementara dia dan Lara tak ada ikatan apapun. Namun begitu dia ingat cincin itu masih melekat di jari Lara,Bian tersenyum. Digenggamnya ponsel di tangan, nalurinya ingin menelpon atau sekadar menulis pesan untuk mengucap selamat tidur, tapi ditahannya keinginan itu kuat. Cukuplah Allah yang akan menjaga sang pujaan hati. Bian menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Berusaha menenangkan dirinya dengan berpikiran positif, Bian mengucap doa sebelum dia memejamkan mata.
*****
Beberapa waktu berselang, mereka kembali ke kota dan menyibukkan diri dengan aktifitas mereka masing-masing. Saat ini Lara sibuk membuat desain baju muslim dan membuat pernak pernik seperti kalung, gelang dan bros. Mamanya sangat mendukung keinginan Lara untuk menekuni bidang ini.
Malam itu Amira dan Lara tidur di kamar Lara.
"Mama selalu ingin memelukmu dalam tidur mama, seperti dulu waktu kamu masih bayi. Maafkan mama telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidup mama," ucap Amira sambil membelai kepala Lara.
"Apa sesulit itu hidup kalian?" tanya Lara.
"Kau tahu, Sayang. Mama dulu tak punya siapa-siapa, dan papamu menikahi mama tanpa restu dari kakek nenekmu. Papa tak diakui anak lagi karena memilih hidup bersama mama," kata Amira sedih.
"Sampai seperti itu?" tanya Lara.
"Sampai akhir hidup papamu, beliau tak berhenti menyesali ini. Setiap waktu namamu selalu dia sebut dalam doanya. Sebelum ajal menjemput bahkan dia memanggil nama kamu, Sayang," Amira mengusap air matanya.
"Mama, jangan menangis lagi," ucap Lara.
"Maafkan papa dan mama, ya," kata Amira.
"Tak ada yang harus dimaafkan, Ma. Justru Lara yang harus minta maaf sama kalian karena hidup dalam prasangka tak benar," ucap Lara, "maafkan Lara, Mama," ucap Lara kemudian memeluk Amira erat.
"Besok kita kunjungin Papa, ya," ajak Amira. Lara mengangguk.
Sabtu pagi ini, sesuai rencana Amira mengajak Lara ke suatu tempat. Sampai di pemakaman umum, Amira menggandeng tangan Lara.
"Sayang, ini anak kita, Lara. Dia sudah dewasa dan cantik. Lara, di sinilah papamu beristirahat dalam damai," Amira tersenyum pada Lara. Lara merasakan keharuan menyeruak. Air mata sedih membasahi pipinya. Di batu nisan itu tertulis nama papanya, Ahmad Faisal.
"Papa, ini Lara. Lara sangat merindukan Papa," ucap Lara, "maafkan Lara, Pa. Selama ini Lara selalu berprasangka buruk sama Papa," air matanya makin berderai. Amira merengkuh Lara dalam pelukannya. Mereka berdua hanyut dalam keharuan. Tangis mereka pun tak terbendung.
*****
"Lara, sepertinya dokter Ammar serius sama kamu,"
"Maksud Mama?"
"Dia menyukaimu. Beberapa kali menanyakan ke mama, kamu sudah ada calon belum," kata Amira.
"Terus Mama bilang apa?"
"Ya ... mama bilang kamu belum ada calon." Lara diam, tiba-tiba teringat Bian.
"Mungkin dia akan datang secara resmi melamar kamu, Lara,"
"Tapi, Ma ...,"
"Dokter Ammar itu baik, masih muda, karirnya bagus. Yang terpenting sholih dan agamis, Lara,"
"Lara menganggap dokter Ammar seperti kakak sendiri, Ma."
"Tak baik menolak orang yang sholih, tapi semua mama serahkan sama kamu, Sayang. Yang akan menjalani kan kamu, mama akan mendukung apapun pilihan kamu. Kamu tahu apa yang terbaik buat diri kamu sendiri."
"Iya, Ma."
"Mama akan support apapun itu, yang penting kamu tahu batasannya apa yang boleh dan yang tidak boleh."
"Ma, kemarin di panti aku ketemu Bian,"
"Oya? Dia bicara apa?"
"Nggak ada," kata Lara, "o iya kata Mama mau cari info tentang Bian,"
"Iya, Sayang. Mama lupa mau cerita sama kamu. Beberapa bulan lalu Bian mengalami kecelakaan, dan mengalami gegar otak," kata Amira.
"Ya Allah, jadi ... karena itu Bian nggak bisa dihubungi? Karena itu Bian nggak balas pesan Lara?" tanya Lara, ada kesedihan di matanya.
"Mungkin begitu, Sayang. Setelah sembuh dia ke luar negeri buat ngurus bisnis papanya."
"Tapi kemarin dia nggak bilang apa-apa sama Lara," ucap Lara.
"Mungkin dia tak ingin membuat kamu khawatir,"
"Bian sekarang beda, Ma,"
"Maksudmu?"
"Apa Mama nggak tahu kalau Bian sekarang muallaf?"
"Benarkah? Alhamdulillah. Mama senang mendengarnya."
"Iya, Ma. Hanya saja sekarang Bian lebih pendiam dan membatasi diri."
"Baik dong, malahan."
"Iya sih, Ma," kata Lara.
"Ya sudah, kita doakan semoga Bian istiqomah,"
"Aamiin. Dia juga bilang begitu kemarin."
"Oya?"
"He umh," ucap Lara tersenyum.
"Kamu suka dia?"
"Mama apa sih?" Pipi Lara merona.
"Bian itu cakep ya? Kayak artis sinetron. Siapa itu, Omar Daniel ya?" tanya Amira. Lara tertawa. Dalam hatinya mengiyakan. Entah kenapa bayangan Bian muncul dan seakan tersenyum padanya. Bian yang baik, yang pandai bermain gitar, dan sikap dinginnya kemarin semakin membuat Lara gelisah. Pipinya merona. Amira tersenyum melihat Lara yang terlihat malu.
Ponsel Lara berbunyi. Ada panggilan masuk.
"Wa'alaikum salam,"
"____"
"Ya, nggak ada rencana kemana-mana, kok."
"____"
"Besok?"
"____"
"Jam berapa?"
"____"
"Ya, di rumah aja."
"____"
"Ya, nggak papa."
"____"
"Sendiri aja, kan?"
"____"
"Iya, baik."
"____"
"Wa'alaikum salam." Wajah Lara mendadak berubah.
"Ma, aku ke kamar dulu, ya,"
"Kenapa, Sayang?"
"Nggak papa, Ma, Lara pingin istirahat aja."
"Ya sudah. Istirahatlah."
Lara melangkah gontai menuju kamarnya.
*****
Duuh, siapa sih yang nelpon Lara? Kok tiba-tiba Lara jadi berubah galau gitu? Jadi penasaran.
Bersambung yaaa...
Hayoo, siapa team Bian siapa team Ammar? Haha ....
Mamachihh udah ngikutin ceritanya 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top