Senandung Lara Bag 13
Syediihhh ya, Bian udah keburu pergi aja ... Hiks.
Makasih apresiasi readers semua. Suka dengan kisah ini? VoMen yaa. Mamachihh 😘
🌼🌼🌼
Lara menghentikan tawa, mendengar deru mobil meninggalkan rumahnya. Gadis itu cepat beranjak dari duduk dan melangkah ke depan. Ammar dengan mata menyipit mengikuti langkahnya.
Di teras Lara melihat sekeliling, tak mendapati apapun.
"Bian," lirihnya.
"Ada apa, Lara?" Ammar mendekat.
"Nggak ada apa-apa, tapi sepertinya tadi ada suara mobil, ah sudahlah."
Lara melangkah masuk, namun matanya melihat rangkaian bunga mawar merah yang tercecer di tanah. Mata gadis itu berkabut, segera gadis itu memungutnya.
"Bian, kenapa kamu pergi?" gumamnya meneteskan air mata.
"Bian?" tanya dokter Ammar.
Lara mengangguk pelan, pipinya basah.
"Maksud kamu, ini dari Bian? Dia tadi ke sini?"
"Telepon, aku harus meneleponnya," cetusnya tanpa menjawab pertanyaan Ammar. Segera Lara ke dalam mengambil ponsel dan mencoba menelepon Bian. Namun, tak ada jawaban dari seberang. Bian tak bisa dihubungi. Gadis berlesung pipi itu terisak.
"Apa perlu aku menyusulnya?" tawar Ammar.
Lara menggeleng pelan, kristal bening terus menetes di pipinya. Tangannya masih menggenggam erat rangkaian mawar merah yang nampak masih segar.
"Lara, jangan menangis. Matamu terlalu indah untuk mengeluarkan air mata," ujar Ammar mencoba mengusap pipi gadis di depannya, namun Lara perlahan menghindar.
"Kenapa dia pergi? Apa dia tak ingin menemuiku?" tanya Lara menatap kosong.
Lelaki di depannya itu tersenyum hangat.
"Mungkin dia sedang terburu-buru, Lara."
"Iya, mungkin," sahut Lara lirih.
Ammar menghela napas, tersenyum.
"Besok ada pengajian di Mesjid Agung, mau datang?" tanyanya.
Gadis itu mengusap pipinya yang basah.
"Iya, nanti Lara ajak mama, besok jam berapa?"
"Jam sembilan pagi, nanti aku jemput."
"Oke," ucap Lara tersenyum.
"Sekarang aku balik dulu, ya. Salam sama mama kalau sudah datang," pamit Ammar.
Lara mengangguk kembali tersenyum.
"Nah, senyum gitu dong, cantik! jangan sedih ya." Ucapan lelaki itu membuat Lara tersipu.
Sepeninggal Ammar, Lara kembali ke kamarnya, menatap rangkaian bunga mawar merah yang tercecer di halamannya tadi.
"Bian, kamu kenapa? Kenapa tak ingin menemuiku?" gumamnya kembali menangis.
Dipandangnya cincin pemberian Bian yang masih melingkar di jari manisnya.
"Mungkinkah kamu benar-benar ingin menjauh? Apa kamu tidak ingin mendengar perasaanku? Apa memang sudah tidak ada lagi rasa itu?" batinnya kembali berbisik.
Sementara di Bandara, Bian bersiap check in untuk terbang ke Kuala Lumpur. Lelaki itu berulang kali mengetik pesan kemudian kembali dihapus.
Nampak Teddy di sebelahnya mengerti apa yang dirasakan Bian.
"Shit! Kalau begini terus gue bisa gila!" ujarnya seraya mengacak rambutnya.
"Bi, gue nggak pernah liat elu kacau seperti ini, udah elu coba telepon lah!"
"Gue nggak bisa, Ted, lihat dia duduk berdua sama dokter itu aja, bisa bikin dunia gue berhenti! Gila kan gue!"
"Ternyata loe kalau jatuh cinta lebay, Bi," sergah Teddy terkekeh.
"Gue nggak lagi becanda!" sungut Bian kesal.
"Sorry, tapi coba elu kirim pesan aja, bilang kalau elu berangkat. Lagian dia sepertinya juga mikirin elu tuh! Kalau nggak ngapain dia misscall, kan? Ayolah, Bi!"
Bian menatap Teddy ragu.
"Cobalah!"
Lelaki berambut sebahu itu menatap ponselnya, ada wajah cantik Lara di sana.
"Nggak, Ted, gue rasa lebih baik dia nggak tahu gue di mana, semoga kita benar-benar bisa saling melupakan."
"Loe yakin? Loe yakin bisa lupa sama dia?"
Bian menggeleng tersenyum datar.
"Entah, tapi gue mau coba. Terlalu rumit sih, agama dia sama gue beda, dan gue yakin Tante Amira tidak akan melepas putrinya pada lelaki yang tidak seagama! Entah, semoga aja gue bisa keluar dari masalah ini," ujar Bian beringsut dari duduknya,diikuti Teddy.
"Udah, loe pulang, gue mau masuk, bentar lagi pesawat gue terbang."
Mereka bersalaman.
"Take care, Bro!"
"Jangan khawatir! Oh iya, ada baiknya kebiasaan minum loe mulai kurangi deh," pesan Bian seraya menepuk pindah sahabatnya.
"Gue coba!"
"Sebulan lagi, kita harus bisa berubah! Oke,"
"Oke, Bi!"
****
Sudah menjadi sunnatullah ada siang ada malam, ada bahagia ada juga kesedihan, ada laki-laki ada perempuan keduanya saling melengkapi.
Ada banyak peristiwa dialami Lara, kedekatan dokter Ammar di hidupnya membuat perubahan pada gadis itu. Setelah kesedihan yang dia alami, kini Lara menikmati hari dengan bahagia. Dikelilingi orang-orang yang mencintainya.
Kehidupan yang nisbi, ada perputaran harus dilalui. Jika saat ini sedih, akan ada bahagia menanti setelahnya. Dan Bening Larasati tengah merasakan itu.
"Jadi kamu dan Ammar akan berangkat besok ke panti?" tanya Amira pada Lara.
"Iya, Ma," sahut Lara sambil menikmati sarapan.
Sekilas wanita paruh baya itu melirik ke jari manis putrinya. Masih melingkar cincin indah pemberian Bian di sana.
"Lara."
"Ya, Ma?"
"Sepertinya dokter Ammar menyukaimu, Nak." Amira mengambil duduk di samping putrinya di meja makan.
Lara tersenyum kecil menatap mamanya.
"Dia lelaki baik, mama rasa."
"Dokter Ammar memang lelaki yang baik, Ma. Melalui dia Lara mulai belajar berhijab ...."
"Lalu?apa kamu juga menyukainya?"
Gadis berlesung pipit itu diam, menarik napas pelan.
"Entah, Ma."
"Atau kamu masih teringat Bian?" tanya mamanya ragu.
Lara kembali bergeming. Sudah lama dia tak pernah berhubungan dengan lelaki itu. Lelaki yang memberi semangat padanya, lelaki yang membuatnya mempunyai arti. Di mana dia saat ini? Berbagai pertanyaan berkecamuk di hati Lara.
"Lara? Benarkah kamu masih teringat dia?" Suara mamanya lembut terdengar.
"Mama tahu kemana Bian, Ma?"
"Kamu ingin mama cari tahu?"
"Jika mama tidak keberatan, Lara hanya ingin memastikan dia baik-baik saja," ucap Lara dengan suara serak. Sungguh hatinya sangat merindukan lelaki itu.
Meski Ammar datang dengan perhatian lebih untuknya, entah kenapa dia merasa masih ada ruang kosong di hatinya.
Jika memang Sang Pemilik Hidup tak mengizinkan dia dan Bian bersama, jauh di lubuk hati Lara menginginkan bertemu meski sekali saja. Dia ingin menatap lelaki yang selama ini memenuhi hatinya. Lelaki yang diam-diam telah mengambil seluruh hatinya.
"Lara, mama tahu kamu mencintai Bian, tapi .... " Amira menghentikan kalimatnya, menatap Lara lembut.
"Lara tahu, Ma. Lara hanya ingin ketemu dia sebentar saja."
"Baiklah, nanti mama akan cari tahu di kantor ya, siang ini kamu ada rencana apa?"
"Mau belanja buat anak-anak di panti, Lara sudah sangat kangen mereka."
"Oke, nanti ajak Bik Endah ya, naik taksi online aja."
"Siap, Ma."
"Mama berangkat ya, Sayang. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam, hati-hati, Ma."
***
Seorang lelaki tengah memainkan kuas di atas kanvas, sesekali dia tersenyum kemudian kembali meneruskan lukisannya. Suara riuh burung dan anak-anak bersenda gurau tak membuatnya hilang konsentrasi.
"Kak, kita siap-siap salat dzuhur yuk!"
"Emang sudah azan?"
"Bentar lagi, ayo, Kak. Denis yang bertugas azan siang ini," ujar Denis seraya menarik tangan lelaki itu.
"Oke, oke. Vano! Gue ke mesjid duluan ya, elo bersin deh, habis itu salat jamaah di sana!" ucapnya pada lelaki yang tengah merapikan alat musik.
"Oke, siap, Bos!"
Mereka berdua berjalan menuju mesjid.
"Kak, Kakak sudah lama di sini kenapa Kak Lara nggak diajak?" tanya Denis mendongakkan wajahnya.
Lelaki itu tersenyum menggeleng.
"Atau jangan-jangan Kakak nggak pernah lagi ketemu sama kak Lara ya?" cecar anak kecil itu.
"Kak Bian!" Denis protes sebab sedari tadi Bian hanya diam tersenyum.
"Apaan?"
"Kenapa kakak nggak jawab?"
"Karena tidak ada yang perlu dijawab, Boy!. Sudah ayo sana wudhu!"
Sudah tiga bulan sejak kepulangannya dari Kuala Lumpur, Bian memilih berlama-lama tinggal di desa tempat dia pertama kali bertemu Lara. Dan sudah hampir tiga bulan juga Bian meninggalkan agamanya.
Lelaki itu mendapat hidayah dari relasi Papanya yang tinggal di Kuala Lumpur. Selama satu bulan disana dia banyak bertukar pikiran dengan Datok Hassan. Dari beliau lah Bian mendapatkan kepastian dari semua kegalauan yang dia rasakan.
Meski begitu, keputusan Bian masih ditentang oleh kedua orang tuanya. Walaupun mereka sepenuhnya menyerahkan semua pada Bian, akan tetapi mama dan papanya masih nampak tidak suka.
Namun, Bian tetap Bian, lelaki keras kepala yang mempunyai prinsip hidup. Hingga akhirnya kedua orang tuanya harus pasrah dengan pilihan putranya.
***
"Kakaaak, Kak Bian!" panggil Denis berlari kearahnya.
"Ada apa? Kehabisan permen?" tanya Bian terkekeh.
Lelaki kecil itu mendengus kesal.
"Ada, ada ...."
"Ada apa? Udah Kak Bian mau hunting foto." Bian mengemas kameranya.
"Ada Kak Lara! Baru aja datang, Kak!"
Lelaki itu menghentikan aktivitasnya. Dia menoleh ke Denis yang sedang membulatkan matanya.
"Terus, kenapa kalau ada Kak Lara?"
"Ish, Kakak! Kak Bian nggak pengen ketemu apa? Kak Lara sudah bisa melihat, Kak!"
Bian tersenyum hangat.
"Kakak sudah tahu," jelasnya.
"Kita ke panti yuk, Kak!" ajak Denis bersemangat.
"Sama siapa, Kak Lara?"
"Kalau Lara sama dokter Ammar, kata Kak Lara dokter Ammar yang bantu menyembuhkan mata Kak Lara," sahutnya.
Bian membuang napas berat mendengar Ammar datang ke panti bersama Lara.
"Ayo, Kak!"
"Kamu dulu deh, Kak Bian masih ada urusan sedikit."
"Oke, nanti Denis cerita ke Kak Lara kalau Kak Bian sudah masuk ...."
"Jangan, Denis!" tukas Bian
"Kenapa, Kak? Kak Lara pasti senang mendengarnya."
Bian menggeleng tersenyum. Dia mengusap kepala Denis.
"Sudah, pergi sana! Temui Kak Lara. Tapi Kak Bian minta jangan cerita apapun tentang Kak Bian, jangan bilang kalau Kak Bian ada di sini."
"Tapi, Kak."
"Nanti akan ada waktunya, kak Lara tahu, okey?"
"Oke, Kak!"
Denis berlari meninggalkan base camp Bian, sementara lelaki itu tersenyum dengan wajah berbinar, kemudian kembali mengemas kameranya.
****
Lara menikmati malam di panti, suasana desa dan kebersamaan yang dia rindukan kini kembali dia nikmati. Ada Ammar duduk di sampingnya, bersama Ibu Hani salah satu pengurus panti.
"Jadi kapan kalian menikah?" pertanyaan tiba-tiba dari Bu Hani membuat mata Lara membulat. Sementara Ammar tersenyum sekilas.
"Eum, kami masih belum membicarakan hal itu, Bu," ucap Ammar.
"Wah, tunggu apalagi, kalian pasangan yang cocok. Lagipula tidak baik jika kalian seperti ini tanpa kepastian."
"Eum, kami sebatas sahabat, Bu," sela Lara.
"Kalian sudah dewasa, sudah tidak ada alasan lagi menunda. Ibu rasa kalian saling menyayangi kan?"
Lara terdiam, demikian juga Ammar.
"Eh, Bu, Lara mau istirahat ya, besok pingin jalan-jalan keliling desa," ucap Lara mengalihkan pembicaraan.
"Oh, iya, Nak. Nak Ammar, ayo ikut Ibu, ada kamar buat kamu beristirahat."
"Baik,Bu."
Di kamar Lara tak tenang, ucapan Bu Hani mengusik hatinya. Kembali dia teringat Bian. Gadis itu melihat ke jam dinding.
"Masih sore, di balai RT biasanya banyak anak-anak berlatih vokal juga tari, aku akan ke sana," gumamnya seraya memakai jilbab.
Lara benar, balai RT masih ramai, ada beberapa anak berlatih vokal juga tari. Sebentar lagi ada acara ulang tahun desa. Gadis itu sudah sangat tahu.
"Kak Lara! Kirain sudah tidur, tadi Bu Hani bilang Kak Lara sedang istirahat," ujar Denis berlari ke arahnya.
"Kak Lara kangen suasana latihan, Denis."
Mata Denis nampak mencari seseorang.
"Kita duduk di sana yuk, Kak."
Lara duduk bersama yang lainnya.
"Lara, ayolah, kamu nyanyi lagi untuk kami, sudah lama kami tak mendengar suara merdumu," Santi teman sesama pelatih vokal memintanya bernyanyi.
Setelah sedikit dipaksa, gadis itu maju dan mulai memetik gitar dan bernyanyi.
Dia menyanyikan lagu yang dulu biasa dia nyanyikan bersama Bian. Hatinya berharap semua dapat kembali terulang. Lara bernyanyi penuh penghayatan sehingga semua larut menikmati suara merdunya, hingga lagi selesai.
Semua bertepuk tangan gembira, termasuk seorang lelaki yang berdiri di bawah pohon depan balai RT yang sejak tadi menatap gadis itu tanpa berkedip.
Bersambung yaaaa
Colek jika typo
Siapa hayoo yang di bawah pohon? Haha
Mamachihh sudah membaca, Luv you all readers 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top