Senandung Lara Bag 10


Nyatanya kita lagi ingin bertukar sapa, padahal dulu kita pernah sedekat nadi sebelum hujan membawamu pergi.

Hello readers, Happy reading yaa
Yg belum kasi bintang kasi laah, wkwkwk. Yang belum follow, follow yuk ah

Senandung Lara
Bag 10

#Kolab_olivia_faeeza

"Bening! Bening tunggu, Tante!"

Teriakan Bian tak lagi terdengar oleh mereka. Lara dan mamanya telah di dalam mobil yang mengantar mereka pulang.

"Shit!" maki lelaki itu, rahangnya nampak menegang dengan tangan mengepal. Masuk ke kafe dan masih melihat Karin duduk di salah satu kursi di sana emosi Bian kian meledak.

"Ngapain sih kamu ke sini, kurang kerjaan aja!" seru Bian kesal.

"Kan aku udah bilang tadi. Aku kangen kamu," ucap Karin manja.

"Dih. Denger ya, gue minta maaf, tapi ... mulai sekarang jangan gangguin gue lagi. Gue, gak ada perasaan apapun sama kamu. So, kurasa kamu nggak perlu nyari-nyari gue lagi buat hal yang gak penting. Sori, gue ada keperluan." Bian lalu pergi begitu sana.

"Tapi, Bian ... Bian!" Bian masuk mobil dan langsung melarikan mobilnya dengan kencang. Karin mendengus kesal.

*****

Bian pulang ke apartemennya dengan dongkol. Begitu masuk, kakinya menendang rak sepatu di sisi pintu. Sepatu-sepatu yang awalnya rapi berjajar di sana akhirnya berhamburan. Masuk kamar dan mandi karena badannya terasa lengket. Setelah berpakaian, Bian menyalakan TV. Ponselnya berbunyi ketika Bian menyalakan rokoknya.

"Gue di apartemen."

"___"

"Lagi bengong,"

"___"

"Lu ke sini aja."

"___"

"Jangan bawa pacar apalagi Karin!"

"___"

"OK."

Tak sampai tiga puluh menit Teddy sudah sampai di hadapan Bian.

"Elu kenapa sih, Bi. Lagi kesambet apa lu, sepatu-sepatu sampai bertebaran kek gitu?" tanya Teddy.

"Karin ... tadi nyamperin gue ke kafe," kata Bian.

"Yaelah, segitu kesalnya. Emang kenapa sih, disamperin malah bete gitu? Cobalah untuk buka hati elu. Karin itu cantik, Bi ... smart, tajir, suka sama elu. Kurang apa coba?"

"Tapi gue gak suka. Gue udah bilang tadi sama dia, gak perlu lagi nyariin gue. Gue gak suka digangguin," ucap Bian lalu menghisap rokoknya.

"Segitunya lu, Bi,"

"Biar aja. Biar dia gak gangguin gue lagi."

"Ya sudah, terus ngapain juga masih kesal gitu?"

"Gimana nggak kesal. Karin itu gangguin acara makan malam gue sama tamu penting, tahu nggak?"

"Klien penting gitu?" tanya Teddy penasaran.

"Tamu penting," jawab Bian singkat.

"Sepenting apa sampai segitu marahnya?" tanya Teddy makin penasaran.

"Penting banget."

"Siapa sih?"

"Bening sama mamanya."

"Bening? Siapa lagi, ini?"

"Ya Bening, kok siapa lagi!"

"Baru sekali namanya gue denger dari elu,"

"Gara-gara Karin tiba-tiba datang langsung meluk gue, mereka pulang. Sialan bener Karin itu," kata Bian bersungut-sungut.

"Yaelaah, emang Bening sama mamanya itu rekan bisnis elu?"

"Bukan, tapi gara-gara Karin mereka pulang."

"Bening itu siapa sih? Gebetan elu? Jadi penasaran gue!"

"Lara," kata Bian singkat.

"Ya ampun, bilang kek dari tadi kalo itu Lara. Pakai bilang Bening segala."

"Itu panggilan khusus gue ke dia. Cuma gue yang boleh panggil dengan nama itu," ucap Bian.

"Waduuhh! Ini sinyal nih, elu udah kesandung beneran. Ternyata elu bisa jatuh cinta juga!"

"Tapi dia belum bilang apa -apa. Bening belum kasih jawaban nerima cinta gue apa nolak,"

"Sabarin aja, pepet terus. Cewek itu bakal luluh kalau elu kasih perhatian, Bi,"

"Tapi dia beda. Nggak seperti cewek lain."

"Gue tahu, pasti dia beda dari cewek lain, makanya elu bisa kesambet cinta sama dia. Nggak salah gue ke sini malam ini. Pokoknya malam ini kita rayain, Bro!"

"Emang elu bawa minumannya?"

"Elu kek gak tahu gue aja!" Teddy tertawa.

"Ted, elu muslim, kan?" tanya Bian.

"Iya,"

"Gue gak pernah lihat elu shalat."

"Gue shalat, Bro!" kata Teddy sambil minum.

"Pas hari raya maksud lu?" tanya Bian.

"Naah! Emang elu pernah ke tempat ibadah?" tanya Teddy balik.

"Eh, balik nanya! Gue nanya elu. Elu kan punya kewajiban beribadah lima kali dalam sehari. Elu setahun dua kali doang shalatnya."

"Elu mau ceramahin gue, Bi?" Teddy tertawa.

"Nggak. Gue cuma nanya aja."

"Ya, karena keluarga gue memang Islam KTP doang, Bi. Mereka nggak ngajarin kek gimana beribadah yang bener, dan tahu sendiri gue sekolah di sekolahan non muslim."

"Nasib elu sama kek gue, Ted. Kalo gak gini, mungkin kita gak akan ketemu," kata Bian.

"Yang penting happy Bro, kita nikmati saja hari ini. Kita lupakan yang gak enak-enak, kita bawa enjoy aja hidup ini. Hahaha ...."

*****

"Sayang, sudah malam. Sebaiknya kamu tidur, ya. Besok pagi kita mau ketemu dokter Ammar di rumah sakit, kan?" Amira melihat Lara yang sedang memegang ponsel dan memutar musik dari sana.

"Iya, Ma," Lara mematikan ponselnya. Amira tahu perasaan Lara masih gundah. Bukan karena hasil konsultasi dengan dokter Ammar tapi dengan kejadian di kafe Bian tadi.

"Lara,apa yang sedang kamu pikirkan, Sayang? Bilang sama mama,"

"Nggak ada kok, Ma,"

"Jangan sungkan, mama tahu perasaan kamu sedang tidak baik. Ayo, bilang sama mama," ucap Amira sambil membelai rambut Lara. Lara hanya menggeleng.

"Apa Papa dulu mencintai Mama?" tanya Lara.

"Tentu, Sayang. Papa sangat mencintai Mama. Terlebih setelah tahu kalau kamu ada di rahim mama," kata Amira. Air matanya perlahan menetes. Inikah saatnya dia ungkap semuanya? Jangan, jangan sekarang, batin Amira. Dia belum kuat jika harus mengatakannya, meski peristiwa itu sudah begitu lama berlalu.

"Sayang, mama hutang banyak penjelasan sama kamu. Mama janji akan mengatakan semuanya, tapi tidak saat ini. Mama, ..." Amira menahan tangisnya.

"Ma, jangan katakan sekarang kalau Mama belum siap. Lara akan bersabar menunggu, jangan khawatirkan Lara."

"Terima kasih, Sayang. Kamu mirip sekali dengan papamu. Papamu pasti bangga padamu, Sayang. Kapan-kapan kita tengok papa, ya?" Amira mengusap air matanya. Tangan Lara memegang tangan Amira, lalu perlahan diusapnya wajah penuh air mata itu.

"Mama jangan bersedih lagi, sekarang Lara sudah ada dekat Mama. Lara janji akan jadi anak yang berbakti," ucap Lara, "sekarang Mama juga harus tidur. Mama pasti capek."

"Baiklah, Lara. Kalau begitu mama ke kamar ya, Beristirahatlah... selamat tidur, Sayang," Amira mengecup dahi Lara dengan penuh kasih. Lara tersenyum.

Setelah mamanya kembali ke kamarnya, Lara berusaha tidur. Namun Lara semakin gelisah. Beberapa hari ini dia gelisah, dia memikirkan ... Bian. Bian adalah pria pertama yang menyatakan cinta padanya. Lara tidak memungkiri perhatian dan kebaikan Bian. Tapi, apa mungkin? Lara merasa dirinya bukan perempuan yang sempurna. Lagipula mereka berbeda keyakinan, hatinya tak bisa menerima itu. Lalu pikirannya menerawang pada kejadian tadi. Siapa perempuan yang mencari Bian itu, perempuan yang mengatakan kangen padanya ... Lara merasa ada yang sakit di dalam dadanya. Hatinya semakin gelisah.

"Ya Allah, jangan Kau biarkan hati ini gelisah. Tuntun aku tetap di jalan-Mu. Jauhkan aku dari sesuatu yang dapat membuatku berpaling dari cinta-Mu. Hanya Engkaulah sumber kekuatanku. Hanya Engkaulah cinta dari segala cinta." Lara memejamkan matanya, lalu mengucap doa dan beberapa ayat yang dia hapal. Perlahan Lara pun terlelap.

*****

Bian terbangun dan merasa kepalanya terasa sedikit berat. Melihat jam dinding, sontak Bian bangun dari ranjangnya. Jam delapan pagi. Terburu-buru ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian berpakaian. Bergegas mencari kunci mobil dan keluar dari apartemen kemudian melajukan mobilnya. Sial! Hari ini Bian bangun kesiangan. Berkali-kali Bian mengumpat karena lampu merah dan lalu lintas yang masih padat.
Di depan rumah ada Bik Endah yang sedang membersihkan taman.

"Pagi, Bik," sapa Bian.

"Eh ... pagi, Mas Bian."

"Emh, Bening, ... maksudku Lara, ada Bik?"

"Mbak Lara dan Bu Amira sudah pergi dari tadi, Mas. Takut macet di jalan katanya," jelas Bik Endah.

"Oh, ya udah, Bik. Aku langsung nyusul ke sana aja kalo gitu. Permisi, Bik."

"Ya, Mas."

Bian kembali melajukan mobilnya membelah jalanan kota. Baru kali ini dia menyesali diri kenapa semalam harus minum minuman sialan itu. Seandainya dia tidak minum-minum, tentu dia tidak akan bangun terlambat.

Sesampai di rumah sakit Bian mencari-cari di mana poli mata berada. Semalam sebelum Teddy ke apartemennya, dia mengirim pesan ke mama Lara dimana Lara akan diperiksa. Setelah bertanya-tanya akhirnya Bian mendapatkan yang dia cari. Bian membaca papan di depannya. Poli Mata Cendana. Ya, Poli VIP khusus untuk mata.

Didorongnya pintu itu. Di depan sana nampak sebuah meja pendaftaran, beberapa ruang tertutup dan kursi untuk para pasien yang sedang menunggu antri untuk diperiksa. Mata Bian terpaku melihat seorang gadis berambut panjang dan seorang pria berseragam putih-putih sedang duduk berdua, mereka nampak akrab berbicara. Mereka berdua bahkan tertawa. Gadis itu kelihatan bahagia. Tawanya dia kenal.

"Bening," panggil Bian sambil menghampiri mereka.

"Bian?" ucap Lara kaget.

"Selamat pagi, dokter Ammar," sapa Bian.

"Oh, selamat pagi. Kamu yang mengantar Lara kemarin, kan?" tanya dokter Ammar. Bian mengangguk dan tersenyum.

"Apa sudah selesai?" tanya Bian.

"Sudah, Bian," jawab Lara.

"Lalu bagaimana hasilnya dokter?" tanya Bian.

"Sampai saat ini baik, tapi masih tetap harus diobservasi lagi secara intensif, untuk memutuskan tindakan apa yang lebih tepat yang akan diambil nantinya," jelas dokter Ammar.

"Oh, begitu ya. Jadi ..., "

"Jadi kita harus bersabar menjalani proses ini ... begitu kan, Lara?" dokter Ammar menatap Lara sambil tersenyum ramah.

"Iya, dokter," ucap Lara.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi ke dalam ya, Lara, Bian,.... Assalamu'alaikum," ucap dokter Ammar.

"Wa'alaikum salam, terima kasih, dokter," jawab Lara dengan senyum lesung pipitnya.

"Dokternya baik dan ramah ya, Bi?"

"Biasa aja," kata Bian.

"Baik kok, kalau kita tanya dia jawabnya detail dan jelas,"

"Ya kan sudah kewajibannya gitu, Bening. Eh Tante Amira mana?"

"Ke toilet tadi."

"Oh. Bening, maaf, tadi aku bangun kesiangan. Jadinya ...,"

"Ya Allah, gak papa, Bi. Kamu kan punya kesibukan dan kerjaan juga. Aku sama Mama nggak mau ngerepotin kamu."

"Enggak kok, nggak repot. Kalau kamu mau periksa lagi bilang aja, biar aku yang antar," kata Bian.

"Eh... Bian," panggil Amira.

"Iya, Tante. Maaf tadi saya bangun kesiangan, jadinya pas sampai rumah, Tante dan Bening sudah berangkat."

"Nggak papa, Bian. Lain kali nggak perlu repot-repot. Kamu juga harus kerja, kan?"

"Nggak masalah, Tante. Mau balik sekarang?" tanya Bian.

"Hm, iya. Sebentar ya, ada telpon dari kantor." Amira menjawab telponnya. Sementara Bian dan Lara duduk menunggu.

"Kok diem, sih?" tanya Bian.

"Mau bicara apa lagi?"

"Jadi periksa lagi kapan?" tanya Bian.

"Belum tahu, tapi kata dokter Ammar dia mau kasih kabar lagi di telpon," jawab Lara.

"Telpon kamu?" tanya Bian.

"Iya, atau kalau nggak nanti telpon Mama." Tiba-tiba perut Bian berbunyi.

"Jadi kamu belum sarapan?"

"Gimana mau sarapan, bangun udah kesiangan, keburu mau jemput. Eh ... yang dijemput udah pergi."

"Bian," panggil Amira.

"Ya, Tante. Kenapa?"

"Maaf banget, tapi aku minta tolong, bisa nganter Lara pulang? Ada meeting mendadak di kantor satu jam lagi," kata Amira sambil melirik jam di tangannya.

"Bisa, Tante. Jangan khawatir, Tante langsung ke kantor saja. Biar Bening aku yang anter sampai rumah."

"Duh, maaf banget ya, Bi," kata Amira.

"Nggak papa, Tante. Santai aja. Saya juga lagi gak repot, kok."

"Lara, nggak papa kan, Sayang?" tanya Amira.

"Iya, Ma."

"Bian, titip Lara. Langsung pulang ya," pesan Amira.

"Iya, Tante."

*****

Di sepanjang perjalanan Lara diam. Perut Bian kembali berbunyi.

"Ya Allah, mampir di mana gitu, beli makan dulu,"

"Kamu nggak laper?" tanya Bian.

"Belum. Aku kan tadi udah sarapan," kata Lara.

"Ya udah,"

"Beli gih,"

"Nggak, nanti aja."

"Terserah."

"Mau makan nggak?" tanya Bian.

"Aku kan nggak lapar."

"Ya udah."

"Kan yang lapar kamu, beli makan, Bi. Ntar sakit lho!"

"Tapi kamu juga makan."

"Aku nggak lapar!"

"Ya udah, nggak usah makan."

"Kok gitu sih? Udah berhenti deh, beli makan sana. Biar aku nunggu di mobil."

"Nggak usah."

"Bi, makan!"

"Sama kamu makannya,"

"Ish. Dibilangin nggak lapar!"

"Ya udah, nggak usah makan."

"Bi, ...."

"Mama kamu nyuruh aku langsung nganterin kamu pulang."

"Oh," ucap Lara.

"Hmm," kata Bian sambil mengelus perutnya.

"Masih lama nggak?"

"Nggak, bentar lagi nyampe kok," kata Bian.

Akhirnya mereka sampai di rumah Lara.

"Makasih, Bi," kata Lara.

"Iya,"

"Langsung pulang?" tanya Lara. Bian diam saja. Perutnya bunyi lagi. Tak urung Lara dan Bian tertawa bersama.

"Ya udah, masuk yuk," ajak Lara. Bian tersenyum.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikum salam," jawab Bik Endah.

"Bik Endah masak apa?" tanya Bian.

"Bibik belum masak masak lagi, Mas. Tapi tadi pagi saya masak daging kesukaan Mbak Lara, Mas. Ada gorengan dan sambal juga."

"Kayaknya enak deh," kata Bian.

"Saya angetin dulu, Mas, sotonya."

"Jadi ngerepotin. Makasih ya, Bik," ucap Bian.

"Makanya jangan kebiasaan nggak sarapan deh," kata Lara

"Ya kan kesiangan bangunnya."

"Tidurnya telat, ya?"

"Iya. Ada temen ke rumah."

"Oh."

"Bening, maafin yang semalam ya,"

"Emang kenapa?"

"Kamu sama mama kamu jadi terganggu makannya."

"Nggak kok," kata Lara singkat.

"Dia itu, ... "

"Pacar kamu?"

"Bukan, Bening. Aku nggak pernah pacaran, beneran. Karin itu cuma temen,"

"Oh," jawab Lara. Senyum Samar terhias dari bibirnya.

"Udah, makan sana! Tapi maaf, makanan di sini sederhana saja, nggak seperti di kafemu. Nyebut nama menunya aja aku kesulitan," kata Lara.

"Biasa aja, Bening. Aku suka soto daging, itu sebenernya makanan kesukaan aku juga."

"Oh."

"Jadi makan nggak nih?" Bian menggaruk kepalanya.

"Eh, ... ya sana ke ruang makan." Bian dengan semangat menuju ruang makan.

*****

Sedang asyik makan, ponsel Lara berdering.

"Wa'alaikum salam, dokter Ammar," Bian mengernyitkan dahinya.

"Oh, Mama sedang ada meeting jadi mungkin nggak tahu kalo dokter telpon."

"___"

"Oh, iya. Jadi kapan saya harus ke sana lagi?"

"___"

"Jadi lima hari lagi, ya. Baik dokter. Terima kasih,"

"___"

"Wa'alaikum salam," bibir Lara tersenyum.

"Dokter Ammar, ya?"

"Iya,"

"Cepet banget ngasih kabarnya?"

"Ya alhamdulillah dong," jawab Lara sambil tersenyum. Bian menghela napas. Melihat Lara tersenyum setelah ditelpon dokter Ammar entah kenapa hatinya tiba-tiba kesal.

*****

Bersambung.

Eaaa, Babang Bian cemburu, haha

Btw masih mau lanjut or not?

Aku tunggu sampai banyak dulu votenya yaa ..., kalo dikit y nggak di up lagi, hehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top