Senandung Lara, Bag 1
Haiii ...
Ada yang baru dari kami .... Saya dan mba Faeeza Suwito.
Semoga masih setia padaku dan padanya hehehe...
Yuk cuss happy reading yaa.
Bruugh ...! Lara jatuh terduduk sementara lelaki bermotor yang nyaris menabraknya terlempar ke arah semak di pinggir jalan. Terdengar makian dari mulutnya.
"Sial! Kamu buta ya! Nggak lihat apa ... ada motor? Asal nyelonong aja!" Lelaki berkulit putih dengan bentuk muka diamond dengan netra tajam itu menatap penuh amarah. Rahangnya yang lebar dan kokoh seakan menampakkan sifat keras lelaki yang sebenarnya tampan itu.
Lara terdiam, mencoba bangkit sambil meringis menahan sakit di kakinya. Sementara orang-orang yang kebetulan lewat segera menolong lelaki itu.
"Maaf, sepertinya adek bukan orang sini, ya?" tanya seorang dari bapak-bapak yang menolong.
"Iya, Bapak. Saya ke sini mau survei lokasi, kemarin sudah sempat menghubungi pak RT," jawab lelaki berambut gondrong itu seraya terpincang melangkah.
"Oh,sampeyan Mas Biantara?"
"Iya, saya Biantara," ujar Biantara Prasetya, lelaki dengan tinggi hampir 180 cm dan berambut tebal sebahu itu sambil menerima uluran tangan bapak di depannya.
"Saya pak Sukmo ketua RT di sini. Kalau gitu, ayo ke rumah saya saja, kita bicara dirumah sambil mengobati kaki sampeyan, Mas."
Pak Sukmo dan Bian berjalan beriringan menuju kediamannya. Sementara motor lelaki itu di bawa ke bengkel oleh putra Pak Sukmo.
***
Lara melangkah terlatih, sambil sesekali berhenti menahan sakit akibat terbentur batu ketika jatuh tadi.
"Sial! Kamu buta ya? Nggak lihat apa ... ada motor? Asal nyelonong aja!" kalimat itu membekas di hatinya. Mata itu nampak berkaca-kaca.
Lara adalah gadis buta yang di temukan saat hampir mati kedinginan di depan pintu gerbang sebuah panti asuhan . Lara kecil saat itu diperkirakan masih berusia tiga bulan. Tak ada identitas ditemukan di sana, hanya bandul liontin berinisial L. Bu Sumi, salah satu pengasuh di panti asuhan itu yang menemukannya.
Dibesarkan dengan penuh kasih oleh para pengasuh bersama anak-anak panti lainnya membuat semangat Lara untuk sekolah menyala, meski hanya sampai SMA tapi Lara merasa bersyukur. Selepas SMA, Lara masih tinggal dan bekerja di panti untuk membantu para pengasuh, tak jarang mengajari anak-anak panti dan anak-anak komplek perumahan dekat panti berlatih olah vokal.
Bening Larasati, gadis berkulit pualam, tubuh semampai, rambut panjang lurus, dengan poni yang sesekali mengganggu wajahnya. Bulu mata lentik dan alis yang rapi seakan menutupi netranya. Sore itu dia sedang duduk memainkan gitar sambil bersenandung kecil. Konsentrasinya buyar ketika sekelompok anak kecil hadir di hadapannya.
"Kak Lara! Kita jadi latihan kan?" gadis berambut kriwil bertanya.
"Jadi dong,"
"Latihan di mana, Kak?" sergah kawannya.
"Di tempat biasa kta latihan, di Balai rt."
"Kaki kakak emang sudah sembuh? Kan kemaren habis jatuh ditabrak."
Lara tersenyum sehingga nampak cekungan di pipinya.
"Kakak sudah sehat kok, nggak apa-apa," sahutnya.
"Kalau gitu, ati kita berangkat sekarang, Kak."
"Sekarang?"
"Iya, Kakak. Sekarang sudah jam empat."
"Baik,tapi kakak ijin dulu ke ibu panti ya,"
Gadis - gadis kecil itu mengangguk paham.
"Lara, lelaki yang menabrakmu itu katanya masih tinggal di guest house dekat balai RT. Coba kamu kasi dia ramuan ini, bilang padanya untuk mengoleskan setiap mau tidur dan setelah mandi, insya Allah akan sembuh kakinya. Ibu tidak tega," ujar Bu Sumi ibu panti yang merawatnya sejak bayi.
"Baik, Bu. Nanti akan Lara berikan."
"Ajak anak-anak, supaya kamu tidak sendiri, oh iya, ada cemilan yang kamu buat itu, bisa juga kamu berikan padanya,"
"Iya, Bu. Lara siapkan sekarang."
Lara dan anak-anak didiknya berjalan menuju tempat latihan.
***
"Sial, sial sial!" lelaki bermata elang itu kembali mengumpat seraya memegang kakinya yang luka.
"Seharusnya hari ini aku sudah di kota, tapi gara-gara cewek buta itu semua gagal! Proyekku hancur!" rutuknya lagi.
Bian menyalakan rokok membuang kepulan asap ke langit - langit.
"Ted, lu wajib ke sini. Bawa mobil gue di rumah, jemput gue besok pagi!" ujarnya menelepon seseorang.
"___"
"Gue nggak mau tahu! Gue tunggu besok!" lelaki itu melempar ponselnya ke kasur kemudian melangkah tertatih ke depan karena mendengar suara salam.
Bian membuka pintu, matanya nampak berkilat penuh amarah menatap gadis yang sedang tersenyum di depannya.
"Assalamualaikum, maaf jika saya dan anak-anak mengganggu. Saya dengar Mas masih sakit, ini ada ramuan dari ibu saya untuk Mas supaya cepat sembuh." Lara memberikan ke arah depan sambil mencoba merasakan kehadiran lelaki di depannya.
Sementara Bian sama sekali tak bereaksi.
"Kak, Lara, letakkan saja di atas meja," ujar gadis kecil di sampingnya.
Lara mengangguk sambil meraba-raba kemudian meletakkan diatas meja.
"Maaf, ada satu lagi bungkusan kue untuk Mas. Oh iya, obatnya di oles setiap mau tidur, Mas. Semoga lekas sembuh, maafkan saya. Assalamualaikum" Lara dan anak didik yang kembali menuju ke tempat latihan.
Sementara Bian masih berdiri menikmati rokok tanpa peduli dengan apa yang di bawa Lara.
Tak lama kemudian dia kembali menutup pintu membiarkan bungkusan obat dan kue tetap di meja.
Lelaki itu mengambil kameranya dan mulai melihat hasil beberapa foto yang dia dapat sebelum kakinya cedera.
Ada senyum tipis melihat karyanya. Lelaki penggemar fotografi itu sering mengikuti pameran di berbagai daerah. Tak jarang dia diundang untuk hadir mengikuti pameran foto di luar negeri. Selain hobi fotografi, bermusik juga menjadi hobinya.
Bian mendengus kesal ketika kakinya kembali terasa nyeri. Lamat-lamat dia mendengar suara indah, kemudian suara anak-anak riuh mengikuti sangat teratur.
Merindukan purnama, bertahan walau di dalam duka
Bersyukurnya lah kita , masih banyak yang sayangi kita
Merindukan purnama meraih cinta, cinta yang satukan kita
Perlahan lelaki itu bangkit dari duduk, berniat ingin mencari datangnya suara itu, namun kakinya kembali nyeri.
"Shit!"
Kembali dia meletakkan tubuh ke kursi. Samar dia dengar suara indah itu, kali ini dengan denting gitar.
Biar sepi di sini
Tak seperti yang lain
Walau sudah takdirnya
Namun dia tetap tersenyum
Bahagialah bila
Kau masih punya mimpi
Hidup hanya sekali
Berikanlah yang terbaik
Merindukan purnama ...
Bertahan walau di dalam duka
Bersyukurnya lah kita
Masih banyak yang sayangi kita ....
Bian tersenyum kecil mendengar suara itu.
"Suara yang indah," gumamnya.
****
Pagi hari seperti biasa Lara beraktifitas di panti. Meski penglihatannya tidak seperti orang kebanyakan, namun hal itu tidak membuatnya rendah diri.
Gadis itu tetap mempunyai kesibukan yang kurang lebih sama dengan penghuni panti lainnya.
"Lara," panggil Ibu Sumi.
"Iya, Bu."
"Tolong kamu kasi surat ini ke Pak RT, bilang jika semua sudah lengkap di dalam."
"Baik, apa ada lagi, Bu?"
"Nggak ada, kamu bisa sendiri?"
"Tentu saja bisa, Ibu jangan khawatir," ucap Lara dengan senyum mengembang.
Bu Sumi mengangguk menepuk pelan bahu anak asuhnya itu.
"Hati-hati, Lara."
Lara sudah terbiasa dengan jalan yang biasa di lalui, sehingga dia sama sekali tidak ragu melangkah ke mana saja di kampungnya.
"Lara, mau kemana?" sapa wanita membawa keranjang belanja.
"Oh, Bu Yanti, mau ke rumah pak RT, Bu."
"Hati-hati, Lara," pesannya.
"Iya, Bu."
Semua warga sudah sangat paham tentang Lara, sejak kecil terlahir buta, ditinggalkan orang tua yang hingga kini tidak ada yang tahu dia anak siapa.
Banyak warga yang simpati padanya, selain memiliki wajah cantik juga kebaikan hati dan semangatnya, membuat mereka menyayangi gadis itu.
Rumah yang di tuju tak jauh dari Balai RT tempat biasa dia melatih anak-anak. Di teras nampak Bian, pak Sukmo dan satu orang lagi sedang duduk.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikum salam, Lara. Ayo masuk" ajak Pak Sukmo seraya memanggil istrinya.
"Eh, Lara. Ada apa, Nak?" tanya istri pak RT ramah.
"Ini, Bu Sumi menyuruh saya memberikan surat ini ke Bapak, kata beliau semua sudah lengkap ada di dalam."
"Oh, baik. Ayo duduk dulu sini, tadi ibu bikin pisang goreng keju kesukaanmu," Bu Sukmo menuntun Lara duduk di sampingnya.
Namun tak sengaja tangan Lara menyenggol gelas berisi teh tepat di depan Bian sehingga gelas itu tumpah dan pecah mengenai lelaki itu.
"Shit!" umpat Bian terkejut.
Mendengar suara itu, Lara terhenyak, nampak matanya berkaca-kaca.
"Ibu, maafkan Lara. Apa ada orang lain disini selain Bapak sama Ibu? Maaf, Bu, Lara nggak ...."
"Sst, sudah! Nggak apa-apa, Maafkan Lara, Nak Bian." Ibu Sukmo merasa tak enak pada tamunya.
Bian tersenyum datar sambil mengibaskan ujung kemeja yang basah.
"Mas, maafkan saya," ujar Lara pelan sambil kembali duduk mengusap pipinya yang basah.
Bian diam saja.
"Baik, Pak Sukma, kami mohon diri dulu, mungkin seminggu atau dua minggu lagi kami akan datang kembali." Bian beranjak dari kursi diikuti lelaki temannya.
"Oh, baiklah kalau begitu. Maaf jika selama di sini Mas Bian kurang berkenan." Pak Sukmo menyalami keduanya.
"Tidak, Pak. Warga di sini baik kok. Hanya saja kondisi saya yang tidak memungkinkan untuk pergi kemana-mana." Bian tersenyum.
"Hati-hati, Nak Bian." Ibu Sukmo berpesan.
"Iya, Bu, terima kasih. Saya pamit," ujar Bian sekilas menatap Lara yang masih duduk melipat wajah.
***
"Heran gue!" Bian nampak kesal ketika sudah di dalam mobil.
"Kenapa, lu?" Teddy menanggapi.
"Itu cewek! Kayaknya emang diciptakan bikin gue sial!"
"Cewek yang ...."
"Iya, cewek itu bikin kaki gue seperti ini! Dia juga bikin gelas minum gue dan isinya tumpah! Nyebelin nggak?"
"Nggak, biasa aja!" Teddy fokus mengemudi.
Bian mendelik kearah sahabatnya.
"Lu bilang biasa aja? Lu pikir motor gue rusak parah, kaki gue luka seperti ini, lu bilang biasa?" sergah Bian kesal.
"Elu lebay, bro! Kalau cewek cantik itu matanya normal lu berhak marah! Elu tahu kan dia buta? Elu aja yang kelewat lebay!" sindir Teddy sambil tertawa lebar.
Sementara Bian mendengus kesal.
"Eh, tapi Bi, aku lihat itu cewek cakep loh, haha." seloroh Teddy.
"Ck! Dasar playboy!" sergah Bian.
"Haha, dari pada elu? Jones! Haha"
"Gue sengaja, Ted! Nyari pasangan itu kudu di saring, Bro! Gue nggak mau kayak elu, semua di cobain. Gue mau satu, udah untuk selamanya, haha."
"Ya elah, Bi, sok idealis lu! Hari gini, kita wajib tahu dulu kayak apa pasangan kita, jangan beli tikus dalam karung, kita nggak tahu dalamnya kayak apa, Bi!"
"Justru itu tantangannya, Ted! Elu sih emang udah dari lahir ngaco sih ya,"
Mereka berdua terbahak.
"Mana rokok lu, siniin. Pahit mulut gue!" ujar Bian.
"Tuh, habisin! Eh gue bawa minum nih, lama nggak ada temen mabok, gue!" Teddy menatap sekilas.
"Ntar aja di rumah! Lu mau kita minum di sini terus bonyok?"
"Kagak, Bi."
"Ya udah, lanjut!"
Bersambung ....
Menarik nggak kisahnya readers? Hihi.
VoMen dong ....
Kali ini saya dan Faeeza Suwito mengangkat kisah sedikit beda.
Udah itu dulu.
Mau lanjut atau tidak saya nunggu respon kalian... Makasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top