Senandung Lara 15

Jangan lupa klik bintang sebelum baca yaa
Btw udah pada follow belum nih  ... Yuk ah happy reading guys  😘😘jangan lupa tinggalkan VoMen yaa

🌼🌼🌼

Sepanjang hari Lara gelisah, berkali-kali dia melihat jam dinding, kemudian beralih ke ponselnya. Malam nanti Ammar akan datang ke rumah. Selepas maghrib, terdengar deru mobil yang membuat jantungnya berdebar kencang.

"Siapa yang datang, Lara?" tanya mamanya.

"Dokter Ammar, Ma."

Amira tersenyum, terjawab sudah pertanyaannya, rupanya kedatangan dokter Ammar telah membuat putrinya gelisah.

"Kamu janjian?" selidik Amira.

Lara menggeleng, wajahnya murung.

"Kamu kenapa, Sayang?"

"Nggak apa-apa, Ma," ujarnya tersenyum datar.

"Ya sudah, temui sana."

Lara melangkah pelan menuju ruang tamu. Senyum dokter Ammar mengembang melihat gadis yang telah mencuri hatinya itu keluar.

"Malam, Lara!"

"Malam, dokter," balas Lara tersenyum.

Ammar memberikan mawar putih pada Lara.

"Makasih, dokter."

"Kita jalan yuk, aku mau ajak kamu ke tempat makan favorit aku." Ammar menatap lekat Lara.

"Eum ..., sama mama?" tanya Lara ragu.

"Tentu saja, kita bertiga."

Senyumnya tercetak manis, membuat Ammar kembali terpesona.

"Aku siap-siap dulu ya, sekalian mau kasi tahu mama," ujar Lara disambut anggukan oleh Ammar.

Restoran yang di maksud Ammar memang sangat nyaman. Rupanya lelaki itu sudah memesan tempat di restoran itu. Sayang Amira tidak dapat ikut, sebab banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan.

Selain nyaman tempat yang di maksud Ammar juga sangat romantis. Awalnya Lara gugup menghadapi situasi itu, terlebih Ammar seperti tak lepas menatapnya.

"Kamu mau pesan apa, Lara?"

"Eum, apa aja, aku ngikut.

"Oke, aku pesankan makanan paling recommended di sini."

Ammar memesan chicken cordon bleu dan chicken mozarella, kemudian tak lupa minumannya.
Sambil menunggu pesanan datang, Ammar mencoba mengajak bicara Lara yang sedari tadi nampak rikuh.

"Lara, aku boleh tanya?"

"Boleh, dokter."

"Sebelumnya, bisa kamu rubah panggilan untukku?"

"Maksud dokter?"

Ammar tersenyum hangat.

"Kamu bisa panggil aku Ammar saja, nggak perlu formal begitu."

Lara tersenyum mengangguk.

"Baiklah, Ammar."

"Nah, seperti itu lebih enak di dengar."

Mereka berdua tertawa.

"Oh iya, aku boleh tanya?"

"Tanya apa?"

"Eum, Bian itu ...."

"Dia seorang teman yang juga sama sepertimu, banyak mensupport aku," sela Lara lugas.

Ammar mengangguk mengerti.
Tak lama pelayan datang membawa pesanan Ammar.

"Kita makan dulu, Lara," ajaknya.

Lara mengangguk tersenyum.

***

Seorang lelaki turun dari mobil membawa buket bunga mawar merah. Wajahnya nampak semringah. Dengan langkah pasti dia mengetuk pintu rumah ber cat hijau segar tersebut.

Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah seorang wanita paruh baya menyambut tersenyum.

"Bian?"

"Assalamualaikum, malam, Tante," sapanya sopan.

"Waalaikum salam, eum pasti kamu mau ketemu Lara, kan?"

Malu Bian mengangguk.

"Kalau gitu, ayo masuk dulu. Lara tadi selepas maghrib pergi dijemput Ammar."
Penjelasan Amira membuat jantung Bian berdenyut kencang. Betapa tidak harapannya bertemu gadis yang dia cintai harus terhenti. Lara pergi bersama Ammar.

Amira yang mengetahui perasaan Bian, tersenyum.

"Tunggu aja, mungkin sebentar lagi mereka pulang."

Bian mengangguk dengan senyum datar.

****

Sementara di tempat lain, nampak seorang lelaki serius mengucap sesuatu pada gadis di depannya.

"Lara, maukah kamu menjadi pendamping hidupku?" tanya Ammar membuka kotak mungil berwarna peach kepada Lara. Gadis itu terkejut dengan ucapan Ammar. Bibirnya kelu  tak sanggup berkata-kata. Sementara Ammar sabar menanti jawaban darinya.

"Dokter, eum ..., maksudnya Ammar, bisa aku minta waktu?" tanyanya ragu tanpa menatap.

Ammar mengernyit.

"Waktu?"

"Iya, aku masih belum bisa memutuskan saat ini." Lara merapikan jilbabnya.

Lelaki di depannya tersenyum hangat.

"It's oke, aku akan memberikan waktu untuk berpikir. Tapi aku harap kamu tidak keberatan menerima ini," ujar Ammar memberikan kotak cincin pada Lara.

"Kamu bisa simpan, dan pakai jika mau. Itu sengaja aku beli untukmu, Lara. Supaya kamu mengerti bahwa aku sangat mencintaimu."

Lara  tertegun menatap kotak kecilnya yang kini ada di telapak tangannya.

"Ammar, kalau nanti jawabanku tidak sesuai dengan yang kamu inginkan, apa kamu akan membenciku?" lirihnya menatap ragu Ammar.

Lelaki tampan itu menggeleng tersenyum.

"Aku tidak akan pernah membenci gadis yang aku cintai, meski dia tidak pernah menginginkanku," ucapnya tenang. Kalimat Ammar membuat Lara semakin merasa tidak enak.

"Lara, jangan pernah menerima perasaanku jika hanya karena merasa tak enak atau apapun. Aku ingin ketulusan, itu aja."

Gadis itu menunduk menggenggam kotak mungil dari Ammar.

"Kamu mencintainya?" tanya Ammar lembut.

"Apa kamu mencintai Bian?" tanya Ammar lagi.

Cepat Lara mengangkat wajah menatap lelaki di depannya dengan mata menyipit.
Melihat ekspresi Lara, Ammar tersenyum.

"Katakan, apa hatimu sudah dimilikinya?"

Kembali Lara tak bisa mengucapkan apapun. Bagaimana mungkin dia menjawab pertanyaan Ammar, sedangkan Bian seolah lupa dengan ucapannya. Saat mereka bertemu di desa waktu itu, dia tak sedikitpun menyinggung tentang perasaan hal ini. Jika Lara bimbang, itu adalah murni karena memang hatinya telah dimiliki lelaki muallaf itu.

"Lara?" panggil Ammar pelan.

"Eh, maaf, Ammar ..., aku cuma ...."

"Aku tahu, sudah jangan biarkan hatimu resah karena ini, aku mau malam ini kita nikmati kebersamaan kita, aku bahagia bisa dekat denganmu, Lara."

Lara tersenyum mengangguk.

"Setelah dari sini, kita jalan-jalan ya, sambil belikan cemilan untuk mamamu," pungkas Ammar.

Gadis itu memasukkan cincin pemberian Ammar ke dalam tas,sesuai dengan permintaannya.

"Kita jalan sekarang?"

Lara mengangguk beringsut dari duduknya.
Ammar mengajak Lara ke sebuah mall.

"Kita masuk ya," ajaknya ketika mereka di depan butik yang menyediakan busana muslim.

Ragu Lara menatap Ammar.

"Ayo, kamu boleh pilih baju mana yang kamu suka," ucapnya seraya memberi isyarat dengan dagunya.

Gadis berlesung pipit itu mengikuti langkah Ammar. Lara mengagumi deretan busana muslimah yang berjejer di butik. Berbagai jenis dan model baju muslimah sangat indah di matanya.

"Kamu suka yang mana, Lara? Aku memberikannya untukmu," ujar Ammar yang dari tadi ada dibelakangnya.

"Aku nggak bisa, Ammar. Aku ...,"

"Aku tulus, Lara, serius!"

Saat Lara hendak mengambil satu baju, ponselnya berbunyi. Cepat dia membuka, matanya menatap ragu pada tulisan yang tertera di sana.

Bian memanggil.

"Siapa yang telepon?"

"Eum, Bian!"

"Angkat saja, katakan kamu masih bersamaku."

Tenggorokan Lara mendadak kering, jika dia mengatakan hal sesungguhnya, apa Bian bisa terima? Tapi bukankah Bian belakangan ini sedikit acuh padanya? Mendadak kebimbangan kembali menyapanya.

"Lara?"

"Eh, iya, aku angkat dulu ya,"

Ammar mengangguk tersenyum.

"Assalamualaikum."

"____"

"Aku masih di mall, Bi."

"____"

"Kenapa kamu nggak bilang kalau mau datang?"

"____"

"Aku akan kembali sebentar lagi."

"___"

"Aku bersama Ammar, eum, maksudku, dokter Ammar."

"___"

"Kamu tidak ingin menungguku?"

"___"

"Bian, tunggu jangan tutup ponselnya!"

Tuuuuut. Obrolan mereka berakhir.

Hati Lara mendadak merasa teriris, melukai Bian! Itu yang telah dia lakukan malam ini. Baginya jika Bian sudah tidak lagi mempunyai rasa untuknya, tetap saja dia menyimpan cinta yang mendalam pada lelaki itu. Mata Lara terlihat mengembun.

"Lara? Kamu kenapa?" tanya Ammar heran menatap mata gadis itu berkaca-kaca.

"Aku nggak apa-apa, Ammar. Apa bisa kita pulang sekarang?"

"Oke, tapi kamu pilih baju mana ya yang kamu suka terlebih dulu."

Lara memilih baju yang dia sukai, seperti permintaan Ammar, setelah itu mereka berdua keluar dan pulang.

Sepanjang perjalanan pulang Lara lebih banyak diam. Hatinya tak tenang mengingat ucapan Bian di telepon tadi. Dari nada suaranya jelas dia kecewa. Ammar menyadari perubahan suka Lara, dia mulai memahami kegalauan gadis di sampingnya itu.

"Bian kenapa, Lara?" tanyanya dari belakang kemudi.

"Dia, dia ke rumah," jawab Lara pelan.

"Apa dia sedang menunggu kedatanganmu sekarang di rumah?"

"Dia sudah pulang." Lara menggeleng pelan.

"Kamu mau aku antar ke rumahnya?"

Cepat Lara menggeleng.

"Tidak usah, lagipula aku tidak tahu rumahnya di mana."

Ammar mengangguk.

"Kita pulang aja," pinta Lara lirih.

"Oke, Lara."

****

Di kamar Bian duduk bersandar di ranjang besarnya. Wajah lelaki itu murung, sesekali dia mengusap kasar wajahnya. Jika dulu dia akan dengan mudah mengumpat dan minum minuman beralkohol saat rapuh, tapi tidak kali ini. Dia diam mencoba mencari jawaban atas semuanya.

Dia menatap ponsel, mengusap pelan wajah cantik milik Lara yang jadi wallpapernya.

"Bening, katakan apa kamu bahagia dengannya? Jika iya, aku ikut bahagia. Tak penting lagi rasa ini kamu pertimbangkan, aku senang jika kamu menemukan bahagiamu."

Bian mengaktifkan mode diam di ponselnya, meletakkannya begitu saja di nakas. Lelaki itu mengemas kameranya dan pergi.

***

"Jadi Bian tadi nunggu lama, Ma?" tanya Lara seraya menyembunyikan air mata yang hampir tumpah. Amira mengangguk menanggapi.

"Dia menitipkan ini untukmu," ucap mamanya memberikan serangkai bunga mawar merah dari Bian. Pelan Lara menerima.

"Tadinya mama suruh dia menunggu sebentar lagi, tapi dia bilang ada urusan yang nggak bisa ditinggal, gitu," jelas Amira lirih seakan tahu bahwa hati putrinya tengah bimbang.

"Lara jadi nggak enak sama Bian, Ma."

"Mama tahu, coba kamu telepon,"

Gadis itu mencoba menelepon Bian, namun hasilnya nih, tak ada jawaban dari sana. Lara menggeleng lemah menatap mamanya.

"Lara ke kamar ya, Ma. Mau istirahat," ucapnya pelan melangkah meninggalkan mamanya yang hanya bisa menatap sendu.

Bersambung ...

Kaan misskom lagi yaa, si Bian tuh, hihi.

Jadi gimana dunk, btw Babang Bian kemana yaak? Ya udah kita tunggu aja next nya. Mamachihh udah setia ngikutin kisah ini.
See u more 😘





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top