Mint Chocolate Itu Sedang Dirindukan
Seminggu setelah pertemuannya dengan Choi Yeonjun, setiap ada waktu Soobin akan datang ke kafe. Kadang sore setelah pulang kerja, atau malam sehabis lembur. Tapi sebanyak ia datang, sebanyak itu pula ia harus menelan kecewa. Pemuda Mint Chocolate itu tidak lagi menampakan batang hidungnya sejak hari pertama mereka bertemu dan berpisah. Entah mungkin karena secup es krim dan piring-piring kecil makanan manis itu sudah tak lagi ia rindukan. Atau jika ada kemungkinan lain, bisa saja karena makanan manis itu telah meninggalkan lubang di gigi-giginya sehingga dengan terpaksa Yeonjun harus mengucapkan selamat tinggal pada semua manis kesukaannya. Oh, Soobin dapat membayangkan air mata di sudut mata pemuda itu. Sangat kasihan.
"Omong kosong!" Beomgyu mendelik tajam ke arah Soobin, hampir melempar benda di tangannya tapi tidak jadi setelah sadar benda di tangannya itu tak lain adalah ponselnya sendiri. "Kau kira dia anak umur berapa? Pikiranmu itu konyol sekali. Apa sebenarnya isi otakmu?" Bola mata bocah itu tampaknya akan keluar dari tempatnya, terlalu melotot.
Posisi berdiri Soobin hampir seperti orang akan jatuh, kalau salah pijakan sedikit saja bokongnya pasti akan membentur lantai. "Aku hanya mengira. Lagipula kenapa kau yang marah? Memang yang aku bicarakan itu kau?"
Beomgyu hampir melepehkan kata lagi tapi sedetik ia menyadari sikapnya memang agak berlebihan. Siapa Choi Yeonjun? Apa hubungannya dengan dirinya? Untuk apa marah ketika seseorang mengatakan kata-kata tak masuk akal pada orang asing? Beomgyu bukan orang yang suci. Kalau bicara tentang gosip, Beomgyu adalah salah satu narasumber yang tidak pernah kehabisan topik. Lantas mengapa ia tidak bisa terima kata-kata serampangan Soobin tentang tebakannya pada sosok Yeonjun? Jika kau bertanya begitu pada Beomgyu maka ia tidak akan menjawab, karena dirinya sendiri mungkin juga tidak tahu alasannya.
Atau karena sesungguhnya dia berbohong.
Berdehem, ia pura-pura tidak terjadi apa-apa dan kembali melanjutkan pekerjaannya di balik meja kasir.
Melihat Beomgyu sudah menurunkan panasnya, Soobin kembali mendekat dan mulai bicara, "Kau bilang hampir setiap hari dia datang." Pandangan Soobin menerawang melewati pintu kaca kafe. Sedetik pandangannya jatuh pada lalu lintas, kemudian pada langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa, pada gelak tawa anak-anak sekolah yang berjalan berkelompok memenuhi trotoar, bahkan pada kertas kekuningan yang terbang keluar dari jendela mobil dan berakhir pada tepi jalan. Namun sebanyak apapun pandangannya menangkap objek, sebanyak detik demi detik berubah menjadi menit penuh kesabaran, yang ditunggu tak juga memunculkan sedikitpun tanda keberadaan. Sudah sekian lama dan suara kekeh yang pernah menghantui pikiran itu sudah hampir dilupakan. Seberapa keras usaha Soobin untuk mengingat, pada akhirnya itu tetap akan menjadi samar dan sedikit demi sedikit tenggelam dalam memori. Selayaknya kertas yang terbakar dari ujung ke ujung lain, Soobin hanya mampu melihatnya perlahan menjadi abu.
Mungkin masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa rasa rindu yang ia rasakan kini sebagai pertanda dari 'Cinta'. Mereka hanya bertemu satu kali, bertukar beberapa kata dan kehangatan di tengah hujan, dilingkupi nyaman selayaknya udara musim semi yang selalu dirindukan. Jika ia mengatakan itu cinta, rasanya masih terlalu dangkal, dan mungkin itu juga karena dirinya sudah lama tidak merasakan nyaman yang demikian sehingga ketika ia menerimanya sedikit saja maka hatinya jadi sangat lunak, seperti anjing liar yang diberi sepotong daging, ketika dermawannya datang ia akan melompat dan tanpa tau malu menjulurkan lidah penuh liurnya, berharap untuk sepotong daging lain untuk mengisi perut yang kosong.
Jadi Soobin mencoba mencari kata lain, mencari sebutan lain untuk perasaannya, yang lebih masuk akal dan bisa diterima. Tidak ada yang lebih cocok dari pada kata 'tertarik'. Itu mungkin jauh lebih pantas.
"Haloo tuan Choi Soobin! Kalau di luar lebih menarik maka pergilah dan jangan kembali." Suara Beomgyu mengalun lembut di telinga Soobin, sengaja menjatuhkan nadanya sedemikian rupa untuk menggoda.
Soobin mengerjap dan sedikit tersedak ludahnya sendiri. Dengan malas menjauhkan wajah Beomgyu dengan mendorong dahinya menggunakan dua jari. "Aku sedang banyak pikiran. Jangan ganggu."
Beomgyu membalas sambil mencebik. "Kau yang menganggu ku."
Sejenak hening dan Soobin mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Benar saja, ketika ia mengangkat kepala ia disambut dengan tampang mencurigakan Beomgyu yang asyik menggosok dagu pakai ujung jari. "Memangnya..."
Suara anak itu menggantung lama. Mereka saling melempar pandang. Sesekali Soobin menggerakan kepala seolah bertanya 'memangnya' apa?
Beomgyu berdecak, matanya menyipit. "Kau..."
"Aku kenapa?"
Seulas senyum ganjil muncul di wajah Beomgyu dan kerutan di dahi Soobin bertambah dalam dari waktu ke waktu. Soobin baru akan bertanya lagi ketika Beomgyu membuka mulut dan bicara dengan lantang.
"Kau menyukainya, ya?!"
Sedetik, dua detik, detik berlalu pada hitungan ke sepuluh, Soobin mendengus keras seperti banteng. "Aku..."
"Bah! Tidak perlu mengelak, tidak perlu berbohong. Kau paling bodoh soal berpura-pura hahahaaa!"
Tidak ada niatan bagi Soobin untuk membalas. Dia sudah tertangkap basah oleh bocah sialan ini yang telah berkali-kali melihat gelagatnya ketika berusaha bersembunyi di balik tampang tanpa dosa. Lagipula mereka sudah banyak terlibat dalam kerja sama penuh kebohongan. Mereka sama-sama bisa melihat kebohongan masing-masing, sama-sama sudah hapal tempat-tempat mereka untuk bersembunyi.
"Jangan bilang kau belum tahu."
"Apa?"
"Choi Yeonjun itu sudah punya kekasih."
Secara tidak langsung waktu itu Yeonjun sudah memberi tahunya. Seolah ia tak ingin Soobin yang waktu itu bersemangat akan melompat ke arahnya tanpa perlu tahu batas apa yang secara kasat mata membuat keduanya tak bisa bersatu. Lagipula hidupku sudah bukan milikku lagi. Aku tidak bisa memutuskan. Siapa pemiliknya saat ini? Sejak saat itu Soobin selalu memikirkannya, tentang pemilik hidup Yeonjun tapi mungkin tidak dengan hatinya.
Sosok pemuda itu dalam mimpi Soobin kerap menampakan diri di tengah malam gerimis, berdiri sambil menengadah, telapak tangannya menghadap langit menangkap titik-titik dingin seperti hendak mengumpulkannya entah untuk apa. Soobin selalu mendengar kekeh yang makin didengar makin ingin ia berlari untuk menjangkaunya, untuk menyembunyikannya, untuk menolongnya.
Yeonjun, apakah kau sedang kesusahan? Katakan tolong padaku, maka aku akan datang menyelamatkanmu.
Namun siapa sebenarnya Yeonjun untuk Soobin, atau Soobin untuk Yeonjun? Mereka hanya bertemu satu kali, berpisah satu kali. Soobin tidak perlu ditanya lagi, ia menyimpan sejuta harapan untuk kembali menemukan sosoknya tetapi apakah Yeonjun pernah memikirkannya sekali saja sejak malam itu? Apakah dia peduli? Pada malam itu jelas-jelas dia yang mengingatkan adanya batas, seperti hendak menarik diri lebih dulu dan tidak ingin terlalu dekat dengan garis batasnya. Mungkinkah ia takut Soobin menariknya keluar?
Hanya saja ada satu hal yang sampai sekarang Soobin tidak ragukan dan itu membuatnya selalu mengeraskan hati. Saat itu Yeonjun tidak mengusirnya, dia tetap membiarkan Soobin berdiri di dekat garis itu dan itu cukup. Yeonjun tidak menolak.
"Aku sudah tau."
"Lantas kau masih berani memikirkannya? Aku tidak tahu kau bisa setidak tahu malu ini."
Pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban lisan sebab sudah terlampau jelas dari bagaimana selama beberapa hari ini Soobin menjadi manusia dengan isi kepala yang melayang ke mana-mana.
"Sekarang giliranku bertanya." Tiba-tiba saja ada api imajiner yang berkobar di sepasang mata Soobin. "Apakah niat awalmu adalah untuk menjebakku?"
Seperti yang diharapkan, Beomgyu meringis dengan wajah penuh gurat sesal tetapi entah bagaimana Soobin bisa mendengar suara gelak tawa yang berasal dari dalam hati Beomgyu.
"Benar. Ku pikir kau akan menendang meja di depan ku setelah tahu orang yang kau goda ternyata sudah punya kekasih."
"Awalnya memang begitu."
Tawa Beomgyu meledak, topeng penuh tipu dayanya retak seperti masker rutin gadis-gadis yang merawat diri.
"Hahahaa... tapi kau urung melakukannya karena dari pada merasa kesal, kau lebih merasa berterima kasih padaku karena sudah membuatmu mengenalnya?"
Melihat Soobin membuang muka yang memerah dan mendengus seperti banteng, Beomgyu merasa puas tapi masih berusaha berpura-pura prihatin.
"Wah, aku berdosa."
Jarum-jarum jam di dinding kafe terus bergerak, ada yang jelas perpindahannya juga yang samar-samar, seolah tengah mengendap-endap takut terlihat mata Soobin, takut orang yang bergantian menaruh perhatian pada pintu lalu pada jam dinding, pada cangkir kopi, pada jam dinding, pada pintu, lalu jam dinding lagi itu jadi makin tak berjiwa atau mendadak gila. Si jam dinding yang sengaja dibikin tampak kuno itu seperti mengerti bagaimana rasanya Soobin menunggu. Tentu yang paling mengerti tentang rasa menghitung detik menuju menit, menit menuju jam, berputar menghitung malam dan siang adalah si penanda waktu, si jam yang selalu dilirik-lirik oleh mata-mata manusia yang di kejar masa. Jam dinding itu mungkin tengah bersimpati tetapi Soobin malah mengira ia sedang diejek setengah mati. Manusia, aku berusaha bergerak tanpa kau sadari, lanjutkan menunggu dengan sia-sia. Tenang saja aku akan berjalan dengan sangat hati-hati sehingga kau tidak sampai sadar kalau kau sudah membuang waktu dengan sia-sia.
Di meja sebelah ada Beomgyu yang mengelap meja sampai kinclong dan pura-pura tidak melihat Soobin bahkan setelah di panggil-panggil.
"Beomgyu, pernahkah kau melihatnya membawa kekasih?"
Mendengar nada suara yang nyaris putus asa itu membuat hati Beomgyu sedikit melunak. Ia melipat lap di tangannya dan bersandar pada meja dengan santai. "Tidak juga, hanya tahu karena sering melihat seseorang menjemputnya. Jadi dari pada disebut membawa, lebih tepat dikatakan bahwa Yeonjun yang dibawa."
"Bagaimana penampilannya?"
"Sangat dingin ketika pertama kali melihat," Pemuda delapan belas tahun itu melipat tangan di depan dada, mendesis sejenak sebelum lanjut berkata. "Tapi bisa jadi sangat hangat ketika meraih seseorang ke dalam pelukannya."
"Begitukah?"
Beomgyu membalas dengan gumam dan anggukan kepala sekali.
"Tidak ada alasan Yeonjun tidak mencintainya?"
Sebelah alis Beomgyu terangkat mendengar kalimat Soobin. Terdengar seperti pernyataan sekaligus pertanyaan yang entah pada siapa ditujukan.
Selama ini Beomgyu memang tidak berperilaku baik pada Soobin dan terkadang Soobin pun begitu tetapi begitulah cara mereka menjadi dekat dan akrab, semakin mereka beradu mulut, semakin mencaci dan menggaruk luka masing-masing maka makin erat jalinan pertemanan mereka. Beomgyu memang bukan orang yang pandai berkata manis, kalaupun ia mencoba untuk sedikit melembutkan cara bicaranya maka yang terjadi adalah sengatan rasa geli dan usus yang tiba-tiba terpelintir entah pada dirinya sendiri atau lawan bicaranya. Itu adalah hal yang sepenuhnya Beomgyu sadari, jadi ia tidak akan pernah berusaha merubah apapun dari dirinya. Siapa yang peduli? Tidak ada. Biarkan saja semua orang menilai dirinya anak berengsek, toh kalau ia berkata bahwa dia masih punya hati dengan cara bicaranya itu, tidak akan ada yang mau repot untuk percaya begitu saja.
Hanya sedikit orang yang mampu memahami Beomgyu di balik wajah cemberutnya yang tidak bersahabat, di balik nada keras dan kata-kata kasar yang tidak berperasaan. Sebenarnya anak itu sama saja dengan remaja umur delapan belas tahun lainnya, yang membedakan hanya dia tidak memiliki orang tua dan terlalu takut ditindas orang. Oleh karena itu Beomgyu menciptakan tempurung kokoh untuk melindungi sisi terlemahnya. Yang melihatnya ketika ia membangun fondasi-fondasi itu salah satunya adalah Soobin. Soobin tidak pernah memberikan komentar, tidak pernah berkata harus begini atau begitu sebab ia tahu Beomgyu akan balik menyerang karena tidak mau dianggap tidak bisa.
Ada Beomgyu yang terus merasa aman dengan tempurung kerasnya, di sisi lain ada Choi Soobin yang selalu membiarkan pintunya terbuka lebar, membiarkan orang masuk dan keluar sesuka hati, bahkan mempersilahkan dengan ramah. Orang-orang menganggapnya anak polos yang mudah dibaca tetapi sesungguhnya pintu yang mereka lihat terbuka itu adalah pintu menuju tempat lain dan tidak menampilkan apa-apa yang sebenarnya Soobin simpan. Dan tebak siapa saja yang diperbolehkan masuk lewat pintu yang benar? Ya, salah satunya adalah Beomgyu.
Mereka secara ajaib mampu saling memahami dengan cara-cara anomali. Beomgyu secara bertahap mulai berani mengakui bahwa mungkin atau memang begitulah takdir bermain. Ada benang merah yang belit-membelit dan ia memutuskan untuk menarik Soobin ke dalam permainan takdir itu.
Lama Beomgyu mengamati pemuda tampan di hadapannya yang sedang memainkan jari di tepi cangkir yang mulai turun suhunya. Pemuda itu masih kukuh dan keras kepala dengan harapannya. Jika memang itu harapannya, maka Beomgyu akan membantu. Namun itu tidak gratis, tentu saja, memang sejak kapan Beomgyu benar-benar jadi lembut?
"Ketika ia menjadi hangat, maka yang lain menjadi dingin."
Soobin menoleh tetapi tak lantas berkata meski tanda tanya besar kini menggantung di atas kepalanya. Beomgyu tidak ingin berada di sana lebih lama lagi dan ia juga yakin Soobin akan memahami kata-katanya. Pemuda itu tidak cukup bodoh untuk tidak menemukan celah kecil untuk menggali keluar dan melihat kembali cahaya mentarinya.
Suatu hari di tengah hiruk pikuk kota dan daun-daun yang jatuh di atas trotoar jalan, seseorang berdiri di belakang Beomgyu yang sedang berjongkok memperhatikan pintu kafe yang bermasalah. Selama beberapa saat Beomgyu tidak menyadari keberadaan orang itu sebab ia sengaja menipiskan suara langkahnya, sengaja menekan suara napasnya, juga sengaja menanti saat yang pantas untuk menyapa. Dalam diam ia mulai memikirkan harus dengan cara apa ia memanggil? Dengan kata apa ia harus menarik perhatian bocah itu dari engsel pintu yang berderit-derit ketika ditekuk. Ia menghabiskan waktu cukup lama dan tidak menemukan ujung dari hal yang sederhana: perihal cara memanggil.
Lalu Beomgyu akhirnya yang sadar sendiri. Lewat bayang-bayang yang dipantulkan kaca, ia melihat sosok menjulang yang pandangannya jatuh ke punggungnya tetapi seperti menembus jauh tanpa batas, seperti melihat luasan padang rumput dan tersesat di dalamnya. Beomgyu sengaja membiarkan seperti itu dan menanti apa yang akan terjadi.
Namun seiring berjalannya waktu mulai muncul keyakinan yang mengetuk-ngetuk dinding otak Beomgyu, mengatakan jika ia tidak mengambil inisiatif maka mereka akan terjebak dalam posisi itu lebih lama lagi. Tapi Beomgyu keras kepala dan sengaja menjadi bodoh untuk mempertaruhkan beberapa waktu miliknya untuk melihat langkah apa yang bakal manusia patung itu ambil.
Sayangnya kaki Beomgyu tidak sekeras kepala otaknya. Darahnya mulai mampet dari bawah ke atas kakinya. Bendera putih! Beomgyu kalah, kakinya kesemutan karena jongkok.
Beomgyu berdiri lalu menepuk tangannya untuk mebebaskan debu dan diam-diam menahan sengatan-sengatan kecil di sepasang kaki. "Akhirnya kau datang." Beomgyu sama sekali tidak menoleh ketika mengatakan itu, hanya menatap bayangan lawan bicaranya lewat kaca.
Ada suara embus napas di belakang, lalu seperti biasa ketika ia datang maka kata yang keluar adalah "Mint chocolate." Hal yang selalu dicari, selalu ia rindukan.
"Yeonjun."
Mereka berdua, Yeonjun dan Beomgyu menoleh di waktu yang hampir sama. Soobin sejenak terhenyak melihat keduanya, mendadak saja melintas di otaknya ada tiga Choi di sini, dua cantik dan satu tampan. Lalu Soobin geli sendiri dan pikiran konyol itu sekejap tenggelam ditelan luapan kegirangan yang naik menuju ubun-ubunnya, mendobrak-dobrak habis tempurung kepalanya, denyut jantungnya bertambah ganas dari waktu ke waktu, mempompa darah ke pipi dan kedua telinganya. Ia sangat puas akan hal itu. Lihat jam dinding! Lihat ini! hari ini aku menemukannya bahkan tanpa perlu menghabiskan waktu untuk memandangumu hahaha!
Yeonjun masih sama seperti malam itu, masih dengan mudah mengulas senyum walau tak sampai ke matanya. Tidak masalah, Soobin cukup percaya diri untuk memperbaikinya kapan saja.
"Kita bertemu lagi..." Pemuda yang rambutnya tidak lagi berwarna biru itu tampak berhati-hati mengucapkan namanya. "Soobin."
Ya, panggil aku. Panggil namaku seperti itu. Hati Soobin menjerit. Ia gila? Terserah! Kau percaya kalau cinta bisa membuatmu gila? Kata-kata jadul! Haha... awalnya Soobin juga tidak percaya kata-kata klise seperti itu tetapi ia sudah terlalu banyak jilat ludah sendiri.
Sekarang ketika akhirnya ia melihat Yeonjun untuk yang kedua kali, ia akhirnya berani mengatakan bahwa benar ia jatuh cinta. Ini cinta. Berarti yang kemarin itu memang cinta pada pandangan pertama. Jilat ludah sekali lagi, tidak masalah asalkan itu untuk Yeonjun.
Dia sudah sinting!
Kedua pemuda bermarga Choi berakhir di meja pojok, sedangkan Choi yang lebih muda cemberut di balik meja kasir sambil sesekali bolak-balik menerima perintah dari koki cerewet di dapur.
Percakapan mereka dimulai dengan pertanyaan dan pernyataan Soobin. "Kemana saja? Aku menunggumu datang sejak hari itu."
Yeonjun agaknya terkejut pada kata-kata itu. Ia tidak menyangka kalau pemuda yang pernah duduk dengannya menghabiskan malam berhujan itu mencarinya dan menunggunya dan mungkin saja juga merindukannya? Sejenak Yeonjun salah tingkah dan meraih cup es krim di tas meja, menelan sesendok penuh es krim pertama untuk minggu ini.
Bulu mata Yeonjun yang panjang terkulai turun, takut memandang langsung ke sepasang manik yang hangat, ia takut dilelehkan tanpa bisa melakukan perlawanan.
"Aku sibuk menyiapkan acara."
"Pernikahan?" Soobin asal membalas tapi tampak seolah terburu-buru memastikan apakah dirinya sudah terlambat atau tidak. Ia sama sekali tidak berharap pertanyaannya akan dibenarkan.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Mati! Mendadak leher Soobin kaku.
"Pernikahanmu?"
"Bukan."
"Ah.. ku pikir."
Yeonjun terkekeh melihat Soobin yang melakukan peregangan.
"Lupakan. Hari ini sepertinya kau santai, Soobin."
"Ya, aku dapat jatah libur dua hari. Ini hari pertamaku tapi aku tidak tau apa yang harus dikerjakan."
"Nonton film adalah yang terbaik."
"Aku tidak biasa pergi ke bioskop dan juga aku tidak punya teman untuk diajak pergi." Lalu senyum malu-malu Soobin terbit "Di sini lebih baik, aku bisa menemanimu seperti tempo hari."
Siapa sangka setelah secup es krim sudah ludes, Yeonjun tanpa ragu menarik Soobin keluar kafe untuk kencan -coret- untuk mengisi waktu libur Soobin. Mereka benar-benar pergi ke bioskop, Yeonjun yang teraktir tapi filmnya harus dia yang menentukan. Soobin menurut, malah mensyukuri itu sebab pengetahuannya tentang perfilman adalah nyaris mendekati nol. Ia tidak suka membuang waktu untuk suatu kisah palsu, untuk suatu kepura-puraan yang dengan repot memainkan perasaan orang. Tidak, terima kasih, hidupnya sendiri sudah cukup membuatnya menangis dan tertawa, dia tidak terlalu tidak punya kerjaan, menonton film tidak dibutuhkan.
Tapi sekali lagi jilat ludah sendiri, untuk Yeonjun tidak ada yang terasa tidak harus dilakukan. Seperti ini kah budak cinta? Tidak masalah, ini menarik.
"Kenapa jalanmu lambat sekali, Soobin?"
Karena aku ingin melihatmu ada di depanku. Dengan begitu akan lebih mudah untuku mengawasimu. Percayalah bahwa hatinya berteriak seperti itu dan bahkan membuat telinganya sendiri mendengung. Tapi itu adalah suara hatinya, tidak ada yang bisa mendengar kecuali dirinya sendiri.
"Kemarikan tanganmu. Ayo cepat kemarikan!"
Soobin melihat senyum Yeonjun ketika pemuda itu meraih satu tangannya lalu menyelipkan lima jari di antara lima jari lainnya. Sentuhan itu terasa seringan kapas tapi melekat dan ia tertarik oleh magnet yang kuat. Telapak tangan Yeonjun terasa hangat, menjalar sampai rongga-rongga dada Soobin dan menghangatkan hatinya.
"Jangan menghilang, Soobin. Aku benci ditinggalkan."
Sekarang mereka berjalan beriringan. Soobin tanpa ragu balas menggengam lebih erat, tanpa celah bahkan untuk udara sekalipun. "Aku tidak akan meninggalkanmu."
Yeonjun tidak pernah ingin menarik Soobin ke dalam lingkaran takdirnya, tapi rupanya Soobin sendiri yang terdorong jatuh ke dalam (begitukah?). Tidak apa-apa kan kalau ia ingin merawat tamu itu sebentar saja?
Di malam hari ketika mereka akhirnya berpisah, Yeonjun meniti anak tangga sembari menyenandungkan nada. Ia menatap pintu kayu kokoh di depan matanya, mengabaikan detik-detik yang menumpuk jadi menit yang panjang, sampai aroma masakan menyelinap keluar dari sela-sela pintu, seolah menyampaikan pesan dan mengundangnya untuk segera masuk.
Seperti sudah menjadi kebiasaannya, Yeonjun melangkah tanpa menimbulkan suara, bahkan segala gerakannya hampir tidak menimbulkan tanda-tanda.
"Aku pulang."
"Hyung? Cuci tanganmu dan duduk di meja makan, satu hidangan lagi hampir siap."
Yeonjun mengulas senyum sembari matanya memindai seisi ruangan. Sudah lama sekali, akhirnya dia punya waktu untuk pulang. Ia menyampirkan mantel di sandaran sofa kecil lalu bergegas menuju dapur sambil melipat lengan baju.
"Beomgyu, biarkan hyung membantumu."
.
.
.
Halo dan sampai jumpa!
Terima kasih sudah mampir :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top