Senandika 4

Senandika 4

"Ya ampun, ini Mbak Amanda yang artis sinetron itu? Ya ampun, beneran ke rumah Yangkung! Kok Mas Bobi gak pernah cerita sih kalau punya temen artis terkenal. Aku ngefans banget sama Mbak Manda waktu main sinetron yang jaman putih abu-abu itu. waktu itu aku masih SMP tapi udah seneng banget sama Mbak Manda. Apalagi waktu Mbak Manda digosipin deket sama Fernando. Ikh, hot couple banget!"

"Sri, duduk dan bicara pelan-pelan kepada tamu kita."

Amanda hanya tersenyum kepada perempuan yang baru datang ke rumah kakek Bobi dengan pakaian yang bukan style Amanda sekali. Halo, ini sudah jaman sangat modern dan perempuan ini masih mengenakan pakaian seperti penghuni antartika. Kaus lengan panjang, celana kargo, sepatu boots karet warna kuning, dan topi penghalang matahari. Petani desa mana yang berani-beraninya datang saat majikannya sarapan, apalagi sarapan bersama artis ibu kota.

Diam-diam Amanda memutar matanya jengah, sedikit menyesali mengapa orang desa terlalu norak saat melihat orang terkenal. Amanda tak begitu suka prifasinya diganggu orang lain. Niatnya ke sini bukan untuk jumpa fans, tapi untuk mengejar Bobi. Ia tak berminat untuk kenal dengan petani cabai dan terong yang Bobi gaji setiap minggu atau bulannya. Ia hanya ingin kenal dekat dengan Bobi dan kembali memeluk Biya-nya lagi.

Perempuan dengan baju tak sewarna itu dengan berani duduk di sebelah Manda, tepat di hadapan Kakek. Amanda berusaha bersikap tenang meski sebenarnya ingin mendamprat perempuan yang dipanggil Sri oleh kakek, agar pergi dari makan pagi yang penting ini. Perempuan ini sungguh menganggu!

"Kenalin, Mbak. Aku Sri, sepupunya Mas Bobi." Perempuan itu tampak mengernyit sesaat. "Uhm, sepupu apa ya namanya? Jadi, Kakek Basuki punya satu anak yaitu Bulik Lidia. Lah Bulik Lidia punya anak namanya Bobi. Lha Kakek Basuki punya adik perempuan dan aku cucunya. Pokoknya gitulah Mbak, semoga bisa paham."

Ah, keluarga, batin Amanda yang akhirnya paham mengapa sikap Sri sesantai ini dengan pakaian ala kadar.

"Yang tadi jemput Mbak Manda di stasiun itu suamiku. Dia bilang Mbak Manda sudah sampai di rumah Kakek, ya aku langsung ke sini. Penasaran sama kabar kedatangan Mbak Manda, eh ternyata bener."

"Sri ini tangan kanan Bobi," lanjut Kakek yang akhirnya mengubah fokus Manda yang semula mendengarkan Sri jadi menoleh ke Kakek. "Sri yang memegang keuangan kebun dan manajemennya. Mungkin kalau bahasa orang kantoran, Sri ini asisten dan sekretaris Bobi. Kakek hanya percaya kepada Sri karena memang masih keluarga. Yang Sri pegang dalam bisnis Bobi adalah hal yang cukup krusial."

Lirikan jengah Amanda seketika berubah menjadi binar antusias. Jadi ... ia sekarang sedang duduk dengan orang kepercayaan Bobi yang pastinya tahu apapun tentang harga pria itu? Bagus! Hati Amanda jadi riang gembira. Ia harus menjadi sahabat Sri agar bisa menyusup dengan mudah ke dalam kehidupan Bobi. Kolaborasi sesame perempuan akan mempermudah misi Amanda memiliki Bobi dan seluruh hartanya. Sri saat ini jadi tangan kanan Bobi, tetapi saat Amanda sudah memiliki Bobi, mohon maaf karena posisi Sri harus mau bergeser menjadi kaki tangan saja.

"Bobi—sangat sibuk sekali, ya?" Amanda bertanya dengan pelan dan hati-hati. "Memangnya—Bobi menjalankan bisnis apa hingga harus pergi pagi-pagi sekali?"

Sri yang tanpa sungkan mengambil nasi dan lauk dari meja makan dan siap menikmatinya, menjawab dengan santai. "Ya nandur, Mbak. Mbak Manda tahu, kan, kalau Mas Bobi ini petani? Kami mengelola tanah milik keluarga dan Kakek Basuki. Ada tanah milik nenekku yang Mas Bobi kelola dan aku yang mengatur hasil penjualan panen. Kami juga punya kendang sapi yang berdiri di tanah milik Mas Bobi sendiri. Ya, ini sebenarnya pengelolaan asset keluarga yang kami miliki turun temurun sih, dan Mas Bobi hanya memperluas kepemilikan kebun dari hasil yang ia dapatkan."

Amanda menelan ludah lamat. "Seberapa—luas?" Ia tak tahu apakah pertanyaan ini sopan dilontarkan pada pertemuan pertama, tetapi rasa penasaran Amanda tak bisa dibendung lagi.

"Piro ya?" Sri berfikir sambil menuang teh hangat dalam gelas. "Yang jelas puluhan hektar Mbak kalau ditotal."

"Semua milik Bobi?"

"Milik Kakek sebagian besar dan sebagian kecil milik neneknya Sri," jawab Kakek santai. "Bobi juga memiliki lahannya sendiri yang ia beli dari hasil kerjanya selama ini."

Amanda mengerjap takjub.

"Dan Mas Bobi yang akan mewarisi semua harta milik Kakek Basuki termasuk rumah ini," tambah Sri santai sambil mengunyah. "Bulik Lidia sendiri yang meminta Kakek untuk langsung menghibahkan semua haknya kepada Mas Bobi. Jadi, mohon maklum ya Mbak, kalau Mas Bobi sudah menetap di sini."

Dan Amanda tak keberatan jika Biya-nya membangun rumah untuk mereka tinggal bersama di desa ini apalagi rumah ini. Ia tak pernah tahu jika Biya adalah pangeran dari desa kecil yang memiliki tanah sangat luas juga kastil kecil yang asri dan nyaman. Calon pewaris tahta dari Kerajaan kecil yang memiliki banyak sumberdaya alam. Jika ia tahu, ia akan terus mempejuangkan Biya-nya demi menjadikan mimpi masa kecilnya nyata. Menjadi ratu di kastil yang indah.

Rumah ini bukan kastil tetapi Amanda bisa merasakan kemewahan di dalamnya. Sepanjang menikmati sarapan, Kakek bercerita bahwa rumah ini dibangun lima puluh tahun lalu saat ia baru menikah. Tanahnya diberikan oleh orangtua Kakek dan ia membangun rumah dengan tembok gebyok ukiran khas jawa dari kayu jati yang kualitasnya bagus.

"Dulu kami memiliki lahan jati yang cukup untuk menghidup anak istri. Kami menjual lahan itu kepada pemerintah yang membangun jalan dan pembangunan lainnya. Hasil penjualan kebun jati kami belikan tanah yang Kakek tanami aneka jenis buah. Lalu berkembang ke sayur dan saat Kakek tua, Bobi berkata ingin meneruskan pertanian ini. Ia kuliah pertanian lalu kembali ke desa dan mengambil alih semua lahan yang Kakek miliki."

Amanda meliarkan pandangannya dan menilai berapa nilai jual rumah ini. aksen klasik, mewah, dan bahan material berkualitas tentu tak bisa ditukar dengan milyaran, tapi puluhan miliar. Belum lagi rumah-rumah kecil yang dibangun saat Bobi mulai tinggal di sini. Katanya untuk rumah singgah tamu atau pekerja yang harus lembur dan tak pulang.

Dari percakapan santai sambil sarapan, Amanda jadi tahu mengapa Rieke berkata bahwa kesempatan Amanda hanyalah Bobi. Ia bisa memiliki kembali kehidupan indahnya dan mungkin saja jauh lebih indah jika bisa memiliki Bobi dan semua kekayaan pria itu.

"Kalau Mbak Manda sendiri, rencananya bagaimana di sini? Hanya untuk liburan saja atau barangkali ada mau syuting?"

Amanda tersenyum kepada Sri dengan otak yang mencerna jawaban. Sekaranglah aktingnya dimulai. Ia sedang bersama orang terdekat Bobi dan memiliki dukungan mereka adalah kunci keberhasilannya kelak.

Sambil tertunduk malu, Amanda tersenyum. "Sebenarnya—aku ke sini bukan untuk liburan saja sih," mulainya dengan wajah yang ia buat sesendu dan serindu mungkin. "Aku—kangen Bobi. Aku ingin menjalin pertemanan dan mengembalikan kedekatan kami dulu. Sejak sibuk menjadi aktris, aku dan Bobi tak pernah dekat lagi. Saat sudah dewasa begini, aku merasa butuh teman yang tulus seperti Bobi." Amanda memasang wajah sedih dan sendu. Ia berusaha menitikkan sedikit saja air mata. "Bobi—membenci saya, sementara saya masih mencintainya. Kami adalah sahabat yang saling merasakan cinta pertama. Bobi tak mau lagi bicara sejak ada kesalah pahaman diantara kami."

"Kalian—pernah pacaran lalu putus karena Mbak Manda dekat dengan Fernando?" tebak Sri lamat dengan mata memicing tajam. "Aku pernah dengar dulu Mas Bobi curhat ke temannya saat pulang ke rumah Kakek. Aku tidak sengaja dengar, Kek, dan intinya Mas Bobi enggan pulang ke Jakarta karena masih sakit hati dengan seorang gadis. Apa yang Mas Bobi maksud itu Mbak Manda? Bagaimana hubungan kalian saat itu sampai Mas Bobi enggan pulang hingga Bilik Lidia harus mengalah ke sini untuk bertemu anaknya?"

"Sri, tolong hargai privasi Manda dan Bobi," tegur Kakek pelan. "Manda mungkin ke sini untuk bicara dengan Bobi dan memperbaiki hubungan mereka."

Amanda tersenyum kepada Kakek dengan wajah yang ia buat semelas mungkin. Pokoknya, Sri dan Kakek harus iba dan simpati kepadanya. "Kalaupun—saya harus patah hati karena hubungan kami tak bisa lagi sedekat dulu, setidaknya Bobi mau mendengarkan alasan saya mengapa kami dulu harus berakhir meski saya masih menyimpan rasa kepadanya."

"Jangan-jangan Mas Bobi juga masih simpan rasa ke Mbak Manda lagi. Dia selama ini gak pernah dekat dengan perempuan kecuali Bidan Diana."

"Pak Sutikno masih gencar menjodohkan anaknya dengan Bobi, Sri?" tanya Kakek penasaran juga.

Sri mengangguk semangat. "Sementang Pak Sutikno masih jabat jadi ketua BUMDes, dia gencar tawarin Mas Bobi kerjasama. Aku suka temani Mas Bobi rapat dengan beliau dan setiap rapat, Pak Sutikno selalu mengajak Mas Bobi ketemuan sama anaknya."

Kakek mengangguk paham. "Bobi memang sudah waktunya menikah."

"Tapi Mas Bobi kayaknya gak suka sama Bidan Diana. Jadi, kalau cerita Mbak Manda benar, artinya kita harus bentu agar mereka bersatu lagi, Kek."

Bagus, langkah awal terselesaikan dengan baik. Amanda tersenyum senang di balik wajah sendunya. Dukungan Kakek dan Sri sangat ia butuhkan untuk membantunya menciptakan kebetulan yang disengaja.

"Aku—tidak mau merusak hubungan Bobi jika memang sudah ada perempuan lain, Sri."

"Enggak!" Sri menggeleng tegas. "Mereka gak ada hubungan apa-apa. Wes gini aja, intinya, aku akan bantu Mbak Manda untuk bisa dekat lagi dengan Mas Bobi. Kalau perlu, Mbak ikut kerja juga agar punya banyak waktu sama Mas Bobi. Nanti aku coba diskusikan dengan Mas Bobi. Sebagai perempuan, aku tahu maksud Mbak Manda."

Amanda mengusap ujung matanya yang sulit berair. "Makasih ya Sri. Aku ke sini memang untuk Bobi. Untuk hubungan kami lagi." Ia berusaha tak menatap Kakek yang menatapnya lamat penuh arti. Kakek tidak boleh sadar kepura-puraannya dan misinya berada di rumah ini.

Mereka melanjutkan sarapan dengan topik tentang kegiatan Bobi hari ini yang Sri ketahui dengan rinci. Sri bercerita tentang kesibukan Bobi sebagai pemilik kebun sayur dan peternakan sapi. Bagaimana Bobi memulai bisnis peternakan bersama teman kampusnya dulu dan kini bekerjasama dengan tenaga ahli peternakan.

"Harusnya sih Mas Bobi sudah kembali ke rumah dan aku yang mulai keliling kebun untuk pantau kegiatan di sana." Sri meneguk sisa air di gelasnya, lalu beranjak dari kursinya. "Sri pamit dulu ya, Kek. Mau jalan ke kebun." Ia menyalami Kakek dengan takzim, lalu tersenyum kepada Amanda. "Mbak Manda simpan nomorku yang tadi aku miscall, ya. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan. Curhat juga aku siap dengarin." Sri menyeringai girang sebelum meninggalkan meja makan dan keluar rumah ini.

Kakek menggeleng pelan seraya tersenyum lembut. "Sri memang suka heboh begitu. Harap maklum, ya."

Amanda tersenyum dengan wajah maklum. "Sri perempuan yang baik. Manda suka kok sama Sri."

Kakek menyudahi sarapannya dan mempesilakan Manda untuk istirahat.

Manda langsung pamit kepada Kakek dan masuk ke dalam kamarnya. Ia membuka pintu yang membawanya ke taman belakang rumah dan berencana duduk di kursi taman sambil menghubungi Rieke dan menceritakan informasi yang ia dapatkan. Ia melangkah pelan dan santai sebelum matanya tertuju pada sosok yang tiba-tiba berdiri memperhatikannya.

"Biya ...." Langkah Manda terhenti dan senyumnya terkembang bahagia. "Biya ...."

Pria yang sepanjang sarapan ia bahas bersama Sri dan Kakek, melangkah pelan dan tegap mendekati dirinya. Mereka kini saling berhadapan dengan hawa dingin yang seketika menyergap. Entah mengapa, jantung Amanda berdegup kencang dan mulutnya tak bisa bermanis menggoda seperti rencananya.

Bobi menatap lekat Amanda sebelum bicara pelan dengan nada tegas. "Aku mendengar semua obrolanmu dengan Sri dan Kakek. Ada beberapa hal yang ingin kukatakan agar kami tidak berekspektasi terlalu tinggi. Satu, tolong jangan repotkan kakek dan sepupuku. Mereka memiliki tugas dan kesibukannya sendiri dan mengurusmu bukanlah kewajiban mereka. Dua, aku ingin meluruskan bahwa tidak ada masa lalu atau hubungan apapun diantara kita seperti yang kamu katakan kepada mereka. Jangan buat isu dan berita yang tak ada kebenarannya. Kita bukan sepasang remaja yang saling bertukar cinta pertama karena kenyataannya kita tidak pernah memiliki jenis hubungan seperti itu. Terakhir, aku tidak akan menerima apapun darimu sekalipun maaf. Aku sudah berusaha merelakan apa yang kamu lakukan kepadaku dulu dan tak ingin mengungungktinya lagi meski demi maafmu."

Kali ini, tanpa perlu berpura-pura, bibir Amanda gemetar dan air matanya menetes sendiri. "Biya, kita pernah—"

"Aku bukan lagi Biya-mu dan tidak ada lagi Biya dalam hidupmu. Ia sudah lama mati dan tak akan kembali lagi untuk kamu."

Tanpa peduli dengan Amanda yang menangis tanpa suara, Bobi berbalik dan meninggalkan Amanda seorang diri di taman belakang yang berada persis di antara rumah kecilnya dan kamar Amanda.

**** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top