Senandika 2
Senandika 2
Bobi melihat perempuan itu. Ia melihatnya sejak turun dari mobil, bertemu beberapa teman yang kedatangannya juga bersamaan dengan dirinya, lalu berlindung di tengah kerumunan dan berusaha untuk tidak melihat apalagi menyapa. Amanda Leiticya masih secantik dulu. Meski wajahnya tak lagi tampil di layar kaca, Bobi masih bisa mengenali perempuan yang dulu menjadi teman mainnya. Teman main yang lantas menyakitinya sedemikian rupa karena ketenaran yang membutakan hingga membentangkan jarak yang begitu jauh di antara mereka.
Tak ada lagi pertemanan, karena interaksi terakhir mereka adalah petaka yang membuat Bobi tahu bahwa salah besar jika mendekat pada Amanda. Sepenasaran apapun dirinya pada kehidupan perempuan itu, Bobi harus berusaha fokus meninggalkan dan tak acuh pada Amanda.
Tujuannya ke Jakarta adalah untuk menghadiri undangan pernikahan teman sekolah mereka dulu. Jadi, Bobi hanya akan berkumpul dan berbincang pada mempelai, menyapa teman-teman mainnya saat SMA, menikmati sajian, lalu pulang. Ia rindu pada kedua orangtuanya dan mumpung sedang pulang kota, ia ingin menghabiskan sisa waktunya bersama sang ibu untuk membahas banyak hal.
"Jadi, kamu sudah for good di kampung halaman ibumu, Bob?" Seorang teman bertanya, sekadar memastikan, setelah mereka saling bertukar cerita sambil antri ke pelaminan. "Boleh gak kalau ada kerjasama untuk anak-anak KKN, PKL, atau sekedar wisata?"
Bobi tersenyum pada Sandro yang katanya seorang dosen muda di salah satu kampus swasta Jakarta. "Boleh. Silakan. Aku bisa bantu akomodir tempat tinggal. Hanya saja, untuk kegiatannya, paling ya ... bakti social dan pengenalan kultur di desa tempatku tinggal."
"Gak masalah. Untuk acara biasanya diatur sama fakultas. Nanti coba aku ajukan dan diskusikan dengan tim dosen. Kalau mereka oke, aku mungkin mampir ke tempatmu untuk main sekalian survey."
"Boleh, Ndro. Aku tunggu. Kita bisa bahas banyak hal di tempat tinggalku."
"Permisi."
Sapaan itu membuat Sandro dan Bobi mengakhiri percakapan mereka tiba-tiba, lantas menoleh pada asal suara. Ada teman mereka si selebritis muda yang sangat terkenal pada masanya. Perempuan yang tadi terihat mengenaskan berdiri di depan pintu restoran bersama sahabatnya. Si bintang remaja yang dulu ingin mereka dekati tetapi sadar diri bahwa Amanda Leiticya berada di kasta yang jauh berbeda dengan mereka.
Bobi menoleh ke kanan dan kiri, lalu bergeser dua langkah. "Oh, silakan." Mungkin posisinya menghalangi perempuan itu untuk mengambil salah satu menu yang tersedia di acara ini.
Amanda menggeleng seraya tersenyum dengan gaya anggun. "Bukan. Aku bukan mau ambil zuppa soup. Aku mau—sapa kamu. Hai, Bob."
"Hai." Sandro yang menjawab, karena Bobi sekalipun tak mengeluarkan suara.
Senyum Amanda terlengkung sopan dan santai. Ia berusaha menekan kekesalannya dengan Bobi yang tak juga menjawab sapaannya. "Apa kabar?" Kali ini, ia terpaksa bertanya kepada Sandro.
Sandro tertawa senang. "Mimpi apa aku semalam, tiba-tiba didatangi selebritis dan disapa hingga ditanyakan kabarnya."
Senyum Amanda seketika berubah masam. "Sebenernya aku lebih penasaran sama kabar Bobi, sih. Dia jarang banget pulang ke rumahnya sejak—kuliah?" Ia menoleh kepada Bobi dengan gestur sedikit sok dekat dan sok menuntut. "Kamu jarang banget pulang ke rumah, lebih sering orangtuamu yang pulang ke desa. Kamu beneran sudah menetap di sana?"
Bobi menatap Amanda lamat sesaat, sebelum mengangguk enggan.
"Dia udah ada calon istri yang bikin dia betah banget di desa dan udah gak tertarik sama perempuan Jakarta." Sandro berseloroh santai. "Habis ini kita siap-siap datang ke pesta pernikahan dia di desa. Ya ... kalau kamu diundang sih, Man."
Amanda memutar bola matanya jengah. "Kalau Bobi menikah, aku adalah orang pertama yang tahu. Semoga kamu gak lupa kalau aku dan Bobi adalah tetangga dan orangtua kami sangat dekat."
"Yang dekat kan orangtua kalian, bukan kamu dan Bobi." Sandro mulai mengubah nada bicaranya. Tak lagi terdengar santai dan bersahabat, tetapi lebih seperti intimidasi dan merendahkan. "Semoga kamu juga gak lupa dengan apa yang kamu lakukan kepada Bobi saat kita kelas dua SMA."
Amanda terkesiap. Tubuhnya serasa diguyur air comberan dan ia sedang berusaha bersikap normal padahal hatinya malu setengah mati.
Sandro mendekatkan dirinya kepada Amanda dan sedikit memelankan suaranya. "Bobi gak tertarik lagi sama kamu."
"Aku mau pamit ke pelaminan, Ndro. Aku rasa sudah waktunya aku pulang." Bobi memecah ketegangan yang terlihat antara Amanda dan Sandro. Ia sedang tak ingin masuk ke dalam drama dan trauma berurusan dengan Amanda. Jadi, lebih baik segera menyudahi interaksi ini dan pergi dari pesta secepat mungkin.
"Gue ikut," jawab Sandro yang langsung mengekori Bobi yang sudah jalan lebih dulu menuju pelaminan.
Sementara Amanda, mengepalkan kedua tangannya yang gemetar dan berusaha menahan laju air mata yang nyaris mengalir deras.
*****
"Kenapa cepat sekali sih pulangnya, Bi?" Pertanyaan bernada protes dan keberatan itu terdengar bersamaan dengan terhidangnya telur dadar di meja makan pagi ini. "Ibu masih kangen tahu."
Bobi menerima telur dadar dengan irisan bawang merah dan cabai rawit yang selalu menjadi kesukaannya. "Banyak kerjaan, Bu."
"Kamu bisa minta Sri yang atur semuanya."
"Sri tidak bisa standby seharian. Dia punya anak dan suami."
"Suaminya bisa ngerti kali." Perempuan paruh baya itu cemberut. "Ibu dan Bapak masih kangen sama kamu. Kapan kamu terakhir kali pulang ke rumah ini? Ibu saja sampai lupa, saking kayaknya gak pernah pulang ke rumah ini lagi sejak kamu lulus SMA."
Ibunya tak lupa ingatan ataupun pikun. Yang wanita itu katakana benar, bahwa Bobi memang tak pernah kembali ke rumah ini sejak ia lulus sekolah akhir. Ia tak membenci hunian tempat ayah dan ibunya merantau dan ia tumbuh besar. Ia menyukai rumah ini dan setiap hal yang terjadi di dalamnya. Hanya saja, ada satu alasan besar yang membuanya enggan pulang ke rumah orangtuanya di Jakarta sehingga ia selalu membuat alasan hingga ibu bapaknya yang mengalah mendatanginya di rumah kakek di desa.
"Nanti Bobi akan lebih sering pulang," bujuk Bobi manis dan santai sambil menikmati nasi hangat dengan telur dadar buatan ibunya. "Kalau sedang tidak terlalu sibuk, Bobi akan sempatkan pulang untuk Ibu."
"Kapan kamu tidak sibuk?" Ibu masih memberengut. "Kamu lebih memilih mengurus tanamanmu daripada ibumu."
"Ibu jangan bilang begitu," jawab Bobi lembut. "Kebun harus diawasi setiap saat agar kita tidak mengalami resiko saat panen. Kakek sudah melepas semua tugasnya kepada saya, Bu. Tanggung jawab saya besar."
Perempuan yang duduk di depan Bobi tersenyum. "Iya, Ibu minta maaf." Apa yang anaknya katakana memang benar. Mengurus hektaran lahan perkebunan milik keluarganya memang bukan pekerjaan yang ringan. Ia bersyukur Bobi memutuskan kuliah pertanian saat lulus SMA dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh untuk meneruskan usaha keluarganya. Paling tidak, ia tahu bahwa ia mewariskan asset keluarganya pada orang yang tepat. Anak tunggalnya. "Oiya, Bi, Ibu lupa mau cerita!"
"Apa?"
"Semalam ibunya Manda telepon. Katanya Manda mau berlibur ke rumah Kakek. Mumpung dia sedang libur kerja."
Bobi seketika mengernyit bingung dan curiga. "Rumah kakeknya dia?"
"Kakek kamulah, Bobi." Ibu Bobi tertawa. "Dia mau berlibur ke kampung halaman kita, ke desa Kakek, ke rumah kamu. Ya ampun, Bobi ... gitu aja gak mudeng."
"Ngapain?" tanya Bobi lamat.
"Liburan," jawab ibunya santai. "Kalian udah lama banget gak main bareng, kan? Ibunya Manda cerita, Manda mau main sama kamu. Mau dekat lagi seperti kalian saat kecil dulu. Mau liburan ke rumah Kakek mumpung dia sedang libur."
"Bukannya dia memang pengangguran?" Itu yang Bobi dengar dari banyak temannya saat acara pernikahan semalam. Amanda bukan lagi superstar yang memiliki jadwal padat. Ia hanyalah perempuan tak berdaya yang tak memiliki penghasilan dari manapun karena tak lagi ada yang memberikan pekerjaan atau peran kepadanya.
Ibu Bobi mengibas tangannya dengan gestur menegur. "Hush! Jangan ngomong begitu. Manda gak nganggur. Dia hanya belum ada job syuting saja."
"Kita gak punya villa, Bu. Kalau diam au berlibur, suruh saja tinggal di hotel. Sudah banyak area wisata dengan cottage dan hotel di desa kita."
"Dia maunya ke rumah kamu, ke rumah Kakek."
"Dia gak ada hubungan keluarga dengan kita. Dia tidak ada kewajiban mengunjungi Kakek. Ibu yang lebih wajib, karena Ibu anak Kakek."
"Gak harus keluarga untuk bertamu, Bobi. Manda hanya sedang ingin berlibur mumpung sedang longgar. Kamu hanya tinggal menjamunya saja."
"Daripada menjamu dia, Bobi lebih baik membantu Ibu membersihkan rumah ini," jawab Bobi santai tetapi sedikit ketus. "Ibu tahu sendiri Bobi sangat sibuk. Tidak ada waktu untuk basa-basi apalagi menjamu dia. Katakan saja, aku sangat sibuk dan Kakek sudah terlalu tua untuk menjadi supir dan pemandu wisatanya. Sarankan ke Manda untuk mengambil paket perjalanan saja kalau memang mau liburan, bukan merepotkan orang."
Ibu Bobi tiba-tiba bersedekap dada. "Kamu kok ngomongnya gitu sih, Bi? Sejak kapan Ibu mengajari kamu bersikap tidak sopan ke orang? Manda memang bukan keluarga, tapi keluarga dia dan kita sudah lama saling kenal. Kamu bahkan pernah tidur di rumahnya selama beberapa malam saat Ibu harus menemani Bapak yang sedang dirawat inap dulu. Kamu sering makan masakan ibunya Manda saat Ibu masih bekerja di bank dan harus pulang larut malam. Kamu tidak lupa, kan? Lalu sekarang, Manda hanya ingin mengunjungimu saja kamu menolaknya sedingin itu?"
Selera makan Bobi hilang seketika padahal telur dadanya belum habis semua. "Terserah Ibu." Bobi pasrah. Ini pertama kalinya ia pulang ke rumahnya di Jakarta setelah lulus SMA dan berkeras tak mau pulang jika ibunya minta. Ia tak ingin mengisi kepulangannya dengan bertengkar, apalagi dengan ibunya. Ia mencintai ibunya dan tak ingin membuat perempuan itu marah. "Bobi hanya minta tolong untuk ingatkan ke Manda agar tidak merepotkan Bobi atau Kakek saat ia berlibur nanti. Ia hanya sekedar makan dan tidur di rumah, seperti Bobi yang dulu numpang makan dan tidur saat Ibu dan Bapak tidak di rumah."
"Bobi," tegur ibunya.
"Itu balasan yang setimpal, bukan? Paling tidak, setelah ini kita tidak harus memiliki utang budi lagi dan terpaksa menjamunya padahal kita bukan pengangguran seperti dirinya."
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top