PART 1, AWAL
Kamu tahu hal apa yang paling saya benci?
Merindukanmu, yang tak kunjung berakhir dengan temu.
-Sena ayu
P-agi ini sama saja seperti hari biasanya bagi Sena, ia dengan malas menuruni satu persatu anak tangga yang baginya seperti berjalan ditembok raksasa China, terlihat jelas mukanya yang masih kusut membuat para penghuni rumah takut bukan main bila bertemu dia, monster yang telah bangun dari hibernasi cocok bila desandingkan dengan sosoknya kini.
Dengan sangat percaya diri ia duduk di meja makan bersama kedua orang tua dan kakak laki - lakinya; Adam, tentunya dengan piama merah muda yang masih dikenakan.
Seluruh keluarga melihatnya heran, gadis ini dimana tata kramanya?
"Sena, kamu tidak punya tenaga untuk mandi?"
tanya laki - laki berumur hampir 24 tahun itu.
"Ga ah, airnya dingin."
"Tumben, ga biasanya gini?"
Sahut perempuan yang tidak lain adalah ibunya.
"Ini sudah biasa."
"Kamu ini kenapa Sen?"
Satu, dua, tiga . . . Dor !
Tidak ada jawaban, entah mengapa pagi ini seluruh penghuni rumah berambisi sekali memanggil nama-nya, Sena, Sena, dan Sena. Dengan cepat diambil menu sarapan yang berupa sebungkus roti tawar rasa pandan dan selai cokelat kegemaran ayah-nya, memakan dengan lahap meski ia tak tahu ini rasa asin, manis, atau bahkan pahit baginya ini tawar-tawar saja, mungkin karena ini roti tawar atau karena roti ini menyesuaikan mood seseorang atau karena memang ini disediakan khusus untuk orang yang sedang tidak baik perasaannya segala atau itu mewakili ke-gabutannya. Mata sang Adam meiliriknya lekat, manafsirkan tingkah laku adik perempuannya, membuat Sena bergidik ngeri, hanya dia sebab yang lain sibuk mengunyah dan menambah porsi makannya.
Setelah segala adegan sarapan itu usai, lantas ia bangkit dari kursi dan meninggalkan mereka tanpa sepatah kata, orang - orang dibuatnya jengkel.
"Heh, mau kemana?!" teriak salah seorang dari mereka.
"Mau kemana yaaa? kepo!"
Ia memang introvert, namun lebih ke sok-sok an seperti itu, padahal jauh di lubuk hati paling dalam, terpencil, terasing, realitanya ingin juga berteriak-teriak dan menceritakan segala rasa a b c d e f g yang sedang dirasakan semacam orang lain, ya kembali lagi karena dia introvert, atau lebih ke gengsi.
Kini ia berada di teras, matanya menatap tajam menembus pagar, disana tengah berdiri laki - laki hampir paruh baya yaitu Mang Ojo, panjangnya Ojooooo. Pedagang bubur yang setiap harinya berada didepan rumah Sena, sudah lama ia mangkal atau menetap disana, bahkan keduanya sudah sangat akrab bak teman sendiri meski terpaut usia yang jauh.
"Neng, mau makan bubur?!" teriaknya
Sena tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala, ia melangkah menghampiri mang Ojo.
"Uluh, kenapa kusut seperti itu mukanya? Kan jadi tidak geulis atuh."
"Gapapa, semalem abis begadang terus bangun ke-pagian."
"Kepagian? mamang kira mah abis putus dari pacarnya atuh."
"Iya soalnya Sena tadi bangun jam 4 mang! ga punya pacar kok lagian." ia berbohong.
"Kalau boleh cerita mah ya, mamang dulu juga punya pacar geulis pisan, kan waktu muda dulu mamang juga cakep, tapi mamang putusin neng, kasian fans - fans mamang pada sakit hati kalau sekarang bahasa gaulnya apa itu hert brok?" ceritanya sembari membuat bubur.
"Heart break mang."
"Eh iya aduh jadi malu."
Mereka bercakap - cakap dengan asiknya, matahari kian menyingkir terpaksa pembicaraan itu harus terhenti.
"Mamang pulang dulu ya neng, cepat masuk nanti item."
"Ya mang hati - hati di jalan."
"Siap neng."
Obrolan itu berakhir, ditutup senyum sapa antara keduanya. Berakhir berarti memulai, iya ia memulai sakitnya kembali, memulai sesaknya lagi, mengakhiri kebahagiaan fana, apapun yang kini dia butuhkan, hanya membagi sebagian bebannya kepada siapapun.
tubuhnya tetap mematung, dibelakang pagar hitam usang, pagi itu hangat matahari sedikit menyentuh ujung kepalannya, melihat beberapa anak kecil lalu lalang mengisi weekend, dengan sepeda atau bahkan teman sebaya-nya, mendengar pagar berdecit saut menyaut membuka kios, coba menerka bayangan siapa yang akan keluar dari balik tembok pagar, suara berisik ibu-ibu pembeli sayur dan tuan-nya si pedagang cukup menjadi pengganti televisi penyiar berita membeberkan hot news mulai dari saudaranya, tetangga saudaranya, tetangganya tetangganya saudaranya, tetangganya tetangganya tetangganya saudaranya ah sudahlah, bahkan hingga topik pribadi pun dibahas, bagai maha guru si tukang sayur sedikit memberikan petuah kepada Ibu-ibu itu mengenai permasalahan yang sedang dihadapi, masa bodo.
tak diketahui tujuannya berada disana, yang pasti ia hanya ingin memberi tahukan bahwa ada tetangga mereka yang bernama Sena Ayudia, tidak perlu terlalu dekat, cukup ada suatu perempuan di bumi ini bernama Sena Ayudia atau bahkan hanya ada seorang manusia
bernama Sena Ayudia tanpa diketahui gender-nya, itu tidak penting segalanya mewakili ketidak tahuan atau lebih tepatnya ke-tidak ingin tahuan tetangganya akan keberadaan sosoknya pernah suatu waktu ia sampai ditanya,
"Mbak orang mana?"
ia membatin miris 17 tahun ia disini apa wajahnya tidak terdeteksi? atau wujudnya ini ghaib? atau tetangganya ini pindahan mencoba berprasangka baik, pernah juga ia diperintah ibunya untuk berbaur dengan tetangga, tidak lebih tepatnya anak tetangganya, jika ia menuruti entah telingannya akan sakit dan perlu dibawa ke THT atau bagaimana intinya ide pokok dari permasalahan tersebut adalah ia tidak mau.
Sebuah tangan melambai dari teras rumahnya, menghimbau gadis itu segera masuk, yah segala cerita tentang tetangganya memang mesti berakhir tapi ia tertawa, lucu. Hampir lupa bahwa Adam memanggil, bukan Hawa namun Sena, ya setidaknya Sena lebih handal dalam percintaan, tak juga namun dibanding Adam yang nihil. Mata kakaknya menyipit sinis membuat adiknya bergidik ngeri, ia tak Posesif lebih tidak rela kalau-kalau kulit Sena hitam legam terbakar.
"Apa?!" tanyanya ketus.
"Masuk! nonton tv kek apa kek penting jangan bokek, kaga ada uang gabisa nraktir gua dong."
"Yaudah makan buah khuldi saja!" ia tertawa.
Jika ada seorang anak kecil disana ia pasti memilih untuk tak melihat wajah Adam, menakutkan, bahkan engsel pintu saja berdecit ngeri ketika Sena menutup pintu dari dalam dan meninggalkan kakaknya diluar seorang diri.
******
Sebuah ruang dilantai dua berukuran 3×4 m, pengap meski menghadap jalan, meja berisikan beberapa buku diatasnya yang tergeletak, beberapa coretan menghiasi dinding menjelma sebagai ornamen, dan ya beberapa tissue seperti rumput yang tumbuh subur menjulang dari dasar lantai, penghuninya begitu rajin membuka tirai hingga keadaan ruangnya lembab, dan pagi ini first time ia membuka jendela selama satu pekan terakhir.
Sambutan burung-burung seolah sebagai rakyat yang menunggu raja-nya, eh ratu-nya membuka gerbang kerajaan seperti di film Frozen. Ia berbenah untuk seminggu kedepan ya itu syukur, lebih baik daripada satu bulan kedepan, perlu diketahui ia memiliki kebiasaan seperti ini semenjak ke-patahan hatinya.
Napasnya engah, ia menjatuhkan tubuhnya kuat pada kasurnya hingga menyebabkan beberapa debu mengepul di udara, menatap ponselnya memastikan apakah ada seseorang yang menghubunginya dan nihil, sudah lah tidak perlu berharap lebih.
Ia menghembuskan napas, bukan yang terakhir kali, namun kesekian kali.
"Huh, sial saya sedang tidak dipingit kan? atau jangan-jangan diluar sudah ada calon mempelainya? hah belum siap!" ia melantur tidak jelas.
Diangkat tangannya, suara riuh diluar menambah nilai plus teater yang kini dimainkan Sena, jari-jarinya bermain dibawah langit-langit kamarnya, ya dia sedang bosan.
Thanks for reading :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top