5. Aku, Kamu, dan Dia
***
Matahari senja menghias langit, membuat beberapa gumpalan awal berwarna keemasan. Namun, Arnand tidak bersedia menikmati keindahan langit yang tersuguh. Ia lebih memilih untuk mengumpulkan keberanian untuk menyapa gadis yang sedang melayani pembeli di sebuah toko kue.
“Kamu nunggu apa lagi, Nand? Kamu akan terus berdiri di sini sampai tikus dan kucing bersalaman?” gerutu Didik.
“Diam,” tegas Arnand. Ia masih kesal karena harus menunggu Didik berjam-jam sebelum berangkat ke alamat yang diberikan Pak Se Hwan.
Dari tempat mereka berdiri sekarang, terlihat toko kue bernama Khadijah Cake di samping sebuah restoran Turki. Bukan toko kue yang besar. Hanya ada tiga meja di depan rak kue setinggi dada. Sepertinya, jarang orang-orang yang membeli kue makan di sana. Mereka hanya membeli, lalu pergi.
Setelah berhasil menepis keraguannya, Arnand mulai melangkah. Didekatinya toko kue itu. Begitu sampai di depan toko, ia berbalik sejenak untuk menarik napas dan mencoba menyusun kalimat pertama yang akan diucapkan.
Sembari memilih kata yang ada dalam benaknya, Arnand berdiri di belakang seorang pria Turki. Dialihkannya pandangannya ketika So Hyeon memberikan kue pesanan seorang pembeli.
Sepuluh menit kemudian, tibalah giliran Arnand. “Brownies Merindu Nabi dua,” ujarnya, membaca daftar menu yang tertera di papan samping rak kue.
Ada lima macam kue yang ada di daftar menu. Brownies Merindu Nabi, Bolu Perindu Surga, Cupcake Para Musafir, Muffin Jembatan Hijrah, dan Pancake Senandung Shalawat. Nama-nama yang unik sekaligus aneh untuk Arnand.
Pandangan Arnand terpaku pada daftar menu. Ia ragu untuk menatap si pemilik toko. Bahkan, sebutir keringat mulai menetes dari pelipisnya. Entah sejak kapan ia bisa segugup ini hanya untuk menatap seorang gadis.
“Ini pesanannya.” Arnand sontak berbalik ketika mendengar suara itu. Bola matanya bertemu dengan bola mata So Hyeon. Anehnya, gadis itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi yang aneh. Gadis itu tetap tersenyum. Sama seperti ketika melayani pembeli yang lain.
“Aku mau minta maaf,” ujar Arnand tiba-tiba ketika So Hyeon hendak menyebutkan harga kue yang dibeli.
“Untuk?” So Hyeon balik bertanya.
“Untuk kejadian tadi malam.”
“Aku sudah memaafkanmu.”
Arnand terdiam sejenak. Ia bingung harus berkata apa lagi. Namun, ia tidak bisa membiarkan percakapan mereka berakhir begitu saja.
“Kenapa kamu memafkanku dengan mudah? Apa karena kamu tidak ingin berurusan denganku lagi?” Arnand kembali bertanya.
“Apa kamu ingin aku tidak memafkanmu? Kalau begitu, baiklah. Aku tidak memaafkanmu. Sekarang, apa kamu bisa pergi?”
Arnand tersenyum. “Dari cara bicaramu, sepertinya kamu benar-benar belum memaafkanku.”
So Hyeon menarik napas. “Hatiku hanya Allah yang tahu. Kalau kubilang aku sudah memafkanmu, itu berarti aku sudah berusaha untuk memberi maaf. Sekarang, kamu hanya perlu meminta ampunan.”
“Ampunan?”
“Ini bukan masalah antara aku dan kamu saja. Tapi, aku, kamu, dan Dia. Karena kamu sudah melanggar larangannya, itu artinya kamu harus meminta ampunannya. Hanya itu saranku. Sekarang, silakan pergi karena aku harus melayani pembeli lain.”
“Dia siapa yang kamu maksud?”
“Allah.”
Arnand terdiam. Ia merasa bodoh di depan So Hyeon. Bagaimana bisa itu saja tidak bisa ia pahami? Apa efek minuman keras kemarin belum hilang sepenuhnya?
Setelah membayar kue yang dibeli, Arnand pun pergi. Ia menghampiri Didik dengan wajah ditekuk. Ia bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia harus sampai sejauh ini? Apa karena Didik? Entahlah. Yang pasti, ia ingin mencoba lagi dengan cara yang lain. Tidak hari ini, tapi besok.
“Bagaimana?” tanya Didik.
“Makan nih brownis!” ujar Arnand sembari melempar brownis yang dibeli pada Didik.
***
Seperti yang diniatkannya kemarin. Arnand kembali ke toko kue milik So Hyeon. Kali ini ia membawa secarik kertas di tangan. Beberapa kalimat tertulis di sana. Kalimat sederhana, tapi butuh semalaman untuk menyusunnya.
“Muffin Jembatan Hijrah satu,” kata Arnand ketika antriannya tiba.
So Hyeon berbalik sejenak, lalu bergegas. Sama seperti kemarin, So Hyeon benar-benar menunjukkan sikap profesional. Ia tidak peduli siapa yang membeli kuenya. Ia hanya ingin berjualan.
“Apa kabar hari ini?” tanya Arnand.
So Hyeon diam. Ia sibuk membuatkan pesanan Arnand.
“Bukankah tidak sopan kalau seseorang bertanya dan kita tidak menjawabnya?” Arnand sengaja memancing So Hyeon agar mau bersuara. Namun, gadis yang disapa tetap diam. Sembari bersenandung, tangan gadis itu terus bekerja.
“Ini pesanannya. Terima kasih sudah berkunjung ke Khadijah Cake,” ucap So Hyeon sembari memberi kantung plastik berisi kue.
Melihat sikap So Hyeon, Arnand mendengkus kesal. Ia memberikan amplop yang dipersiapkannya lalu pergi.
Sejenak ia menoleh ke belakang. Mulutnya lantas menganga ketika melihat So Hyeon sedang melepas earphone dari telinga. Ia tidak percaya dari tadi So Hyeon mengenakan benda itu. Pantas saja gadis itu tidak merespons apa yang dikatakan Arnand.
Dari jarak yang cukup dekat, Arnand memutuskan untuk memperhatikan gadis yang menjadi incaran Didik itu. Ia berpikir dengan cara apa ia menaklukkan hati gadis seperti So Hyeon. Ah, semua menjadi rumit karena pertemuan pertama yang buruk.
Saat sedang asyik memikirkan sebuah cara, Arnand terkejut melihat So Hyeon mengizinkan seorang lelaki masuk ke dalam toko dan membantunya melayani pembeli. Lelaki memiliki mata yang sipit, alis yang tebal, dan rambut hitam berponi. Itu saudaranya atau kekasihnya?
Semakin lama diperhatikan, So Hyeon tampak sangat akrab dengan lelaki itu. Keduanya mengobrol, tertawa, dan saling membantu. Tampak seperti pasangan yang serasi. Beberapa kali juga terlihat wajah So Hyeon merona ketika lelaki itu mengucapkan sesuatu.
Tidak berapa lama, seorang gadis berjilbab ungu bergabung bersama So Hyeon dan lelaki itu. Tidak seperti So Hyeon, gadis itu terlihat canggung. Gadis itu hanya fokus melayani pembeli tanpa berbicara pada lelaki yang terlihat semakin akrab dengan So Hyeon.
“Siapa dia? Apa dia pacarnya?” gumam Arnand. “Atau laki-laki itu adalah suaminya?”
Arnand menggeleng. Menurutnya, Didik harus melihat semua ini. Diambilnya ponsel untuk mengabadikan momen keakraban So Hyeon dengan seorang lelaki berponi.
Begitu berhasil mengambil foto, Arnand bergegas mengirimnya ke Didik. Tidak lupa disertai tulisan yang berbunyi, “Dik, ada laki-laki berponi yang mau nikung kamu, nih. Poninya alami, tidak dibuat-buat.”
Beberapa detik kemudian, datang jawaban dari Didik. “Memang ada poni yang tidak alami? Dasar aneh! Siapa laki-laki itu? Pacarnya?”
Arnand tertawa. “Mungkin. Tapi, sepertinya lebih dari karena kalau kulihat dari sini, mereka seperti suami istri,” balasnya.
Begitu pesan yang baru saja diketiknya terkirim, Didik langsung menelepon. Sahabatnya itu pasti hendak mengomel karena mengetahui kenyataan yang menyakitkan itu. Namun, Arnand hanya tersenyum lalu menggeser tombol merah. Ia malas mendengar suara Didik untuk hari ini.
***
Apakah masih ada yang masih menunggu update cerita ini? Mohon maaf Gaess karena baru sempat update.
Oh ya, karena ini masih dalam suasana lebaran, aku mau ngucapin, “Minal aidin walfaidzin. Mohon maaf kalau ada salah kata dan perbuatan, baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja.”
Jangan lupa terus ikuti kisah Arnand dan So Hyeon dalam “Semusim di Seoul”. Semoga cerita ini menghibur dan bermanfaat.
Yang penasaran dengan lelaki berponi yang bersama So Hyeon, tunggu part berikutnya, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top