19. Belum Move On
Lyra sampai di depan pintu kamar. Lantas matanya terbuka lebar ketika mengetahui pintu itu tidak dikunci. Giginya bergemeletuk, menahan kesal.
"Mungkin nasibku memang sial," ucapnya, lalu membuka pintu.
Dengan langkah yang amat lemah, Lyra menuju tempat tidur. Begitu tangannya menyentuh kasur yang begitu empuk, bulir bening langsung merembes dari sudut mata. Kekecewaan dan kemarahan dalam dada semakin berkobar hebat.
Ia menatap bayangan dirinya di cermin. Tangannya sontak melepas hijab yang dikenakan. Namun, meski sudah melepas hijab, ia tidak lagi menemukan Lyra. Yang ada di cermin hanya So Hyeon.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu, Lyra tidak lagi menjadi pemilik dirinya sendiri. Ia merasa seperti boneka yang harus mirip dengan gadis bernama So Hyeon. Dari pakaian, sikap, semuanya. Ia harus menjadi So Hyeon agar tidak diterima. Setidaknya, itulah yang ada di pikirannya sekarang.
Saat bertemu kembali dengan So Hyeon, Lyra sama sekali tidak kaget. Ia tahu persis bagaimana kemiripan wajah mereka. Namun, kemiripan itu tidak membuat ia merasa memiliki saudari. Bahkan, ia merasa tidak memiliki keluarga meski sekarang sang ibu ada di dekatnya.
Selama ini, Lyra sudah merasakan bagaimana kejamnya hidup. Bagaimana ia harus banting tulang untuk makan, sekolah, dan jajan. Sialnya, apa yang didapatkannya juga harus diambil oleh orang yang seharusnya membantunya meraih cita-cita.
Untuk Lyra, tidak masalah ia tinggal di mana saja. Ia hanya butuh tempat tinggal yang aman saat ini. Ia akan bekerja keras, mengumpulkan uang, dan pergi ke mana saja. Ia tidak butuh keluarga yang tidak menginginkannya.
Untuk mencapai itu, ia tidak bisa tinggal di bersama sang ayah. Tinggal bersama pria itu sama saja dengan menyia-nyiakan kerja kerasnya selama ini. Karena itu, bersusah payah ia mengumpulkan uang dan mengurus keperluannya diam-diam. Akhirnya, setelah enam bulan, ia berhasil terbang ke Korea.
Namun, siapa yang menyangka kalau kemarahannya malah semakin berkobar melihat ibu dan adiknya hidup bahagia. Sangat berbanding terbalik dengan hidupnya selama ini. Saat ia harus berjuang untuk sesuap nasi, adiknya malah membuka toko kue sendiri. Sungguh hidup yang tidak adil.
Lyra merebahkan tubuhnya. Matanya terpejam, mencoba menahan semua amarah yang minta dilontarkan.
Tidak, Ly. Kamu bisa bertahan. Kamu harus jadi So Hyeon. Hanya untuk sementara, untuk sementara, tegas Lyra dalam hati.
Saat Lyra asyik berbaring, So Hyeon membuka pintu kamar. Gadis itu mendekat, lalu duduk di samping Lyra.
"Apa Kakak ada kegiatan besok?" tanya So Hyeon.
"Apa kamu bisa keluar? Atau, kamu mau kutendang?"
So Hyeon tersenyum. "Aku tahu Kakak tidak suka diatur. Maksudku, Kakak tidak suka disamakan denganku. Kakak boleh punya gaya yang berbeda. Cuma, kita harus ingat, Kak. Bukan hanya kita yang menanggung dosa yang kita lakukan. Orang tua yang sudah berususah payah mendidik kita juga akan menanggung dosa itu."
Lyra bangun dan menatap So Hyeon lekat. "Apa kamu menceramahiku?"
"Bukan."
"Kalau begitu, diam. Kamu tidak berhak menceramahiku sebelum kamu merasakan apa yang aku alami."
So Hyeon hendak menjawab, tapi langsung dipotong oleh Lyra. "Selama ini kamu hidup bahagia di sini, sedangkan aku hidup berdarah-darah. Kamu tahu itu?"
Lyra menarik napas. "Aku tidak akan lama di sini. Aku akan pergi setelah mengumpulkan uang yang cukup."
"Mengumpulkan uang?"
"Sudah. Aku mau istirahat." Lyra meraih earphone, lalu memutar musik.
Merasa percuma berbicara dengan Lyra, So Hyeon beranjak.
"Arnand. Apa dia sedang mendekatimu?" tanya Lyra tiba-tiba.
"Kami berteman."
Lyra tersenyum. "Ternyata dia belum bisa move on," ucapnya.
"Move on?"
"Kamu tidak usah tahu. Cepat pergi. Jangan lupa tutup pintunya." Lyra duduk, memastikan So Hyeon keluar.
***
Setelah dari kamar Lyra, So Hyeon menuju halaman depan. Ia lalu berdiri di bawah pohon sakura. Ditatapnya kelopak sakura yang berjatuhan sembari menikmati udara malam yang dingin.
Perasaan bersalah tiba-tiba memenuhi dadanya sejak kedatangan Lyra. Melihat kondisi kakakknya itu ketika pertama kali bertemu, membuat hatinya merasa perih. Ia tidak bisa berkata apa-apa melihat Lyra datang tanpa membawa apa-apa. Hanya kaus oblong dan celana jin yang dikenakan gadis itu.
Entah seputus apa Lyra sampai terbang ke Korea hanya dengan pakaian seperti itu. Yang So Hyeon tahu, saudarinya itu sangat menderita. Ia tahu itu semua. Namun, bukan berarti ia juga bisa menyetujui sikap Lyra yang acuh tak acuh pada orang tua mereka.
Bunyi klakson yang tiba-tiba terdengar membuat So Hyeon terperanjat. Ia menghela napas, lalu bergegas membuka gerbang.
"Oppa, masukkan aja mobilnya ke dalam," kata So Hyeon melihat Ji Sung turun.
"Tidak usah. Kami cuma sebentar."
"Kami?"
So Hyeon melihat ke belakang Ji Sung. Ternyata, Arnand bersama pemuda itu.
"Ada apa malam-malam ke sini?" tanya So Hyeon. "Apa ada sesuatu yang mendesak?"
"Tadi aku mengajari Arnand Hyung membuat kue. Kuenya sangat bagus dan enak."
Arnand tersenyum mendengar ucapan Ji Sung. "Sebenarnya, aku tidak ada niat ke sini. Tapi Ji Sung memaksa. Ya, aku tahu kalau ini cuma akal-akalannya aja."
So Hyeon menautkan kedua alisnya.
"Sudah. Jangan dipikirkan." Ji Sung berusaha mengalihkan pembicaraan. "Oh ya, Hyungi, cepat berikan kuenya."
Arnand tersenyum melihat Ji Sung salah tingkah. "Aku tidak tahu rasanya seenak apa. Tapi, kata Ji Sung kuenya lumayan enak."
Sepasang tangan langsung meraih pemberian Arnand. Namun, itu bukan So Hyeon, melainkan Lyra yang tiba-tiba datang.
"Terima kasih kuenya. Aku tahu kamu memberikan kue ini karena ada aku di sini. Ternyata kamu belum bisa move on ya, Nand."
"Kak Lyra, jilbabmu," ujar So Hyeon, melihat Lyra keluar dengan rambut hitam panjang tergerai.
"Tidak perlu. Arnand sudah biasa melihatku seperti ini. Iya kan, Nand?" Lyra tertawa sambil memukul lengan Arnand dengan manja.
"Lyra, aku mau bicara," tegas Arnand.
"Kamu lagi mabok? Kita ini lagi bicara, bukan lagi ngomong. Ih, kok kamu jadi lucu, sih? Gemes, deh."
Arnand langsung menarik tangan Lyra untuk menjauh. Setelah merasa apa yang akan dibicarakan tidak terdengar So Hyeon dan Ji Sung, mereka berhenti.
"Kenapa kamu datang kemari?" tanya Arnand dengan sorot mata yang tajam.
"Karena ibuku ada di sini. Kamu sudah tahu itu, 'kan?"
Arnand menarik napas. Ia mencoba mengendalikan emosinya yang mulai kacau. "Oke. Kamu ke sini untuk bertemu ibumu. Tapi, kenapa kamu sok akrab denganku? Apa kamu udah lupa apa yang terjadi di antara kita?"
Lyra tertawa. "Nand, kamu belum move on?"
"Hah?"
"Kalau kamu udah move on, kamu pasti nggak merasakan apa-apa sekarang. Kita memang tidak memiliki hubungan seperti yang dulu, tapi kita masih bisa berteman."
Arnand mengusap wajahnya. "Teman? Aku tidak sudi berteman dengan wanita murahan yang menjual dirinya untuk mendapatkan hidup mewah!"
Bola mata Lyra langsung memerah. Wanita murahan? Ia tidak pernah memikirkan ada kata itu melekat pada dirinya di mata seseorang. Namun, ia tidak bisa membantah. Memang benar ia membatalkan pernikahan dengan Arnand demi seorang pria yang lebih mapan.
***
Oh ya, tulisan ini sistemnya langsung posting, ya. Belum sempat diedit. Kalau sudah selesai, baru akan diedit sekaligus.
Untuk yang berkenan menyampaikan kritik dan saran, silakan ke :
- IG : sahrialpratama1777
- FB : Sahrial Pratama
Terima kasih sudah berkenan membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top