18. Makan Malam yang Canggung



Untuk pertama kali, So Hyeon merasa makan malam terasa canggung. Ayah dan ibunya beberapa kali saling melirik. Hanya gadis di depannya yang terlihat santai seolah tidak peduli apa yang dirasakan oleh orang yang duduk bersamanya.

"Apa kalian tidak akan makan?" Lyra meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu menatap So Hyeon, Se Hwan, dan Ati. "Apa kedatanganku membuat makanan di rumah ini menjadi tidak enak?"

"Tidak, Sayang." Ati mengelus punggung Lyra. "Kami sangat senang kamu datang. Kami cuma tidak percaya kalau kamu bisa berkumpul dengan kami. Kami sangat merindukanmu."

Lyra tertawa sinis. "Apa ayah tiriku benar-benar menginginkan kedatanganku?"

Se Hwan terbatuk. Ia langsung menatap gadis yang baru saja bicara. "Walaupun kalian bukan anak kandungku, aku tetap menyayangi kalian."

"Tapi, aku dan So Hyeon berbeda. Dia putri kesayangan, sementara aku putri yang dibuang."

"Lyra-ya," sela Ati.

"Aku minta tolong, Bu. Kalau Ibu memang menyayangiku, jangan pernah memanggilku dengan cara bicara seperti itu. Aku sangat membencinya. Itu mengingatkan kalau aku ditinggalkan bersama ayah seorang pemabuk dan miskin. Seorang ayah yang hanya tahu menghabiskan uangnya untuk wanita asusila. Sementara ibuku pergi ke Korea, menikah, dan hidup bahagia. Aku sakit kalau mengingatnya."

So Hyeon tidak bisa tinggal diam. Ia berdiri dan menatap tajam pada Lyra. "Eonni, kalau datang hanya untuk menyakiti Eomma, sebaiknya eonni pergi dari sini."

"Jangan bicara dengan cara seperti itu!" bentak Lyra. "Apa kamu tidak dengar? Aku tidak menyukainya."

So Hyeon menarik napas. "Aku tahu apa yang Eon ... Kak Lyra rasakan. Aku tahu semuanya. Tapi, itu semua bukan keingan Ibu."

"Apa benar seperti itu? Kok, aku tidak yakin, ya?"

"Jangan menuntut hal yang berlebihan pada Ibu. Jasa Ibu sewaktu melahirkanmu saja tidak akan pernah bisa kamu balas!"

"Sudah?" Se Hwan berdiri. "Sekarang, aku yang bicara. So Hyeon-ah, duduk."

Seribu kalimat masih ingin diucapkan So Hyeon untuk membela Ati, tapi ia paling tidak bisa membantah ucapan Se Hwan. Dengan mata melotot tajam, ia pun duduk.

"Aku tidak tahu bagaimana ayahmu mengajarimu. Tapi, kamu sudah datang ke sini ... ke rumahku. Dan, apa kamu tahu kalau aku yang berkuasa di sini?"

Lyra berpaling pada Se Hwan. Ucapan ayah tirinya sukses membuat telinganya terasa panas.

"Oke. Sekarang juga, aku akan pergi."

Se Hwan tersenyum. "Lyra-ya, apa kamu tidak mengerti dengan apa yang Appa katakan? Di rumah ini, Appa yang berkuasa. Yang masuk dan yang keluar, harus seizin ... siapa?"

"Aku tidak peduli."

Tanpa peduli ucapan Se Hwan, Lyra berdiri. Ia bergegas menuju kamar.

Namun, baru beberapa langkah meninggalkan meja, Se Hwan berkaca, "Lyra-ya, apa kamu bisa keluar dari rumah ini tanpa kunci? Ada dua pintu yang harus kamu lewati kalau mau keluar. Pintu depan dan pintu keluar. Dan ... kuncinya ada di sini."

Lyra berbalik. Matanya melotot ketika melihat Se Hwan tersenyum sambil menunjukkan kumpulan kunci di tangan. "Oh ya, Appa lupa bilang. Kamu belum memegang kunci kamarmu, 'kan? Kuncinya ada di sini. Tadi Appa minta So Hyeon mengunci kamarmu. Takut nyamuk masuk."

Mulut Lyra terbuka lebar.

"Kalau kamu mau kunci kamarmu. Duduk dan habiskan makan malammu sekarang."

Melihat Lyra masih bergeming, Se Hwan mengulang ucapannya. "Duduk dan habiskan makan malammu sekarang. Atau ... ucapkan selamat tinggal untuk barang-barangmu."

Lyra menghela napas. Ia mengaku kalah. Dengan langkah yang berat, ia mendekati meja. Ia kemudian menghabiskan makan malam tanpa bersuara.

"Mana kuncinya?" tanya Lyra setelah menghabiskan makanan yang ada di piringnya.

So Hyeon dan Ati yang belum selesai makan, sontak mengangkat wajah.

"Kalau kamu mau meminta sesuatu, minta dengan baik. Jangan membentak dan memerintah."

"Di mana kuncinya?" tanya Lyra lagi dengan nada yang lebih lembut.

Namun, Se Hwan belum puas. Ia kemudian menggeleng. "Karena aku orang Korea, kamu harus memanggilku appa. Perlu diingat, aku tidak peduli kamu suka atau tidak."

"Tidak. Aku tidak mau."

"Ucapkan selamat tinggal pada barang-barangmu."

"Tidak."

"Kalau begitu, ikuti apa yang aku katakan."

"Tidak."

"Terserah."

Ati hanya diam melihat apa yang dilakukan Se Hwan. Ia tahu kalau suaminya itu tidak akan menyakiti Lyra. Meski Lyra bukan anak kandung Se Hwan, Ati yakin kalau pria yang telah bersamanya selama dua puluh tiga tahun lebih itu punya maksud yang baik.

Untuk beberapa saat, Lyra bergeming. Ia ingin marah, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Menghancurkan barang-barang rumah? Ah, tidak. Itu bukan tindakan yang tepat. Malah ia yang akan masuk penjara jika melakukannya.

"Baiklah. Appa ke kamar duluan. Baca buku bentar, lalu tidur." Se Hwan berdiri setelah menghabiskan makanannya. Ia tidak peduli pada Lyra yang sejak tadi berdiri di sampingnya.

Saat Se Hwan hendak melangkah, Lyra langsung mengadang. "Ada apa?"

"Kuncinya."

"Kamu tahu bagaimana cara mendapatkannya, 'kan?"

Bola mata Lyra berputar. "Berikan saja, apa susahnya, sih?"

"Apa susahnya juga mengatakan 'appa'. So Hyeon-ah, apa kau kesulitan mengatakan 'appa' waktu pertama kali di Korea?"

"Tidak," tegas So Hyeon.

"Lihat. Waktu itu So Hyeon masih sangat kecil, tapi dia tidak kesulitan mengatakan 'appa'."

"Jangan samakan aku dengan dia."

Se Hwan tertawa. "Aku tidak melihat perbedaan di antara kalian. Bahkan, wajah kalian sama. Dan yang terpenting, kalian berdua adalah putriku. Putri-putriku yang cantik."

Lyra terdiam. Sudah lama sekali ia tidak mendengar kata 'putriku'. Selama ini, ayahnya selalu membentak dan bertanya berapa uang yang dihasilkannya tiap akhir bulan. Hanya umpatan dan kalimat-kalimat kasar yang diingatnya dari sang ayah.

"Appa."

Satu kata itu berhasil membuat Se Hwan, Ati, dan So Hyeon terhenyak. Mata mereka serentak tertuju pada gadis yang sedang menatap lantai.

"Aku minta kuncinya."

Perlahan, Se Hwan mengulurkan kunci pada Lyra. Satu kata yang ingin ia dengar sudah terucap. Dan, itu sudah cukup untuk malam ini.

Begitu mendapatkan kunci, Lyra langsung berlari. Ia tidak menoleh sedikit pun ke belakang.

"Appa, kunci apa yang Appa berikan pada Lyra Eonni? Tadi Appa menyuruhku meletakkan kunci di kamarnya, bukan menguncinya."

Se Hwan tertawa. "Itu kunci gudang," ucapnya dengan santai.

"Apa? Jadi, kamarnya Lyra tidak dikunci?"

Se Hwan langsung menggeleng. "Tidak. Pintu depan dan pintu pagar juga tidak dikunci."

Ati lantas menggeleng.

"Mau bagaimana lagi? Jika tidak seperti itu, Lyra tidak akan diam. Dia akan pergi begitu saja." Se Hwan mendekati Ati. Digenggamnya tangan istrinya itu. "Aku tahu kamu sangat merindukan Lyra. Jadi, tenang saja. Aku tidak akan membiarkannya pergi dari sini begitu saja. Akan kubuat dia betah tinggal di sini."

"Yeobo...."

"Aku berharap belum terlambat untuk mendidiknya menjadi lebih baik. Walaupun aku bukan ayah kandungnya, aku akan berusaha untuk menjadikannya putri yang salihah."

Ati langsung mencium tangan Se Hwan dengan mata berkaca-kaca. Sementara itu, So Hyeon mengalihkan pandangan, menyembunyikan bulir bening yang telah membasahi pipi. Sungguh, ia dan ibunya bersyukur dipertemukan dengan sosok yang bisa melindungi mereka.

***

Yang penasaran kenapa Lyra bisa kelempar dari Indonesia ke Korea, tunggu part berikutnya, ya. Jangan lupa like, komen, dan share.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top