15. Sisi Lembut

🍁🍂🍂🍂🍁

Hari ini salah satu karyawan toko Ji Sung yang biasa membuat kue tidak hadir. Jadi, terpaksa Ji Sung sendiri yang harus ikut turun ke dapur. Memang akhir-akhir ini penjualan kuenya mengalami peningkatan karena baru seminggu yang lalu ia membuka pemesanan via online. Karena itu, ia langsung mengajak Arnand begitu dapat kabar dari So Hyeon kalau pemuda itu sedang butuh pekerjaan.

Hyung, pakai ini,” kata Ji Sung memberikan celemek, sarung tangan, penutup kepala, dan masker.

Melihat Ji Sung yang begitu terburu-buru, Arnand pun bergegas mengenakan apa yang ada di tangannya. “Apa yang harus kukerjakan?” tanya Arnand setelah selesai.

Hyung bisa memecahkan telur yang ada di rak itu, lalu kocok pakai mixer.”

“Berapa?”

“Seratus butir, Hyung.”

“Apa? Seratus?” ujar Arnand tidak percaya.

“Iya. Satu kali mixer sepuluh butir ya, Hyung.”

Arnand mengangguk. Ia tidak mau terus bertanya dan dianggap bodoh oleh Ji Sung. Ia ingin membuktikan kalau ia bisa diandalkan.

Diambilnya sepuluh butir telur yang ada di rak. Lalu dipecahkannya dengan hati-hati. Karena belum pernah menggunakan mixer, Arnand pun curi-curi pandang pada karyawan lain yang sedang menggunakan alat yang sama.

“Mampus!” ujar Arnand spontan ketika pertama kali menyalakan mixer. Ia terkejut dengan suara dan perputaran mixer yang tiba-tiba. Untunglah tidak ada yang mendengar apa yang dikatakannya karena suasana dapur memang sangat berisik.

Meski hanya mengerjakan satu pekerjaan. Arnand mulai merasa lelah karena pekerjaan itu terus-menerus berulang. Setelah selesai mengaduk telur, Ji Sung kembali memintanya mengaduk tepung hingga berbentuk adonan. Kali ini Arnand benar-benar lelah karena membuat adonan itu sangat dibutuhkan tenaga.

Begitu jam istirahat tiba, Arnand lantas menghabiskan satu gelas air dalam satu kali minum. Namun, itu saja tidak cukup. Perutnya juga perlu diisi. Tetapi, ia enggan untuk mengambil kue yang ada di sekelilingnya.

Hyung, ayo keluar! Kita makan dulu.” Ji Sung menghampiri Arnand.

Arnand hanya mengangguk meski dalam hati ia melompat girang. Tepat sekali Ji Sung mengajaknya makan sekarang.

Keduanya pun meninggalkan toko dan menuju restoran halal terdekat. Karena jarak yang tidak jauh, Arnand dan Ji Sung memutuskan untuk berjalan kaki. Menikmati suasana musim gugur di siang yang cerah sepertinya juga menyenangkan.

“Indah ya, Hyung,” kata Ji Sung ketika melewati jalan yang dihiasi bunga sakura.

“Iya. Ini pertama kali aku melihat kelopak bunga sakura berguguran seperti ini,” sahut Arnand, menengadahkan tangannya untuk menangkap sehelai kelopak bunga sakura yang jatuh.

Ji Sung tersenyum. “Aku memang tiap tahun melihatnya, Hyung. Tapi, tetap saja aku tidak pernah bosan.”

Sebuah pesan singkat yang masuk ke ponsel Ji Sung menyela percakapan mereka. Arnand terus berjalan sembari menikmati sakura yang berguguran, sementara Ji Sung membalas pesan singkat yang sepertinya terus berlanjut.

Tiba-tiba, lengan Ji Sung ditarik hingga ponselnya hampir jatuh. “Kenapa?” tanyanya, mengelus dada karena terkejut.

“Kamu berjalan di tengah. Laki-laki itu sudah memintamu memberi jalan, kamu malah tidak mendengarnya,” jelas Arnand.

Ji Sung menoleh ke belakang. Ia menggeleng ketika melihat seorang pria mengendarai sepeda.

“Itu dari siapa sampai kamu tidak dengar tadi?” Arnand kembali bertanya.

“Maaf, Hyung.”

“Itu dari So Hyeon?” tebak Arnand sembari tersenyum tipis.

Bukannya menjawab pertanyaan Arnand, Ji Sung malah menunjuk ke depan. “Itu restorannya, Hyung. Ayo ke sana. Aku sudah sangat lapar,” ucapnya, lalu berlari kecil.

Arnand tersenyum lebar. Ia tahu kalau tebakannya tidak salah. Sembari menggeleng, diikutinya Ji Sung menuju restoran yang dimaksud.

***

Hari yang melelahkan dan juga menyenangkan. Setelah sekian lama, akhirnya Arnand merasakan kembali bagaimana hidup. Tidak seperti yang dirasakannya akhir-akhir ini, kosong dan sepi.

“Itu kameramu?” tanya Arnand ketika Ji Sung membawa benda berlensa itu dari ruangannya.

“Iya, Hyung. Aku mau memotret kue buatan Ati Ahjumma, nanti. Oh ya,  Hyung suka memotret?”

Arnand mengangguk pelan, lalu keluar toko. Dihirupnya udara malam yang semakin dingin. “Aku bekerja sebagai fotografer di Jakarta,” ucapnya ketika Ji Sung berdiri di sampingnya.

“Beneran, Hyung? Kenapa tidak bilang dari awal?” Ji Sung memukul lengan Arnand seakan mereka sudah sangat dekat. Namun, melihat sorot mata Arnand yang tajam, Ji Sung langsung berkata, “Aku minta maaf, Hyung.”

Tawa Arnand pecah. Ia mengambil kamera di tangan Ji Sung, menyalakannya, lalu mengambil sebuah foto. “Ekspresimu bagus di foto ini. Sangat natural,” ujarnya, menunjukkan foto yang baru saja diambil.

Hyung!” protes Ji Sung ketika melihat ekspresi wajahnya seperti anak kecil ketahuan mencuri di foto yang baru saja diambil Arnand. “Hyung, hapus foto itu sekarang.”

“Jangan, kita tunjukkan dulu pada So Hyeon. Dia pasti suka melihatnya.” Arnand berlari menuju mobil.

“Jangan, Hyung!” teriak Ji Sung mengejar.

Namun, Arnand tidak ada niat sama sekali mengembalikan kamera milik Ji Sung. Ia berlari menuju mobil sambil terus memeluk erat kamera itu. “Ayo berangkat! Nanti kemalaman,” teriak Arnand ketika ia mencoba membuka pintu mobil yang dikunci.

Dengan bibir manyun, Ji Sung mendekat. Ia bergegas menyalakan mobil sebelum mereka kemalaman seperti yang dikatakan Arnand.

Di dalam mobil, Arnand masih saja tertawa dengan kamera masih di tangannya. Ia seakan sangat senang melihat ekspresi kesal Ji Sung.

Selama perjalanan menuju rumah So Hyeon, Ji Sung terus meminta Arnand menghapus fotonya. Namun, apa pun yang dikatakan Ji Sung, Arnand sama sekali tidak mau mendengar. Arnand bahkan menutup telinga dengan earphone.

Begitu sampai di rumah So Hyeon, Arnand langsung turun. Ia berlari menuju pintu dan bergegas mengetuk pintu. Kali ini ia beruntung karena yang membukakan pintu adalah So Hyeon.

“Ada sesuatu yang mau kutunjukkan,” kata Arnand tanpa basa-basi.
“Apa? Surat lagi?”

“Aku kan sudah berjanji tidak akan memberikan surat lagi kalau kita sudah berteman.”

“Lalu apa?”

Ketika Arnand mengulurkan kamera ke So Hyeon, terdengar teriakan Ji Sung. “Arnand Hyung, jangan!”

Arnand lantas menahan Ji Sung yang hendak mengambil kamera dari tangan So Hyeon. Tangan Ji Sung mencoba menggapai kamera, tapi sia-sia. So Hyeon sudah melihat foto itu.

“Ji Sung Oppa, kenapa ekspresimu seperti ini?” tanya So Hyeon, tidak bisa menyembunyikan senyumannya.

Arnand tertawa lebar, sementara Ji Sung garuk kepala.

“Ayu masuk,” kata So Hyeon akhirnya.

“So Hyeon-ah, apa kamu bisa menghapus foto itu?” tanya Ji Sung.

Arnand mengambil kamera dari tangan So Hyeon, lalu menghapus foto Ji Sung dari sana. “Sudah. Kamu tidak perlu cemas. Lagi pula, ini cuma foto. Tidak akan memengaruhi perasaannya padamu.”

“Perasaan siapa?” tanya So Hyeon.

“Ah, seseorang. Oh ya, apa aku boleh meminta sesuatu?” kata Arnand dengan ragu.

“Meminta apa, A?”

“Sesuatu yang ada di dapur.”

So Hyeon mengangguk, berpikir Arnand akan meminta makanan karena lapar. Namun, ternyata Arnand hanya mengambil sisa makanan yang ada di piring.

“Untuk apa itu, Hyung?” tanya Ji Sung ketika Arnand dan So Hyeon kembali dari dapur.

“Tadi aku lihat ada kucing di depan pagar.” Arnand berlari kecil ke tempat yang dimaksud. Benar, kucing yang dikatakannya masih di sana. Lantas diberikannya makan kucing itu. Bahkan, ia menunggu kucing itu menghabiskan makanan yang diberikan. Terkadang,diusapnya juga kepala kucing itu dengan lembut.

“Apa itu dia?” tanya So Hyeon. Ia tidak percaya kalau Arnand punya sisi lembut. Terlebih lagi pada hewan. Yang ada di kepala So Hyeon tentang Arnand adalah seorang berandal yang tidak punya sopan santun dan tidak punya rasa kasihan.

🍁🍂🍂🍂🍁

Ternyata, Arnand itu punya sisi lembut juga, lho. Yang mau kenal Arnand lebih dalam lagi, tunggu part berikutnya, ya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top