09. Tujuanku

“Sial!”

Arnand menendang kerikil di depannya. Mulutnya berkomat-kamit mengucap kalimat-kalimat umpatan yang ada di kepalanya sembari terus berjalan.

Hari ini, Didik terpaksa pulang lebih awal dari rencana. Sahabatnya itu diminta segera kembali ke Indonesia karena ada beberapa masalah. Dan, ia meminta agar Arnand melakukan apa yang sudah mereka sepakati, yakni menjaga So Hyeon dari lelaki lain.

Lewat telepon, Arnand dituntun Didik menuju toko kue So Hyeon. Harus naik apa, turun di mana. Semua dijelaskan Didik dengan sabar. Walaupun seperti itu, Arnand tetap hawatir tersesat. Namun,  akhirnya dengan bermodalkan nekat, ia pun memberanikan diri hingga berhasil sampai di tujuan.

Dihirupnya udara musim gugur yang dingin untuk menenangkan detak jantungnya. Kemudian, ia mendekati antrean yang cukup panjang karena bertepatan dengan istirahat makan siang.

Tujuan Arnand ke toko adalah memberikan surat seperti biasa. Akan tetapi, hari ini ia tidak melihat gadis yang ingin di jumpai di sana. Yang melayani pembeli hari ini adalah gadis lain.

“Apa kamu mencariku?” Sebuah suara berhasil mengejutkan Arnand. Ia lantas berbalik sembari melangkah mundur.

“Aku mau ….”

“Mau memberiku surat lagi?” sambung gadis itu.

“Iya.”

Gadis di depan Arnand mendengkus kesal. “Aku capek menerima surat-surat itu. Dan, aku merasa terganggu. Apa kamu bisa berhenti melakukannya?”

Tanpa berpikir panjang, Arnand langsung menggeleng. “Aku tidak bisa. Maaf.”

“Apa yang harus kulakukan agar kamu berhenti?”

“Kamu bersahabat denganku, maka aku akan berhenti.” Arnand menyilangkan tangan di dada.

So Hyeon menatap tajam. Ia menyerah berhadapan dengan lelaki di depannya. Dilewatinya lelaki itu dan bergegas menuju toko karena Nela sudah kewalahan di sana.

“So Hyeon!” panggil Arnand. Diberikannya sebuah amplop. “Ini untukmu.”

“Lagi?”

Arnand hanya tersenyum ketika So Hyeon menatapnya tidak percaya. Diletakkannya amplop berisi surat itu ke dalam tas gadis di depannya. “Semoga harimu menyenangkan,” ucapnya, tersenyum lebar.

Tidak peduli dengan surat pemberiannya tetap disimpan atau dibuang So Hyeon, Arnand pergi. Ia berjalan menyusuri jalan sekitar toko, menikmati dedaunan yang menguning.

Arnand terus berjalan hingga tidak tahu entah sudah di jalan mana ia sekarang. Yang ia tahu, dadanya terasa sesak dan langkahnya semakin berat. Ditatapnya sekeliling dengan sendu, tidak seperti biasa. Kali ini, matanya benar-benar memancarkan kesedihan.

Di bawah pohon maple yang menguning, Arnand berhenti. Hatinya terasa seperti ditusuk ribuan pedang ketika sekumpulan pemuda melewatinya dengan tawa gembira. Suara tawa itu sungguh menjengkelkan untuknya karena memaksanya kembali ke masa ia masih dikelilingi banyak orang.

Tertawa sesuka hati dan berbuat sekehendaknya. Arnand rindu masa-masa itu. Namun, tidak ada jalan kembali ke sana. Sekarang, di negeri asing, ia sendiri.

Arnand memutuskan untuk duduk. Disandarkannya punggungnya ke pohon maple. “Apa yang harus kulakukan sekarang? Dan, apa yang kulakukan di sini?” gumamnya, menarik napas lelah seolah ada beban berat di pundaknya.

Lama Arnand duduk di sana. Hingga malam tiba, ia tetap enggan untuk beranjak. Untuk menepis lapar, ia membeli air minum dan sepotong roti lalu kembali duduk di tempat yang sama. Menyedihkan. Di negeri asing, ia tidak tahu harus dengan siapa mencurahkan apa yang ada di hatinya.

Saat sedang menatap langit malam, ponselnya berdering. Tante Hera yang menelepon.

“Iya, Tante?”

“Kamu di mana, Nand? Kamu tidak ….”

“Tidak, Tante. Arnand tidak minum-minum.” Arnand membuang napas kesal. Ia tahu dia bukan orang yang baik, tapi tiap detik dituduh dalam maksiat seperti ini, rasanya sangat menyakitkan. Ini seperti ia tidak ada yang percaya kalau ia bisa berubah. “Arnand akan pulang, Tante. Bentar lagi.”

“Iya. Tapi, sekarang kamu di mana?”

“Di jalan. Bentar lagi Arnand pulang, Tante.” Arnand menutup telepon tanpa menunggu apa yang dikatakan Tante Hera berikutnya.

Namun, bukannya langsung bergegas pulang, Arnand tetap duduk, menatap langit malam. Entah kenapa ia merasa nyaman menatap langit. Di rumah Tante Hera, Arnand paling suka di bawah pohon sakura. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam duduk di sana sembari menikmati langit.

“Argh!”

Suara teriakan mengejutkan Arnand. Ia lantas berdiri dan berlari kecil untuk menghampiri asal suara itu. Namun, begitu melihat si pemilik suara, langkah Arnand terhenti.

“So Hyeon?”

Bola mata Arnand berputar. Ia berpikir sejenak, maju atau mundur. Namun, suara rintihan So Hyeon yang kembali terdengar otomatis membuat kakinya bergerak maju. “Apa kamu tidak apa-apa?” tanyanya.

“Iya. Aku tidak apa-apa. Pergilah.” So Hyeon berusaha berdiri, tapi tidak bisa. Kakinya terkilir sehingga terasa sakit digerakkan. Ia menyesalkan kebodohannya karena tidak melihat jalan tadi. Entah kenapa ia harus memperhatikan Arnand yang sedang menatap langit.

Mengetahui So Hyeon tidak akan jujur, Arnand memutuskan untuk bertindak lebih awal. Diberdirikannya sepeda So Hyeon yang tergeletak di jalan. Kemudian, ia mengulurkan tangan untuk  membantu gadis di depannya berdiri. Akan tetapi, gadis itu sepertinya enggan untuk menyambut uluran tangannya.

“Kalau kamu tidak mau memegang tanganku, tidak masalah.” Arnand berbalik, hendak mencari sesuatu. Begitu melihat potongan kayu berukuran kecil, ia berkata, “Itu dia.”

“Kalau seperti ini, tidak masalah, ‘kan?” ujarnya, mengulurkan kayu itu untuk membantu So Hyeon berdiri. “Kamu pegang kayunya agar kita tidak perlu bersentuhan. Bisa, kan?”

So Hyeon tetap ragu. Ia masih bimbang dengan sikap Arnand. Ia tidak percaya kalau Arnand ikhlas membantunya. Akan tetapi, kayu itu? Apa itu perlu?

“Apa yang harus aku lakukan agar kamu mau kubanti?” Arnand masih tetap menunggu So Hyeon menyambut uluran kayu di tangannya. “Pegang kayunya dan berdiri dari sana. Semua orang mulai melihat ke arah kita.”

Kali ini So Hyeon mengaku kalah. Diraihnya ujung kayu di tangan Arnand. Begitu kayu ditarik oleh Arnand, ia pun berdiri dengan tegak.

“Tidak masalah kalau aku yang antar, ‘kan? Atau kamu mau menelepon calon suamimu yang berponi itu?” tanya Arnand. Dengan percaya diri, ia naik ke sepeda. “Kalau aku saranin sih, jangan. Tidak enak merepotkan orang malam-malam begini.”

So Hyeon menelan ludahnya. Sungguh, ia tidak punya alasan untuk melawan Arnand kali ini. Ditahannya rasa sakit di kakinya, lalu duduk di boncengan sepeda.

“Awas jatuh, ya.” Arnand memperingatkan.

“Maksudnya?”

“Aku tidak memintamu untuk memelukku. Tapi, kamu bisa memegang jaketku dari belakang.”

Karena So Hyeon tidak merespons, Arnand pun mulai mengayuh sepeda. Sudut bibirnya bergerak, membentuk senyum tipis ketika ia merasa jaketnya tertarik ke belakang. Ia tidak merasakan tangan So Hyeon, tapi ia bisa merasakan gadis itu memegang jaketnya.

Ini mungkin sebuah keberuntungan untuk Arnand. Dengan adanya So Hyeon, ia bisa pulang tanpa menelepon Didik. Ketika tidak tahu harus belok ke mana, ia tinggal bertanya pada gadis di boncengannya. Hanya saja, mengayuh sepeda dengan jarak yang cukup jauh, cukup membuatnya kelelahan dan bermandikan keringat. Namun, tidak masalah selama ini bisa membantu rencananya untuk mendekat So Hyeon dengan Didik.

***

Hari ini, Semusim di Seoul akan double update, ya.

Jadi, tunggu part selanjutnya nanti malam.

Setelah baca, jangan lupa tinggalkan kritik dan saran, ya.

Terima kasih.

:)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top