07. Sepi

Embusan angin yang lembut di pagi hari menemani Arnand kecil. Ia mengikat tali sepatu sembari menunggu susu yang disuguhkan sang ibu berkurang panasnya.

Ketika Arnand masih mengikat tali sepatu, ibunya datang lalu berkata, “Wah, anak mama hebat, ya. Sudah bisa mengikat tali sepatu sendiri.”

Mendengar pujian itu, dagu Arnand otomatis terangkat. Ia menjawab, “Arnand kan bukan anak kecil lagi, Ma.”

“Berarti semuanya sudah bisa sendiri, dong?”

Arnand mengangguk tanpa ragu. “Mandi, makan, minum, tidur. Arnand bisa sendiri, Ma.”

“Jadi, kalau Mama tinggal, Arnand sudah bisa, ya?”

“Mama mau pergi?” Perhatian Arnand sepenuhnya tertuju pada mamanya. “Arnand ikut ya, Ma. Arnand tidak suka sendiri.”

Mamanya tersenyum, lalu mencolek hidung Arnand. “Anak Mama, anak yang hebat, ‘kan? Semua udah bisa sendiri. Jadi, tanpa Mama pun, Arnand pasti bisa.”

“Tidak mau.” Arnand memeluk erat mamanya. “Memangnya, Mama mau ke mana?”

“Hmm … Mama mau pergi ke tempat yang jauh. Jauh sekali.”

“Nah, kan? Arnand tidak mau. Mama tidak boleh pergi,” tegas Arnand.

Mamanya tersenyum simpul lalu melepas pelukan Arnand. Ia berdiri, kemudian melangkah mundur.

“Ma, Mama mau ke mana?” tanya Arnand, menatap mamanya yang terus mundur menuju pintu pagar rumah.

“Arnand ikut, Ma!” teriak Arnand, buru-buru berdiri. Tidak ia pedulikan susu yang jatuh dari meja karena tidak sengaja disenggolnya. “Ma, Arnand ikut!”

Namun, Arnand kecil tersandung batu hingga lututnya berdarah. Lantas air matanya bercucuran karena mamanya tidak datang membantu. Mamanya malah terus mundur dengan butir air mata yang tidak kalah mengalir deras.

“Ma, Arnand ikut! Tunggu Arnand, Ma!” Arnand kembali berteriak. Dipaksanya untuk berdiri meski kakinya merasa sakit. Akan tetapi, ia malah berlari menuju cahaya yang sangat menyilaukan hingga ia terpaksa menutup mata.

“Ma, Arnand ikut!”

Arnand membuka mata. Napasnya tersengal, seperti baru habis berlari beratus-ratus meter. Ditatapnya sekeliling dengan kening berkerut. Seingatnya ia sedang berada di teras rumah hendak berangkat sekolah. Namun, yang dilihatnya sekarang adalah kamar yang sebenarnya bukan miliknya.

“Apa aku cuma bermimpi?” gumamnya. “Ya, aku hanya bermimpi.”

Meski sudah menegaskan kalau ia hanya bermimpi, perasaan Arnand tetap tidak bisa tenang. Ia bergegas turun dari tempat tidur dan langsung menuju ruang tengah. Dihampirinya telepon yang ada di sudut rumah. Namun, ia ragu. Apa perlu ia menelepon hanya karena mimpi?

Lima menit berdiri di dekat telepon, masih belum bisa ia mengambil keputusan. Hubungannya yang tidak terlalu dekat dengan mamanya membuat ia merasa kalau ini bukan dirinya. Akan tetapi, sekali lagi teriakannya yang begitu nyaring saat di mimpi itu kembali terngiang di telinga. Ia berdecak kesal, lalu meraih gagang telepon.

Dengan cepat ditekannya nomor ponsel mamanya. Entah ini suatu keberuntungan atau bukan, telepon langsung tersambung. Terdengar suara wanita yang baru beberapa hari ia tinggalkan.

Arnand menjauhkan gagang telepon. “Itu hanya mimpi,” tegasnya setelah mendengar suara mamanya.

Ia pun kembali ke kamar. Diputuskannya untuk menuliskan beberapa kalimat yang akan diberikan pada So Hyeon. Hanya ini ide yang ada di kepalanya sekarang karena untuk berbicara langsung, sepertinya itu hal yang mustahil.

Di saat baru menuliskan beberapa kata, ponselnya berdering. Buru-buru dicarinya ponsel itu karena ditutupi selimut yang berantakan. Begitu melihat nama yang tertera di layar ponsel, ekspresi wajah Arnand langsung berubah.

“Kenapa, Dik?” tanyanya dengan malas-malasan.

“Nand, aku punya ide buat ngedekati So Hyeon.”

“Kamu punya ide apa? Jangan aneh-aneh, deh.”

“Nggak aneh. Ini mungkin ide paling cemerlang yang tidak akan terpikirkanmu.”

“Idenya apa?”

“Kamu tunggu aja. Aku bakal datang ke rumah ommu.”

Arnand menggeleng, lalu melempar ponsel ke tempat tidur. Meski sudah ada ide dari Didik, ia tidak bisa berpangku tangan. Ia kembali menguntai kata untuk diberikan pada So Hyeon. Ia ingin hubungan Didik dan So Hyeon segera ada kemajuan agar bisa lepas dari teror Didik.

***

Dua jam kemudian, Arnand dan Didik sudah ada dalam mobil yang sama. Kening Arnand membentuk lipatan karena tidak suka dengan ide Didik yang dibicarakan di telepon. Ia tidak suka mengenakan baju koko dan celana yang longgar. Sebenarnya, Didik juga membawa dua buah peci. Namun, Arnand menolak keras mengenakannya.

“Kamu beneran tidak mau memakainya, Nand?” Didik kembali membujuk.

“Sama sekali tidak. Lagian, kamu yang mau dekat sama So Hyeon, kenapa aku harus ikut-ikutan memakai ini?” protes Arnand.

“Bukan begitu. Aku kan datang sama kamu. Jadi, kamu tidak boleh tampil beda.”

“Lalu, kenapa kamu tidak sendiri saja yang pergi?”

“Kamu tahu, dua hari lagi aku akan balik ke Indonesia. Jadi, selama aku di Indonesia tolong kamu jaga dia, ya. Kamu awasi laki-laki yang dekat sama dia.”

Arnand memutar bola matanya. “Jadi, aku harus jagain jodoh orang?”

“Hitung-hitung ibadah. Sudah banyak dosa, ‘kan? Sesekali beramallah.”

“Ibadah dari Hongkong?” ketus Arnand, menatap ke luar jendela mobil. “Oh ya, Dik. Apa kamu akan balik ke Korea?”

“Tentu saja. Aku akan menjemput So Hyeonku.”

“Kalau kamu pulang ke Indonesia, tolong lihat mama, ya.” Kalimat itu keluar dari mulut Arnand begitu saja. Tatapan kosongnya masih tertuju ke luar jendela. Didik yang mendengar apa yang dikatakan Arnand sampai melihat ke samping karena tidak percaya dengan apa yang ditangkap telinganya.

Didik tersenyum. Ia tahu Arnand mulai merasakan apa yang namanya kesepian. Saat di Jakarta, Arnand dikelilingi orang-orang yang menyayanginya meski ia sendiri tidak peduli. Namun, di sini tidak banyak yang peduli padanya. Tidak ada yang selalu menegur setiap tingkah nakalnya seperti yang dilakukan mamanya.

Sampai di toko kue So Hyeon, Arnand masih enggan untuk beranjak. Ia sudah betah dengan lamunannya. Hingga suara nyaring di tengah antrian pembeli menyita perhatian Arnand. Lantas ia turun dari mobil dan berlari ke arah keramaian.

“Kenapa, Dik?” tanya Arnand, menatap gadis yang sedang memegang perut.

“Tidak tahu. Tiba-tiba saja dia seperti itu.”

Arnand menatap sekeliling. Namun, sepertinya tidak ada yang berniat menolong. Di antara mereka ada yang saling berbisik, bertanya pada gadis yang sedang kesakitan itu, dan yang lainnya berpikir.

“Sial!” umpat Arnand. Diterobosnya keramaian seperti sedang menyibak rumput. Tanpa bertanya, ia mengangkat gadis itu menuju mobil.

“Nand, apa yang kamu lakukan?” cegat Didik.

“Kamu bego atau dungu? Menolongnyalah.”

“Kenapa harus kita? Masih banyak orang-orang di sana yang bisa bantuin dia,” tunjuk Didik ke arah keramaian.

“Kamu lihat, mereka perempuan, Dik. Mereka tidak akan sanggup membawanya. Dan, laki-laki yang mengenakan peci itu? Kita tidak bisa menunggu mereka.”

“Menunggu?”

“Menyentuh gadis yang bukan mahramnya, bukankah itu dosa? Mereka pasti ragu untuk membawa gadis ini.”

“Tapi, Nand.”

“Cepat, Dik. Dia kesakitan!” bentak Arnand.

Didik tidak menjawab lagi. Ia langsung membukakan pintu dan membiarkan Arnand memasukkan gadis itu ke mobil.

“Ke mana kalian akan membawanya?” Seseorang menghampiri Arnand ketika ia menutup pintu.

“Kamu pikir, kami akan membawanya ke mana? Kami memang bukan orang yang baik, tapi biarkan kami berbuat satu kebaikan.”

***

Niatnya mau update sesuai jadwal, tapi apalah daya. Selalu ada yang menghalangi. Maaf ya, updatenya bolong-bolong.

Tetap setia ngikutin Arnand dan So Hyeon, ya. Dan, jangan lupa vote dan komen.

:)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top