BAGIAN SATU [XI]
Sebelum membaca part ini saya coba tanya sedikit boleh kan yah? Gak dijawab juga gpp
Menurut kalian dari 4 tokoh utama mana yang paling kuat karaternya?
Saran aja buat perbaikan supaya karya ini lebih baik lagi.
Selamat membaca
☉☉☉☉
[XI]
Dulu, sebelum akhirnya semua yang kini tinggal kenangan, seorang pria atau sebut saja seorang Kakak yang membantu mengambilkan bola tersangkut di atas pohon ketika Salar masih berumur tujuh tahun. Salar begitu bangga hingga jika mengingat masa di taman kanak-kanak, ketika sorang guru bertanya apa cita-cita ketika besar nanti, dengan lantang mulut si kecil Salar berkata "Aku ingin seperti Kakakku yang kuat dan berani, dia sangat jago bermain bola dan menerbangkan layang-layang." Bisa dikatakan Kakak adalah cerminan masa depan bagi Salar. Jika pernyataan itu masih berlaku maka sama dengan Salar menggores luka yang sama seperti yang rasakan Kakaknya.
Namanya Ahmad Fandi Jalaludin, seorang pilot pesawat domestik. Salar juga sepat berpikiran untuk menjadi pilot, namun semenjak mendengar berita di televisi yang mengabarkan pesawat jatuh di lautan dan tak seorangpun dapat terselamatkan, Salarpun mengganti cita-citanya menjadi seorang polisi, baginya lebih menarik membawa pistol dan mengamankan kota, menangkap penjahat, seperti permainan kecil yang pernah dia lakukan bersama Kakaknya. Namun, semakin tubuh dewasa ketika awal ketika ketika Fandi pergi untuk sekolah penerbangan, benar-benar mewujudkan cita-citanya, Salar sang waktu itu baru masuk SMA segera ingin menyusul sang Kakak. Semenjak itulah Salar jarang bertemu dengan Kakaknya. Namun akhirnya Salar berkahir sebagai pekerja kantoran.
Hingga suatu pagi di waktu fajar Fandi pulang dengan aroma bir menyengat hidung, dia lemas bahkan kakinya seperti lupa cara berdiri, jadi dia dibopong oleh dua temannya. Salar ketika itu hendak pergi mandi langsung ikut membantu dan melemparkan handuknya. Ningsih sang ibu bahkan tak pernah menyangka kalau anak pertamanya sudih menyentuh barang haram itu, bahkan sampai masuk ke tubuhnya.
"Bu, Mas Fandi tadi keluar sama Mbak Erin kan?" tanya Salar kepada ibunya yang menangis di samping tempat tidur.
"Kami menemukan Fandi di pinggir jalan," sahut salah satu dari teman Fandi.
Semua orang di rumah itu berusaha menahan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Fandi sudah sadar, dia lebih sering mengurung diri di kamar, mengabaikan ponselnya yang terus berdering, bahkan tak memenuhi tugasnya sebagai pilot. Ningsih menahan Salar apabila pria itu nekat masuk ke kamar Kakaknya. Tiba malam menjelang, sekitar pukul sebelas malam, Salar baru tiba dari kerja lembur, Fandi sedang duduk di teras. Kondisi pria itu lebih menyedikan daripada lap dapur, terlebih kantung matanya terlihat gelap, dan pandangannya kosong. Salar meletakkan tas kerjanya di lantai lalu ikut duduk.
Salar baru menyadari ternyata kakanya sedang memegang ponsel dengan gambar seorang wanita yang dikenalnya bernama Erin.
"Mbak Erin kenapa Mas?" Satu pertanyaan akhirnya terlontarkan setelah berhari-hari tertahan.
Fandi menoleh ke rah Salar. "Sebaiknya ganti pertanyaanmu dengan 'Mas Fandi kenapa?' karena di sini yang tampak tidak baik-baik saja itu aku."
Salar memilih diam. Dia tahu itu bukan saatnya untuk merespon dengan kalimat baru. Jadi dia menunggu hingga Fandi bercerita.
"Kamu kenapa baru pulang? Bagaimana hubungan kamu dengan anak teman ibu itu? siapa sih Diani kan?"
Salar mengagguk. "Baik-baik saja. Dia masih sibuk membuat skripsi."
"Sudah hampir lulus, dan kamu segera menikahinya bukan?" Fandi meletakkan ponselnya di meja. "Mungkin segera dihalalkan atau nanti kamu menyesal jika dia lebih dulu di lamar dengan lelaki lain. Dari pada terus-terus jalan berdua malah menimbulkan fitnah bukan?"
Pernyataan itu seperti kartu AS yang dikeluarkan di akhir permainan lalu mengalahkan semua pemain, mungkin terlalu sederhana tapi Salar bisa merasakan rasa penyesalan jiwa Fandi.
"Ya sudah masuk sana. Mandi terus tidur," kata Fandi menepuk pundak Salar dengan tersenyum.
"Mas Fandi gak masuk?"
"Sebentar lagi, aku masih ingin menikmati malam dengan tenang."
Salarpun mengambil tas kerjanya lalu berdiri dan masuk ke rumah. Tapi, satu penyesalan muncul dan menguasai tubuh Salar. Bahkan saat ini ketika dia sedang memakirkan mobil di area parkir pemakaman umum di jakarta Timur tidak jauh dari rumahnya, dia cukup mengingat bagaimana tubuh Fandi yang waktu itu terkapar di lantai dengan sebilah pisau menusuk tepat di mana jantung berada. Air mata yang tidak bisa terbendung, menangis tanpa suara, bahkan sosok tegar sang Kakak yang dia agung-agungkan sudah berlumuran darah.
Jika mungkin waktu itu Salar mengajak sang Kakak masuk mungkin dia tahu jika Fandi sedang menduduki pisau yang dia ambil di meja dapur. Dan jika tahu itu saat terkahir dia bertemu dengannya mungkin alangkah lebih baik bermain catur bersama atau pergi ke suatu tempat dan tertawa pada satu hal yang tak pantas ditertawakan. Namun seperti itulah cara pulang Fandi, dia memilih untuk mengakhiri hidupnya tanpa menunggu waktu yang sudah ditakdirkan. Kini Salar sedang melepas sepatu pantofelnya lalu menyingkis pantalonnya dan berjalan menuju tempat dimana Fandi di kuburkan.
Setelah tiba di samping kuburan Fandi, ponsel Salar bergetar, dia menjumpai pesan dari Diani.
Dari : DIANI
Mas bisa pulang sekarang.
Salar memasukkan ponselnya ke saku kemejanya dan dia langsung mengambil sikap berdoa. Setelah itu dia mengusap wajahnya lalu memegang patok nisan sambil berdiri.
"Mas Fandi, Salar pulang dulu," katanya lalu pergi menuju parkiran.
Dia sebenarnya tidak ada niat untuk datang ke sana. Kira-kira pukul sembilan tadi dengan pakaian rapi Salar keluar dari rumahnya pergi ke suatu tempat, seperti indekos tempat Fadil tinggal. Seperti yang dilakukan hari-hari sebelumnya semenjak berhenti bekerja. Hingga keputusan dia datang ke makan Fandi semenjak mendapatkan kabar dari Diani bahwa wanita itu akan datang ke rumah, membicarakan hal yang dulunya sempat diperdebatkan dengannya.
Setibanya Salar di rumah, Ningsih sudah menantinya di teras. Wanita itu langsung menghampiri ketika Salar behasil memakirkan mobil dan turun.
"Apalagi sekarang?" Satu tamparan mengenai pipi Salar.
Salar memegang pipinya yang terasa panas namun dia tetap bergeming.
"Kamu tahu Diani datang ke sini, ha?" teriak wanita itu sambil mendorong Salar hingga punggung pria itu membentur mobil. "Dia cerita kalau kamu berhenti dari kerjaan dan minggu depan pergi ke luar negeri, rencana macam apa ini?"
Salar masih tidak memberikan jawaban. Dia memilih untuk menunduk. Ibunya sudah berada di puncak emosional bahkan dia tidak sanggup melihat tangis di mata wanita itu.
"Terus kamu kapan menikahi Diani. Sebenarnya kamu berniat menikahinya atau tidak?"
"Iya." Salar mengagguk. "Tapi sepulang dari Los Angeles." Kalimatnya kali ini terdengar tegas dan penuh keyakinan.
"Kalau begitu kamu pergi sekarang." Ningsih lagi-lagi mendorong Salar. "Pergi!"
Salar tidak bergerak kecuali menerima pukulan dari ibunya. Dia membiarkan ibunya memukulinya agar wanita itu bisa meluapkan segala amarah tentang keputasnya. Namun Salar tetap tidak bernai melihat raut wajah sang ibu.
"Kamu beruntung mempunyai Diani, tapi kamu malah seperti ini. Kamu itu sudah dewasa suah berumur 29 tahun seharusnya kamu lebih bijak dalam mengambil keputusan seperti ini. Kamu dulu bilang akan menikhai Diani setelah dia lulus, nyatanya kamu terus mengulurnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa semua ini karena Masmu?"
"Saya pasti menikahi Diani. Saya bukan pria yang ingar dengan janji. Ibu bisa pengang omongan Salar." Barulah kali ini dia berani menatap mata ibunya. Dia ingin ibunya mengetahui sebuah kesungguhan yang diucapkannya seperti matanya yang mengatakan kebernaran. "Lebih baik Salar pergi dari rumah ini jika ibu tidak suka saya berada di rumah sebelum menikah dengan Diani."
Salarpun masuk ke dalam rumah. Manuta itu dia ditempat sambil mengusap air mata yang terus jatuh. Beberapa hari yang lalu salar sudah mengemasi barangnya pada satu koper penuh pakaian dan beberapa barang yang akan dia butuhkan ke tika di Los Angeles yang dia masukkan ke dalam tas ransel. Ketika semuanya sudah masuk ke dalam bagasi. Salarpun berniat untuk pamit dan mencium tangan ibunya namun tangannya segera ditangkis dan wanita itu beranjak pergi ke dalam rumah, membanting pintu keras-keras.
INI ADALAH AKHIR DARI BAGIAN SATU DAN BERSAMBUNG KE BAGIAN DUA.
SEMOGA BAGIAN DUA LEBIH BAIK LAGI
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top