BAGIAN SATU [VIII]
[VIII]
Setiap pukul 12 siang selepas salat duhur sudah kewajiban Anisa mengantarkan makanan ke ladang untuk Abi Furqon. Ada tiga wadah yang dia isi. Tingkat satu diisi dengan nasi kemudian yang kedua sayur dan yang paling atas adalah lauknya. Setelah semua tersusun barulah Anisa berjalan menuju ladang.
Jarak antara rumah ke ladang kurang lebih 500 meter, satu kelokan dari jalan beraspal menuju jalan berbatu yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau paling tidak sepeda ontel. Tapi Anisa sudah terbiasa dengan jalan kaki. Selama melewati jalan itu sisi kanan jalan banyak pohon pisang dan tanaman singkong yang di tanam mengikuti jalan. Barulah menjumpai satu gubuk bambu dengan atap dari tanaman padi kering yang diikat, temboknya hanya menutupi sisi kanan dan belakang terbuat dari anyaman bambu, dan di dalam gubuk itu terdapat tempat duduk yang cukup untuk empat sampai lima orang jika duduk mengitari sisinya.
Di sana Anisa menjumpai Abi Furqon tengah duduk sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan capil. Anisa langsung menghampiri dan mengucap salam. Tanpa banyak bicara dia segera menata rantang itu dan tak lupa menyiapkan minum dari dua termos kecil yang dia bawa. Satu berisikan kopi panas dan yang satunya air minum biasa. Dia menuangkan pada penutupnya dan Abi Furqon segera menata duduknya untuk bersiap makan dengan duduk bersila.
"Terima kasih, Anisa," kata Furqon. Anisa hanya tersenyum di balik masker penutup wajah.
Anisa mengulurkan sendok.
"Urusan kamu besok ke Los Angeles bagaimana?" tanya Furqon selagi mengambil rantang berisi nasi.
"Alhamdulillah, Bi, sudah beres. Besok siang Anisa mau mengambil paspor ke kantor imigrasi."
"Hemm... kamu siap bertemu dengan Najma? Maksud Abi kalau Najma tidak mengenali kamu sebagai ibu kandungnya, bagaimana?" Mata Anisa mengikuti sendok Furqon yang mengarah ke rantang besisi kuah sayur bayam.
"Umi pernah bilang, menjadi orang tua itu bukan hanya mengandung selama 9 bulan 10 hari melain setelahnya juga. Dan Fatma telah menjaga Anisa selama mengandung dulu hingga Najma besar dia yang merawatanya. Yang pantas menjadi seorang ibu adalah Fatma."
"Iya benar sekali kamu. Tapi Umi kamu itu aneh. Dia ingin kamu bawa Najma ke Indonesia atau kalau bisa Althaf, Fatma dan bayinya itu juga padahal Umi nggak tahu kalau ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan Althaf mengenai perusahaan lama yang sudah bangkrut itu. Dan yang paling Abi tidak setuju adalah melarang Fatma untuk membuka jasa menjahit ketika hamil seperti sekarang."
Anisa menurunkan masker penutup wajahnya. "Kenapa begitu, Bi? Bukankah niat Fatma untuk meringankan beban Althaf."
"Kata Umi kamu dari orang-orang dulu itu orang hamil dilarang menjahit biar bayinya nggak cacat sumbing, terus waktu lahiran itu bisa lancar. Bingung Abi, jaman sekarang kok masih percaya begituan." Jeda sejenak karena Anisa tahu Abinya sedang mengunyah makanan. Setelah berhasil ditelan Abi Furqon memulai pembicaraan lagi. "Lah... itu pusing Abi dengernya."
"Kadang Anisa juga merasa nggak enak sama Althaf, Abi. Bagaimanapun juga Najma anak aku tapi harus dia yang menanggungnya bahkan sampai Fatma ikut juga."
"Sudahlah siapa tahu saat kamu di sana nanti bisa mengurangi beban pikiran Fatma. Kamu bisa bantu-bantu dia bekerja mungkin."
Anisa mengangguk. Dia membiarkan Abinya menghabiskan makanan itu dengan tenang. Anisa tidak ingin memulai pembicaraan baru, dia merasa alangkah lebih baik diam daripada mengajak orang lain berbicara ketika makan. Hingga akhirnya sendokan terakhir Furqon pun mengambil air putih dan meneguknya sampai habis.
"Alhamdulillah," desah Abi Furqon. "Coba nanti kamu bilang ke Umi kamu jangan percaya hal yang begituan lah. Wong dilogika aja nggak nyambung. Tiap malem nangis terus kalau dengar kabar adikmu sedang menjahit baju."
Pikiran Anisa langsung teringat ketika malam tiba sekitar pukul sembilan malam dia mendengar suara wanita menangis dari luar kamar disertai suara bentakan yang tertahan dari seorang pria. Dia bahkan ingat betul kejadian itu bermula setiap Umi Fatimah selesai bertelepon Fatma atau dengan Najma. Dia juga tahu bahwa Umi Fatimah tidak pernah bisa bicara terus terang untuk melarang Fatma menjahit karena dia juga ingat keadaan Fatma di Los Angeles.
Dengan mengingat semua itu membuat Anisa berada pada puncak kerucut piramida, di mana dia di lembah penyesalan tidak merawat Najma sejak kecil dan malah menyerahkan ke adiknya. Dia bahkan sempat merasa menyesal bertidak bodoh sebelas tahun yang lalu, sampai menyakiti diri sendiri dan bahkan ingin mengakhiri hidup.
"Sudahlah, bukan saatnya menyesali yang sudah terjadi, Anisa." Anisa langsung kembali pada kenyataan ketika Furqon tengah menyusun kembali rantang-rantang kosong itu. "Hati-hati di jalan yah."
Anisa mengangguk. "Minumnya masih ada Anisa tinggal di sini ya?"
Sambil merapikan rantang itu, Anisa melihat Abi Furqon sedang memasang capilnya di kepala. Lalu menghela napas berat dan berdiri. Tidak lama setelah setelahnya pria itu berjalan ke tengah ladang bergabung dengan beberapa pria yang sedang memetik jagung. Anisapun berdiri dan meninggalkan gubuk itu.
Sesampainya di hamparan rumah, tempat menjemur gabah, langkahnya terhenti melihat seorang pria berpakaian gelap duduk di kursi yang ada di beranda. Anisa merasa kenal dengan sosok pria itu. Dengan berat hati dia akhirnya memberanikan diri untuk mendekat.
"Asalamualaikum," kata Anisa, sorot matanya mengarah langsung ke arah pria itu.
Dengan sontakan pria itu langsung berdiri. "Waalaikumsalam, Anisa!"
"Jangan! Tetap di situ." Anisa kini berjalan ke sisi lain menjauh dari pria itu.
"Anisa!" Sang empu nama tahu bahwa pria itu tercengang dengan penampilannya yang sekarang. Bahkan kalimatnya berlanjut. "Kamu berbeda sekali sekarang."
"Apa yang Mas Kinal lakukan di sini?"
"Eh... tadi aku mencari kamu, kata Umi kamu aku suruh menunggu di depan karena di rumah tidak ada pria. Dia juga bilang Abi dan kamu sedang di ladang."
"Untuk apa Mas Kinal di sini!" Anisa kali ini sedikit memberi penekanan pada kalimatnya. "Setelah bertahun-tahun."
"Aku Odha. Aku datang untuk memastikan apakah kamu dan anak kita juga Odha?"
"Anak kita?" Anisa terasa tercekik ketika mengatakan itu. "Maaf Mas... maksud Anisa... sejak kapan Mas menganggap Najma adalah anak Mas juga?"
"Jadi namanya Najma? Di mana dia sekarang?"
Anisa menggeleng. Matanya kini terasa perih. "Kenapa Mas tidak bilang kalau Mas Kinal Odha waktu itu?"
"Maaf... aku kalap. Seumur hidupku tidak akan termaafkan, Nis."
"Aku juga Odha. Cukup bagi aku menanggung ini. Bahkan Mas meninggalkan aku di pinggir jalan waktu itu." Tangan Anisa mengepal dan tubuhnya bergetar. "Tolong Mas Kinal pergi dari rumahku."
"Aku ingin melihat anak aku, Anisa. Apakah dia juga Odha?"
Anisa menggeleng. "Allah memberi keselamatan pada gadis kecil tak berdosa itu Mas."
"Di mana dia, Nis" desak Kinal. "Bolehkan saya melihatnya?"
"Dia sudah menjadi anak yang ceria. Jangan kacaukan keceriaanya setelah mengetahui siapa sebenarnya orang tuanya."
"Maksudnya?"
"Sudahlah Mas, aku tidak tahu untuk apa Mas datang setelah bertahun-tahun?"
"Aku hanya ingin bertemu dengan anakku untuk terakhir kalinya sebelum aku meninggal. Umurku tidak lama lagi Anisa. Dokter menyarankan agar aku menjaga stamina tubuhku agar bisa bertahan. Aku tidak lagi bisa bekerja." Pria itu menepuk tas cokelat di atas meja. Anisa bahkan tidak menyadari ada tas itu di sana sejak tadi saking kesalnya dia denga pria itu. "Ini uang yang berhasil saya kumpulkan selama bertahun-tahun. Saat aku meninggalkan kamu di pinggir jalan waktu itu, hidupku sangat tertekan. Aku bahkan masih tidak menyangka mempunyai anak hasil zina..."
"Jangan anggap Najma anak kotor, Mas!" koreksi Anisa.
"... maaf, pikiranku kacau saat itu... dan aku benar ingin kembali mencari kabarmu tapi aku benar-benar pria berengsek. Aku berusaha mencari tahu banyak kabar tentangmu sampai uang ini terkumpul. Bukan hal yang mudah Odha mencari pekerjaan. Tapi aku berusaha bertahan dengan semua ini."
Anisa tidak menanggapi. Dia memalingkan wajahnya, melihat sepasang kupu-kupu berwarna putih sedang terbang di dedaunan pohon asem.
"Hanya ini yang bisa aku berikan. Mungkin tidak akan cukup menghapus dosaku terhadap kamu, bahkan kepada anak kita, keluarga kamu. Dan terutama kepada Tuhan. Tolong aku Anisa."
"Asal Mas tahu... kalau bukan karena keluarga Anisa, Mas tak akan bisa melihatku lagi. Kalau bukan karena Adikku dan suaminya, Najma tidak akan ada di dunia ini." Anisa menghela napas dalam-dalam dan mengembuskan secara perlahan. "Anisa sudah memaafkan Mas Kinal. Tapi orang tuaku? Adikku? Atau mungkin Najma jika mengetahui semua ini? Aku tidak yakin. Karena mereka yang menanggung kesalahanku. Rasa malu dipandang orang-orang bahkan sebagaian warga masih merasa was-was dengan keluarga kami."
Pintu rumah tiba-tiba terbuka dengan kasar. Anisa dan bahkan pria itu langsung tersentak. Umi Fatimah dengan air mata membasahi pipi kini berdiri di ambang pintu. Anisa yang menyadari kebaradaan uminya langsung berjalan menghampiri.
"Jadi kamu pria yang menyakiti anak saya?" bentak Fatimah.
"UMI!" teriak Anisa. Sedangkan pria itu langsung menunduk.
"Kalau saya tahu sejak awal siapa kamu pasti saya usir dari rumah ini. Dan sekarang cepet pergi dari sini!"
"Umi, istighfar." Anisa langsung menggandeng tangan Umi Fatimah agar wanita itu tidan mendatangi Kinal supaya bisa memukul atau mendorong pria itu.
《BERSAMBUNG》
kalau boleh sedikit cerita. Bagian ini sungguh menguras emosi saya. Saya bahkan tak bisa fokus mengoreksi kesalahan tulis yang terjadi.
Saya bahkan tidak tahu seberapa banyak kesalahan tulis yang terjadi. Mata saya terlalu pedih mengingat betapa perihnya untuk para ODHA bertahan hidup. Rasa bersalah, rasa menyesal yang tidak ada habisnya. Dan kitalah orang-orang yang seharusnya menguatkan mereka untuk kembali kepada-Nya.
(ODHA)
#Orang Dengan HIV AIDS#
Tolong ingatkan saya jika naskah Semusim Di Los Angeles ada kesalahan dalam bentuk apapun itu... insyaAllah akan segera saya perbaiki... dan saya akan bertanggungjawab apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan karya saya... secara harfia ide ini muncul dari pikiran saya, bahkan ketika dulu saya mengikuti ekstrakulikuler PMR di SMA yang membahas tentang Odha.
Nb:
BAGIAN SATU AKAN SEGERA BERAKHIR.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top