BAGIAN SATU [VII]
[VII]
Dua hari Salar tidak lagi pergi ke kantor, orang tuanya bertanya-tanya namun pria itu tetap bergeming. Hingga satu keputusan final Salar mencoba menghubungi Diani. Mengajak wanita itu pergi. Mungkin sedikit makan malam, batin Salar.
Salar sudah terbiasa menunggu di kursi teras rumah orang tua Diani ditemani oleh ayahnya yang merupakan pensiunan tentara. Dia tahu bahwa Diani adalah putri bungsu dan tak ayal banyak yang mempertanyakan kapan Salar akan bertindak lebih jauh lagi. Pertanyaan yang selalu memenuhi udara di mana Salar berpijak. Dia mencoba menikmati arusnya.
"Tadi siang Diani datang ke pernikahan temannya. Ternyata umur Diani sudah pantas untuk menikah, bukan?"
Dengan sangat terpaksa Salar mencoba untuk menganggukkan kepala.
"Dan ada juga tuh yang datang ke sini bawa anaknya."
Salar kali ini diam. Dia berusaha memberi jeda agar bisa mengganti topik. Bahkan membalas percakapan itu seperti cambuk baginya. Kalimat-kalimat yang penuh dengan implikatur.
Hingga sepuluh menit lamanya hasil pengamatannya terhadap jam tangan, Salar mencium parfum khas Diani. Dia pun menoleh dan menjumpai seorang wanita berambut pendek mengenakan blus berwana peach dan cenala joger pant berwarna krim. Salarpun berdiri dan merapikan kemejanya.
"Kami pergi dulu ya, Om?" kata Salar mengulurkan tangan ketika ayah Diani hendak berdiri.
"Nanti pulang pukul berapa?" Ketika itu Salar sedang mencium tangan ayah Diani.
"Sepeti biasa, Yah," sahut Diani yang kini berganti mencium tangan ayahnya, membuat Salar sedikit menepi memberi ruang.
"Hati-hati di jalan."
Salar melirik ke arah Diani, wanita itu tersenyum ketika dia membuka pintu mobil. "Kenapa?" tanya Salar.
"Tumben, Mas ngajak aku makan malam." Salar menutup pintu lalu berjalan ke pintu yang lain menuju kemudi.
"Ada yang ingin saya bicarakan sama kamu, maaf kalau mendadak." Ketika itu mereka sedang memasang sabuk pengaman. "Bagaimana sudah mulai mencari pekerjaan?" Salar sudah menyalakan mesin mobil dan melaju di jalanan beraspal.
"Yah, masih dalam proses, Mas."
Sunyi sejenak. Salar sengaja memberi kesempatan untuk Diani agar menanyakan soal pekerjaan sebelum akhirnya dia bercerita telah keluar dari kantor. Namun, diliriknya wanita itu masih diam dan tersibuk melihat ke arah luar.
"Saya tidak memperpanjang kontrak kerja lagi." Salar tahu bahwa Diani mungkin terkejut karena wanita itu menunjukan reaksi yang cukup mengesankan, menoleh dengan cepat ke arah dirinya.
"Kenapa?"
"Rencananya, saya mau liburan ke Los Angeles mungkin dua sampai tiga bulan di sana, baru kembali dan mencari pekerjaan baru." Salar memutar kemudi ketika berada di pertigaan jalan. "Saya ajak kamu makan malam dengan maksud supaya kamu bisa merayu orang tua saya menerima keputusan ini."
"Apa yang harus aku katakan ke mereka, Mas?" Walaupun itu sebuah pertanyaan namun Salar memahami ada nada kekecewaan yang terucap dari mulut Diani.
"Sepulang dari Los Angeles saya akan lamar kamu. Maaf saya cuna bisa berjanji untuk saat ini."
"Kenapa? Apa yang sebenarnya ingin Mas lakukan di Los Angeles? Mencari ketenangan, begitu? Mencoba untuk mengujiku apakah aku bisa menunggu begitu lama?"
"Diani," Mobil berhenti di perempatan lampu merah, "Tolong mengerti saya."
"Kenapa aku diminta menunggu selama Mas berada di Los Angeles?"
"Kamu sudah mengatakannya tadi."
"Itu urusan pribadi Mas, tapi kenapa Diani harus menunggu?"
Salar tiba-tiba terdiam. Dia bisa mengatakan bagaimana perasaannya, bagaimana konflik batin yang menumpah hatinya. Salar merasakan jantungnya menggebuh, sampai-sampai dadanya terasa ditekan dengan mesin penekan makanan kaleng.
Mobil mulai melaju lagi namun suasana di dalam mobil menjadi sangat canggung. Tenggorokan Salar terasa terbakar saking banyaknya kalimat-kalimat tersangkut di tenggorokan. Matanya juga mencoba untuk melirik ke Diani, wanita itu kini duduk menunduk memegang tas pinggangnya.
"Maaf," kata Salar. "Saya merasa masih belum layak menjadi seorang suami."
Terdengar suara helaan napas dari mulut Diani, pipinya sempat menggembung sebelum akhirnya angkat bicara, "Bagaimana Mas bisa menganggap belum layak sebelum Mas pernah lakukan?"
"Apakah dengan menggantungkan hubungan kita masih dikatan layak?" sahut Salar.
"Kalau begitu kenapa Mas lakukan itu ke aku?" Salar terbungkam. "Aku sudah mencoba bertahan tapi tiga bulan lagi aku rasa sudah waktunya menyerah."
"Diani!" Salar merasa tubuhnya mulai memamas.
"Dua tahun Mas, dan harus ditambah tiga bulan lagi? Bayangkan perasaan aku Mas, Ibu Ayah sudah mulai tanyakan keseriusan Mas. Kalau Mas belum siap juga, Ayah juga punya kenalan untuk datang ke rumah jadi Mas gak perlu...," Diani menyeka air mata di kelopak mata sebelum akhirnya jatuh. Tangan Salar mengulur untuk menenangkan wanita itu, tapu Diani Meronta. "Cukup Mas, nggak perlu lamar aku... biar aku dengan pria lain saja."
Salar akhirnya membelokkan ke halaman rumah kosong yang di sampingnya terdapat warung makan pecel lele. Walaupun sebenarnya bukan itu tujuan awal Salar mengajak Diani makan.
"Kita sudah debatkan masalah ini berulang kali. Saya mohon kali ini saja, Mas akan pergi ke Los Angeles dan akan kembali untuk melamarmu. Mas janji... beri kesempatan tiga bulan saja. Mas mohon." Tangan Salar kini memekamg pipi Diani yang terasa dingin. Ibu jarinya mengusap kelopak mata wanita itu untuk menghentikan air mata.
"Kenapa Mas nggak lamar Diani dulu. Urusan tiga bulan itu kita akan menikah setelahnya." Tangan Salar tiba-tiba melemah. Turun dari pipi Diani dan dia memalingkan wajah ke arah luar mobil. "Kenapa?"
Salar tidak bergerak justru pikirannya yang bergelut, baginya tiga bulan itu bukan soal waktu, tapi soal kesiapan, keyakinan, dan kemantaban hati pada satu orang wanita sampai akhir. Semua bukan perkara gampang.
"Besok!" Satu kata yang berhasil Salar ucapkan setelah beberapa detik berlalu. "Sebelum saya berangkat ke Los Angeles."
BERSAMBUNG
Teman-teman maaf yah... hampir 2 minggu aku sakit jadi jarang pegang ponsel.
Dan untuk kisan Salar Fahrezan yang ini masih belom hijrah... nanti kalau di Los Angeles kisah akan berlanjut panjang... hehehe
Maaf banget... mungkin ceritanya sedikit membingungkan. Setalah kita kebingungan dengan Althaf yang beristri dua. Kisahnya akan bertambah... aku belom angkat kisah Anisa... next yah Chp. [VIII] Untuk kisah Anisa
Dan [IX] untuk kisah Althaf.
Lamongan, 28 Juni 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top