BAGIAN SATU [IV dan V]
[IV]
"Apa rencana kamu setelah ini?" Fadil menepuk pundak Salar ketika mengemasi barang-barangnya di meja kerja sore hari di jam kerja berakhir. "Menikah?"
Salar menggeleng. "Mungkin sedikit liburan, ada saran ke mana? Aku punya cukup uang karena pimpinan pabrik yang terpenjara itu."
"Apa maksudnya liburan?" Fadil memberikan kotak pensil di sampingnya kepada Salar yang kemudian dimasukkan ke dalam kardus. Dia mengambil map berwarna biru dan menumpuknya di meja kerjanya.
Jika Salar berhenti bekerja itu tandanya semua kerjaannya, sementara waktu akan dibagi di beberapa karyawan, sampai akhirnya ada yang mengisi meja kerja pria itu. Namun dalam ruangan itu hanya Salar lah yang sudi pergi ke Kantor-pabrik dalam beberapa kali selama sebulan dengan jarak sekitar 20 kilometer lebih.
Semenjak keputusan kepala bagian membagi semua pekerjaan itu, Fadil menjadi berang dengan Salar, pekerjaan paling dihindari kini adalah bagiannya. Belum lagi urusan kerjaanya sendiri yang cukup memberatkan. Membayangkan untuk pergi ke pabrik saja sudah cukup pelik baginya.
"Aku masih belum ingin menikah," jawab Salar dengan santainya ketika itu dia melepas tempelan note yang mengitari monitor komputernya. "Sudah lima tahun aku bekerja di sini. Terjebak dengan semua ini," dia meremas note itu dan melemparkan ke tong sampah. "liburan kurasa pilihan terbaik. Setelah seminggu aku mengatasi kekacauan pabrik."
"Bagaimana soal Diani? Kamu tidak ingin segera menikahinya? Ayolah, mau sampai kapan kamu bermain-main." Salar melihat Fadil mengambil remasan note yang tidak masuk ke tong sampah lalu membuangnya.
"Aku tidak bermain-main, Dil. Diani terlalu muda. Jarak kami tujuh tahun bayangkan itu? Dia saja baru lulus kuliah," protes Salar.
"Umurmu sudah terlalu tua, Sal. Kasihan dengan anakmu nanti."
"Jangan terlalu jauh membahas soal pascapernikahan. Aku saja belum yakin dengan pernikahan, apalagi dengan wanita yang bukan pilihanku." Salar memgamgkat kardus yang sudah setengah penuh lalu menumpuknya dengan kardus lain di lantai.
"Memang kamu sudah ada pilihan?" Pertanyaan Fadil seperti mengeluarkan kartu as dari segala kartu yang dikeluarkan Salar.
Salar terdiam sejenak. "Tidak ada waktu memikirkan pilihan."
"Ehm, oke kalau memang rencanamu liburan, mau sampai kapan?" Kali ini Fadil sudah berdiri di samping Salar setelah dia membawa kardus lain di bawah meja Salar.
Mereka berdua pun berjalan menuju lift dengan tangan penuh dengan tumpukan kardus.
"Mungkin tiga sampai empat bulan." Salar menekan tombol turun di samping pintu lift dengan siku kirinya.
"Bagaimana reaksi keluargamu dengan keputusanmu ini? Maksudku Ibumu yang paling ingin kamu segera menikah dengan Diani."
"Mungkin akan marah besar. Aku belum cerita kepada mereka kalau aku tidak memperpanjang kontrak." Fadil langsung melotot dan menendang betis Salar, ketika itu terdengar suara ting dan pintu lift terbuka.
Mereka pun masuk dan kali ini Salar membiarkan Fadil yang menekan tombol LG dengan susah payah menggunakan jari telunjuknya. Salar melihat kardus yang dibawa Fadil hanyalah berisi tumpukan kertas yang tidak perlu, ia berencana untuk menjual ke tetangganya untuk ditukarkan sekantong bawang merah.
"Aku masih tidak habis pikir dengan rencanamu, kamu seolah membuang waktu dengan percuma, sampai tidak pernah berpikiran untuk membahagiakan orang tuamu."
"Mereka sudah bahagia dengan hidup mereka sendiri, mereka kaya, mereka punya banyak cabang rumah makan yang mereka bangun sejak awal pernikahan."
"Bukan seperti itu," protes Fadil. "Dia ingin kamu segera menikah, Salar!"
"Kalau begitu menikahlah sendiri."
"Ngawur, aku sudah punya istri."
Mereka tertawa. Salar sudah mengenal Fadil sejak mereka masuk kuliah dan akhirnya mereka melamar pekerjaan yang sama di perusahaan yang sama. Jika dihitung lebih dari satu dekade mereka berteman.
"Negara apa yang paling seru untuk liburan?"
"Selama tiga bulan kamu ingin pergi ke luar negeri? Salar, yang benar saja." Fadil sedikit tersinggung dengan pertanyaan sahabat karinya itu.
"Kenapa? Akan lebih baik daripada mendengar ocehan Ibu kalau aku masih tetap di rumah dan tidak segera menikah." Pintu lift terbuka. Merekapun keluar menuju pintu kaca yang menghubungkan ke tempat parkir mobil.
"Tunggu di sini, dan pikirkan aku harus ke mana untuk kabur dari Ibu." Salar meletakkan kardus di samping kaki Fadil.
"Hey!" Ketika itu Salar sudah sepertengah perjalanan menuju mobilnya.
Mobil putih yang teparkir berbunyi ketika Salar membuka kunci melalui remot seraya berjalan mendekat. Dia segera masuk dan mengemudi sampai di depan Fadil. Hingga akhirnya Salar turun dan berjalan menuju bagasi. Sedangkan Fadil sudah membawa satu kerdus yang dia bawa sejak tadi.
"Los Angeles," kata Fadil meletakkan kardus itu di bagasi.
"Los Angeles?" kata Salar memastikan apakah telinganya tidak salah dengar. "California?"
"Kamu ingat dengan Mas Basira yang bantu kamu skripsi dulu?"
Salar mengangguk. Ketika itu Fadil berjalan untuk mengambil sisa kardus yang lain, dan Salar membenarkan agar tiga kardus itu cukup memenuhi bagasi.
"Dia bekerja di sana, mungkin bisa membantumu."
"Mungkin aku masih menyimpan nomor ponselnya, itupun kalau masih aktif, sudah lama nggak hubungan dengan dia."
"Coba kirim sesuatu ke emailnya."
[V]
Althaf masuk ke rumah sederhana di ujung kota Los Angeles. Rumah yang terbuka lebar untuknya masuk tanpa perlu mengetuk pintu atau sebagainya. Bisa dikatakan itu adalah rumah keduanya, yang disewa untuk istri dan putranya. Dia duduk di sofa dan merebahkan punggungnya. Dia mengerling ke jam tangannya memperhitungkan kapan dia harus berangkat ke toko kue. Waktu masih menunjukan pukul enam pagi. Tidak lama setelah itu datang anak laki-laki berambut pirang berusia lima tahun berlari ke dan melompat ke perutnya.
"Dad," ucap anak itu sambil berusaha membuka mata Althaf yang berpura-pura tudur. "Dad, wake up!"
"Oh, Alif." Althafpun mengangkat anak kecil itu lalu mencoba untuk duduk, dan memangku si kecil Alif. "Where your Mom?"
Alif tidak menjawab melainkan tersibukkan bermain jenggot Althaf. Althafpun mencium anak itu dan menggendongnya menuju dapur. Dan benar ada seorang wanita berambut pirang sedang memmunggungi tersibukkan menggoreng sesuatu di atas teflon.
"Selena, what are you doing?"
Wanita itu berputar, "Kamu, eh... sudah sa-rapan?" Aksen yang terdengar seperti memaksa ketika mengucapkan kalimat dalm bahasa indonesia sangat khas ketika wanita itu berbicara dan Althaf cukup terbiasa akan itu.
"Ya, hanya sedikit. Fatma menyiapkan roti sebelum aku pergi."
"Saya, sudah buat... for lunch." Bahkan kalimat yang dicampur dengan aksen Inggris-Amerika tidak menjadi masalah. Sudah lama Althaf mengajari Selena bahasa Indonesia. Sejak dia bekerja di perusahaan yang sama tujuh tahun yang lalu.
Althaf melihat dua bekal bersebelahan di meja makan. Satu berbentuk kepala Iron Man dan yang satunya berwarna putih tanpa gambar.
"Thanks." Ketika itu Alif sudah turun dari gendongan Althaf. "Saya ingin makan di sini juga."
"Pancake." Selena mengangkat piring penuh dengan pancake dan membawanya ke meja makan.
Althaf melihat Alif memanjat kursi. Di samping kursi Alif Selena sedang meletakkan piring yang dibawanya tadi. Tidak lama setelah itu Selena berjalan ke arahnya. Ketika dia hendak duduk.
Selena mencium tangan Althaf. "Apa kabar Fatma, Al?"
"Baik, alhamdulillah baik." Althaf mengusap rambut Selena. Tanpa kesepakatan Selena seperti membiarkan Althaf mencium keningnya.
"Ayo makan." Selena membantunya untuk menarik kursi agar bisa duduk. Sebelum akhirnya dia duduk dia mengusap lengan Selena.
"Saya belum bisa kirim uang ke kamu. Fatma sebentar lagi melahirkan."
"No problem. but I can't always live with a little money." Wanita itu berjalan ke arah Alif untuk membantu anak laki-laki itu menyiapkan makan.
"I know." Althaf mendesis.
"Still there to eat a week, but not days after."
Untuk beberapa saat Althaf merasakan udara masuk ke dalam paru-parunya. Merasakan darah mengalir deras ke seluruh pembuluh darah. Dan kini keningnya mulai terasa berat. Kalimat-kalimat dari Selena seperti telah menamparnya ratusan kali, sedang dia tidak berdaya.
"Saya berkerja di toko permen... mencoba." Ketika itu Selena sudah menyiapkan makan untuk Althaf. "No problem. I can!" Kalimat yang terdengar di telinga Althaf adalah sebuah kalimat optimistik.
Althaf mengangguk dan sekali lagi merasakan tangan wanita itu dengan perasaan bersalah. Enam tahun menikah dengan wanita asal Los Angeles, menjadikan wanita itu mualaf, hingga kini memiliki putra bernama Alif Basira.
Althaf menghela napas dan tersenyum memperhatikan istrinya yang sedang menyuapi putranya makan pancake. Althaf pun mengambil garpu dan pisau, sebelum akhirnya dia berdoa dan memakan pancake itu dalam diam.
BERSAMBUNG KE BAGIAN SATU [VI DAN VII]
Maaf masih banyak typo... dikejar dateline maaf yah...
Nanti sambil nyantai saya akan perbaiki selagi memikirkan scene yang tepat untuk menyambung cerita selanjutnya.
Semoga suka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top