BAGIAN SATU [III]

[ III ]

Ketika malam tiba, Anisa sedang duduk di ruang tamu. Jemarinya sedang merapikan biku pada kain brokat dengan gunting khusus setelah sebelumnya dijahit dengan mesin jahit. Kebaya merah jambu itu telah digarapnya seminggu ini di samping dia juga mengerjakan beberapa potong kain pesanan yang lain.

Tiba-tiba di balik gorden hijau itu, Anisa mendengar suara perdebatan dengan kalimat-kalimat yang diucapkan dengan nada berbisik di antara kedua orang tuanya. Suara Abinya yang sangat rendah dan suara Umi yang hanya terdengar seperti desisan. Walaupun seperti itu Anisa tidak berusaha memekakan telinganya. Kesunyianlah yang menyebabkan percakapan itu terdengar jelas. Bahkan Anisa sepakat dengan dirinya tidak akan mendengarkan lebih dalam.

"Sudah lah, mungkin ponselnya Fatma lupa dicharge," suara bariton khas Abi Furqon. "Biaya telepon antar negara kan mahal, Umi."

"Kita coba dulu, Abi. Sudah seminggu ini mereka tidak kirim kabar." Jeda beberapa saat sampai akhirnya terdengar seruan. "Alhamdulillah, tersambung Abi!"

"Assalamualaikum Nak Althaf?" kata Fatimah.

Anisa langsung menghentikan kegiatannya. Kesepakatan dengan diri sendiri telah hangus. Dia sungguh ingin mendegar kabar tentang adiknya. Paling tidak melalui suami adiknya itu bisa terwakili.

"Umi tolong keraskan suaranya Abi juga ingin dengar," sahut Furqon.

"Hallo nak Althaf?" imbuh Umi lagi.

"Assalamualaikum Umi, iya Hallo." Terdengar suara pria di telepon.

"Waalaikumsalam," sahut Furqon dan Fatimah.

"Apa kabar, Nak?" balas Fatimah. Saat itulah Anisa mulai berjalan mendekat ke gordeng di ambang pintu antara ruang tengah dan ruang tamu.

"Baik Umi, ini baru sampai ke tempat kerja." Suara pria di telepon terdengar seperti berbisik. "Umi sama Abi apa kabar?"

Anisa melihat jam dinding di atas pintu depan yang menunjukan pukul delapan malam. Diapun mencoba dan menghitung pukul berapa kira-kira di Los Angeles.

"Sehat, alhamdulillah. Besok pagi Abimu akan panen jagung di ladang."

"Besok pagi? Oh iya sekarang di sana sudah malam. Semoga banyak yah Bi hasil panennya."

"Aamiin." Kata itu seperti secara harfia muncul dikeluarkan dari mulut Furqon dan Fatimah.

Untuk beberapa saat Anisa merasa keheningan, yang terdengar hanyala suara dengungan kipas angin di atas kepalanya. Jeda cukup panjang kali ini, seperti ada kalimat yang sulit untuk diucapkan. Karena jeda itu terdengar kata. "Tanyakan saja?"

"Bagaimana kabar adikmu?" kata Fatimah dengan suara serak.

"Alhamdulillah baik Umi, mungkin sekarang sedang istirahat. Semalaman dia begadang mengerjakan pesanan."

Hati Anisa mencelos. Dia tahu adiknya sedang hamil. Namun begadang seperti itu mungkin tidaklah lebih baik. Kedatipun demikian Anisa pernah merasakan bagaimana rasanya mengandung bayi ditengah kondisinya yang mungkin tidak seorangpun tahu bagaimana itu. Dan tak seorangpun ingin berada dalam posisi yang dialami Anisa.

"Bilang ke Fatma tenaganyan jangan terlalu diforsir, kan sedang hamil."

"Iya Umi. Eh... maaf Umi. Saya mau lanjutkan kerja. Nanti kalau sudah di rumah Althaf akan minta Fatma menelepon Umi sama Abi."

"Iya, Umi ingin sekali mendengar suara adikmu."

"Baiklah Umi, saya tutup dulu. Asalamualaikum."

Anisa tidak merasakan kelegaan atas percakapan antara Althaf dan kedua orang tuanya itu. Bahkan tangannya tidak melakukan gerakan apapun untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia pun melipat asal kebaya setengah jadi itu dan meletakkannya di samping mesin obras.

"Waalaikumsalam," kata Furqon dan Fatimah bersamaan.

Anisa berjalan semakin dekat dengan gorden, saat tangannya hendak meraih langkahnya terhenti. Fatimah menyebut namanya dalam percakapan bersama sang suami. "Anisa harus pergi ke sana, Bi!"

"Tidak mungkin Umi. Anisa masih sakit," desis Furqon. "Umi tidak ingat bagaimana Anisa saat hamil dulu?"

"Itu dulu. Umi yakin kalaupun Anisa ke sana dia akan baik-baik saja." Suara Fatimah masih terdengar seperti rengekan. "Semenjak Althaf tidak bekerja di perusahaan itu lagi. Hidup mereka di sana semakin sulit belum lagi mereka yang harus menanggung sekolah Najma dan uang persalinan Fatma besok."

"Jadi maksud Umi, Anisa pergi ke sana untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia?"

Lutut Anisa terasa panas karena mematung. Bahkan dia sempat membayangkan bagaimana reaksi orang tuanya ketika dia tiba-tiba muncul. Bisa diprediksi selubung kecanggungan akan mengurung mereka, di ruang tengah yang akan lebih terasa panas.

"Untuk apa lagi mereka di sana? Apa yang mereka harapkan terus bertahan di sana?" Suara Fatimah semakin meninggi. "Akan lebih baik kalau Althaf membantu Abi di ladang. Atau mencoba melamar pekerjaan lagi di sini."

"Terserah Umi saja. Althaf pasti punya alasan kenapa dia masih ingin di sana."

Anisa berharap Uminya membalas pernyataan itu. Tapi yang terdengar hanya suara langkah kaki, dan menit berikutnya Abinya muncul menyikap gorden hijau itu. Anisa tahu bahwa Abinya terkejut melihat dirinya berdiri di sana.

"Loh," ucap Firqon, ketika itu dahinya berkerut. "Umi ingin bicara sama kamu. Abi mau ke rumah pak Kades dulu."

Anisa sesegera mungkin mengangguk. Dia memandangi punggung Abinya berjalan jauh dan sedang merapikan songkoknya sampai akhirnya pria itu turun dari undakan di beranda. Anisa berbalik, melihat gorden itu dengan ngeri.

Saat gorden di buka, Anisa melihat mata Uminya berair. Ketika wanita itu membalas tatapan Anisa segera menyeka kelopak bawah matanya.

"Umi kenapa?" tanya Anisa sembari mengusap punggung wanita itu.

"Anisa dengar semuanya percakapan Umi dengan Abi." Anisa menggeser kursi di meja makan. Sambil duduk dia berkata, "Anisa bersedia berangkat. Tapi Najma tahu kalau aku adalah ibunya?"

Fatimah menggeleng.

"Kalau begitu aku akan kirim uang hasil pesanan jahitan ke mereka sebagai uang sekolah Najma. Aku tahu hidup mereka di sana cukup sulit dan mereka juga nggak mungkin meninggalkan Los Angeles paling tidak sampai Fatma melahirkan."

"Adikmu pernah cerita kalau ingin pulang. Tapi Althaf masih ingin di sana." Mengalir setetes air mata di pipi Fatimah. "Kasiah adikmu."

"Anisa akan coba rayu mereka untuk pulang." Anisa mengusap punggung tangan Uminya. "Anisa juga akan bilang ke Abi."

BERSAMBUNG KE BAGIAN SATU [IV]

Sebenarnya partnya dilanjut sampai [IV] tapi karena ini saja sudah panjang.

Bismillah semoga suka... masih kenalan dulu lah sama tokoh-tokohnya. Sebentar lagi keempatnya akan bertemu di Los Angeles.

Sabar.

Sabar.

Sabar.

Lamongan, 10 Mei 2019


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top