Raport Merah
"Nadiiiiiine.... Kembaliin gak buku gue!!!"
"Ogah! Gak bakal gue balikin sebelum elo ngasih contekan Daslog ke gue!"
"Ya ampun, Nad, gimana gue bisa ngasih contekan ke elo? Kan tugas kita tu essay, dodol!"
"Sebodo amat. Gue pake tugas elo, elo buat lagi yang baru. Kan elo pinter tuh bikin tugas dadakan..."
PLETAK!!!!
"Aduuuuuh..... Jeremy, tega elo ya! Sakit nih, jidat gue."
Nadine mengelus-elus jidatnya yang sukses terkena jitakan jari Jeremy. Bibirnya manyun lima senti, sementara Jeremy masih dongkol dan pantang menyerah tetap berusaha menggapai buku yang dirampas Nadine.
Sayang Jeremy kalah gesit. Nadine yang sudah mencium gelagat Jeremy dengan refleksnya yang super bagus segera melempar buku keramat Jeremy pada Theo. Yang mendapat giliran lemparan secepat kilat memasukkan buku keramat itu dalam tas ranselnya dan segera melarikan diri ke kantin kampus.
Sorry, Jer, gue lebih pilih Nadine ketimbang elo...
Theo nyengir dalam hati. Demi solidaritas dia rela mengkhianati sahabatnya. Jujur lah semua di kelas ini lebih pilih Nadine ke mana-mana. Ratu preman itu tak bisa dilawan blas!
Jeremy ngesot di lantai. Pasrah dia melihat buku keramatnya dibawa lari si Theo. Dalam hati Jeremy berdoa agar Nadine masih punya belas kasihan padanya dengan gak nempelin isi buku itu di mading kampus.
Nadine nyengir kuda melihat Jeremy. Didekatinya cowok blasteran unyu-unyu yang menang tampang melempem nyali itu. Senyum devil-nya beraksi pada Jeremy si unyu.
"Gimana, Sob, masih mau bantu gue kan?" Nadine nyengir.
Jeremy mengangguk pasrah. Kuliah Daslog masih tiga jam lagi. Dia masih punya waktu untuk membuat essay baru lagi. Biarlah essay lamanya dibajak oleh Nadine, daripada nyawanya yang dibajak si Ratu Preman ini.
*****
Kuliah Dasar-dasar Logika a.k.a Daslog adalah mata kuliah wajib semester ini. Dosennya cantik dan ramah, sayang tegasnya minta ampun. Ibu Sonya namanya. Separuh mahasiswa fakultas ini ngefans abis dengan Bu Sonya, setelah ngefans ke pacar masing-masing tentunya. Lha yang separuhnya lagi? Tenang, rasa fans mereka terbagi sama rata pada dosen wanita lain yang tak kalah cantik dan seksinya dengan Bu Sonya.
Dari hari pertama kuliah, Nadine sudah menobatkan Bu Sonya sebagai dosen bebuyutannya. Gimana tidak, coba? Di hari pertama kuliah, Bu Sonya sudah memberi detensi pada Nadine.
Kalau dipikir-pikir salah Nadine juga, sih. Bu Sonya tak bisa menolerir keterlambatan. Kuliah Bu Sonya dimulai jam setengah tujuh tepat. Sementara Nadine yang kebo banget di pagi hari, baru masuk ke kelas saat jam di dinding menunjukkan angka sembilan pagi.
Walhasil perkuliahan yang tinggal setengah jam itu hanya diisi dengan ceramah Bu Sonya pada Nadine. Ditambah dua jam detensi dengan Bu Sonya di ruang dosen. Lengkaplah sudah bad day Nadine hari itu.
Setelahnya, jangan ditanya berapa kali Nadine mendapat nilai C untuk mata kuliah Bu Sonya. Bukan karena Bu Sonya sentimen ke Nadine, tapi karena Nadine yang selalu tak becus mengerjakan tugas kuliah Bu Sonya.
Sekarang Nadine tengah duduk manis dengan Theo di Kantin Pedro. Mereka berdua menunggui dengan setia sahabat satu geng mereka, si Jeremy yang sedang membuat essay baru untuk kuliah Bu Sonya.
Essay Jeremy sebelumnya dengan amat tak rela terpaksa Jeremy berikan pada Nadine. Gadis cantik berpipi tembem itu memang sangat lemah di banyak mata kuliah. Dan korban setia bullying Nadine mengerjakan tugas hanyalah Jeremy yang memang manusia jenius sekelas.
"Nad, elo juga belajar, gih, sono. Ketimbang cuma liatin gue aja."
Nadine mencibir mangkel. Enak saja si Jeremy ngomong. Keahlian Nadine, kan, cuma satu. Dia hanya salah masuk jurusan saja di fakultas ini.
"Kepala gue rasanya mau pecah, Jer," Nadine menggeleng cepat, "Gue males banget ngapalin teori di sini."
Jeremy melengos, "Elo pake salah masuk jurusan sih, Nad."
Nadine manyun. Fakultas Ilmu Sosial memang sama sekali bukan pilihannya. Hanya demi wasiat sang ayah saja dia rela masuk ke fakultas yang membuatnya malas setengah hidup.
Theo menyeruput kopi panasnya, "Elo pindah fakultas aja, Nad. Mumpung masih semester awal, nih. Paling juga elo rugi biaya masuk aja."
PLETAK!!!
Nadine memukul kepala Theo.
"Issshhh.... Elo tuh ya, jadi cewek kalem dikit napa? Gak usah pake ganas ke gue."
"Elo mau pukulan tangan gue berubah jadi tendangan kaki?" Nadine melirik sebal.
"Eits, ogah gue, Nad," Theo buru-buru menggelengkan kepala.
Nadine diam. Jeremy dan Theo ikut-ikutan diam. Trio unik itu sibuk dengan pikiran masing-masing.
Jeremy dan Theo sudah amat tahu dengan Nadine yang sangat tak suka kuliah di Fakultas Ilmu Sosial. Mereka juga amat tahu jika pilihan kuliah ini adalah hasil perdebatan sengit antara Nadine dengan mendiang ayahnya. Hanya mereka berdua yang tahu kehidupan Nadine. Gadis ganas itu akan mem-bully mereka habis-habisan jika sampai ada orang lain yang tahu tentang kehidupan Nadine.
"Setiap rupiah yang gue keluarin berharga banget, Theo," Nadine akhirnya buka suara.
"Gue bayarin, deh," Jeremy bicara, "Kasihan elo, Nad, kelihatan kuliah tapi gak ngerti blas teori yang elo pelajari."
Nadine ngakak, "Itu bahasa halus buat gue ya, Jer? Elo mau bilang gue goblok gitu?"
"Bukan gue yang bilang loh, Nad."
PLETAK!!!
"Aduh, Nad, jangan ganas lagi ke gue, dong. Kalo gue ikutan goblok elo juga yang susah nanti."
Jeremy mengelu-elus jidatnya yang baru kena pukul Nadine.
"Janganlah, gue masih sayang otak elo. Otak elo tuh, aset berharga gue."
"Wah, enak banget elo ngomong, Nad. Otak gue ya aset gue lah," Jeremy manyun.
Nadine nyengir.
"Sob, traktir gue, yak? Gi bokek, nih."
Theo dan Jeremy kompak mengangguk.
"Gue cabut dulu."
Theo dan Jeremy kompak mendongak.
"Elo mau ke mana?" tanya mereka berdua barengan.
"Cieee.... Udah kayak kembar siam dibelah kapak ajah elo berdua. Ngomong pake barengan," Nadine meledek.
Jeremy menahan tangan Nadine yang hendak pergi.
"Elo mau ke mana, Nad?"
Nadine menyambar tas selempang, melepas pegangan Jeremy, dan melenggang keluar kantin.
"Cari duit!" Nadine berteriak.
Jeremy dan Theo berpandangan. Lalu keduanya sama-sama mengangkat bahu cuek dan balik ke aktivitas masing-masing.
*****
Sonya menghentikan mobilnya di pom bensin terdekat. Honda Jazz merahnya sudah kelaparan dan butuh diberi makan segera. Untunglah antrian kendaraan di pom bensin ini tak terlalu panjang. Sonya hanya butuh tak sampai lima menit untuk maju ke antrian pertama.
"Full ya mbak," Sonya berkata.
"Baik, bu."
Gadis berbaju merah khas kostum pegawai pom bensin membalikkan badan. Sonya terbelalak. Gadis itu juga terbelalak.
"Nadine?!"
"Bu Sonya?!"
*****
Mereka berdua duduk di kafe. Saling berdiam diri. Sonya menatap gadis manis di hadapannya. Yang ditatap melengos jengah sambil terus mengaduk minumannya.
"Jadi hari ini kamu bolos kuliah saya?" Sonya memecah kesunyian.
Nadine menggerutu dalam hati. Apes banget gue hari ini. Udah sukses bolos malah ketemu dosen bebuyutan di tempat kerja.
"Maafkan saya, Bu," Nadine bergumam pelan.
"Saya tidak mendengar jawabanmu."
Aduuuh... Ini dosen kenapa resek banget, siiiih.... Untung cantik, kalo gak udah gue kerjain, deh!
"Maafkan saya, Bu. Saya bolos hari ini."
Sonya menghela napas. Ditatapnya gadis di depannya. Sonya tahu umur gadis ini tidak jauh-jauh darinya. Pasti masih di sekitar sembilan belas tahun. Sonya memang baru berumur dua puluh dua tahun. Dia termasuk siswa pintar di kelas dahulu. Berkali-kali loncat kelas mulai dari SD hingga SMA, akhirnya berhasil lulus S2 enam bulan yang lalu di usia dua puluh dua tahun dan langsung ditawari menjadi dosen di almamaternya.
Hanya demi menjaga wibawa maka Sonya berpenampilan lebih tua dari usianya. Sejatinya Sonya tidak terlalu berjarak jauh umurnya dengan Nadine, mahasiswi yang membekas sangat dalam di ingatannya.
Baru Nadine yang sukses membuatnya nyaris naik pitam karena tingkah polah gadis itu selama mata kuliahnya. Belum lagi tingkahnya yang seolah tidak menghormatinya sebagai dosen. Sonya sering memberikan detensi untuk Nadine dengan harapan agar Nadine bisa berubah jadi lebih baik. Nyatanya hasilnya malah nol besar.
Dilihatnya Nadine masih mengaduk-aduk minumannya. Sonya sungguh surprise mendapati Nadine bekerja di pom bensin pada jam kuliahnya.
Awalnya Sonya mengira Nadine termasuk keturunan keluarga kaya raya yang manja dan egois. Karena begitulah mayoritas tipe mahasiswi di kampus tempatnya mengajar. Persepsi itu juga yang membuatnya bisa memaklumi perilaku Nadine yang seolah terus menantangnya dengan sikap liarnya.
Tapi, beberapa jam yang lalu semua penilaiannya tentang Nadine runtuh begitu saja. Sonya memintakan ijin pada bos Nadine dan meminjam gadis itu sebentar. Dari basa-basi dengan bos Nadine, Sonya tahu jika Nadine tidak hanya bekerja di pom bensin saja, tapi juga di sebuah supermarket tak jauh dari kampus.
Mendadak sebuah ide melintas di benak Sonya. Dia tahu sebuah informasi kecil yang tak sengaja didengarnya di toilet kampus. Itu karena Nadine yang sangat populer di fakultas hingga dijuluki Ratu Preman.
"Apa kamu butuh uang?"
Nadine menghentikan adukan vanilla shake-nya. Matanya menatap tajam dosen di depannya.
Sonya tertawa, "Jangan curiga padaku, Nadine."
"Kita biasanya bermusuhan, Bu. Sungguh suatu keajaiban jika anda memberi saya pekerjaan."
"Dan keajaiban itu sudah datang, Nadine," Sonya tersenyum lebar.
Nadine menyipitkan mata curiga.
"Aku tahu keahlianmu yang lain. Aku akan memberimu pekerjaan, gajinya besar, dan kamu tak perlu capek-capek mengisi bensin seperti sekarang."
"Hah, mana ada pekerjaan seperti itu?" Nadine curiga.
"Ada, Nadine. Tapi aku punya syarat untukmu."
Nadine melengos, "Sudah saya duga."
"Ratu Preman tidak berani menerima tantangan?"
Nadine tersentak. Sonya tersenyum-senyum.
Sialan ini dosen... Tahu darimana kalau temen-temen manggil gue Ratu Preman?
"Bagaimana, Nadine?"
Nadine kini memfokuskan perhatiannya pada Sonya.
"Kenapa anda mau memberi saya pekerjaan?" Nadine masih curiga.
Sonya tersenyum. Bagi Nadine, senyum Sonya terlihat bagaikan devil's smile.
"Anggap ini raport merahmu, Nadine. Membolos di mata kuliah aku, mengumpulka tugas yang bukan milikmu, dan sering membantah ucapanku."
Nadine terbelalak. Ini dasar dosen sok bossy banget, sih! Nadine ngedumel dalam hati.
"Bagaimana, kamu mau atau tidak, Ratu Preman?" Sonya menekankan ucapannya pada dua kata terakhir.
Tanpa pikir panjang Nadine berujar, "Katakan pada saya apa syaratnya?"
*****
Chapter ke-3. Tak terasa bisa nulis sampai 3 chapter dalam sehari. Semoga kalian suka ya... Ditunggu vomennya readers... 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top