Kontrak Baru
Cindy mengetuk pelan pintu di depannya. Sebuah suara bass menyahut ketukan Cindy, mempersilakannya masuk.
Perlahan wanita cantik berambut pirang bertubuh tinggi semampai itu membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Dirinya langsung disambut dengan pemandangan ruang yang lapang dan nyaman.
Tak banyak furniture di ruangan itu. Hanya satu set meja kerja dari kayu yang dipernis mengilap, sat set sofa besar yang nyaman, dan rak-rak buku yang menutup dua sisi dinding. Satu bagian dindingnya yang terbuat dari material kaca menampilkan view New York di musim gugur yang sejuk. Ruangan yang didominasi warna cokelat ini terasa hangat dan personal dengan hadirnya beberapa lukisan naturalis yang tergantung di bagian dinding yang kosong.
Mata Cindy tertuju lurus pada sosok laki-laki yang tengah tertunduk tekun di meja kerja. Tampak laki-laki itu membuka-buka cepat tumpukan dokumen di depannya. Sesekali kernyitan halus muncul di dahi laki-laki itu saat dia menemukan sesuatu dalam dokumen.
Cindy mendekati satu-satunya penghuni di ruangan ini. Tanpa ragu dan bernada tegas Cindy berujar, "Annabelle marah besar, Aryan. "
Laki-laki itu mendongak. Matanya terpaku lurus ke arah Cindy. Wajahnya yang tampan terlihat bingung. Cindy jadi gemas melihatnya. Dengan kesal Cindy melemparkan sebuah map ke atas meja, menggeser posisi dokumen yang tengah dipelajari laki-laki di hadapannya.
Perlahan laki-laki yang dipanggil Aryan itu membuka map di hadapannya. Matanya dengan cepat mempelajari isi berkas dalam map. Hanya ada selembar kertas berisi huruf-huruf mungil dan sebuah foto gadis cantik berhidung mancung. Itu adalah kertas biodata dari wanita kesepuluh yang diberikan Cindy pada Aryan.
Bibir Aryan melengkung, mencetak senyum simpul yang menawan hati siapapun yang memandangnya. Sayangnya Cindy sudah kebal dengan senyum maut adiknya.
"Kenapa Annabelle marah?" Aryan bertanya lembut.
Cindy menghela napas kesal. Dihempaskannya tubuh ke kursi dan menatap Aryan tajam.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kenapa Annabelle bisa sampai semarah itu padamu? Kamu tahu, Aryan, Annabelle adalah gadis yang cocok untukmu. Dia cantik, terpelajar, berasal dari keluarga yang berkedudukan tinggi. Ke mana lagi aku harus mencari gadis seperti itu di dunia ini?"
Aryan tertawa mendengar Cindy yang dramatis. Cindy melotot. Benar-benar kesal dia pada adik bungsunya ini. Hanya Aryan yang masih membuatnya pusing hingga sekarang.
"Hentikan saja usahamu mencarikan aku jodoh, Kakak," Aryan bergumam.
"Usiamu sudah tiga puluh tahun, Adikku. Aku tak mau melihatmu terus melajang dan menjadi topik perbincangan di mana-mana."
"Eh, hanya itukah alasanmu, Kakak?" Aryan bertanya geli.
Cindy mendecih sebal. Dialihkannya pandangan ke luar. New York di musim gugur sungguh indah. Dari kantor adiknya yang terletak di lantai 11 ini, Cindy bisa melihat kesibukan di bawah sana. Gedung-gedung tinggi menjulang di mana-mana. Manusia-manusia berjalan cepat di trotoar, dari ketinggian ini mereka tampak bagai barisan semut yang padat merayap.
Cindy menghela napas, "Aku takut meninggalkanmu sendiri tanpa pendamping, Aryan. Usiaku sudah semakin tua, aku tak bisa terus-terusan mengawasimu...."
"Omong kosong! Kakak masih muda, baru juga empat puluh delapan tahun. Jangan bicara seolah kamu akan meninggalkanku besok."
Cindy mengibaskan tangan kesal, "Tetap saja umurku sudah semakin menua. Hanya kamu adikku yang masih betah melajang sampai sekarang. Apalagi yang kamu cari? Cepatlah menikah dan buat aku tenang."
Aryan terdiam. Dia tak mungkin mengatakan pada kakaknya jika wanita-wanita yang dekat dengannya selama ini belum bisa menyentuh hatinya. Itu alasan yang di luar logika bagi Cindy.
Aryan tahu betul bagaimana sosok kakaknya yang sekaligus walinya ini. Bukan dia menuduh Cindy materialistis. Namun, kasih sayang Cindy lebih banyak terdeskripsi dalam bentuk materi, kedudukan yang tinggi, atau masa depan yang mapan.
Aryan tak menyalahkan Cindy. Kakak perempuannya sekaligus dua kakak laki-lakinya yang lain dibesarkan dalam lingkungan seperti itu. Hanya dia satu-satunya yang mendapat limpahan kasih sayang sejak kecil.
"Katakan padaku kenapa Annabelle sampai marah?" Aryan mengganti topik pembicaraan.
"Annabelle tersinggung dengan sikapmu yang meninggalkannya begitu saja di restoran tempo hari," Cindy menjawab.
Aryan tertegun. Dia benar-benar lupa pada Annabelle saat itu. Prospek mendapatkan mega proyek di Asia begitu menarik perhatiannya hingga membuat Aryan melupakan Annabelle.
"Maafkan aku," Aryan berujar pelan.
"Jangan minta maaf padaku. Minta maaflah pada Annabelle."
"Kukira dia tak mau menemuiku lagi."
Cindy mengibaskan tangannya, "Omong kosong! Dia pasti akan memaafkanmu jika kamu mendatanginya di apartemennya. "
Aryan diam. Dia tak suka dengan kemungkinan jika dirinya harus berduaan dengan Annabelle di apartemen. Sementara kakaknya ini justru memberi kesempatan berduaan untuknya dan Annabelle.
"Ngomong-ngomong kenapa tempo hari kamu meninggalkan Annabelle begitu saja?" Cindy penasaran.
"Oh, itu.... Aku baru ditelepon direktur pemasaran. Dia memberitahuku, perusahaanku menang tender untuk membangun mega proyek real estate di Asia Tenggara."
"Dan di bagian mana tepatnya Asia Tenggara yang akan perusahaanmu kunjungi itu, Aryan?"
"Indonesia," jawab Aryan pendek.
Mata Cindy membulat, "Di mana itu Indonesia? Ah, sudahlah! Tak penting di mana itu Indonesia. Yang penting minggu depan kamu harus menemui Annabelle dan meminta maaf padanya."
Aryan berdehem, "Ehem.. Kakak? Sepertinya aku tak bisa memenuhi permintaanmu."
"Eh, kenapa?"
"Karena aku sendiri yang akan mengurus proyek ini."
"Maksudmu?"
"Kakak, aku akan tinggal di Indonesia sampai proyek ini selesai."
******
Ini adalah chapter pertama dari Semusim di Indonesia. Semoga readers semua menyukainya. Next chapter akan menyusul beberapa hari lagi. ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top