9

Kala cinta menggoda sudah saya repost ya..

Sinopsis SEMUA KARENA CINTA. Ada sedikit perubahan.

***

"Keadaan Saka bagaimana?" tanya mamanya melalui telfon saat Adeeva beristirahat di kamar ibu mertuanya. Akhirnya Desi Dirgantara harus dirawat inap karena menderita tekanan darah tinggi.

"Masih belum sadar, Ma." jawabnya pelan.

"Bagaimana kejadiannya?"

"Mereka dari hotel mau ke bandara. Tiba-tiba truk di depan pecah ban. Mobil dalam kecepatan tinggi. Kebetulan Mas Saka duduk di depan."

"Keadaan Ibu mertuamu?"

"Mama syok, tekanan darahnya naik. Sekarang dirawat juga."

Terdengar helaan nafas berat sang mama.

"Kamu?"

"Aku baik-baik saja, Ma."

"Kamu harus kuat ya, Deev? Sekarang kamu yang harus sehat agar bisa berpikir jernih. Supaya tetap bisa mendampingi suami dan mertuamu. Jangan lupa makan dan istirahat. Mama besok ke sana. Papa sudah kasih ijin."

"Nggak usah repot, nanti mama capek."

"Enggak, mama sama sekali nggak repot. Sekalian mau lihat kondisi Saka. Kamu sudah makan?"

Adeeva terdiam, ia memang belum makan sama sekali sejak tadi pagi.

"Belum, kan? Ayo, kamu ke kantin. Biar sedikit harus makan, bagaimana mau menjaga Saka yang sakit kalau nanti akirnya kamu juga sakit? Ingat, menjadi istri itu harus kuat apalagi saat pasangan kamu lemah. Jangan sampai kamu malah sakit karena tidak mengurus diri sendiri. Kasihan Saka nanti. Dia butuh dukungan kamu."

"Iya, ma."

"Ayo sekarang kamu ke kantin. Mama tungguin. Kalau pesan online nanti kelamaan."

Akhirnya Adeeva bangkit dari ranjang dan mengikuti saran mamanya. Meski sebenarnya sangat malas. Hatinya masih hancur melihat kondisi Saka. Selesai makan yang hanya sedikit. Ia kembali ke ruang ICU. Bertanya tentang keadaan suaminya pada perawat dan dokter yang berjaga. Ia bisa bernafas lega, karena kondisi Saka kini lebih stabil.

Saat memasuki ruangan, cukup lama Adeeva di sana. Sebelum ke luar ia sempat berbisik.

"Cepat sadar ya mas, ada aku yang menunggu. Ini sekalian nungguin mama juga. Mas sayang sama aku kan? Jangan lama-lama sakitnya." Selesai mengucapkan itu barulah Adeeva beranjak dari sana.

***

Kedatangan ayah mertuanya membuat Adeeva sedikit lega. Ia yang pada awalnya merasa sendirian dan bingung kini merasa memiliki teman bicara. Ayah mertuanya juga menemani sang istri. Tak lama mama Adeeva juga tiba di Surabaya. Sesuai saran ayah mertuanya, akhirnya malam itu ia dan mamanya menginap di hotel saja untuk istirahat. Sementara Pak Dirgantara memilih menginap di rumah sakit.

Awalnya Adeeva tidak mau, tapi setelah semua pihak membujuk, perempuan itu mengalah. Karena sebenarnya ia juga sudah letih. Sesampai di kamar, mamanya segera memberikan roti dan membuat teh.

"Ayo isi perut kamu dulu. Supaya besok punya tenaga yang cukup. Ingat menjaga orang sakit butuh energi yang besar meskipun semua sudah diurus ayah mertuamu."

"Aku masih nggak percaya ma."

"Ini kenyataan yang harus dihadapi. Percaya atau tidak, semua sudah terjadi. Sekarang, kita harus berpikir apa yang terbaik untuk Saka."

Adeeva mengangguk pelan sambil meminum tehnya. Rasanya tidak sanggup melihat kondisi Saka.

***

Kondisi Saka yang masih berada di ICU membuat Adeeva terus menunggu dengan tidak pasti. Ia juga dengan tekun mendengarkan penjelasan dokter setiap bertemu. Dan akhirnya kabar buruk itu terdengar, Saka lumpuh. Adeeva memejamkan mata sejenak, mencoba menerima semua. Namun ia tetap berusaha kuat.

Mamanya masih menemani. Berusaha memberikan nasehat pada Adeeva. Ia tahu, putrinya tidak pernah mengalami hal seberat ini. Siapa yang menyangka? Pernikahan mereka belum lagi enam bulan. Tapi sudah mendapatkan cobaan sebesar sekarang. Selama itu pula, Adeeva berusaha tegar.

Tiga hari kemudian, Akhirnya Saka sadar. Seluruh keluarga yang masih menemani akhirnya bersyukur. Dokter memindahkan ke ruangan rawat inap. Saka yang sekarang lebih banyak diam. Apalagi setelah tahu bahwa kakinya lumpuh. Kadang berjam-jam ia hanya menatap kedua kakinya. Adeeva masih tetap menemani. Ia tahu ini tidak mudah. Saat akhirnya mereka hanya berdua, Adeeva berkata,

"Mas istirahat dulu."

"Kamu kenapa masih di sini? Seharusnya kan kamu kerja di Jakarta? Aku akan baik-baik saja, ada banyak perawat."

Adeeva berusaha tersenyum, meski sangat sulit. "Mas lebih penting dari pekerjaanku. Aku senang mas sudah sadar."

"Aku jadi merepotkan kamu. Kamu sudah tahu kan kalau aku lumpuh?"

"Aku sudah tahu, dan mas sama sekali enggak merepotkan. Aku memilih menjaga mas agar aku juga tenang. Kalau aku di Jakarta pasti nggak bisa fokus. Mikirin mas di sini."

Saka memejamkan matanya. "Seharusnya kamu bahagia karena sudah bekerja. Itu mimpi kamu, kan? Pulanglah, kejar cita-cita kamu."

"Aku sudah mengundurkan diri."

"Kenapa? Karena harus menjagaku?"

"Aku masih istri mas. Pekerjaan bisa dicari kapan-kapan. Tapi mas tidak mungkin sendirian."

"Aku seperti orang yang menghancurkan hidupmu."

"Mas nggak boleh ngomong begitu. Ini sudah tugasku mendampingi mas disaat sehat maupun sakit. Ingat janji pernikahan kita."

Saka menghembuskan nafas kasar. Ia sama sekali tidak suka dengan jawaban Adeeva.

"Jangan mengatakan itu untuk menutupi rasa kasihan kamu. Tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang laki-laki cacat."

Adeeva kini diam, Saka sedang berada pada titik nol. Ia hanya duduk di samping ranjang Saka.

"Mama juga tadi sepertinya sakit."

"Hanya terlalu kaget mendengar kabar mas kemarin. Apalagi saat sampai di sini tahu keadaan mas sebenarnya. Tapi tenang saja, Mama sudah dirawat kok. Dan mulai pulih."

"Aku jadi menyusahkan banyak orang."

"Jangan berpikir begitu. Kita tidak pernah tahu ini akan terjadi. Mas istirahat saja dulu, ya. Aku akan jaga."

Saka akhirnya diam, dia tidak punya apapun lagi untuk dikatakan. Ada rasa marah terhadap kondisinya sekarang. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Hari-hari Adeeva di rumah sakit hanya diisi menjaga Saka. Mamanya menemani selama lima hari. Setelah itu kembali ke Jakarta. Demikian juga ibu mertuanya. Kini ia harus sendirian berhadapan dengan Saka yang seratus persen berubah. Yang dulu sangat mandiri dan tegar. Kini menjadi pemurung dan sering marah. Terutama bila ia terlambat menghampiri atau tidak paham dengan keinginan sang suami.

Adeeva sendiri juga tengah berada dalam posisi berusaha menerima keadaan. Sendirian ia mengurusi Saka juga mengurus diri sendiri yang sudah mulai Lelah karena kurang istirahat. Apalagi jika Saka tidak suka pada makanan rumah sakit. Ia harus memutar otak untuk mencari menu.

Beruntung akhirnya menemukan sebuah catering makanan sehat. Segera ia memesan. Setidaknya saat Saka tidak berselera pada makanan rumah sakit, masih ada menu pilihan lain. Beruntung juga menu catering selalu dihidangkan dengan tampilan yang cantik dan menu yang berganti. Kadang jika malas ke luar untuk mencari makanan, Adeeva memilih menghabiskan sisa makanan suaminya.

Setiap ada waktu, mama dan ibu mertuanya akan menelfon. Sedikit lumayan untuk mengurangi kejenuhan dan rasa sepi. Karena ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Dunianya benar-benar gelap sekarang. Apalagi di malam hari, saat ia tidak bisa tidur lelap.

Kadang Saka meminta sesuatu, seperti minum saat tengaj malam. Ia harus sering bangun. Belum lagi memeriksa kantung kateter yang kadang penuh. Visit dokter juga kadang sudah lewat jam sepuluh malam, karena menunggu mereka selesai praktek. Adeeva merasa Lelah, tapi tidak ada pilihan lain.

Kini Saka lebih sering diam. Juga belum bisa diajak ke luar untuk berjemur. Karena memang masih menggunakan kateter. Entah kapan ini semua berakhir. Belum lagi harus menjalani berbagai pemeriksaan. Yang tidak hanya mengganggu istirahat Saka. Juga menimbulkan kecemasan yang berlebih pada diri Adeeva.

Ia sendirian menghadapi semua. Meski ibu mertuanya kadang menghubungi tetap saja beban itu tidak berkurang. Hampir setiap jam ia terbangun di malam hari. Dan akhirnya tidak bisa tidur kembali. Ditatapnya Saka yang terlelap. Tidak tahu apa yang terjadi besok. Mengingat banyaknya masalah kesehatan yang mengikuti. Kadang ia tidak tega melihat begitu banyak suntikan dan juga obat.

***

Pagi itu, Adeeva bangun kesiangan. Sepanjang malam Saka merintih, karena demam. Mereka harus menunggu kedatangan dokter untuk mendapatkan kepastian. Sudah pukul delapan pagi. Tidak mungkin baginya meninggalkan Saka sendirian. Sementara ia belum sarapan.

Ditatapnya kembali tumpukan roti, tapi tidak berselera sama sekali. Perlahan Adeeva menghembuskan nafas kesal. Bagaimana caranya membeli sarapan? Takut kalau saat ia turun nanti, tiba-tiba dokter datang. Akhirnya perempuan itu memutuskan untuk tetap di kamar. Saka yang tahu sejak tadi diam akhirnya bicara.

"Kamu kok belum sarapan?'

"Nunggu dokter, Mas. Takut kelewat."

"Nggak apa-apa, nanti aku yang ngomong."

"Aku sekalian mau nanya, kenapa mas demam tadi malam."

Keduanya kini diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai tak lama kemudian terdengar pintu diketuk. Adeeva mengira kalau itu adalah rombongan dokter. Namun ternyata ia salah. Seorang ibu paruh baya memunculkan wajahnya.

"Ada apa bu?" tanya Adeeva.

"Maaf mbak, saya jualan nasi, mie dan kue-kue untuk sarapan. Apa mbaknya mau?"

Adeeva akhirnya bisa tersenyum lega. "Ya bu, mari masuk."

Sang ibu segera mendorong trolley yang berisi banyak makanan. Adeeva yang sudah beberapa hari tidak memiliki nafsu makan segera mendekat. Akhirnya memilih nasi krawu dan beberapa jenis kue seperti pastel dan panada. Tidak terlalu mahal ternyata.

"Kok saya tidak pernah melihat ibu datang kemari?"

"Ini ruangan VIP mbak. Saya jarang naik. Kecuali kalau ada perawat yang minta. Tadi sekalian."

"Ibu datang pagi-pagi saja?"

"Sore juga, mbak. Oh ya, mbaknya jaga sendirian?"

"Iya bu, suami saya kecelakaan." jawab Adeeva sambal tersenyum sedih.

"Yang sabar mbak, suami saya juga dulu kecelakaan. Padahal sebelumnya dia yang cari nafkah. Saya malah nggak punya apa-apa waktu itu. Semua habis mbak, motor juga dijual untuk biaya berobat. Beruntung ada tetangga yang menawari menggantikan dia jualan di sini. Alhamdulillah, akhirnya sekarang anak-anak juga bisa sekolah."

***

Happy reading

Maaf untuk typo

30521

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top