2
Saka menatap Adeeva yang mematung dihadapannya. Jemari gadis itu terus bergetar. Matanya kosong dan sembab. Wajahnya pucat, dengan air mata yang terus mengalir. Berulang kali, menghapus dengan tisyu, namun tak kunjung berhenti. Tidak tega, Saka mengalihkan tatapan ke seisi rumah yang sudah mulai dihias. Pertama kali menginjakkan kaki di sini, ia bisa merasakan kesedihan mereka. Dan paham bagaimana keluarga yang ada dihadapannya kelak harus menghadapi ulah Keenan.
"Pernikahan kurang tiga hari lagi, Mbak yu. Bagaimana kami harus menyampaikan pada seluruh keluarga dan undangan." Ibu Adeeve berkata sambil menangis.
Keluarga Dirgantara terdiam.
"Apa salah Adeeva? Saya sudah bertanya dari kemarin. Apakah mereka bertengkar? Atau ada masalah yang sebenarnya tidak terselesaikan. Tapi Adeeva menjawab tidak."
"Saya masih terus berusaha mencari keberadaan Keenan. Kami pun tidak tahu alasannya. Ia hanya mengatakan tidak bisa menikahi Adeeva. Itupun hanya melalui pesan singkat." Pak Dirgantara masih berusaha menenangkan.
"Bagaimana kalau tidak ketemu?"
Semua tersentak mendengar pertanyaan mama Adeeva. Saka menatap wajah-wajah sendu di depannya. Ia benar-benar kasihan pada Adeeva. Selama yang ia tahu beberapa kali bertemu dengan gadis itu. Sosoknya pemalu dan selalu sopan. Tidak banyak bicara, namun kelembutannya mampu meruntuhkan ketidaksukaan ibunya. Saka tahu bagaimana mama dulu sangat tidak suka pada perempuan yang kini terlihat tak berdaya dihadapannya. Namun akhirnya mengalah setelah melihat, bahwa hanya Adeeva yang sanggup merubah sikap kekanakan adiknya. Tapi kini, kenapa malah ditinggalkan begitu saja?
Pertemuan masih terasa kaku. Sampai kemudian Nyonya Dirgantara berkata, "kalau, sampai besok Keenan tidak pulang. Deeva mau bagaimana, sayang?"
Adeeva meremas jemarinya yang putih.
"Mau bagaimana lagi, Tan. Mungkin ini memang sudah takdirku."
Ucapan dengan nada pasrah itu, terdengar menyakitkan bagi Saka. Desi Dirgantara menatap calon menantunya yang hampir gagal penuh rasa kasihan.
"Boleh, tante tanya sesuatu?"
Adeeva mengangguk.
"Maaf, kalau pertanyaan tante menyinggung perasaanmu. Tapi ini penting bagi kami. Apa kamu sedang hamil?"
Gadis itu menggeleng cepat. "Tidak."
"Kamu yakin? Bicara sama tante apa saja yang sudah dilakukan Keenan. Supaya tante juga bisa mengambil tindakan selanjutnya."
"Kami tidak pernah melakukan sesuatu yang diluar batas."
Ayah gadis itu mengepalkan jemarinya. Namun masih bisa berkata dengan pelan. "Sudahlah, mungkin mereka memang tidak jodoh. Meski keluarga kami akan sangat malu. Tidak bisa dipaksa juga. Bapak dan ibu juga pasti tidak menginginkan ini terjadi." ucapnya sambil mengelus rambut putri semata wayangnya.
"Jodoh tidak bisa dipaksakan. Saya hanya takut tidak bisa menahan diri. Dia sudah menghancurkan hati anak saya dan mempermalukan keluarga kami. Saya tidak akan menuntut apa-apa selain penjelasan, kenapa ia melakukan ini."
"Masalah ini tidak hanya melukai hati keluarga Pak Wira, tapi keluarga kami juga..." jawab ibu Saka.
Belum selesai kalimat sang mama, Adeeva pingsan.
***
Saka masih berada di kamar Adeeva. Meski terkesan kecil, namun semua ditata rapi. Foto Keenan masih ada di dinding dan di atas meja. Ia menatap wajah calon adik iparnya lekat. Seolah tak bernyawa. Seluruh keluarga kini kembali ke ruang tamu. Sementara beberapa orang terlihat mulai menurunkan kain penutup dinding. Menyatakan bahwa pesta resmi dibatalkan. Ia sengaja tinggal di kamar karena ingin bicara secara pribadi.
"Kenapa Mas Saka masih di sini?" Tanya Adeeva sambil meremas selimut.
"Secara pribadi saya minta maaf atas sikap Keenan. Ini pasti menyakitkan buat kamu. Saya menyesal belum bertemu dengannya sejak pulang kemarin."
"Mas Saka nggak salah. Mungkin dia merasa memiliki alasan yang benar. Lalu untuk apa diteruskan?"
"Kamu pasti sangat terluka. Tapi kenapa dia tega?"
"Dia bilang kalau perasaan cinta ke aku sudah habis. Dan tidak bisa melanjutkan pernikahan. Aku hanya ingin bertanya, kenapa harus sekarang? Seharusnya kalau tidak bersedia, dia bisa ngomong dari dulu. Kami bisa membatalkan semuanya. Sekarang bukan lagi tentang perasaanku, Mas. Tapi bagaimana dengan rasa malu papa dan mama? Bagaimana nanti omongan orang. Aku bisa menanggung segalanya, tapi mereka? Aku sudah mempermalukan mereka."
Saka hanya diam. Ia paham tekanan yang ada dalam diri gadis yang ada di hadapannya. Meski dalam hati juga sebenarnya mengumpat keputusan Keenan. Tapi mau bagaimana lagi, adiknya itu sudah menghilang.
"Aku nggak pernah menuntut apapun dari Mas Keenan. Bahkan saat akan menikah, aku hanya meminta pesta kecil. Aku tidak pernah menginginkan lebih dari yang seharusnya. Tapi kenapa bisa seperti ini?"
"Saya turut bersedih, Deev."
Adeeva terlihat sangat lemah. Berkali-kali gadis itu menggelengkan kepala tanpa mengucapkan satu kata pun. Entah kenapa tiba-tiba ada rasa kasihan yang besar dalam diri Saka. Ia memang memiliki pertahanan diri yang kuat dan terbiasa tidak mudah tersulut emosi. Tapi kini yang ada di hadapannya adalah perempuan yang tampak lemah dengan sakit yang tak kasat mata. Sebagai laki-laki, ia merasa bisa berbuat sesuatu, meski tidak yakin ini akan menjadi solusi terbaik.
Akhirnya Saka beranjak dari kamar menuju ruang tamu. Di sana kedua keluarga masih terlihat kalut. Ia tahu keluarga mereka merasa sama beratnya.
"Pa, ma. Saya ingin mengatakan sesuatu." Ucapnya sambil duduk dihadapan mereka.
"Ada apa?"
"Biarkan saya yang menikahi Adeeva."
"Saka!?"
"Jangan nak Saka, kamu tidak bersalah sama sekali." Balas ibu Adeeva.
"Setidaknya ini menjadi jalan keluar untuk masalah kita sekarang. Mama sudah memesan seluruh keperluan pernikahan. Juga sudah mencoba mencari Keenan."
"Pernikahan bukan ajang coba-coba, Saka." Teriak papanya.
"Saya akan menikahi Adeeva. Mama dan tante siapkan saja semuanya. Termasuk segala surat-surat yang dibutuhkan."
"Kamu serius?" Tanya Pak wira.
"Ya, Om. Saya sangat serius. Saya pamit duluan."
Selesai mengucapkan itu, Saka ke luar dari rumah tersebut.
***
Adeeva masih tak percaya saat mamanya memasuki kamar. Lalu mengatakan pernikahan tidak jadi dibatalkan. Ia akan menikah dengan Saka.
"Ma, kenapa harus melibatkan Mas Saka? Kasihan dia harus bertanggung jawab padahal tidak tahu apa-apa. Papa yang minta?"
"Tidak, Saka yang mengatakan sendiri. Ini satu-satunya jalan keluar, Deev."
"Tapi sama saja ma, kita akan malu dan mendapatkan masalah baru. Nama yang tercetak diundangan berbeda dengan yang menikahi aku. Lagi pula kami belum saling mengenal. Kasihan Mas Saka."
"Tadi kami sudah bicara, dan papamu juga menanyakan keseriusannya. Tapi setelah mengatakan itu semua dia langsung pergi. Sekarang pikirkan diri kamu sendiri, Deev. Kamu akan lebih malu lagi kalau tidak terjadi pernikahan. Bebanmu lebih besar. Dengarkan mama, mungkin Keenan bukan jodohmu. Kadang takdir tidak mempertemukan dengan orang yang kita cintai. Tapi memilihkan orang lain yang mencintai kita. Agar kita memahami indahnya dicintai.
Kamu anak mama satu-satunya. Mama percaya kamu akan baik-baik saja bersama Saka. Meski baru pertama melihatnya, mama tahu dia pria yang baik."
Adeeva menangis. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Lupakan Keenan, dan juga cinta kalian. Mama tahu ini semua tidak mudah. Tapi jauh lebih baik dari pada menghabiskan sisa hidupmu dengan penyesalan."
Ada rasa sesak dalam hati gadis itu. Satu hal yang sebenarnya ia inginkan adalah, bertemu dengan Keenan dan bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ia tidak memiliki kuasa apapun untuk meluluskan keinginannya.
***
Jauh dari sana seorang Keenan tengah mengecup kening Ratna. Keduanya tersenyum bahagia.
"Aku nggak menyangka kalau kamu berani meninggalkan Adeeva dan memilih aku."
"Aku sudah lama tidak suka padanya. Tapi mama sangat suka. Jadi aku berusaha bertahan. Seandainya tidak ketemu kamu kemarin, pasti aku tetap tidak menikah dengannya."
"Apa kamu yakin, orang tua kamu akan mengerti dengan kepergian kamu?"
"Biarkan saja, selama ini yang ada dalam pikiran mereka hanya tentang Mas Saka. Seolah aku tidak pernah ada. Masih terasa sakit saat mereka selalu membandingkan kami berdua. Memintaku untuk mengikuti jejak Mas Saka untuk rajin belajar supaya bisa menjadi juara.
Mereka tidak sadar, aku bukan Saka. Aku adalah Keenan. Dan sekarang aku bisa bebas dari seluruh aturan mereka. Terima kasih Rat, akhirnya aku bisa menjadi diri sendiri."
"Kamu nggak kasihan sama Adeeva?"
"Lupakan dia, paling juga nanti bunuh diri. Perempuan lembek begitu."
"Aku akan merasa bersalah kalau itu terjadi."
"Jangan, tidak ada kamu juga aku pasti tetap melakukan hal ini. Semua sudah direncanakan dengan matang."
Keduanya tersenyum dan melanjutkan perjalanan.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
17521
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top