16

Mampir ke HIS MAJESTY yuuuk..

***

Beberapa hari kemudian keduanya tiba di apartemen diantar oleh Desi Dirgantara. Sementara Mama Adeeva tidak bisa ikut karena ada acara keluarga. Namun berjanji datang kalau sudah selesai.

"Kalian yakin bisa tinggal berdua saja? Atau mama perlu kirim seseorang untuk membantu?" sang ibu menatap anak dan menantunya tidak yakin.

"Kami berusaha dulu, Ma. Nanti kalau memang benar-benar tidak bisa, aku akan menghubungi mama. Lagian Mas Saka sudah lebih baik kan? Tadi malah sudah bisa menggeser tubuh sendiri. Sebuah kemajuan yang cukup besar. Semoga setelah ini bisa lebih cepat pulih."

"Kamu yakin bisa sendirian, Deev?"

Adeeva tertawa kecil. "Aku janji, akan meminta bantuan kalau sudah tidak sanggup lagi."

"Jangan lupa juga untuk mengunjungi psikolog yang kemarin sudah kita bicarakan. Nanti beritahu mama kalau mau ke sana. Supaya mama kirim supir."

"Ya, aku akan menghubungi mama. Setelah ini rasanya aku harus belajar menyetir."

"Bagus itu Deev. Setidaknya nanti untuk diri kamu sendiri. Ya Sudah, mama pulang dulu. Atau kamu mau mama di sini menemani Saka karena kamu mau belanja?"

Akhirnya Adeeva mengingat sesuatu. Apartemen ini sudah lama tidak ditempati. Persediaan bahan makanan tidak ada sama sekali.

"Iya, ma. Aku lupa kulkas sudah lama kosong. Ya sudah aku turun sebentar ya."

Desi mengangguk lalu membiarkan menantunya turun ke lantai dasar.

***

Adeeva baru saja selesai memasang sprei. Setelah sejak tadi sibuk mengisi kulkas dan lemari penyimpan makanan. Meski belum sepenuhnya lengkap tapi sudah bisa untuk memasak besok pagi. Selesai semua ia mengikuti Saka berbaring di sofa.

"Kamu capek?"

"Lumayan, Mas. Tapi senang karena semua sudah rapi."

"Ini, kartu ATM dan kartu kreditku. Mulai sekarang kamu yang pegang." Ujar Saka sambil meletakan beberapa kartu ke dalam tangan Adeeva. Namun perempuan itu terlihat enggan. Sungkan karena selama ini benda tersebut selalu berada dalam dompet suaminya.

"Mas pegang saja, nanti aku akan minta kalau butuh."

"Aku akan jarang ke luar. Kamu nanti yang belanja. Lagi pula kamu kan istriku. Sudah selayaknya tahu berapa angka di dalam sana. Cuma satu yang ingin kuingatkan. Jangan pernah meminta pada papa dan mama. Uang kita masih cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Aku akan malu kalau itu terjadi. Sudah cukup waktu kita menumpang kemarin."

"Aku belum pernah meminta kok. Mas."

"Aku percaya. Oh ya, lusa aku mau mencari PC atau laptop baru. Kamu bisa temani aku ke luar?"

Adeeva menatap heran pada suaminya.

"Mas yakin? Buat apa?"

"Mau serius mendalami saham. Selama ini kan cuma sekadar mengisi waktu luang karena pekerjaan menyita pikiranku. Kita butuh uang untuk melanjutkan hidup."

"Aku akan berusaha lebih berhemat. Mas nggak usah capek dulu."

"Bukan maksudku seperti itu. Kemarin semua biaya dibayar asuransi dan juga mama. Sekarang waktunya kita lebih mandiri. Dan aku ingin kamu bahagia dengan kehidupan kita sekarang. Kamu pegang ATM dan kartu kredit ini. Ibaratnya kamu manajer keuanganku sekarang. Aku akan ngomong kalau butuh sesuatu. Aku yakin kok sama kamu."

"Memangnya mas mau ngapain?"

"Mencoba bekerja dari rumah. Memanfaatkan yang selama ini sudah ada. Kita butuh biaya untuk bertahan hidup, kan?" ucap Saka sambil membenahi anak rambut yang jatuh di kening istrinya. Membuat Adeeva tersipu malu.

***

Siang itu Adeeva mendorong kursi roda Saka mengelilingi sebuah mal yang terkenal menjadi pusat penjualan perlengkapan komputer. Dengan teliti Saka bertanya kapasitas setiap merk yang sudah diincarnya. Sementara Adeeva lebih suka mendengarkan. Karena ia memang tidak paham mengenai hal tersebut. Sampai kemudian mereka membeli sesuai kebutuhan Saka.

Sebelum pulang keduanya mampir di sebuah food court untuk makan siang. Beberapa orang menatap mereka, namun kebanyakan terlihat acuh.

"Ternyata semua tidak sesulit yang kubayangkan." ucap Saka sambil menyuapkan makan siangnya.

"Makanya jangan takut duluan. Semua biasa saja kan?"

"Ya, aku yang selama ini terlalu takut untuk ke luar."

"Kita masih beruntung, bisa membeli apa yang kita inginkan dan mendapatkan pengobatan terbaik. Oh ya, besok mas terapi aku yang nemenin?"

"Mau siapa lagi?"

Adeeva hanya tersenyum. Ya kini mereka benar-benar berdua. Tadi pagi Saka sudah bisa duduk sendiri dan menggeser tubuh lebih cepat. Semua memang belum sempurna, tapi melihat semangat yang ada, ia merasa lega. Setidaknya tidak berhadapan dengan wajah putus asa terus menerus.

Selesai makan keduanya turun untuk menunggu taksi. Bagi Saka sudah jauh lebih mudah. Karena sang supir ikut membantu pindah dari kursi roda untuk masuk ke dalam mobil. Bahkan Adeeva yang sudah melipat kursi roda tidak dibiarkan memasukkan sendiri ke dalam bagasi. Ditengah perjalanan Saka berbisik agar memberikan tip sedikit lebih nantinya. Karena suka terhadap pelayanannya.

Saat sedang macet sang sopir berkata.

"Beruntung hari ini ketemu dengan mas dan mbak. Saya baru dapat dua penumpang."

"Oh ya? Sepi ya pak sekarang?" balas Saka.

"Iya, mas. Apalagi taksi online yang murah kan banyak. Orang beralih ke sana semua."

"Sudah berapa lama bawa taksi, pak?"

"Hampir tiga tahun. Sejak saya di PHK dari sebuah pabrik sepatu di Tanggerang. Anak dan istri kan harus tetap makan mas. Disyukuri saja. Kalau lagi banyak penumpang berarti rejeki anak dan istri saya. Selama kita niat bekerja, Tuhan pasti kasih rejeki."

"Iya sih, pak. Ibu di rumah kerja apa?"

"Bantu-bantu di warung ayam penyet gitu. Dari sore sekitar jam empat sampai jam sepuluh malam. Dulu kalau pagi, ada bantu tetangga jaga anak kecil karena orang tuanya kerja. Tapi sekarang tidak lagi, karena sudah ada pemabntu di rumah."

"Bapak tinggal di mana?" tanya Adeeva.

Sang sopir menyebutkan alamatnya. Yang ternyata tidak jauh dari apartemen mereka. Sepanjang jalan obrolan terus berlanjut hingga tak terasa perjalanan berakhir. Mereka tiba di apartemen.

"Pak, boleh minta nomor ponselnya? Saya beberapa hari sekali harus terapi. Siapa tahu posisi bapak tidak jauh, jadi bisa antar dan jemput saya."

"Oh, bisa mas." Jawab Pak Agus dengan penuh semangat.

Saka segera memasukkan nomor ponsel sang sopir. Dengan telaten ia juga membantu sampai Saka turun dan kembali duduk di kursi rodanya. Setelah pamit, Adeeva segera mendorong suaminya memasuki lift yang terletak di basement.

"Aku senang hari ini." ucap Saka saat mereka berada di dalam lift. "Ternyata banyak yang seperti kita, tapi dengan masalah yang berbeda. Sepertinya bapak tadi."

"Iya mas, aku suka dengan pelayanannya. Dia sangat ramah dan mau membantu penumpang. Semoga setelah ini penumpangnya banyak ya, Mas."

"Ya, pelayanan seperti itu akan selalu diingat banyak orang. Meski hanya sopir taksi, tapi ia mencintai pekerjaannya. Semoga kita bisa menjaga hubungan baik dengannya. Siapa tahu kelak butuh supir, dia bisa bantu."

Sesampai di rumah, Adeeva dan Saka segera mandi. Saka sudah bisa dipindahkan ke sebuah kursi. Pekerjaan Adeeva jadi lebih mudah. Dan ia sedikit lebih tenang, karena mandi pasti lebih segar daripada hanya dibasuh. Selesai semua, barulah mereka istirahat.

***

Hari-hari berjalan normal untuk keduanya. Setiap pagi Saka akan duduk di memperhatikan angka-angka bergerak di depannya. Memutuskan mana yang akan dibeli dan mana yang harus di jual. Semakin paham saham yang pergerakannya bagus dan juga yang relatif stabil bahkan menurun.

Minggu lalu ia behasil mengumpulkan cukup banyak. Sehingga siang ini memaksa mengantar Adeeva belanja mingguan ke sebuah supermarket. Saka yang sudah bisa menjalankan sendiri kursi rodanya merasa yakin kalau hari ini akan bisa mendampingi. Asalkan mereka pergi ke supermarket besa, karena di sana lorongnya lebih lebar.

Meski awalnya tidak yakin, akhirnya Adeeva mengalah. Dengan pemikiran kalau nanti Saka lelah, maka ia akan segera mengantar belanjaan ke dekat kasir, lalu kembali untuk mendorong kursi roda. Seperti biasa keduanya menghubungi Pak Agus. Mereka sengaja memilih sebelum jam makan siang dengan harapan masih cukup sepi.

Ternyata acara berbelanja cukup mengasyikan bagi Saka. Melihat banyak buah, sayuran dan ikan impor yang masih segar. Ia memilih beberapa. Adeeva kemudian lebih banyak berkutat dengan bumbu dan juga keperluan rumah tangga.

Saka juga akhirnya ikut memilih pengharum ruangan yang ia sukai. Beberapa peralatan bertukang dan juga kebutuhan pribadinya. Setelah sekian lama, ia merasa kembali menjadi manusia.Saat akan membayar, karena gang menuju kasir sangat sempit, Adeeva mendorong kursi roda Saka terlebih dahulu. Baru kemudian menuju kasir terdekat. Beruntung masih sangat sepi, jadi antrian tidak banyak.

Saka menunggu sampai semua selesai lalu menyerahkan sebuah kartu miliknya. Ada rasa bangga saat bisa membayar seluruh belanjaan istrinya. Selesai berbelanja, Pak Agus yang menunggu membantu mendorong belanjaan. Adeeva mampir di sebuah gerai untuk membeli dua kotak donat. Baru kemudian keduanya menuju taksi.

Sesampai di apartemen, Pak Agus membantu mengangkat barang-barang menuju unit mereka. Bahan kering dan ringan diletakkan di pangkuan Saka. Selesai semua, Pak Agus pamit. Adeeva segera menyerahkan sebotol air minderal serta sekotak donat yang tadi dibeli. Ia juga memberikan tip. Pak Agus menerima dengan mata berkaca. Tidak menyangka akan bertemu dengan orang muda yang baik hati.

"Aku terharu melihat Pak Agus nangis, Mas."

"Aku juga. Dia begitu tegar dan kuat. Bahkan bersedia menunggu kita selesai berbelanja. Mungkin tadi berpikir, jam segini tidak akan ada penumpang."

"Ya, tadi juga dia bawa makanan dari rumah sepertinya. Sayang kita nggak bisa bantu apa-apa."

"Bisa kalau nanti aku kerja."

"Maksudnya?"

"Selama ini aku mengalokasikan sebagian dana untuk beberapa yayasan yang fokus pada Pendidikan anak. Nanti bisalah, anak Pak Agus salah satunya."

"Oh ya? Kenapa sekarang nggak dilanjut?"

Saka tersenyum. "Kemarin aku nggak kerja sama sekali. Jadi aku mundur. Dan sekarang masih merintis usaha. Hal seperti ini tidak bisa setengah jalan. Kasihan nanti anaknya."

"Tapi kan kalau membantu bisa saja. Ya jangan dibilang rutin. Misal kalau mau naik kelas saja."

"Nanti lah kita coba cari tahu. Apakah anaknya sudah mendapat bantuan dari pemerintah atau pihak lain. Jangan sampai nanti malah jadi double, kan sayang. Supaya apa yang kita berikan benar-benar bermanfaat. Dan langsung bisa digunakan."

"Iya juga ya, Mas. Aku nggak berpikir sampai kesitu."

Saka mengelus rambut istrinya. Adeeva kadang terlalu polos dalam menyikapi sesuatu. Tapi justru karena itu ia suka.

"Jadi masak sup jamur besok?"

"Iya, ada request lain?"

"Ikannya di goreng tepung ya. Buat cemilan."

"Nggak kebanyakan minyak nanti? atau aku steam aja ya mas. Kata dokter, kamu cuma butuh proteinnya jangan banyak lemak."

"Baiklah, terserah kamu saja." Saka akhirnya mengalah.

***


Happy reading

Maaf untuk typo.

15 juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top