14
Maaf, tadi sempat aku unpub. Karena capslock di laptop error. Setelah titik tidak bisa langsung huruf besar. Jadi harus manual. Baru nyadar setelah dipublish.
🙏🙏🙏
"Apa mungkin dia melakukan ini karena masalah itu?" tanya kembali Dirgantara bertanya..
"Tidak tahu pa, waktu itu aku sudah berusaha memberi perngertian. Bahwa yang mereka lakukan juga sesuai dengan prosedur. Mengingat kondisi kesehatan Mas Saka. pengobatannya membutuhkan waktu lama. Aku memberinya semangat agar cepat sembuh, dan mencoba melakukan kegiatan apa saja agar perhatiannya teralihkan. Tapi Mas Saka tidak pernah mau mendengar nasehatku." jawab Adeeva putus asa.
"Tadi kamu sempat bicara dengannya sebelum pulang?"
"Tidak, Ma. Aku hubungi mama karena Mas Saka tidak mengangkat panggilanku. Lalu kuhubungi Mbak Narti. Katanya Mas Saka sedang di kamar. Aku tanya keadaannya, mereka bilang baik-baik saja. Memang jalanan macet sekali. Jadi aku terlambat pulang."
"Kamu pasti kecewa dengan kejadian ini. Karena bukan yang pertama."
Adeeva hanya menggeleng. Tidak mungkin mengungkapkan seluruh isi hatinya pada kedua mertuanya. Setidaknya ia harus menjaga lidahnya untuk menceritakan banyak hal pada mereka.
***
Adeeva berdiri di depan jendela menunggu Saka bangun. Menatap jalanan yang masih padat di luar sana. Kali ini ia ingin bicara tentang banyak hal. Saka tidak bisa terus menerus dibiarkan dengan cara berpikirnya. Bila tidak ada yang berani berkata tegas, maka ia yang harus mengatakannya. Rasanya benar-benar lelah dengan kondisi saat ini.
Ini bukan lagi tentang menghitung hari, tapi sudah bulan. Ia tahu, Saka sangat terpuruk. Dan paham akan kondisi emosi yang cepat berubah serta meledak-ledak. Ia juga tahu, bahwa sebagai laki-laki suaminya tengah berada diujung keputusasaan. Tapi apakah selamanya harus seperti itu? Tidakkah ada jalan lain yang harus dilakukan? Kalau memang keadaan sudah seperti ini, ya cari jalan keluar.
Saat matanya melirik ke arah tempat tidur. Saka ternyata sudah bangun sedang melirik kearahnya. Ketika mata mereka bertemu, buru-buru Saka mengalihkan tatapan ke arah lain. Cukup lama mempertimbangkan sampai kemudian Adeeva melangkah mendekat dan duduk di sisi ranjang. Saka tidak bisa mengelak lagi.
"Kenapa mas melakukan itu lagi?" tanyanya dengan nada pelan.
Tidak ada jawaban. Pria itu memilih diam. Namun Adeeva tahu bahwa suaminya itu pasti masih bisa mendengar.
"Mas tahu nggak, kalau aku juga capek mengurus mas sekian lama. Berusaha melupakan semua keinginanku. Mungkin mas nggak percaya kalau aku juga pernah putus asa. Tapi tidak kutunjukkan karena takut mas down. Tapi hasilnya apa? Mas sama sekali tidak memikirkan perasaaan dan menjaga nama baikku.
Aku nggak pernah mengeluh, karena kupikir itu tidak akan menyelesaikan masalah. aku selalu menganggap bahwa ini adalah kewajiban sebagai istri. Aku menerima mas tidak hanya saat sehat dan berpenghasilan besar Tidak ada keinginan untuk meninggalkan mas sama sekali.
Apa kata orang di luar sana? Semua akan dikaitkan denganku. Kalau mas tidak bisa mencintaiku, setidaknya berpikirlah tentang perasaanku. Bayangkan bagaimana aku harus menjawab pertanyaan papa dan mama tentang apa yang sebenarnya terjadi? Waktu kutinggal mas masih baik-baik saja. Mau ditaruh di mana wajahku di depan ajudan dan asisten rumah tangga?" Kali ini Adeeva menangis keras. ia tidak bisa menahan emosi lebih lama lagi.
"Aku minta maaf, aku salah." jawab Saka sambil memejamkan mata.
"Mas, kalau bunuh diri bisa menyelesaikan masalah, sudah dari dulu kulakukan. Waktu Keenan meninggalkan aku tiga hari sebelum pernikahan. Duniaku runtuh. aku bertanya di depan kaca, apa salahku? Saat itu aku juga marah, kecewa, kesal dan putus asa. Tapi kemudian mencoba memikirkan perasaan orang tuaku. Aku menyayangi mereka. Karena itu juga menerima lamaran Mas Saka.
Aku tidak pernah membayangkan kalau kita akan menghadapi masalah seperti sekarang. Tapi mas lihat, apa pernah aku mengeluh atau berkata menyesal? Enggak, kan? Karena aku sadar, hidup itu tidak selalu indah. Dan pasti ada jalan keluar dari setiap masalah kita.
Aku tahu mas terpuruk dengan kondisi sekarang. Tapi satu-satunya jalan ke luar adalah menerima dan bertahan. Kemudian berusaha! Nanti sembuhnya sampai dimana, kita terima. Yang penting sudah berusaha. Aku nggak menuntut apa-apa. Buat aku mas seorang pilot ataupun seperti sekarang sama berharganya. Jadi tolong, kalau mau melakukan sesuatu pertimbangkan juga aku. Jangan ambil keputusan sendiri."
Akhirnya Saka juga menangis. Adeeva akhirnya menyadari kesalahannya. Sudah berbicara terlalu keras bahkan cenderung kasar. tapi ia benar-benar tidak bisa lagi menahan emosi.
"Aku minta maaf, Mas. Mungkin kata-kataku tadi menyakitkan."
"Tidak, aku memang salah."
Saka masih menangis, meski kini tanpa suara. Adeeva akhirnya luluh. Perlahan bangkit kemudian memeluknya lembut.
"Kalau mas terluka, aku juga. Kalau punya masalah kenapa tidak berbagi denganku? kita sudah suami istri. seharusnya saling berbagi apalagi dalam kondisi seperti ini. bukan berjalan sendiri-sendiri."
"Maaf, aku sudah membuat kamu malu."
"Sudahlah, kita lupakan semua. Mas istirahat saja dulu. Aku nggak akan ke mana-mana. Aku mau istirahat, capek sekali. Tolong, jangan berpikiran yang aneh-aneh lagi."
Saka menatapnya sendu dan kembali memejamkan mata. Adeeva sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Mengira semua sudah berakhir. Tapi ternyata tidak.
***
Adeeva akhirnya mengunjungi kediaman orang tuanya. Karena tidak tahu lagi harus ke mana untuk melepaskan sesaknya. Ia hanya mengingat mamanya. Selama ini mama selalu menjadi tempatnya mencurahkan segala masalah. Tadi dia pamit pada suster yang sengaja dibayar mertuanya untuk membantu mengurus Saka. Ia merasa benar-benar membutuhkan teman bicara.
Sesampai di rumah, mamanya segera memeluk erat. Adeeva menangis cukup lama. Mencoba melepaskan sesak yang beberapa hari ini terus ditahan. Kedatangan mertuanya dan juga beberapa keluarga membuatnya harus berusaha terlihat tegar, meski ia sendiri terpuruk. apalagi ketika ada beberapa tatapan sinis dari mereka.
Selesai menangis, Adeeva meletakkan kepala diatas pangkuan mamanya.
"Kamu kenapa? Ayo cerita sama mama."
"Aku cuma nggak tahu harus ngapain lagi, Ma. Semua nasehat mama sudah kucoba. Tapi kejadiannya seperti ini lagi. Aku malu pada semua orang. seolah-olah tidak becus mengurus suami.."
"Nggak boleh ngomong gitu. Kalau suami sedang terpuruk, istri yang harus bisa berdiri tegak untuk menopang. Jangan pikirkan tentang orang lain. kita tidak bisa mengatur omongan mereka."
"Tapi aku benar-benar capek."
Mama Adeeva mengelus rambut putri tunggalnya. Ia paham bagaimana perasaan Adeeva sekarang.
"Mama tahu, apalagi kamu tidak pernah mendapatkan masalah sebesar ini. Rumah tangga itu tidak selamanya mulus. Kadang ada jalan berlubang dan terjal yang harus kalian lalui. Itulah sebenarnya inti dari sebuah pernikahan. Kalau kalian bisa melewati ujian berat ini, maka kedepannya akan lebih mudah menyelesaikan segala permasalahan yang lebih ringan."
"Tapi rasanya sakit sekali saat dia tidak mau menjadikanku teman bicara tentang masalahnya. Aku nggak mungkin menebak jalan pikirannya terus. Ini sudah kejadian kedua, Ma. Apa kata orang di luar sana?"
"Jangan pikirkan pendapat orang. Mungkin dia tidak mau kamu terlalu kepikiran dan malah stress. Bisa saja ini menjadi cara dia menyayangi kamu. Dia lihat kamu sudah capek sepanjang hari mengurus segala keperluan dia. Saka sayang sama kamu, mama percaya."
"Aku nggak tahu lagi harus bagaimana, Ma."
Perempuan paruh baya itu kini memijat bahu Adeeva dengan lembut. matanya menerawang, teringat akan masa lalu.
"Kamu ingat nggak waktu masih SD dan papa ketika itu tidak bekerja karena sakit?"
Adeeva mengangguk.
"Saat itu papamu juga terpuruk. Dia merasa tidak berguna. Mama sampai harus harus bekerja sebagai tukang cuci piring di rumah makan supaya kita semua bisa makan dan kamu tetap sekolah. Saat itu mama juga sama terpuruknya dengan kamu.
Tidak tahu harus berbuat apa. Setiap hari mama jalani saja. Setiap kali ada harapan bahwa papamu akan sembuh, tak lama kemudian kembali patah karena tak sakitnya kembali kambuh. Sampai kemudian mama pasrah. dijalani saja tanpa menuntut apa-apa. Sekaligus berdoa, agar semua bisa kami lalui. Beruntung saat itu pihak kelurahan memberikan kartu berobat dari pemerintah, sehingga biaya pengobatan papamu gratis.
Mama mencoba untuk terus bersyukur atas berkat lain yang kita terima. Kamu tumbuh menjadi anak yang tidak menuntut dan selalu berpestasi di sekolah. Hal itu mengobati rasa lelah mama setelah sepanjang hari lelah bekerja"
"Apa mama pernah berpikiran untuk bercerai dari papa?"
"Tidak! Apa kamu pernah berpikir meminta cerai?" mamanya malah bertanya kembali.
"Pernah, waktu capek banget. Belum lagi Mas Saka yang tiba-tiba jadi cemburuan. Dan Keenan sering datang untuk mengacaukan emosinya. Tapi langsung aku buang pikiran itu. Kadang iri juga kalau melihat perempuan lain yang hidup senang di luar sana."
"Jangan pernah berpikir seperti itu, ya. Apalagi kemudian membandingkan hidup kamu dengan perempuan lain di luar sana. Setiap orang akan memiliki masalah berbeda hanya saja kamu tidak tahu. Bayangkan saja bagaimana Saka akan terpuruk kalau kamu tinggalkan. Pernikahan tidak melulu berisi yang manis-manis saja. Kamu juga pasti nanti akan malu, karena orang beranggapan kamu mau menikah hanya disaat senang. Memang kadang kita tidak harus memikirkan omongan orang. Sepanjang itu membawa kebaikan, tidak ada salahnya.
Bayangkan saja, apa kamu tidak ingin mendampingi Saka saat ia sembuh nanti? Jangan sampai kamu menyesal jika tempatmu akan diisi perempuan lain. Kita sama-sama perempuan dan sudah dewasa. Mama mau kamu mempertimbangkan banyak hal sebelum berpikir untuk meninggalkan Saka.
Selama ini ia tidak pernah melakukan kekerasan pada kamu, tidak pernah selingkuh. Orang tuanya baik dan terhormat. Pekerjaannya mapan sebagai pilot. Dikenal orang sebagai donator dibeberapa yayasan sosial. Kamu yang sedang terpuruk dan berasal dari keluarga sederhana menikah dengan laki-laki yang hampir bisa dikatakan sempurna.
Mama tahu, kamu sedang capek. Tapi saat ini dia benar-benar butuh kamu untuk menopangnya. Kamu adalah orang terdekatnya. Tempat dia bisa meminta pertolongan setiap saat. Ingat segala kebaikannya, dan cobalah bicara dari hati ke hati. Apa yang ia inginkan untuk kalian ke depannya. Jangan arahkan pembicaraan tentang lelah kamu. Kamu punya mama untuk menceritakan itu."
Adeeva menatap mamanya dengan mata berkaca.
"Aku salah, kemarin sudah marah-marah."
"Sesekali boleh, supaya dia tahu perasaan kamu. Tapi jangan keseringan. Tugas kamu membangkitkan semangatnya. Ingat itu."
Adeeva akhirnya bisa tersenyum kembali.
"Kamu sudah makan?"
"Belum, mama masak apa?"
"Ada pepes jamur kesukaan kamu. tadi mama sengaja masak. Lihat kamu kurusan sekarang. Ayo, mumpung ada waktu, makan yang banyak. Supaya tetap sehat. Keduanya segera beranjak menuju ruang makan.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
10621
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top