13
"Mas, aku dipanggil papa dan mama untuk makan siang di rumah."
Saka yang belum tidur menatap aneh. "Karena kedatangan Keenan?"
"Mungkin, mas ikut, yok. Nggak enak nanti kalau cuma mas yang tidak ikutan."
Pria itu diam sejenak, sampai akhirnya mengangguk. Meski sebenarnya sadar, bahwa kedatangan mereka ke sana bisa saja menimbulkan masalah baru. Tapi tidak menerima undangan makan siang, ataupun menolak menemani Adeeva jelas tidak bijaksana. Kasihan istrinya jika terus-menerus mendapat perlakuan tidak baik dari Keenan dan Ratna.
Adeeva segera membantu suaminya duduk di kursi roda setelah selesai membantu mengganti pakaian. Saat memasuki ruang makan semua sudah duduk di kursi. Salah seorang asisten rumah tangga memindahkan sebuah kursi untuk diduduki Saka.
"Maaf harus menunggu, ma."
"Nggak apa-apa, Deev. Kamu pasti harus menyiapkan Saka dulu."
Keduanya mengangguk dan makan siang di mulai.
"Bagaimana terapinya, Ka?"
"Baik, Pa. kakiku Sudah mulai bisa digerakkan. Pinggul juga sudah mulai bisa digeser sedikit."
"Syukurlah, mama berdoa supaya kamu bisa cepat sembuh."
"Amin. Oh ya, anak kalian mana? Aku belum pernah ketemu." Tanya Saka pada adiknya.
"Sedang tidur sama susternya. Dari tadi main sama papa dan mama." jawab Keenan dengan nada sedikit angkuh.
"Oh ya, nanti bawa ke mari. Aku kepingin lihat."
"Memangnya mas sudah kuat memangkunya?"
"Kan ada Adeeva, tantenya."
Ratna terbatuk, ia segera meletakkan sendok lalu meminum air putih.
"Oh ya, susternya sudah makan?" tanya Adeeva.
"Nanti setelah kita selesai." Balas Ratna, suaranya terdengar sangat tidak ramah.
Segera Adeeva sadar bahwa Ratna tidak menyukai pertanyaanya. Akhirnya memilih diam dan mengikuti saja pembicaraan. Selesai makan, kembali ia pamit untuk mengambil obat Saka. Saat kembali, semua sudah berkumpul di ruang tengah. Di sana ibu mertuanya tengah memangku putri Keenan, Chiara.
Adeeva memilih duduk dekat suaminya untuk memberi obat.
"Mas Saka kapan rencana punya bayi?" tanya Keenan.
Saka tidak suka mendengar pertanyaan itu. Tapi ia harus tetap menjawab.
"Belum di kasih." jawab sang kakak.
"Belum di kasih atau memang sudah nggak bisa? Karena kudengar kalau orang lumpuh, lalu tulang ekornya bermasalah. Tidak bisa punya anak." Balas Keenan.
Semua yang berada di sana terdiam. Saka berusaha menahan emosi. "Aku belum tahu sejauh itu. Nanti saja kalau sudah sembuh bertanya dan periksa lagi ke dokter."
"Kenapa tidak dari sekarang saja? Supaya lebih mudah?" desak Keenan.
"Kami masih fokus pada pemulihan kaki Mas Saka." Adeeva mencoba membela.
"Sudahlah, kamu tidak usah mengurusi masmu. Lebih baik fokus pada rumah tangga kalian. Oh ya, kamu bekerja di mana sekarang?" tanya Pak Dirgantara menengahi suasana yang sudah mulai terlihat panas.
"Sekarang di konsultan. Ratna juga sudah mulai terima job."
"Syukurlah, jangan lupa menabung. Anak kalian akan cepat besar. Butuh biaya yang cukup banyak nantinya."
"Baik, pa." jawab Keenan sambil tersenyum penuh kemenangan.
Tak lama Saka pamit pulang, dengan alasan ingin istirahat. Meski akhirnya sulit untuk tidur. Tidak nyaman bila berada di sana terus. Apalagi adiknya benar-benar sangat ingin menunjukkan kemenangannya. Ia kembali merasa down. Jelas-jelas Keenan menyindirnya. Mungkin juga sudah tahu kalau belum bisa memberi nafkah batin pada Adeeva seperti dulu. Meski beberapa kali saat pagi, merasa kalau organ intimnya masih bisa menegang.
Ditatapnya sang istri yang sudah terlelap. Bagaimana kalau nanti apa yang dikatakan Keenan benar? Alangkah hancur hidupnya. Bagaimana kalau kelak Adeeva berpaling? Apakah ia akan seperti ini terus? Teringat akan nasehat mama saat di rumah sakit. Ia harus kuat dan bersemangat. Tapi kenapa rasanya sulit sekali?
Orang mungkin mudah dalam memberi nasehat. Tapi ketika mengalami semua sendiri, belum tentu bisa. Seperti yang dialaminya saat ini. Di luar sana hujan sudah mulai turun. Kalau bisa berjalan, ia akan membuka jendela lebar-lebar. Agar bisa merasakan rinai hujan lagi.
Entah kenapa sulit sekali untuk berpikir positif sekarang. Semua terasa berat. Apalagi melihat kebahagiaan adiknya. Apakah Adeeva sebenarnya memendam keinginannya untuk punya anak? Namun tidak berani mengatakan apa-apa karena takut ia tersinggung? Kalau begitu pasti istrinya sangat menderita.
***
Adeeva bisa merasakan perubahan sikap Saka. Setelah kepulangan keluarga kecil Keenan. Lebih pendiam juga enggan untuk mengajaknya bicara. Kadang juga memilih tidak ke luar kamar. Beberapa kali ia mengajak sekadar duduk menikmati matahari pagi di sekitar taman. Atau mungkin ke mal sambil makan siang saat selesai terapi. Tapi semua ditolak.
Kadang ia merasa kesal. Seolah Saka tidak mempertimbangkan kelelahannya. Egois karena lebih memikirkan kesedihan sendiri. Bukankah sudah berulang kali dikatakannya kalau ia takkan berubah? Apa tindakan dan ucapannya belum cukup untuk membuat suaminya percaya?
Ia masih mencoba untuk bertahan. Tidak mudah meninggalkan Saka. Tapi bagaimana bisa bertahan terus menerus dalam situasi seperti ini? Seharusnya Saka memikirkan sedikit saja perasaannya. Ia juga kesal pada Keenan yang sering menyindir-nyindir setiap kali datang. Apa tidak ada pekerjaan lain?
Lelah dengan pikiran sendiri, Adeeva mencoba tetap berkonsentrasi memasak. Sebentar lagi suaminya akan pulang terapi. Dan tadi pagi sudah berpesan untuk memasakkan bubur kacang hijau. Setelah ini ia berencana meminta ijin untuk bisa mengunjungi mamanya. Sudah lama tidak pulang dan bertemu mereka. Mumpung ibu mertuanya besok ada di rumah. Jadi bisa bergantian menjaga Saka.
Tak lama pria itu pulang, dan seperti biasa dengan wajah sedikit mendung.
"Bagaimana, mas?"
"Biasa saja. Aku capek mau istirahat."
"Ya sudah, mau aku basuh dulu badannya?"
"Nggak usah, tadi nggak banyak keringat kok."
Sesampai di kamar dan membantu berbaring, Adeeva berkata.
"Mas, apa aku boleh minta ijin? Besok rencana mau mengunjungi mama dan papa."
"Kamu mau aku temani?"
"Nggak usah, biar aku sendiri nanti mas capek."
"Atau kamu malu sama tetangga?"
"Kok ngomong gitu sih? Jangan berpikir terlalu jauh. Aku cuma kangen. Lagian selama ini mereka yang selalu datang berkunjung. Cuma sebentar kok, paling tiga jam di sana."
"Apa kamu akan pulang lagi ke mari?"
Adeeva menatap tak percaya. Benar-benar tidak habis pikir dengan prasangka buruk suaminya.
"Ya pulang dong. Kan rumahku sekarang di sini?"
"Jangan marah, aku pernah membaca, banyak perempuan yang melakukan itu. Kamu boleh pergi, salam buat mama. Atau mau sekarang saja? Mumpung masih siang?"
"Mama Desi masih ada kegiatan di luar. Nanti tidak ada yang bantu melihat mas."
"Ada Narti."
"Dia sudah menemani terapi sejak tadi pagi. Pasti capek. Besok saja."
Saka akhirnya mengangguk. Meski wajahnya terlihat mendung.
***
Hari ini pertama kali Adeeva mengunjungi rumah orang tuanya setelah kejadian kecelakaan Saka. Ia diantar oleh sopir ibu mertuanya. Meski mati-matian menolak karena merasa sungkan. Awalnya ingin naik taksi online. Namun saat melihat tatapan Saka yang curiga, segera kekerasan hatinya surut. Apalagi sebenarnya ia menggunakan mobil suaminya. Hanya takut kalau Saka akan cemburu pada sopir.
Sepanjang jalan, Adeeva berusaha menepis pikiran buruknya tentang Saka. Apalagi mengingat sikap diam yang ditunjukkan selama beberapa minggu terakhir. Saat tiba mama menyambutnya di depan pintu.
"Mama!" teriaknya sambil memeluk erat.
"Adeeva, apa kabar sayang?" balas perempuan itu sambil memeluk erat.
"Baik, mama sama papa bagaimana kabarnya?"
"Sehat, bagaimana kabar Saka?"
"Sudah lebih baik. Tadi titip salam. Oh iya ini ada kiriman Mama Desi." ujarnya sambil menyerahkan kantong plastik bertuliskan oleh-oleh khas sebuah daerah di Jawa Timur.
Keduanya segera masuk diiringi tatapan penuh ingin tahu dari beberapa tetangga. Mereka sudah tahu tentang keadaan suaminya sekarang. Papanya segera memeluk saat ia tiba di dalam. Mereka berkumpul di ruang tengah. Bercerita tentang banyak hal. Karena jika di rumah mertuanya selalu membatasi perbincangan.
Cukup lama Adeeva berada di sana. Ada perasaan senang, karena setidaknya sudah ke luar dari sebuah rutinitas selama berbulan-bulan. Apalagi obrolan dengan kedua orang tuanya berhasil membuatnya tertawa. Sampai akhirnya ia pamit.
Sayang dalam perjalanan pulang, jalanan macet total karena ada truk yang terguling. Adeeva cemas, beberapa kali ia menghubungi Saka, tapi tidak diangkat. Saat bertanya pada ibu mertuanya.malah mendapat jawaban yang membuatnya kaget.
"Halo ma, Mas Saka di mana?"
"Mama sedang ke luar menemani papamu melayat. Baru saja berangkat. Tadi kamu bilang sudah di jalan makanya mama pergi."
"Iya ma, ini macet total. Mas Saka sama siapa?"
"Mama minta Narti menemani. Ada ajudan papa juga kok."
"Ok, ma." jawab Adeeva cepat. Ia kembali mencoba menghubungi Saka, sayang tetap tidak diangkat. Mencoba mengendalikan kecemasan, akhirnya ia menghubungi Narti.
"Mbak Narti di mana?"
"Sedang menyapu halaman belakang, mbak. Mas Saka di kamar, tadi saya tawarkan untuk ke luar. Tapi ditolak."
"Terima kasih mbak. Saya mungkin terlambat karena macet total. Tolong sampaikan pada Mas Saka, ya."
"Baik, Mbak."
Adeeva menghembuskan nafas kesal. Ia benar-benar takut terjadi sesuatu dengan Saka. Akhirnya tiga jam kemudian baru ia bisa sampai di rumah. Bergegas perempuan itu turun dari mobil, dan menuju pavilion. Ia benar-benar khawatir. Dan yang ditakutkannya terjadi. Saka tergeletak di kamar mandi dengan mulut berbusa. Seketika dunia serasa runtuh buat Adeeva.
***
Adeeva duduk dengan tatapan kosong di kursi depan ruang IGD. Ia masih menunggu kabar tentang suaminya. Benar-benar marah, tidak tahu harus melakukan apalagi. Ingin berteriak, tapi tidak tahu caranya. Ini tempat umum, dan ia bisa saja menjadi tontonan dan bahan pembicaraan orang banyak. Tapi hari ini rasa bosan sudah mencapai puncaknya.
Disaat ia berusaha mati-matian menyemangati Saka, pria itu malah tetap memilih menyerah. Apa yang salah? Kenapa Saka tidak bisa memikirkan perasaannya sedikit saja? Bagaimana ia harus bertahan dalam kehidupan mereka sekarang.
Terdengar langkah terburu-buru mendekat. Ibu bersama ayah mertuanya.
"Saka kenapa?"
"Saya menemukannya di kamar mandi dengan mulut berbusa, Ma."
"Apa sih maunya anak itu." Teriak Pak Dirgantara.
"Tenang, pa. kita kan tidak tahu bagaimana kejadian sesuangguhnya?"
Sementara Adeeva memilih tetap menunduk. Ibu mertuanya segera memeluk berusaha menenangkan.
"Mama tahu kamu lelah. Jika mama ada pada posisi kamu juga pasti seperti itu."
"Aku nggak tahu apa salahku. Kemarin sudah merasa minta ijin. Tapi tadi rasanya semua semua tidak berguna."
"Bukan tidak berguna, papa akan berusaha untuk tahu apa penyebabnya. Apa dia ada cerita sesuatu ke kamu?"
"Tidak, kecuali beberapa bulan lalu tentang pengunduran diri dari maskapai."
"Oh ya? Kenapa?" ibu mertuanya terkejut.
"Mereka minta Mas Saka untuk mengundurkan diri."
Desi Dirgantara segera menutup mulutnya. "Dia tidak pernah menceritakan kepada kami."
"Dia juga memintaku tidak menceritakan pada siapapun, Ma."
***
Happy reading
Maaf untuk typo
8621
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top