12
Seketika Keenan mengepalkan jemarinya. Kalimat Adeeva benar-benar menohok.
"Mas Saka sakit bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. Dan satu lagi, penampilanku tidak ada hubungannya dengan keadaan keuangan Mas Saka. Tadi aku harus memasak di dapur, jadi tidak mungkin berdandan lengkap sambil mengenakan high heels. Apalagi sambil upload di medsos hanya untuk menarik simpati orang. Itu bukan aku."
Selesai mengucapkan itu, Adeeva segera mendorong kursi roda Saka memasuki pavilion mereka. Meninggalkan Keenan mematung. Ia tidak lagi peduli pada pria itu.
***
Saka menatap Adeeva yang kini tengah makan di hadapannya. Ia tersenyum kecil, melihat keberanian sang istri. Selama ini ia mengenalnya sebagai sosok perempuan pendiam yang lemah dan harus dilindungi. Sama sekali tidak menyangka kalau Adeeva justru bisa melindunginya.
"Kamu kok bisa ngomong begitu sama Keenan tadi?"
"Aku cuma kesal, dia saja belum tentu benar. Terus mau merendahkan orang lain? Aku tahu dari mama, kalau dia sering datang untuk meminta uang tanpa sepengetahuan papa. Mas masih lebih baik dari dia, nggak kerja tiga bulan tapi kita masih punya uang untuk berobat. Karena mama nggak bolehin aku belanja ke pasar, makanya kita masih menumpang bahan makanan. Tapi bukan karena mas nggak punya uang, kan?
Aku sih bukan sombong, tapi nggak suka melihat cara dia melecehkan Mas Saka. Dia saja yang nggak berkaca pada masa lalu. Sekarang malah merasa sok lebih baik."
"Kamu bisa ngomel juga ternyata."
"Semua perempuan dikaruniai bakat mengomel mas. Apalagi kalau yang di depannya nggak benar."
"Aku kok nggak pernah kamu omelin?"
"Tinggal tunggu waktunya saja."
Saka tertawa untuk pertama kalinya. Membuat Adeeva menatap aneh.
"Kok kamu ngelihatin aku begitu?"
"Baru kali ini lihat mas tertawa lagi."
"Ya, aku merasa kasihan pada Keenan tadi. Mungkin awalnya dia mengira akan mudah mengintimidasi aku. Ternyata ada kamu yang membela, dan dia tidak berani berkutik. Oh ya, apa dulu dia seperti itu?"
"Enggak sama sekali. Dulu dia baik dan sopan. Makanya aku bisa betah pacaran lima tahun dan mau dinikahi meski belum selesai kuliah. Beruntung nggak jadi, kan?"
"Setahuku juga dulu dia tidak seperti itu. Kelihatannya Ratna memberi pengaruh buruk terhadap pikirannya."
"Sudahlah, Mas. Yang penting dia nggak mengganggu lagi. Aku sebel lihat dia. Oh ya, besok mas terapi, kan?"
"Ya, aku diantar Narti saja."
"Kok gitu?"
"Males lihat Andi itu senyum terus lihat kamu."
"Mulai deh cemburu."
"Tandanya aku sayang sama kamu."
Adeeva hanya tertawa kecil. Ia sudah selesai makan. Dan akhirnya memilih meninggalkan Saka untuk mencuci piring di dapur.
***
Desi Dirgantara menutup pintu kamar. Sang suami baru saja tiba di rumah.
"Bagaimana keadaan Saka?"
"Baru selesai terapi hari ini."
"Bagaimana kemajuannya?"
"Tangannya sudah mulai lancar bergerak. Jari-jarinya juga. Hanya saja menggerakkan pinggang sampai kaki yang masih sulit. Tapi katanya responnya sudah bagus."
"Dia sudah mau ditemani Adeeva?"
"Belum, Narti yang menemani. Dia masih cemburu sepertinya."
"Anak yang satu itu aneh. Kadang aku tidak mengerti jalan pikirannya."
"Anggap saja dia takut kehilangan Adeeva. Mungkin dia sudah cinta mati. Habisan istrinya cantik."
"Dulu papa berpikir, kenapa Saka tidak kunjung menikah. Apa karena sudah terlalu lama hidup sendiri? Tapi sekarang papa berpikir, mungkin dia sedang menunggu jodoh yang disiapkan Tuhan. Karena jalan hidupnya seperti sekarang. Dicarikan yang terbaik.
Papa salut pada Adeeva. Dia bisa mendampingi dalam masa yang sangat sulit. Padahal bisa saja dia meninggalkan saat tahu kondisi Saka parah. Kita juga tidak bisa bilang apa-apa kalau dia melakukan itu. Mereka menikah bukan karena cinta. Bahkan sampai sekarang pun kita tidak tahu apakah dia bisa sembuh seperti semula."
"Ya, mama juga berpikir seperti itu. Beruntung ada Adeeva yang bisa menerima dan tingkahnya nggak seperti Ratna. Semoga mereka langgeng ya, pa."
"Ya ma, nanti malam papa akan mengunjungi mereka."
***
Saka menatap email yang baru diterima. Setelah sekian bulan, akhirnya secara resmi ia menulis surat pengunduran diri atas permintaan maskapai tempatnya bekerja. Hingga saat ini ia belum juga pulih. Berbeda dengan beberapa rekannya yang saat itu bersama. Ada rasa sedih juga kecewa. Tapi kini ia merasa harus realistis. Seandainya berada dipihak mereka, pasti hal ini juga akhirnya dilakukan.
Terbayang hari-hari yang semakin gelap. Ia tidak bisa ke mana-mana sekarang. Hanya duduk di atas kursi roda, atau berbaring di tempat tidur. Bahkan kini, hampir resmi menjadi pengangguran. Bagaimana bisa menghidupi Adeeva dan membiayai pengobatan? Pikirannya buntu, tidak tahu harus melakukan apa.
Bayangan kelam akan masa depan yang tidak jelas semakin menghantui. Berapa lama nanti Adeeva bisa bertahan? Sementara sampai saat ini ia belum memiliki kemajuan yang berarti. Istrinya akan semakin tersakiti.
Terbayang kembali masa lalu saat masih bertugas. Bisa pergi ke mana saja. Bahkan traveling ke berbagai negara saat libur. Mengenal banyak orang dan menghabiskan waktu bersama. Tapi semua hanya masa lalu. Kini ia terpuruk sendirian.
Saka segera mengirim surat yang sudah diketiknya sejak tadi. Masih menimbang, apakah akan memberitahu pada Adeeva. Bagaimana kalau istrinya tambah sedih? Apa yang akan dikatakannya? Sementara membangkitkan semangat untuk diri sendiri saja ia tidak bisa. Apalagi untuk menasehati istrinya?
***
Pagi itu, Adeeva menyiapkan sarapan seperti biasa. Lalu meletakkan sebuah wadah kecil berisi obat-obatan yang harus dimakan Saka. Semakin hari jumlahnya semakin sedikit. Selesai semua barulah ia masuk kamar dan membantu sang suami untuk duduk di kursi roda.
Saat mulai sarapan, Saka berkata.
"Kantor memintaku mengirimkan surat pengunduran diri."
Adeeva meletakkan rotinya, menatap sang suami yang kini tertunduk.
"Sudah tiga bulan ya." Ucapnya sambil mencoba menghembuskan nafas pelan.
"Kalau nanti aku tidak bisa lagi berjalan normal. Bagaimana dengan kehidupan kamu?"
"Sama seperti sekarang. Yang penting kita sudah berusaha. Kalau memang takdir begini, ya harus dijalani. Banyak orang yang lebih susah dari kita, Mas. Nengoknya ya ke mereka."
"Apa kamu nggak malu?"
"Sama sekali enggak."
"Aku Sudah lebih baik, kamu tidak ingin bekerja?"
"Mas belum bisa pindah sendiri begitu? Nanti siapa yang akan membantu? Mbak Narti sibuk di dapur. Kan harus ada aku."
"Ya, aku minta maaf sudah membuat kamu berada pada posisi sulit seperti ini."
"Mas nggak salah. Semua akan baik-baik saja."
"Kalau kita tidak bisa punya anak? Ingat kamu anak tunggal. Orang tuamu pasti ingin menimang cucu."
Seketika Adeeva terdiam. Tapi hati kecilnya tidak tega saat melihat tatapan terluka Saka. Segera diraihnya jemari pria itu. Terasa dingin.
"Aku belum tahu, karena belum bicara dengan mereka."
"Kalau mereka mau kita berpisah. Aku tidak apa-apa. Demi kebahagiaan kamu. Kamu masih muda, Deev. Jalan masih Panjang untuk kamu bahagia."
"Jangan ngomong begitu. Aku nggak suka kalau mas putus asa."
"Yang kukatakan adalah sebuah kebenaran. Kamu butuh laki-laki yang sehat."
"Perjanjian pernikahan kita adalah, selalu bersama saat sehat maupun sakit, Mas."
Saka terdiam, kali ini ia mengangkat pandangan. Menatap Adeeva yang matanya sudah berkaca.
"Mas tidak akan menceraikan aku, kan?"
Saka menghembuskan nafas kasar. Karena sebenarnya itu yang ingin ia lakukan. Tapi melihat wajah istrinya sekarang, entah kenapa jadi tidak tega.
"Aku ingin kamu bahagia."
"Aku bahagia sekarang, melihat mas berangsur sehat dan rajin terapi. Berharap semakin cepat sembuh. Aku tidak pernah peduli kalau mas dulu adalah pilot lalu kedepannya memiliki pekerjaan lain. Bukan karena pekerjaan itu maka aku mau kita menikah. Meski awalnya untuk menyelamatkan nama baik keluarga masing-masing.
Aku mengenal mas sebagai sosok yang baik. Bertanggung jawab juga menyayangiku. Yang terjadi sekarang bukan keinginan kita. Tapi harus kita hadapi. Aku mau mas seperti yang dulu. Sering bercanda, membuatku tertawa. Kalaupun tidak bekerja kan cuma sementara. Seandainya terus seperti ini, kita akan cari jalan keluar bersama."
Saka tidak tahu harus menjawab apa lagi.
***
Pagi itu Saka ditemani Narti melakukan terapi seperti biasa. Ia memasuki ruangan dengan lesu. Kemarin seluruh berkas pemutusan hubungan kerjanya sudah selesai. Rasanya sulit sekali menjalani hari ini. Meski begitu, ia berusaha menguatkan diri.
Berbagai latihan dijalani dengan bantuan dua orang terapis. Beruntung tidak ada Andi yang kerap bertanya di mana istrinya. Kalau saja ia sudah kuat, pasti sudah membuat perhitungan dengan pria itu. Sangat tidak sopan. Selesai kegiatan, mereka berencana langsung pulang.
Setiba di rumah Saka segera di dorong menuju pavilion. Ia bisa melihat mobil Keenan terparkir di halaman. Namun memilih mengabaikan, mengingat pertemuan terakhir. Adeeva sudah menanti dengan segelas teh hangat.
"Keenan datang." Lapor sang istri.
"Ngapain? Mau ganggu kamu lagi?"
"Bukan, dia datang bersama Ratna. Bawa anaknya ketemu papa dan mama."
"Akhirnya dia datang juga. Dulu melarang mama untuk mengunjungi. Bahkan katanya sampai curhat di medsos. Kamu sudah ke sana?"
"Sudah tadi. Dia tanya mas di mana. Ya, semoga mereka datang dengan niat baik. Bagaimana terapinya tadi?"
"Biasa saja, tapi aku sudah bisa menggerakkan pinggul. Mudah-mudahan bisa segera mengangkat badan. Supaya kamu nggak capek memindahkan aku terus menerus."
"Yang sabar, mas. Semua butuh waktu."
"Ya, terima kasih. Aku mau istirahat dulu."
Adeeva segera mendorong kursi roda ke kamar. Membantu Saka berbaring kemudian berniat menutup pintu depan. Sayang, Narti kemudian datang sambil tergopoh.
"Mbak Adeeva dipanggil bapak dan ibu. Katanya untuk makan siang bersama."
"Mas Saka sedang istriahat. Nanti saya menyusul, mau pamit dulu, mbak."
"Baik, Mbak Adeeva."
***
Happy reading
Maaf untuk typo
5621
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top