11

Adeeva kembali ke pavilion sambil membawa makan siang untuk mereka berdua. Bergegas langkahnya memasuki kamar karena berpikir bahwa Saka sudah lapar. Namun pemandangan yang ada didepannya membuat makanan yang ada di tangannya terjatuh, ia segera berteriak membuat seluruh asisten rumah tangga segera berlari memasuki kamar mereka.

Di atas tempat tidur, terlihat pergelangan tangan Saka berdarah. Semua orang sibuk seketika, dan akhirnya langsung membopong tubuh pria itu lalu membawa ke rumah sakit.

***

Desi Dirgantara mendekati menantunya yang duduk di sofa. Ia bisa melihat wajah perempuan muda itu terlihat kosong. Paham apa yang terjadi, segera tangannya meraih tubuh lemah Adeeva ke dalam pelukannya. Kembali terdengar tangisan pelan.

"Deeva kenapa?"

Tak ada jawaban apapun, hanya bahu yang bergetar menandakan bahwa Adeeva menangis.

"Maafkan Deeva tidak bisa menjaga Mas Saka."

"Jangan membuat seolah kamu yang bersalah. Mama tahu kamu sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tapi mungkin Saka yang tidak bisa berpikir jernih. Mama malah berterima kasih atas apa yang sudah kamu lakukan selama ini. Sabar menghadapinya dan selalu setia mendampingi."

"Mama nggak marah sama aku?"

"Tidak sama sekali." Balas sang ibu mertua sambil mengecup kening menantunya.

"Kamu pasti sangat capek menghadapi perubahan sikap Saka. Ini pasti sulit, mama minta maaf tidak bisa sering mendampingi kamu karena tugas mendampingi papa."

"Aku ngerti kok, Ma."

"Mau cerita, tentang kejadian sebenarnya?"

Adeeva kemudian menceritakan semua. Sang ibu mengangguk tanda mengerti.

"Dia cemburu pada terapis itu?"

"Kelihatannya, Ma."

"Nanti mama yang bicara, kamu istirahat saja dulu. Kamu kelihatan capek sekali. Biar mama yang jaga Saka."

Adeeva hanya mengangguk. Ia memang benar-benar lelah sekarang. Awalnya sangat takut kalau mertuanya akan menyalahkannya. Tapi sepertinya itu tidak. Mereka paham akan apa yang sebenarnya terjadi. Ditatapnya kembali Saka yang tertidur pulas dngan pergelangan tangan yang dibalut.

Kenapa sampai melakukan sejauh itu mas? Bukankah bunuh diri bukan sebuah jalan keluar? Aku akan tetap menjadi Adeeva yang sama seperti dulu. Mas nggak perlu takut atau khawatir.

***

Pak Dirgantara menghempaskan tubuh di kursi. Setelah mendengar apa yang dilakukan Saka ia benar-benar kalut. Sebagai laki-laki ia paham, kenapa putra sulungnya menjadi seperti itu. Beruntung tak lama kemudian sang istri menghubungi.

"Bagaimana keadaan Saka, Ma? Adeeva bagaimana?"

"Saka sedang tidur, Adeeva juga. Kasihan Adeeva, dia sudah kelihatan capek sekali."

"Kejadiannya?"

"Saka cemburu pada terapis yang disarankan dokter Harjono. Dan mungkin puncak dari keputusasaannya selama beberapa minggu terakhir."

"Apa perlu Adeeva kita bawa ke psikolog untuk mendapatkan pendampingan?"

"Mama belum tahu, nanti kita bicara dengannya sekaligus memberi pengertian pada Saka. Rasanya kita harus ikut campur, kalau lama-lama seperti ini kasihan mereka berdua. Adeeva masih muda, dan tidak pernah menghadapi situasi seperti ini. Saka juga yang biasa aktif tiba-tiba harus berada ditempat tidur terus. Pasti sulit."

"Mama yang urus kalau begitu."

"Papa kapan pulang?"

"Masih dinas, lusa demo besar-besaran. Harus koordinasi terus dengan yang di lapangan."

"Jaga kesehatan ya, Pa. Mama ada di rumah sakit menemani, kasihan mereka."

"Ya sudah kalau begitu."

Pak Dirgantara akhirnya meletakkan ponselnya sambil memperhatikan beberapa CCTV. Disaat seperti ini, ia harus mendahulukan tugas negara. Meski hati dan pikirannya ada di rumah sakit.

***

Saka menatap ponselnya. Tidak tahu harus melakukan apa. Adeeva masih tidur, sementara mamanya sedang menerima telfon yang sepertinya dari Keenan. Ia tahu kalau adiknya baru saja menjadi seorang ayah. Ia kembali tertunduk. Sebagai suami saat ini bahkan tidak bisa memuaskan istrinya. Mencoba tegar setelah kejadian kemarin. Saat putus asa dengan kondisi tubuhnya sekarang.

Ia marah, tapi entah pada siapa. Terbayang dulu saat masih bisa berjalan, beraktifitas, bekerja dan melakukan banyak hal. Sekarang ia hanya bisa berbaring. Untuk duduk pun masih harus dibantu. Kemarin saat terapi, ia bisa melihat mata Andi tidak pernah lepas dari Adeeva, istrinya. Padahal ia sudah menatap pria itu tajam sebagai tanda tak suka tapi diabaikan. Meski tahu bahwa Adeeva tak sekalipun melirik Andi. Tapi tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi.

Adeeva masih muda dan cantik. Ia juga perempuan normal yang butuh perhatian dan sentuhan laki-laki. Lalu bagaimana kalau kelak ia tidak bisa lagi memeberi nafkah batin pada istrinya? Untuk belanja harian ia masih bisa mengandalkan tabungan. Tapi mau sampai kapan istrinya harus hidup susah? Kalaulah ia tidak ada, bisa saja Adeeva menikah dengan orang lain. Tapi ia tidak mau melihat itu. Tidak akan sanggup membayangkan tubuh Adeeva berada dibawah laki-laki lain.

Sayang keinginan semalam tidak terlaksana. Ia selamat. Haruskah bersyukur atau kecewa? Seumur hidup ia hanya akan menjadi beban bagi orang lain. Kalau Adeeva dan kedua orang tuanya tidak ada. Siapa yang akan merawat? Tidak akan bisa berharap pada Keenan. Menyadari itu, Saka kemudian menangis.

Desi yang baru selesai berbicara deng Keenan akhirnya mendekat.

"Kamu kenapa?" tanya sang ibu penuh rasa prihatin.

"Nggak apa-apa ma."

"Jangan dipendam sendirian kalau itu adalah masalah. Mama nggak mau kamu tambah sakit. Ingat, pikiran positif bisa meningkatkan imun kamu dan membantu cepat sembuh."

Saka menatap Adeeva yang masih terlelap. Wajah itu sangat pucat, mungkin takut. Ada rasa kasihan dalam dirinya.

"Kasihan Adeeva karena punya suami seperti aku."

Desi menatap putranya dengan penuh rasa sayang. "Kalau kamu merasa kasihan, ya harus berusaha untuk sembuh. Sudah hampir dua bulan ia hanya mendampingi kamu. Tidak melakukan apapun, bahkan tidak pernah ke luar rumah."

"Aku suami yang gagal. Kenapa kemarin aku menikahinya? Ia kini malah lebih menderita bersamaku. Seandainya kubiarkan saja waktu itu, mungkin dia sudah bahagia dengan laki-laki lain."

"Hush, kamu tidak boleh bicara begitu. Kalian menikah itu sudah takdir. Dipertemukan Tuhan dalam waktu yang tepat. Saat itu dia butuh pertolongan dan kamu menolongnya. Lalu sekarang, apa kamu pernah mendengar Adeeva mengeluh?"

Saka menggeleng.

"Itu membuktikan bahwa dia istri yang baik. Ia selalu mendampingi kamu. Bahkan merawat kamu sendirian. Rela kurang tidur saat malam hari ketika kamu sakit. Memasak dan tetap melakukan tugasnya. Tidak sekalipun dia meninggalkan kamu. Bahkan tidak mengunjungi orang tuanya.

Ingat, Ka. dia anak tunggal. Di rumah ibunya dulu mungkin tidak pernah dibebani dengan hal berat seperti ini. Meski mereka bukan orang kaya, tapi semua kebutuhan Adeeva tercukupi. Umurnya baru dua puluh empat tahun. Masih sangat muda. Tapi lihat, dia tidak pernah mengeluh atau membantah. Kamu sayang dia, kan?"

"Sayang, Ma."

"Kalau begitu, rubah cara berpikir kamu. Ringankan bebannya dengan tidak lagi berpikiran buruk dan melakukan tindakan seperti kemarin. Berusahalah untuk sembuh."

"Kalau aku tidak sembuh?"

"Berusaha saja dulu, semangat. Ada mama dan papa yang akan mendukung kamu. Lihat istrimu, tidak hanya cantik, dia juga baik. Betapa beruntungnya kamu memiliki dia. Jangan sia-siakan. Jalani semua terapi, makan obat kamu dan berusahalah. Mama dan papa akan berdoa untuk kalian."

"Terima kasih, ma." Saka segera memeluk mamanya. Dalam diam, Desi menangis. Sebenarnya ia juga belum bisa menerima kenyataan. Tapi ketika takdir berkata lain, maka mau tidak mau sebgai ibu ia harus menerima dan menguatkan putranya.

"Bayi Keenan sudah lahir?"

"Sudah."

"Mama sudah melihatnya?"

"Belum, Ratna tidak mau kami datang. Katanya kecewa karena selama ini merasa diabaikan. Dia malah sudah mengatakan itu di media."

"Apa sih maunya mereka?"

"Jangan pikirkan mereka, cukup pikirkan kesehatan kamu. Mereka Sudah dewasa, jadi pasti sudah bisa menjaga diri."

***

Adeeva bangun menjelang sore. Ia tidur sangat nyenyak. Saat melihat kamar sepi tanpa ibu mertuanya, segera Saka berkata.

"Mama sedang pulang, untuk mandi dan ganti pakaian. Aku bilang cukup kamu saja yang di sini."

Akhirnya sang istri mengangguk.

"Mau mandi dulu, Deev"

"Sebentar lagi, setelah mas mandi nanti." jawab Adeeva sambil mendekat. Saat sudah berada disisinya, Saka berkata.

"Aku minta maaf atas kejadian kemarin. Tindakanku benar-benar kekanakan."

Mendengar itu, Adeeva tersenyum. "Nggak apa-apa. Tapi jangan diulang ya. Aku tahu mas juga capek berbaring terus. Rasanya pasti tidak nyaman."

Saka mengangguk, lalu membiarkan Adeeva mengambil air hangat untuk membasuh tubuhnya. Selama ini, memang hanya mengandalkan sang istri. Saka tidak suka, kalau tubuhnya harus disentuh orang lain. Mamanya benar, istrinya sangat telaten dalam merawat. Entah belajar dari mana. Dan memang seharusnya ia lebih memperhatikan Adeeva. Ada rasa bersalah besar dalam diri pria itu sekarang.

***

Beberapa hari di rumah sakit, akhirnya Saka boleh pulang. Kembali tinggal di pavilion di kediaman orang tuanya. Kali ini ia sudah merasa lebih siap. Adeeva masih membantunya dalam menjalankan aktifitas. Sampai kemudian pada suatu pagi Keenan datang tanpa diduga. Sang adik segera menemuinya. Saka tengah sendirian berjemur sementara Adeeva berada di dapur.

"Apa kabar, Mas?" sapanya.

"Baik."

Keenan menatapnya seolah merendahkan. "Gimana rasanya tidak bisa bergerak sama sekali?"

Saka kesal denga pertanyaan itu. Namun ia memilih diam.

"Meski bisa berjalan, itu yang kurasakan saat papa mencabut semua fasilitas yang kumiliki. Termasuk tidak bisa mencari pekerjaan. Sekarang anak kesayangan mereka malah mengalami lebih parah daripada yang pernah kurasakan." ucap Keenan sinis.

Saka memilih tidak menanggapi. Dalam hati ia berharap kalau istrinya segera ke luar. Agar dipindahkan ke dalam kamar saja. Beruntung, Adeeva segera datang.

"Kapan datang, Keen?"

"Oh, kakak iparku sudah datang. Apa kabar? Bagaimana rasanya menjadi istri Mas Saka sekarang?"

Wajah Adeeva seketika memerah. Bukan karena malu, tetapi marah. Rasanya segala kemarahan terhadap Keenan yang selama ini terpendam naik kepermukaan.

"Baik-baik saja, memangnya kenapa?"

"Yakin? Kalau dulu aku tahu kalau kamu baik-baik saja. Punya suami seorang pilot dan mertua yang kaya raya. Tapi lihat penampilan kamu sekarang."

"Hidup itu tidak selamanya indah. Kadang ada saat dimana kita ditempa agar bisa naik kelas. Dan kami sedang berada pada tahap itu."

"Kamu pintar menjawab sekarang."

"Bukan pintar, tapi seandainya aku minta tolong mau pinjam uang, kamu juga belum tentu punya, kan?"

***

Happy reading

Maaf untuk typo

3621

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top