10

Semangaaaaaattt... hari baru, tanggal baru, semangat baru...

Sehat dan bahagia selalu buat kalian...

***

"Anaknya berapa, bu?"

"Tiga mbak, yang paling besar masih SMU. Anak-anak saya juga bantu jualan. Bawa ke sekolah masing-masing. Tapi nggak banyak, saya hanya menargetkan untuk ongkos dan biaya sekolah harian saja. Lagian kan sebenarnya di sekolah mereka tidak boleh jualan. Kemarin dapat dispensasi asal tidak bawa banyak dan mengganggu proses belajar. Kalau nggak begitu, mereka nggak bisa lanjut sekolah."

"Syukurlah." balas Adeeva lega.

"Monggo, dimakan mbak. Jangan telat sarapan. Supaya mbaknya juga kuat jaga masnya. Saya pamit dulu."

"Besok datang lagi ya, bu."

"Iya, kalau sudah diberitahu, saya pasti akan kemari. Atau mbaknya bisa telfon saya, mau dibelikan apa. Jadi bisa saya bawakan. Mbaknya jangan lupa istirahat dan makan teratur. Jaga kesehatan dan tetap semangat. Meski nggak lapar ya dipaksa mbak, supaya tetap sehat."

"Baik, bu. Saya minta nomor telfonnya dong."

Ibu tersebut memberikan, Adeeva mencatat dengan baik.

"Saya pamit dulu ya. Semoga masnya cepat sembuh."

Adeeva mengangguk kemudian mengantar sampai sampai pintu. Lalu kembali ke sofa dan mulai sarapan. Saka menatapnya sedih. Apalagi melihat cara makannya yang seperti orang kelaparan. Pria itu tahu, bahwa istrinya sudah kelelahan serta kurang istirahat. Ia tidak tega melihat Adeeva kurang tidur. Tapi disaat seperti ini, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan untuk memiringkan tubuh saja kadang ia masih butuh bantuan.

"Mas mau kuenya?" pertanyaan Adeeva mengejutkan Saka. Pria itu menggeleng dan berusaha tersenyum.

"Kamu saja, kelihatannya sudah kelaparan gitu."

"Enggaklah, mas. Aku beli lumayan banyak kok. Yakin ini nggak akan habis. Tadi karena kayaknya semua kepingin dimakan. Lagian kasihan lihat ibu itu."

"Berikan ke perawat atau cleaning service saja kalau begitu. Nanti mubasir."

"Ya sudah, nanti aku kasih. Sama roti yang disitu juga kan belum dimakan. Takut keburu expired"

Saka hanya mengangguk. Ia suka melihat Adeeva yang begitu down to earth. Mudah berbagi dengan siapapun. Mood-nya juga mudah membaik. Mengobrol sebentar dengan ibu penjual kue saja sudah bisa membuatnya terlihat segar.

"Mas kenapa? Kok ngelihatin aku seperti itu?"

"Kamu cantik."

Segera wajah itu memerah, bibirnya kembali mengerucut.

"Mas sakit aja masih bisa gangguin aku."

"Maaf ya, kamu capek banget jaga aku di sini."

"Kan sudah kubilang, itu tugasku. Kalau mas bukan suamiku, baru aneh."

Saka akhirnya tersenyum. Tak lama dokter datang dan memeriksa kesehatannya. Adeeva menyampaikan keluhan Saka. Setelah mendapatkan penjelasan mereka bisa tersenyum lega.

***

Kembali ke Jakarta setelah hampir sebulan berada di rumah sakit membuat Adeeva merasa lega. Mertuanya membangun sebuah pavilion khusus yang terpisah dari rumah induk. Karena tidak mungkin tinggal di kamar Saka yang berada di lantai dua. Saka langsung pulas setelah berbaring di atas tempat tidur. Tak lama seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu pavilion.

"Mbak, Adeeva, itu tukang pijat yang dipesan ibu Desi sudah datang. Mau pijat di mana?"

Ruangan di sini memang tidak terlalu besar. Hanya ada kamar, dapur kecil dan ruang tamu mungil.

"Di ruang tamu saja deh, Mbak. Soalnya Mas Saka sedang tidur."

"Kalau begitu saya bawakan karpet saja ya."

Adeeva mengangguk sambil tersenyum. Tak lama seorang perempuan paruh baya datang. Setelah berkenalan akhirnya ia mulai dipijat. Rasanya sangat menyenangkan sekali. Setelah letih yang harus dirasakan selama ini.

***

Adeeva bangun jam 7 pagi. Letih menjaga Saka semalaman. Namun, indra penciumannya segera mengendus bau tak sedap. Bergegas ia membuka selimut Saka. Dan menemukan bagian bawah bokong suaminya sudah basah. Saka menatapnya penuh rasa bersalah. Dengan pelan ia berkata.

"Aku diare terus sepanjang malam. Maaf, sudah menyusahkan kamu."

Adeeva akhirnya diam tidak tahu harus menangis atau bagaimana. Ia benar-benar letih sekarang. Tadi malam tidur menjelang jam tiga pagi karena Saka Diare. Lalu sekarang harus kembali membersihkan kasur yang terkena rembesan cairan diare Saka. Ia segera meminta bantuan beberapa orang pekerja di rumah induk untuk memindahkan  tubuh suaminya.

"Bu, kasurnya basah, nanti kalau dibiarkan terus malah bau." ucap seorang ajudan ayah mertuanya.

"Tanya mama saja. Apa ada tempat tidur lain yang bisa dipindah kemari? Biar itu dijemur. Kalau bisa di cuci, carikan orang yang bisa mencuci spring bed."

Narti segera mengangguk, kemudian berlalu. Untuk sementara tubuh  Saka dibaringkan di sofa sambil menunggu kasur baru. Dengan hati-hati Adeeva membersihkan seluruh tubuh suaminya. Mengganti pakaian  sampai akhirnya kembali bersih. Saka tidak berani menatap wajahnya. Laki-laki itu memandang ke arah lain. Namun dadanya terlihat turun naik menahan tangis.

"Lain kali, mas bangunin aku saja. Jangan biarkan diapers-nya penuh bahkan sampai bocor." ucap Adeeva pelan. Ia takut Saka tersinggung.

"Maaf aku selalu menyusahkan kamu."

"Bukan itu maksudku. Supaya bokongnya nggak ruam, dan mas juga nggak sampai basah lama. Nanti malah bisa tambah sakit karena masuk angin."

"Aku memang tidak berguna lagi." Kali ini Saka benar-benar menangis.

Adeeva menghampiri kemudian memeluknya. "Jangan ngomong begitu. Ini nggak akan lama. Lusa mas sudah bisa mulai terapi. Mudah-mudahan cepat sembuh."

"Aku nggak butuh terapi, itu tidak akan berguna sama sekali."

"Jangan putus asa seperti itu. Semua akan baik-baik saja."

Tak lama dua orang mengantarkan Kasur baru. Adeeva segera mengeluarkan sprei untuk dipasang. Sepertinya ia memang tidak memiliki tenaga lagi. Narti dan beberapa orang lainnya menatap penuh kasihan. Akhirnya mereka membantu memindahkan Saka kembali ke tempat tidur. Kali ini tempat tidur sudah dialasi agar cairan yang merembes tidak mengenai kasur. Apalagi Saka menolak kehadiran perawat. Ia lebih suka kalau sang istri yang membersihkan tubuhnya.

"Mas sarapan dulu ya." ucap Adeeva sambil membawa roti.

"Perutku masih nggak enak."

"Tadi aku sudah menghubungi dokter langganan. Dan sebentar lagi akan datang."

"Apa kamu masih mau mendampingi aku?"

Adeeva menghembuskan nafas pelan. Ia benar-benar bosan sekarang. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu disampaikan. Ia sendiri sudah hampir bosan menjawab. Namun akhirnya tetap mencoba tersenyum.

"Aku akan tetap mendampingi mas. Tapi mas juga harus semangat untuk sembuh."

"Kalau nanti aku cacat permanen?"

"Jangan berpikiran seperti itu, yakin saja kalau mas akan sembuh."

"Aku tidak yakin." ucap Saka lalu kembali menatap ke arah luar.

***

Hari pertamaini  Saka menjalani terapi untuk pertama kali. Setelah melewati beberapa pemeriksaan. Adeeva mendorong sampai ke pintu ruangan. Seorang terapis senior menyambut sambil  mengulurkan tangan pada Adeeva.

"Saya Andi, Mbak."

"Saya Adeeva. Dan ini suami saya Mas Saka."

Saka hanya diam menatap tak suka. Lalu kursi rodanya di dorong memasuki ruangan. Beberapa kali sang terapis bertanya. Pria itu hanya menjawab singkat. Andi memulai tugasnya, dengan menyentuh beberapa bagian tubuh untuk mengetahui respon Saka. Dibeberapa titik suaminya sedikit merubah posisi tubuh. Pertanda masih bisa merasakan sentuhan. Lalu mereka melatih  beberapa gerakan sampai kemudian sesi pertama selesai.

"Bagaimana Mas Andi?" tanya Adeeva.

"Responnya cukup baik. Tapi memang tetap butuh waktu. Jangan lupa obatnya diminum dan kembali sesuai jadwal ya, Mbak. Karena memang harus rutin."

Adeeva mengangguk lalu mendorong kursi roda ke arah luar. Di sana seorang sopir mertuanya sudah menunggu. Saka tidak mengucapkan sepatah katapun sampai mereka tiba di rumah. Adeeva yang merasa Lelah akhirnya segera berbaring. Namun saat hendak menutup mata, terdengar suara Saka.

"Apa tidak ada tempat terapi yang lain?"

"Kenapa, Mas? Tempat itu atas rekomendasi dokter syaraf yang kemarin kita kunjungi."

"Aku nggak suka sama terapisnya."

"Alasannya?"

"Kamu nggak usah bertanya, pokoknya aku mau pindah tempat."

"Itu tempat terbaik, mama sudah tanya ke beberapa orang yang mengalami seperti mas juga. Mas kenapa sih?"

"Aku nggak suka sama cara Andi itu menatap kamu. Kelihatan sekali kalau dia suka sama kamu."

Adeeva menghembuskan nafas kesal. Semua terasa menyesakkan untuknya.

"Aku merasa dia orang yang ramah. Dan sangat detail dalam memberikan penjelasan tentang kondisi mas sekarang. Lagian kami cuma bicara sebentar, kan?"

"Lalu kedatanganku ke sana menjadi alasan untuknya bertemu dengan kamu? Aku paham apa yang ada di kepalanya."

Kembali sang istri merasa kesal.

"Mas, tolong. Jangan berpikiran negatif terus."

"Atau kamu juga suka sama dia? Aku tidak yakin kalau dia akan serius mengobatiku. Dia pasti akan mengulur waktu agar sering bertemu dengan kamu. Setelah itu kalian akan janjian di luar. Sampai akhirnya kamu meninggalkan aku!"

"Mas, STOP! Aku bukan perempuan seperti itu." Teriak Adeeva sambil bangkit dari tempat tidur. Ia benar-benar letih, ditambah harus mengurus dan mengantar Saka terapi. Kenapa malah suaminya berpikir terlalu jauh? Sementara ia sendiri tidak pernah memikirkan tentang itu? Setidaknya Saka bisa mendukung dengan memberikan semangat juga padanya.

"Kenapa kamu marah kalau memang tidak merasakan apa-apa?"

"Mas jangan asal nuduh ya? Aku bukan perempuan yang mudah suka pada laki-laki lain. Lagi pula aku sudah bersuami, mas."

"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa, kan?"

Kesal dengan Saka akhirnya Adeeva memilih ke luar dari kamar. Ia takut tidak bisa menahan emosi menghadapi kecemburuan suaminya. Akhirnya memilih berbaring di ruang tamu mungil mereka. Di sana ia menangis, rasanya ingin sekali pergi entah kemana. Tapi apa kata orang nanti? Bagaimana kalau Saka membutuhkan bantuan? Adeeva kembali menangis.

Sementara Saka yang berada di kamar juga menangis diam-diam. Putus asa dengan kondisinya sekarang. Ia tidak bisa berpikir jernih. Benar-benar tidak tahu harus melakukan apa akibat tatapan Andi  pada istrinya.. Sebenarnya tidak ingin membuat Adeeva marah atau bahkan menangis. Tapi benar-benar tidak suka pada lelaki tadi.

Cukup lama waktu berlalu sampai akhirnya Adeeva merasa lebih tenang dan kembali ke kamar.

"Mas, obat sebelum makannya diminum dulu."

Saka menatap wajah sang istri, pada matanya yang sembab. "Kamu habis menangis, aku menyakiti kamu?"

Sang istri hanya menggeleng memilih diam. Membantu Saka duduk lalu menyerahkan obat.

"Kamu marah?"

Ia kembali menggeleng, namun tak mau melihat wajah Saka. Sesuatu yang akhirnya diartikan berbeda oleh pria itu. Obat itu segera di minum. Adeeva kembali membantunya berbaring.

"Mas mau ganti diapers? Aku mau ambil makanan di rumah utama. Tadi titip masak makanan mas sama Mbak Narti."

Saka menggeleng. Adeeva segera beranjak lalu memasuki kamar mandi. Memastikan kalau wajahnya terlihat baik-baik saja. Agar tidak menimbulkan pertanyaan bagi para asisten rumah tangga, yang akhirnya bisa saja  mengadu pada ibu mertuanya. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan siapapun sekarang.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

1621

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top