Bab 6
Ilona menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya. Dari balik jendela yang tirainya sedikit terbuka, dia melihat hujan masih mendera bumi dengan derasnya. Harum tanah dan rumput basah semilir masuk ke dalam kamar melalui celah-celah jendela dan lubang ventilasi di kamarnya.
Pukul dua dinihari, dan Ilona masih terus gelisah membolak-balik tubuh di atas tempat tidur tanpa bisa pulas. Pertanyaan Ferdan tiga hari yang lalu masih terus mengganggunya. Meskipun sewajarnya sebagai seorang atasan Ferdan bertanya tentang statusnya sebagai anak buah, namun dia menangkap keingintahuan yang terlalu besar dalam suara Ferdan. Dan simpati yang terkandung dalam suaranya, membingungkan Ilona.
Sejak kehadiran Ferdan di kantor menggantikan kepala divisi humas yang pensiun, tidak sedikit karyawati yang mencoba menarik perhatiannya, mulai dari memberikan sapaan manis penuh madu, menawarkan makan siang buatan sendiri sampai terang-terangan menawarkan diri menemaninya ke karaoke atau makan malam. Semua di tanggapi dengan senyum seulas dan ucapan terima kasih yang santun. Sudah memasuki bulan ke tujuh dan persaingan masih tetap panas.
Calon pewaris tunggal perusahaan besar beraset raksasa, meskipun duda namun usianya masih terbilang sangat muda, dengan rupa dan perawakan di atas rata-rata, tampaknya tidak membuat Ferdan menjadi demikian mudah menerima sembarang wanita untuk mendampinginya. Sedikit banyak pasti karena adanya Tasya.
Kedudukan manager yang sekarang sedang dijalaninya, semua orang tahu, hanyalah sebuah batu loncatan yang akan membuka gerbang kearah jabatan direktur utama yang sampai saat ini masih dipegang oleh ayahnya, Danarta Widjadja. Gosip bahwa sang Ayah tengah melatih anaknya dari bawah sebentar lagi mungkin bukan hanya sekedar gosip.
Keingintahuan banyak orang tentang almarhumah istrinya, bagaimana mereka menikah di usia muda kemudian mempunyai putri seperti Tasya, membuat Ferdan lebih keras menjaga batas profesional, meskipun diluar kantor ia ramah dan santai.
Ilona sedikit miris dengan kenyataan, anak seperti Tasya harus kehilangan ibunya dalam usia yang masih sangat muda, apalagi dengan segala kelemahan dan penyakit yang dideritanya. Ferdan pasti banyak mengalami masalah dan kesulitan dalam mengurus Tasya. Ilona seringkali merasa kesal mendengar beberapa karyawati berbisik-bisik membicarakan Ferdan.
Dua hari yang lalu Ilona bahkan sempat adu mulut dengan karyawati bagian Marketing yang mendekatinya hanya untuk meminta informasi tentang Ferdan. Posisinya sebagai asisten utama membuat Ilona seringkali dipandang sebagai saingan berat atau bahkan sumber informasi oleh karyawati-karyawati yang cukup percaya diri untuk menarik perhatian Ferdan.
Ponselnya berdering ditengah lamunan. Ilona heran, melihat jam dinding di kamarnya sudah bergeser lagi ke pertengahan antara angka dua dan tiga. Siapa yang meneleponnya selarut ini.
Ilona melihat layar lcd ponselnya dan menemukan nama Ferdan tertulis di atasnya. "Ha ... halo ...?"
"Lona...maaf aku membangunkanmu, tapi aku butuh teman sekarang, dan entah mengapa aku hanya bisa mengingatmu," suara Ferdan terdengar panik dan gelisah. "Tasya...dia kejang hebat, baby sitternya sedang cuti, aku...apa aku mengganggumu?"
Ilona bangkit dari tempat tidur dan menyambar jaket dari kapstok, mencari-cari kunci mobil di atas meja riasnya sambil tetap menempelkan telepon di telinganya. "Tidak ... aku belum tidur," sahut Ilona sambil membuka pintu kamar dan mematikan lampu. "Dimana Tasya sekarang?"
Terbata-bata Ferdan menyebutkan alamat sebuah rumah sakit. Ilona bergegas memacu mobilnya, membelah gelap dinihari yang berhujan. Dia sama sekali tidak memperdulikan penampilannya yang pasti acak-acakan, tanpa sempat menyisir rambut apalagi mengenakan make up.
Suara Ferdan terdengar sangat putus asa dan kesepian, seperti yang sering dialami olehnya sendiri. Pertanyaan mengapa Ferdan meneleponnya disaat seperti ini rasanya tidak lagi perlu dipermasalahkan. Ada seorang anak yang mungkin membutuhkan seorang ibu saat ini dan pasti ada alasan mengapa Tuhan menuntun Ferdan meneleponnya.
$$$$$
Ferdan mengelus-elus tangan Tasya yang tergolek lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Masa kritisnya sudah berlalu, namun dokter tidak mengijinkan Ferdan membawanya pulang. Ada saat-saat dimana serangan yang sama mungkin akan terjadi lagi.
Ilona berdiri diam di samping Ferdan, memandangi anak perempuan bertubuh lemah dan mungil itu meringkuk seperti janin di tengah tempat tidur yang luas. Wajahnya seputih kertas. Air mata Ilona menetes perlahan.
Ferdan menundukkan badannya dan mengecup kening Tasya lembut dan lama, kemudian menggamit Ilona, mengajaknya keluar dari kamar tempat Tasya dirawat. Ferdan menutup pintu dibelakangnya dengan sangat berhati-hati dan menunjuk kursi yang berderet di luar kamar.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Ilona ketika Ferdan sudah duduk di sampingnya. Dia mengusap matanya yang berair. "Apakah Tasya sering mengalami kejang seperti ini?"
Ferdan menyisiri rambutnya yang berantakan dengan jari. Matanya memerah, bekas menangis dan kurang tidur, tebak Ilona dalam hati. "Tasya marah karena tidak menemukan suster Ani waktu dia bangun tidur selepas maghrib tadi, entah bagaimana, kelihatannya semua jadi tidak terkendali setelah itu. Dia terus-menerus muntah dan akhirnya kejang."
"Suster Ani kemana?"
"Aku memberinya ijin cuti untuk menjenguk ibunya. Sudah hampir satu tahun dia tidak pernah minta ijin cuti. Aku sama sekali tidak mengira Tasya akan mengamuk seperti ini. Terakhir kali dia begini adalah ketika ibunya meninggal, dua tahun yang lalu."
"Kamu ..., maaf, Bapak sendirian menangani Tasya?"
"Ferdan, itu lebih baik. Ya, aku sendirian ketika Tasya mulai menangis sampai akhirnya aku tidak tahu lagi harus melakukan apa. Orang tuaku masih di Singapura, kamu tahu, mereka diundang untuk menerima penghargaan sebagai pengusaha paling sukses sepanjang tahun ini," disini, Ilona menangkap sedikit nada sinis dalam suara Ferdan. "Aku bahkan belum menghubungi mereka. Hanya namamu yang melintas di otakku saat itu."
Ilona tidak tahu harus menjawab apa. Keheningan mendominasi di antara mereka setelah itu. Ilona merapatkan jaketnya, baru sadar betapa tipis baju tidur yang dipakainya di balik jaket, hingga angin malam menjelang subuh yang berhembus dari jendela-jendela tinggi rumah sakit membuatnya menggigil. Dia bahkan tidak sempat mengganti sandal kamarnya dengan sesuatu yang lebih pantas.
Ferdan mengalihkan matanya yang tengah menekuri lantai ke wajah Ilona yang polos tanpa riasan. "Maaf, aku membuatmu repot dengan memintamu datang."
"Tidak apa-apa ... emmh ... Mas, aku juga kebetulan belum tidur waktu Mas Ferdan menelepon."
Ferdan mengangkat sebelah alisnya, heran. "Belum tidur selarut itu? Kenapa?"
"Entahlah," Ilona mengangkat bahu. "Aku sendiri kaget ketika melihat jam dinding, waktu ponselku berbunyi."
Ferdan mengubah posisi duduknya menghadap Ilona dan tanpa terduga mengambil tangan Ilona dan menggenggamnya, mengalirkan kehangatan yang merasuk pelan ke seluruh pori-pori tubuh Ilona. Antara malu dan menikmati kehangatan itu, Ilona memandang tepat ke mata Ferdan yang juga tengah memandangnya.
"Aku bukannya ingin memanfaatkan situasi seperti ini, tapi aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri, dan padamu." Ferdan memulai, terbata-bata dan wajahnya merona merah. "Aku tidak pernah berhenti memikirkanmu, sejak aku melihatmu di ruangan rapat pada hari pertama aku mulai bekerja. Aku tertarik pada caramu tersenyum, sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya."
"Mas Ferdan pasti bercanda," ujar Ilona heran. "Aku tidak ingat kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Semula aku juga tidak yakin, tapi semua yang berhubungan denganmu sepertinya tidak asing untukku. Kemudian aku ingat, aku pernah mengagumi seorang wanita dengan senyum yang persis sama denganmu, empat tahun lalu. Waktu itu aku berpikir, wanita itu punya senyum yang sangat unik. Meskipun senyumnya sangat tipis dan bibirnya gemetar, tapi matanya bercahaya. Aku terus memikirkan wanita itu lama sesudah itu."
"Em ... empat tahun lalu?"
"Ya. Empat tahun lalu, di rumah sakit di Singapura. Aku semakin yakin kalau wanita itu adalah dirimu, ketika kamu memandang Tasya sore itu, waktu kita bertemu di kafe. Cahaya di matamu ketika memandang Tasya sambil tersenyum, sama seperti yang kulihat dulu."
Ilona menelan ludah. Dia tidak tahu harus mengatakan apa, karena semua yang dikatakan Ferdan terasa seperti ledakan kecil yang membongkar kenangan yang telah lama dikuburnya dalam-dalam.
Tangan Ilona berkeringat, terasa lembab dan lengket dalam genggaman Ferdan, yang malah semakin memperkuat genggamannya. "Ilona, kumohon, jawab aku," ujar Ferdan pelan, sambil mengelus punggung tangan Ilona. "Kamu pernah berada di rumah sakit itu kan?"
Ilona memalingkan wajahnya dari tatapan Ferdan. Suaranya gemetar dan tercekat. "Ya, aku pernah berada di rumah sakit di Singapura empat tahun yang lalu, bersama mantan suamiku. Bagaimana kamu bisa mengenaliku?"
"Entahlah," geleng Ferdan. "Melihatmu tersenyum pada Ilham di ruangan rapat siang itu, membuatku seperti de javu. Sejak itu aku tidak pernah berhenti memikirkanmu, seperti malam ini."
Tanpa diinginkan, air mata Ilona mengalir pelan. "Ak...aku...sudah melupakan kejadian itu, terlalu pahit untuk terus kuingat."
Ferdan menarik Ilona ke dalam pelukan, merasakan air mata Ilona merembesi kaosnya."Maaf...maaf...aku tidak bermaksud membuatmu menangis. Aku tidak tahu kalau peristiwa empat tahun lalu itu membuatmu sakit."
Ilona menjauhkan dirinya dari Ferdan, tersipu-sipu sambil mengusap air matanya. Dia merasa telah bertingkah seperti anak kecil. "Tidak, aku tidak apa-apaa. Maaf, aku membuat bajumu basah."
Kikuk dan canggung, Ilona menggesar duduknya sedikit menjauh. Ferdan memandangnya dengan tatapan penuh penyesalan. "Maafkan aku Lona."
"Tidak Mas, aku tidak apa-apa. Kalau Mas tidak keberatan, bagaimana ibunya Tasya meninggal?"
"Over dosis obat," jawab Ferdan. Ada nada kasar terselip dalam suaranya. "Wanita itu lebih rela membunuh dirinya sendiri pelan-pelan daripada mengurus putri semata wayangnya."
Ilona menutup mulut dengan kedua tangan, mencoba menahan komentar tidak penting bernada kaget dan heran mendengar cerita Ferdan. "Saya ..., maaf, saya tidak bermaksud ..."
"Tidak, aku mengerti. Hal yang kau tanyakan ini sudah lama menjadi tanda tanya besar diantara kalian kan?" Ferdan tersenyum tipis, antara miris dan maklum. "Aku bukannya tidak tahu gosip yang beredar di kantor tentang aku."
"Keingintahuan orang memang susah untuk diredam Mas ..."
"Ya begitulah ..."
Suara adzan subuh di kejauhan meningkahi rintik hujan yang belum juga mereda. Ilona memejamkan mata, berusaha mengusir berbagai bayangan yang melintas di benaknya.
$$$$$
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top