BAB I - Teka-Teki

Seorang wanita ditemukan tewas di kamarnya dengan tubuh bersimbah darah dan wajah penuh luka. Ada pisau yang masih digenggam oleh mayat kaku itu. Dugaan paling kuat, dia melakukan bunuh diri. Namun, beberapa luka lebam di tubuh sedikit mematahkan asumsi tersebut.

Pihak kepolisian langsung bergerak menuju TKP, mengamankan lokasi. Mayat wanita itu langsung dibawa dengan ambulans menuju rumah sakit untuk dilakukan autopsi.

Athanara Rafardhan berdiri di antara beberapa bawahannya yang tengah sibuk bekerja. Sepasang mata hitamnya yang selalu memancarkan keseriusan, menatap tajam pada garis polisi yang baru saja dibuat. Posisi mayat wanita itu memang agak mencurigakan. Dia bersandar ke sebuah rak, tangan kirinya memegang pisau yang sudah berlumuran darah, terdapat beberapa luka sayat di tangan kanannya. Luka sayat yang terlalu dalam dan bukan hanya satu saja.

Kalau wanita itu berniat bunuh diri, seharusnya lukanya tidak sampai separah ini. Selain luka sayat yang dalam di tangan, terdapat tiga luka parah di kepala. Sepertinya luka itulah yang banyak menguras darah dan merenggut nyawanya.

Kasus itu tentu cukup menguras tenaganya, padahal lusa dia akan mengajukan cuti untuk menikah dengan kekasih yang baru dikenalnya tiga bulan lalu. Wanita yang akhirnya berhasil membuka hatinya setelah tertutup rapat sekian lama. Dia memang enggan berlama-lama menjalin hubungan saat sudah merasa cocok.

Ponsel Athan berdering. Pria itu pun berbalik dan memberitahukan bahwa dia memiliki kepentingan mendadak sehingga harus meninggalkan lokasi. Setelah menemukan tempat yang agak sepi, Athan menggeser tombol hijau.

"Halo, Sayang?" sapa Athan.

"Kok berisik? Kamu di mana?"

Ya, yang meneleponnya tidak lain adalah sang kekasih. Makanya dia buru-buru mengangkatnya, karena wanita itu pasti langsung ngambek kalau diabaikan olehnya.

"Aku ada kasus dadakan yang harus ditangani, ini masih di lokasi," jawab Athan apa adanya.

"Yah, jadi kamu gak bisa jemput aku? Padahal aku masih di butik, lho. Ini Mama rewel banget perkara pakaian setelan keluarga karena ternyata ada pakaian satu ponakan aku yang gak sesuai ukuran."

Athan mendengarkan dengan baik, tetapi sambil menghitung waktu. "Jadi gimana?"

"Sopir bilang mobil mogok, ini aku sama Mama masih di butik, gak ada yang jemput!" Wanitanya terdengar kesal.

"Maaf ya, aku masih ada tugas, jadi gak bisa jemput," sesal Athan sungguh-sungguh.

"Ya udah, gak apa-apa, asal kamu tetap fokus kerja dan hati-hati. Kabari aja kalau nanti udah pulang, soalnya aku kangen, mau VC."

Athan mengangguk meski wanitanya tidak bisa melihat itu. "Iya, Sayang. Kamu juga hati-hati, ya."

Telepon pun berakhir. Athan kembali ke lokasi, melanjutkan tugas.

Setelah menghabiskan waktu untuk melakukan penyelidikan, akhirnya didapat beberapa kesimpulan terkait kasus yang ditangani Athan.

Wanita itu memang tidak sepenuhnya bunuh diri, ini lebih mengarah pada kasus pembunuhan. Dari beberapa warga terdekat yang bisa bersaksi, wanita itu sudah tinggal sendirian sejak enam bulan belakangan ini. Dia baru pindah sekitar setahun, tetapi begitu tertutup dengan dunia luar, terutama soal suaminya.

Suami wanita itu jarang pulang, tetapi sekalinya pulang selalu membuat keramaian sampai membuat tetangga terganggu. Pertengkaran dan KDRT sudah menjadi rahasia umum. Pihak RT sudah mencoba menegur, tetapi si suami tetap bebal. Sementara itu, mungkin karena malu dan sungkan, si wanita pun memohon agar mereka tidak lagi mencampuri urusan rumah tangganya dengan alasan dia masih kuat bertahan.

Malam sebelum kejadian, terjadi pertengkaran hebat. Terdengar bentakan yang bersahutan dan benda-benda yang dipecahkan. Usut punya usut, si pria datang membawa seorang wanita ke rumah itu. Si wanita malang sempat melarikan diri ke halaman tetangga dan menangis sendirian di sana. Barulah saat beranjak malam, dia kembali ke dalam rumah.

Seorang tetangga mengatakan bahwa si pria dan wanita yang diduga selingkuhannya itu sudah meninggalkan rumah dengan mengendarai sebuah motor sesaat sebelum si wanita masuk.

Athan memijit kening, kepalanya jadi pening mencerna semua penjelasan itu. Terlalu penuh teka-teki. Apa mungkin kedua tersangka ini kembali ke rumah dan tidak terlihat warga?

Pihaknya sudah melakukan pengejaran pada kedua tersangka itu, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Itu agak mencurigakan, karena dari semua info yang didapat mengenai keduanya, jejak mereka sama sekali belum terembus.

Namun, ada hal lain yang menarik perhatian Athan dari kasus ini. Wanita yang diduga kuat sebagai korban pembunuhan itu, yang wajahnya penuh luka sampai hampir tidak bisa dikenali, memiliki sebuah nama yang membuatnya teringat pada seseorang di masa lalu.

Alie Areska.

Athan sedikit termenung ketika mengetahui korban bernama Alie Areska, juga saat melihat fotonya dari beberapa tanda pengenal. Wajah itu sedikit mirip dengan seseorang di masa lalunya. Wajah yang terlalu familier, wajah yang telah menggoreskan sedikit rasa di hatinya.

Bunyi bel yang berdenting tiga kali membuat Athan terbangun dengan sedikit kaget. Terlalu memikirkan kasus itu sampai membuatnya ketiduran dalam posisi masih duduk di sofa. Beruntung semalam dia sudah mandi dan berganti pakaian.

Athan mengusap wajah sebelum berjalan menuju pintu. Maklum, dia tinggal sendirian setelah kedua orang tuanya meninggal berurutan tahun lalu karena penyakit tua.

"Pagi, Ma—Pak." Seorang wanita menyapa dengan sungkan dan takut-takut.

"Pagi, Bu. Ada apa, ya?" balas Athan ramah.

Namun, wanita itu tetap terlihat sedikit ketakutan. Dia celingukan dan lebih banyak menunduk. "Anu ...." Dia juga sesekali mengecek selembar kertas berisi alamat yang diberikan seseorang padanya.

"Eh, masuk dulu yuk, Bu. Cuma maaf, saya sendirian di rumah peninggalan orang tua ini, jadi saya gak bisa menyajikan yang enak-enak," kata Athan yang terlihat makin ramah.

Akhirnya wanita itu merasa sedikit tenang. "Eh, ndak usah, Pak. Waduh, saya ndak enak merepotkan Bapak." Dia menyengir canggung.

Dari postur tubuhnya, Athan menebak wanita ini baru menginjak usia 40. Tubuhnya yang sedikit gemuk agak bungkuk, rambutnya yang sebagian besar tertutup kupluk cokelat pun masih hitam legam. Kemudian, keriput di wajahnya juga masih sedikit.

"Jangan panggil saya Bapak, Bu. Senyamannya Ibu saja, gak usah sungkan. Saya gak gigit, kok." Athan coba bercanda.

Si ibu tertawa renyah sampai sepasang matanya menyipit.

"Aduh, Mas, maaf ya, saya ganggu pagi-pagi gini. Soalnya saya ada amanah dari seseorang," kata wanita itu.

Athan baru menyadari bahwa wanita di depannya itu tengah memeluk sebuah bingkisan.

Disodorkannya bingkisan itu ke depan tubuh Athan yang tinggi menjulang. Lantas dia berkata, "Saya ndak bakal ditangkap kan, Mas? Soalnya saya masih punya anak-anak yang masih sekolah dan butuh kehadiran saya," tanyanya takut-takut.

Athan hanya mengernyit bingung. Kepanikan wanita di depannya sedikit menimbulkan curiga. Namun, dari gerak-geriknya menunjukan bahwa wanita itu tidak ada niatan jahat sedikit pun. "Tergantung, Bu. Lagian saya juga gak bakal asal tangkap kalau ibunya gak berbuat yang aneh-aneh."

Si ibu langsung diam, berpikir dalam-dalam, lantas menggeleng. "Gak kok, Mas. Saya cuma dapat titipan dari Bu Alie, empat hari sebelum ini." Suaranya memelan dan tangannya yang gemetar menyodorkan bingkisan itu.

Nama Alie yang disebut jelas membuat Athan langsung curiga. Sepasang matanya menyipit menatap benda yang tersodor. Benda itu dibalut sebuah kain rajut warna biru motif kotak-kotak. Luarnya hanya dilapisi plastik bening dua lapis.

Athan menerimanya. "Terima kasih," katanya. "Oh ya, nama Ibu siapa? Atau ada kontak Ibu? Soalnya saya akan butuh bantuan Ibu untuk penyelidikan kasus ini."

Seketika wajah si ibu makin memucat. Ketakutan jelas tergambar di sepasang matanya. "Mas ... Mas gak bakal nangkap saya, kan? Saya cuma penjual gorengan keliling yang kebetulan Bu Alie langganan ke saya," jelasnya tanpa diminta.

Kembali Athan menggeleng. "Tidak, Bu. Justru peran Ibu akan sangat membantu saya. Saya akan sangat berterima kasih pada Ibu jika Ibu bersedia membantu saya."

"Bener?"

Athan mengangguk.

"Bener nih?"

Athan mengangguk lagi.

"Bo–boleh deh. Ta–tapi nanti Mas borong gorengan saya, ya?" celetuknya saking gugup.

Athan melebarkan senyum. "Siap, Bu, saya borong dagangan Ibu selama seminggu."

Mendengar itu, jelas sepasang mata si ibu langsung berbinar cerah. "Siap, Mas! Nama saya Bu Ati, seorang penjual gorengan keliling yang rumahnya hanya beda kompleks sama Bu Alie. Ini kontak saya."

Wanita itu buru-buru mengeluarkan ponsel dan menyebutkan nomor teleponnya.

Setelah kepergian wanita itu—yang pamit terburu-buru karena harus keliling kompleks untuk dagang, Athan masuk ke rumah sambil memandangi bingkisan di tangannya. Dari penjelasan wanita itu, dugaan di hatinya makin menguat saja. Bahwa kasus yang tengah ditangani, adalah yang menimpa wanita dari masa lalunya.

Baru saja Athan akan membuka plastik bingkisan itu, ponsel bergetar di sakunya. Dia buru-buru merogoh dan melihat layarnya. Ternyata ada panggilan masuk dari calon mertua. "Halo, asalamualaikum, Ma."

Ada jeda dan isak yang samar terdengar, membuat Athan mengernyit penasaran.

"Waalaikumsalam. Halo, Nak." Suara calon mertuanya terdengar sengau, bahkan terjeda isakan.

"Ada apa, Ma?" Jelas Athan langsung panik.

"Kirei di rumah sakit, Nak."

Dunia Athan serasa runtuh mendengarnya, napas dan detak jantungnya pun seolah-olah berhenti sepersekian detik. Obrolan mereka kemarin kembali terngiang. Apalagi semalam mereka tidak jadi video call karena Athan berujung lembur di kantor. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada tunangannya?

"Kirei kenapa, Ma? Mama baik-baik aja?"

Sekarang tangis penuh luka seorang wanita mengalun, mengisi keheningan di telepon.

"Maafin Mama, Sayang, maafin Mama."

Kebingungan Athan makin tak berujung saja. Ada apa sampai calon mertuanya menangis sesenggukan? Seolah-olah baru saja terjadi hal yang amat buruk.

"Iya, Ma, tapi ada apa? Kalian baik-baik saja, kan? Kirei-nya mana?" cecar Athan habis kesabaran.

"Nak, maafin Mama .... Maaf karena ... karena ternyata Kirei sudah hamil."

Ponsel di genggaman Athan hampir saja terlepas dan hancur membentur lantai. Tidak mungkin, dia pasti salah dengar.

"Sekarang kami baru selesai USG di rumah sakit. Kirei ... dia sudah hamil ... empat bulan."

Telinga Athan mendadak tuli, pandangannya pun mengabur sepersekian detik. Bercandanya tidak lucu, serius. Namun, saat mendengar bentakan seorang pria dan pertengkaran yang samar, Athan segera kembali ke dunia nyata meski ada fakta yang teramat menyakitkan untuk diterima.

"Kirei hamil, Ma?"

"Iya ...."

"Empat bulan?"

Hanya isak yang terdengar.

Setetes air mata jatuh menuruni wajah Athan yang memucat. Dingin seketika menggerayangi tubuhnya, tetapi kobaran api panas di dalam sana makin menjadi-jadi. Rasa tak percaya, kecewa, hancur, bergolak di dalam hati, menciptakan gumpalan awan hitam yang mengaburkan akal sehatnya.

Apa dunia sebercanda ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top